Sebuah Refleksi Menjelang Peringatan Hari Kelahiran Pancasila
(Tulisan Terakhir)
Saat pidato pada Hari Jadi Pancasila 1 Juni 2011 lalu, mantan Presiden R.I. kedua, B.J. Habibie dengan berapi-api mengatakan, “Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.[1]
Keprihatinan mantan Presiden tersebut merupakan keprihatinan kita bersama. Betapa saat ini, Pancasila sebagai buah pemikiran luhur Presiden Soekarno yang telah mempersatukan berbagai perbedaan agama, suku, ras, budaya Indonesia dan diterima sebagai konsensus bersama sebagai dasar negara oleh para bapak pendiri bangsa, saat ini semakin menjauh dari ingatan warga negara Indonesia dan mulai dikhianati dengan berbagai tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama, korupsi yang tidak juga berhenti, tidak menghormati keputusan hukum, berbagai tindakan amuk massa dan anarkisme yang merajalela.
Setiap lembaga sekolah memang masih mendaraskan Pancasila setiap upacara bendera pada hati senin, Mata pelajaran PPKN masih menjadikan Pancasila sebagai bagian kurikulum pembahasan. Namun mengapa berbagai tindakan-tindakan bangsa ini semakin hari semakin menjauh dari nilai-nilai Pancasila? Bisa jadi karena kita saat ini hanya menghafal Pancasila namun tidak menghayati maknanya. Bisa jadi kita saat ini mengetahui secara teoritis Pancasila namun tidak melakukan internalisasi dan penerapan dalam konteks kehidupan nyata.
Pengaruh Orde Baru yang sedikit banyak dituding telah menjadikan Pancasila sebagai alat politik dan legitimasi kekuasaan menyebabkan penolakkan terhadap Pancasila yang dianggap sebagai bagian dari produk Orde Baru. Padahal Pancasila telah dirumuskan jauh sebelum adanya Orde Lama dan Orde Baru.
Haruskah kita meninggalkan Pancasila? Tidak! Yang kita harus tinggalkan bukan Pancasila. Yang harus kita tinggalkan adalah sikap-sikap mempolitisir Pancasila menjadi alat kepentingan kekuasaan. Ketika lembaga negara memberangus kebebasan berpendapat dengan mengatasnamakan Pancasila, maka negara telah menjadikan Pancasila sebagai legitimator tindakan-tindakannya, padahal Pancasila mengakomodir kebebasan berpendapat.
Pancasila, sebagaimana Ir. Soekarno katakan saat berpidato di hadapan BPUPKI, “Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi...Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita”.
Kita garis bawahi istilah Weltanschauung (pandangan hidup). Kita harus kembalikan Pancasila bukan dalam makna politis melainkan sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia karena Pancasila adalah nilai-nilai yang digali dalam sikap kehidupan Bangsa Indonesia sejak sebelum merdeka sebagaimana Ir Soekarno katakan, ‘“...Aku tolak dengan tegas ucapan Prof. Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya Bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali”. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia yang digali, dirumuskan, disistematisir menjadi sebuah pandangan hidup oleh Ir. Soekarno.
Jika kita memahami bahwa Pancasila adalah kepribadian bangsa, maka secara inheren Pancasila harus menjadi gaya hidup dan dasar berpikir, berbangsa dan bernegara baik secara nasional maupun internasional.
Dengan Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa bukan dimaksudkan bahwa agama mayoritas dapat memaksakan kehendaknya terhadap yang minoritas. Sila pertama memberikan jaminan hak kepada semua pemeluk agama di Republik Indonesia untuk hidup dan mengaktualisasikan peribadahannya. Sayangnya, dalam berbagai prakteknya, masih banyak sikap-sikap yang jauh dari pengejawantahan sila yang pertama. Sebagaimana disitir oleh Presiden B.J. Habibie sebelumnya, berbagai kekerasan dan anarkisme atas nama agama semakin menguat akhir-akhir ini. Dan pembiaran terjadi di mana-mana. Negara seolah kehilangan supremasinya.
Marty Natalegawa saat menanggapi pertanyaan gencar dalam sidang kelompok Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva mengenai kebebasan beragama di Indonesia, mengatakan bahwa alam demokrasi yang membawa kebebasan telah memberi kesempatan pihak-pihak yang berpandangan keras dan cenderung ekstreem untuk mengeksploitasi ruang demokrasi demi kepentingan mereka[2]. Pernyataan ini dikomentari oleh F. Budi Hardiman sebagai, “...pengakuan telanjang di hadapan dunia internasional bahwa pemerintah kita gagal menjamin toleransi dalam masyarakat...”[3]. Beliau memberikan kritiknya terhadap pemerintah, “Dalam demokrasi pemerintah memang harus toleran, tetapi hal itu tidak berarti juga toleran terhadap intoleransi...jadi penyebab meningkatnya intoleransi bukanlah demokrasi, melainkan suatu pemerintahan yang toleran terhadap intoleransi...”[4]. Dalam hal ini, kita membutuhkan pemimpin dan negara yang lebih tegas mengatur kebebasan beribadah dan mengekspresikan agamanya dan menindak berbagai sikap intoleran dan memberangus kebebasan beragama sebagaimana terjadi akhir-akhir ini.
Dengan Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan pedoman sikap moralitas sebagai manusia Indonesia yang menegakkan keadilan dan nilai-nilai keadaban. Yang terjadi saat ini adalah aksi-aksi ketidakberadaban di tengah-tengah masyarakat kita. Kita saksikan kasus Mesuji dimana terjadi pembantaian penduduk dalam perselisihan soal lahan. Beberapa tahun silam kita menyaksikan konflik di Ambon, Kalimantan yang memperlihatkan jauhnya diri kita dari nilai-nilaia keadaban dan mementingkan kekerasan sebagai jalan keluar penyelesaian persoalan.
Dengan Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, kita diingatkan untuk menjadi warga Indonesia yang bersatu dan menjaga persatuan sekalipun kita memiliki banyak perbedaaan baik agama, suku, ras, budaya, bahasa dll. Otonomi daerah bermanfaat untuk pembangunan daerah karena dengan status tersebut akan memberikan ruang yang cukup besar kepala daerah memakmurkan daerahnya. Namun ekses negatifnya tentu saja menciptakan raja-raja kecil yang menjauh dari loyalitas terhadap pusat. Berbagai ancaman daerah untuk melepaskan diri dari NKRI karena berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam mmerupakan bentuk-bentuk ancaman terhadap persatuan Indonesia yang harus dijaga.
Dengan Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, kita dididik untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan cara musyawarah untuk mufakat dan bukan pemaksaan kehendak segolongan tertentu. Nilai-nilai luhur mengenai musyawarah telah semakin menjauh digantikan dengan pemaksaan pendapat oleh sekelompok orang yang memiliki kekuatan. Berbagai aksi amuk massa dan anarkisme terhadap berbagai penolakkan kebijakan pemerintah menjadi cermin menjauhnya sikap-sikap musyawarah untuk mencapai mufakat. Mengapa pemindahan lokasi sebuah pasar harus berakhir dengan bentrok antara aparat dan masyarakat? Apakah cara musyawarah sudah ditempuh dengan maksimal? Dalam musyawarah diantara kedua belah pihak yang bersengketa, mensyaratkan bukan saja rasa keadilan melainkan kerelaan dan keikhlasan menyerahkan kepentingan-kepentingan individu dan egoisme pribadi kepada kepentingan yang lebih besar.
Dengan Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dimaksudkan bahwa setiap insan masyarakat Indonesia harus menjadi orang yang menegakkan nilai-nilai keadilan sosial. Keadilan Sosial bisa dimulai dengan bersikap adil dalam keluarga, bersikap adil dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam lingkungan bermasyarakat. Jika nilai-nilai ini sudah membatin dan menjadi gaya hidup, maka ketika seseorang menempati jabatan-jabatan fungsional publik, maka nilai-nilai keadilan sosial akan terejawantahkan dengan baik dalam berbagai kebijakan publik demi melayani masyarakat.
Dengan mengembalikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup, Filsafat Hidup, Gaya Hidup maka Pancasila akan hadir sebagai sebuah kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Pancasila akan dilupakan masyarakat Indonesia manakala Pancasila dipenjara dan menjadi sandera politik dan kekuasaan Tirani.
Presiden B.J. Habibie melanjutkan pidatonya dengan memberikan nasihat, “Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya”. Dua kata kunci penting dalam pidato Habibie yaitu “Internalisasi” dan “Gerakan Nasional”. Sayangnya anjuran tersebut tidak direspon sebagaimana mestinya karena sampai hari ini kita belum mendengar ada gerakan nasional yang sinergis dan terpadu menjadikan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur yang harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa.
Setidaknya pemerintah dan lembaga-lembaga sekolah melalui guru dan kurikulum mengejawantahkan nilai-nilai pemahaman dan penghayatan Pancasila sebagai pandangan hidup dan jati diri bangsa dengan metode-metode yang lebih konkrit melalui aksi-aksi nyata dan bukan pemahaman teotitis belaka. Siswa sekolah tidak hanya diberikan informasi mengenai aspek realitas historis lahirnya Pancasila melainkan bagaimana kita menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Apakah dengan penjelasan dan pembahasan di atas kita telah menggantikan kedudukan Agama dan Kitab Suci dengan Pancasila? Sebuah kesimpulan naif jika kita mengonfrontasikan Pancasila dengan Agama dan Kitab Suci. Bukankah setiap sila dalam Pancasila merupakan pengejawantahan perilaku bangsa Indonesia yang juga bersumber dan didukung serta diajarkan oleh masing-masing agama yang ada di Indonesia? Apakah masing-masing agama yang ada di Indonesia tidak mengajarkan soal ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah serta keadilan sosial? Jika semua agama menjunjung nilai-nilai luhur tersebut maka Pancasila telah merangkumnya menjadi sebuah pedoman etik bersama agar kita dapat hidup dan berkarya dalam berbagai perbedaan di Republik tercinta ini.
Marilah bersama-sama kita membulatkan tekad untuk melakukan internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam segala bidang kehidupan baik interaksi sosial, interaksi politik, interaksi umat beragama, interaksi kebudayaan, dimulai dari kehidupan keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara menuju Indonesia yang lebih beradab.
------------------------
[1] Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/11/06/01/lm3gk2-ini-pidato-pancasila-bj-habibie-reaktualisasi-pancasila-dalam-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara
[2] Kompas, 24 Mei 2012
[3] Toleransi atas Intoleransi, Kompas, 30 Mei 2012, hal 6
[4] Ibid.,