RSS Feed

BENARKAH TULISAN DI KAYU SALIB MENUNJUK NAMA YHWH?

Posted by Teguh Hindarto




KOREKSI UNTUK SACRED NAME MOVEMENT DI INDONESIA


Untuk kesekian kalinya saya harus membuat kritik ilmiah terhadap kelompok Sacred Name Movement di Indonesia. Bagi mereka yang berminat membaca kritik ilmiah saya atas sejumlah asumsi yang dibangun oleh kelompok Sacred Name Movement di Indonesia dapat mengikuti kajian-kajian berikut:

Bukan Sekedar Nama Yahweh[1]

Apakah Nama Yahshua Tidak Ada Dalam Kitab Suci?[2]

Apakah Ha Brit Ha Khadasha, Kitab Perjanjian Baru Asli?[3]

Kritik ilmiah yang saya sampaikan bertujuan untuk menyampaikan apa yang benar dan membuat kita lebih banyak belajar agar kita tidak dituduh oleh saudara-saudara Kristen lain yang belum menerima kebenaran nama YHWH dengan julukan “kurang cerdas”. Tudingan “kurang cerdas” ini menjadikan cambuk agar saya dan komunitas yang saya pimpin untuk tampil menyampaikan kebenaran secara sistematis dan logis serta ilmiah. Setelah itu hiduplah dengan perilaku yang benar seturut dengan kebenaran yang diyakini dan bukan justru berbanding terbalik. Kita tidak bisa meyakinkan orang lain atas apa yang kita yakini benar jika cara kita menyampaikan kebenaran tidak dengan cara yang benar. Hal apa yang dimaksudkan dengan “cara yang tidak benar” sudah saya ulas dalam artikel berjudul, “Bukan Sekedar Nama Yahweh”[4]

Dalam kajian kali ini saya ingin mempertanyakan asumsi yang dibangun beberapa kelompok Sacred Name Movement di Indonesia bahwa tulisan di atas kayu salib saat Yesus disalibkan menunjuk pada nama YHWH (Yahweh) dan disimpulkan bahwa Yesus adalah YHWH yang menjadi manusia. Persoalan kesalahpahaman dalam menalar keilahian Yesus (Kristologi) dari kelompok Sacred Name Movement di Indonesia telah saya ulas dalam judul “Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Keilahian Yesus”[5]

Benarkah asumsi di atas? Kita akan mengujinya dengan membaca Yohanes 19:19 sbb, “Dan Pilatus menyuruh memasang juga tulisan di atas kayu salib itu, bunyinya: "Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi.". Dengan percaya diri, seorang pengajar Sacred Name Movement menuliskan kalimat di atas dalam bahasa Ibrani, “Yeshua Hanatsri WamelekHayehudim” sehingga terbentuk susunan YHWH. Apakah cara berpikir demikian dapat dibenarkan? Saya katakan argumentasi di atas bukan saja keliru dan tidak memiliki dasar dalam Kitab Suci bahkan sangat menggelikan. Dimana letak kekeliruan tersebut?

Pertama, soal eksistensi Kitab Suci Perjanjian Baru. Kelompok Sacred Name Movement sangat yakin bahwa Kitab Perjanjian Baru berbahasa Ibrani yang tersedia sekarang ini yaitu Hebrew New Testament dan Ha Brit ha Khadasha karya Franz Delitzh adalah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Ibrani yang asli sehingga dapat dipakai sebagai rujukan paling benar dibandingkan naskah berbahasa Yunani dan Aramaik. Kesalahan berpikir mereka sudah saya ulas secara mendalam dalam kajian berjudul, “Apakah Ha Brit Ha Khadasha, Kitab Perjanjian Baru Asli”[6]. Kedua kitab yang menjadi rujukan mereka di atas sebenarnya hanyalah karya terjemahan Abad XIX dan bukan Kitab Perjanjian Baru berbahasa Ibrani yang asli karena sampai hari ini kita tidak memiliki bukti material adanya Kitab Perjanjian Baru berbahasa Ibrani. Yang kita miliki hari ini sebagai sumber bahasa Semitik adalah Peshitta Aramaik.

Jika kelompok Sacred Name Movement  menjadikan Hebrew New Testament dan Ha Brit ha Khadasha karya Franz Delitzhsebagai rujukan utama, maka kita akan menguji apakah kedua kitab terjemahan berbahasa Ibrani tersebut mendukung asumsi mereka.

Hebrew New Testament

. יֵשׁוּעַ הַנָּצְרִי מֶלֶךְ הַיְּהוּדִים

Yeshua Hanazri Melek Hayehudim

Franz Delitzh

יֵשׁוּעַ הַנָּצְרִי מֶלֶךְ הַיְּהוּדִים

Yeshua Hanazri Melek Hayehudim

Dari perbandingan naskah terjemahan HNT dan Franz Delitzh saja asumsi bahwa nama yang tertulis dalam tiang salib membentuk huruf YHWH sudah gugur dan tidak terbukti. HNT dan Franz Delitzh  justru memunculkan formasi YHMH bukan YHWH.

Kedua, Asumsi bahwa tulisan di atas tiang salib membentuk formasi nama YHWH kembali gugur saat dihadapmukakan dengan bukti material Kitab Peshitta Aramaik yang menurut Aramaic Primacist diyakini sebagai bahasa asli dari penulisan Perjanjian Baru yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Dalam Peshitta Aramaik tertulis demikian:

Peshitta Aramaic New Testament

ܝܶܫܽܘܥ ܢܳܨܪܳܝܳܐ ܡܰܠܟ݁ܳܐ ܕ݁ܺܝܗܽܘܕ݂ܳܝܶܐ܂ 


Yeshu Nazraya Malka Dyehuda

Formasi yang terbentuk justru menghasilkan susunan huruf yang semakin menjauh dari YHWH yaitu YNMD. Dengan demikian asumsi kelompok Sacred Name Movement di atas tidak bertahan dalam ujian naskah kuno dan sudah seharusnya diralat bahkan tidak dipergunakan sebagai pembuktian.

Ketiga, Frasa “Yeshua Hanatsri Wamelek Hayehudim” adalah pemaksaan pemikiran demi mencari pembuktian dukungan terhadap kebenaran nama YHWH sehingga memperkosa kaidah kebahasaan yang benar. Jika frasa di atas diterjemahkan akan menghasilkan kalimat, “Yeshua Orang Natsaret DAN Raja Orang Yahudi”. Padahal kata sambung We (Dan) tidak ada baik dalam naskah Yunani maupun Aramaik. Dalam naskah Yunani dituliskan sbb:

Westscott and Hort Greek New Testament 

Ἰησοῦς ὁ Ναζωραῖος ὁ βασιλεὺς τῶν Ἰουδαίων

(Iesous ho Nazooraios ho Basileus toon Ioudaioon)

Dari kajian singkat di atas nampaklah pada kita bahwa pernyataan bahwa kalimat di atas palang salin membentuk susunan nama YHWH tidak memiliki landasan historis dan teologis sama sekali. Lebih kepada gothak gathuk mathuk(dicocok-cocokkan sesuai selera) dan tidak memiliki nilai keilmiahan sebagai pembuktian. Cara penyimpulan dengan cara di atas dalam Teologi disebut dengan Eisegesa yaitu pemaksaan opini terhadap teks sebagai kebalikan dari Eksegesa yaitu eksplorasi terhadap teks sehingga berbicara kepada pembaca.

Masih banyak data yang lebih berbobot yang dapat dipakai sebagai alat pembuktian mengenai relevansi nama YHWH baik dalam TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru. Mari kita jauhkan dari sikap-sikap emosional fundamentalis dalam menyajikan kebenaran dan lebih menemouh jalur rasional akademis serta teologis dalam menyampaikan kebenaran perihal nama YHWH Bapa kita Surgawi sehingga banyak orang akan mengalami pencerahan dan pencerdasan.


END NOTES:

[1] http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/10/bukan-sekedar-nama-yahweh.html


[2] http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/10/apakah-nama-yahshua-tidak-ada-dalam.html


[3] http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/03/apakah-ha-brit-ha-khadasha-kitab.html

[4] Op.Cit., http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/10/bukan-sekedar-nama-yahweh.html


[5] http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/02/meluruskan-kesalahpahaman-seputar.html

[6] Op.Cit., [6] http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/03/apakah-ha-brit-ha-khadasha-kitab.html

KITAB DIDAKE

Posted by Teguh Hindarto



SIGNIFIKASINYA TERHADAP KEKRISTENAN MASA KINI

Penemuan Naskah[1] 

Pada tahun 1873, Philotheos Bryennios, Direktur Sekolah Tinggi Teologi Yunani di Konstantinopel, yang kemudian menjadi Metropolit kota Nikomedia, menemukan sebuah manuskrip di perpustakaan Monastery of the Most Holy Sepulchre di Konstantinopel (Istambul), yang berada dalam pengawasan Patriarkhal Yerusalem Bizantium Ortodoks, yang berisi beberapa naskah klasik yang sangat penting. Manuskrip itu lalu dipindahkan dari Yerusalem ke Istambul pada tahun 1680, lalu dipindahkan lagi ke Perpustakaan Patriarkhal Romawi Ortodoks, dan diberi nomor 54. Karena itu, di kalangan ilmiah, manuskrip, tersebut populer dengan nama "ManuskripYerusalem" (Jerusalem Codex) dan dalam bahasa Latin disebut Hierosolymitanus: 54.

Manuskrip yang baru ditemukan itu mendapatkan perhatian yang luar biasa dari kalangan ilmiah. Ia menjelaskan banyak segi yang samar samar tentang sejarah awal kehidupan gereja, sehingga ia pantas di perhatikan sedemikian rupa oleh para ahli liturgis dan para bapa Manuskrip ini disalin satu orang penyalin saja, yang bernama Leon Penyalin dan pendosa (the notary and sinner: si penyalin yang banyak dosa), tertanggal dengan kalender Yunani tahun 6564, sama dengan 1056 Masehi, atau kurang lebih pertengahan abad 11.


Isi Manuskrip Yerusalem[2]

Manuskrip ini terdiri dari 120 lembar (240 halaman), terbagi-bagi sebagai berikut:
  1. Lembar 1-32: Sinopsis Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru oleh St. Yohanes Dzahabi AI-Famm (Synopsis of the Old and New Testaments, by St. Chrysostom). Bagian ini memberikan kita bagian-­bagian Sinopsis yang belum pernah dipublikasikan dan materi kesusastraan untuk kajian kritis terhadap teks-teks perkataan-perkataan para bapa.
  2. Lembar 33-51a: Surat Bamabas (The Epistle of Bamabas). Bagian ini memberikan kita teks Yunani Surat Barnabas, dan memungkinkan kita mengkaji kembali teks Surat tersebut secara lebih teliti.
  3. Lembar 51 a-76a: Dua Surat St. Clement dari Romawi kepada Jemaat di Korintus (The two Epistles of Clement to the Corinthians). Kedua surat ini sangat penting, karena ia menggenapi teks kedua surat tersebut, karena seperlima surat kedua sebelumnya tidak diketahui, selain ia juga dapat menguatkan nilai kajian kritis terhadap teks tersebut.
  4. Lembar 766-80: Ajaran 12 Rasul (The Teaching of the Twelve Apostles). Inilah bagian yang telah kami paparkan.
  5. Lembar 81-82a: Surat Maryam Cassoboli kepada Ignatius (The Epistle of Mary of Cassoboli to Ignatius).
  6. Lembar 826-120a: Dua belas risalah karya St. Ignatius Sang Martir (Twelve Epistles of Ignatius).

Otentisitas Naskah[3]

Tak dapat diragukan, teks itu berasal dari zaman Apostolik. Bukti­bukti internal teks tersebut menegaskan hal itu. Pada sisi lain, tidak ada alasan untuk meragukan umur naskah itu, atau kesesuaiannya dengan edisi yang diterbitkan oleh Bryennios.

Clement dari Aleksandaria (M. 216 M. ) menegaskan keberadaan naskah tersebut, bukan saja karena dia banyak mengutipnya, tetapi juga karena dia menyebutkan di dalam bukunya Stromata teks yang terdapat di dalam Didache, 3: 5 secara harfiah, yaitu, "Anakku, janganlah kamu berdusta, karena dusta membawa kepada pencurian," dan menisbahkan teks tersebut kepada Kitab Suci.

Eusebius dari Caesarea (M. 340 M. ), pada paragrafnya yang terkenal di dalam bukunya Sejarah Gereja, yang mengkaji kitab-kitab Perjanjian Baru yang kanonik, menyebut Ajaran-ajaran Rasul-rasul sebagai salah satu karya yang tidak legal (spurious works). Bentuk jamak (Ajaran-ajaran) yang dipakai oleh Eusebius dalam menyebut judul karya ini, tidak mengalihkan perujukannya dari naskah yang sedang kita bicarakan, karena Athanasius (M. 373 M.) dengan jelas mengisyaratkan kepada naskah ini dengan menggunakan bentuk tunggal (Ajaran), dalam perkataannya, "Ajaran yang disebut dengan Ajaran Rasul-rasul." Setelah menyebutkan kitab-kltab suci yang diakui oleh gereja sebagel kitab-kitab kanonik, Athanasius mengatakan, "Selain kitab-kitab tersebut, ada kitab-kitab lain yang tidak diakui sebagai kitab kanonik (tidak diakui sebagai kitab-kitab suci). Para bapa berpendapat bahwa kitab-kitab itu dapat dibaca oleh orang-orang yang ingin mencari pengetahuan dan ketakwaan. Kitab-kitab itu adalah, Hikmah Sulaiman, Hikmah Ibn Sirach, Ester, Yehodit, Thopia, dan Ajaran yang disebut dengan Ajaran Rasul-rasul dan Gembala." Sebab, hingga zaman Paus Athanasius Apostolis, gereja belum mengakui kekanonan kitab-kitab tersebut, dan baru diakui belakangan, serta disebut sebagai kitab-kitab kanonik kedua.

Rufinus (M. 410 M. ), di dalam karyanya, Sejarah Gereja, mengulas sebuah karya yang ringkas, yang disebut `Dua Jalan'. Uraiannya memberikan kita data yang sangat penting untuk kajian kritis terhadap Didache.

Peneliti lain yang telah mengulas Didache adalah Nicephorus (M. 828 M.), atau dua ratus tahun setelah Leon the Notary and Sinner menulis naskah yang diketemukan itu.

St. Irenaeus (M. 202 M. ) dan St. Clement dari Aleksandria (M. 216 M.) melontarkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan mereka berdua mengetahui Didache.

Dengan demikian, kami menyimpulkan manuskrip yang ditemukan ini sebenarnya merupakan karya yang diulas baik oleh Eusebius dari Caesarea maupun Athanasius Apostolis.

Kepenulisan kitab tersebut masih dipertanyakan apakah ditulis oleh rasul-rasul sebagaimana klaim penulis kitab tersebut atau ditulis beberapa ratus kemudian oleh murid yang mengatasnamakan rasul-rasul, tidaklah dapat dipastikan[4]. Kapan kitab ini mulai ditulis masih simpang siur. Ada yang menempatkan pada Abad IV Ms dan ada pula yang menempatkan pada Abad I Ms[5]. Keberadaan kitab Didake memang sudah disinggung dalam tulisan para Bapa Gereja seperti Eusebeius, Athanasius, Clement[6]

Isi Kitab Didake[7]

Kitab Didake berisi 16 pasal, yaitu:
  1. Pasal 1-6: perilaku orang Kristen (dua jalan).
  2. Pasal 7-10: bagian liturgi, atau ritual, berisi ajaran tentang pembaptisan (pasal 7), puasa dan shalat (pasal 8), perjamuan Ekaristi dan memotong-­motong roti (pasal9 dan 10).
  3. Pasal 10 dan 11: hirarki gereja.
  4. Pasal 16: menunggu kedatangan Tuhan.

Kitab Kanonik dan Ekstrakanonik

Selama Abad ke-III Ms, Origenes sebagaimana Klement dari Alexandria berhadapan dengan masalah tidak adanya batasan tetap diantara apa yang disebut daftar kitab yang disebut Kanon dan daftar kitab yang disebut Non Kanon, oleh gereja.

Dia menyusun kategori tulisan-tulisan Kristen dengan istilah-istilah sbb: (a) Anantireta (tidak ditolak) atauHomologoumena (diakui), yang dipergunakan secara umum oleh komunitas Kristen pada waktu itu, (b) Amphiballomena(diperdebatkan), yang masih diperdebatkan kelayakannya, dan (c) Psethde (keliru), termasuk buku-buku yang dikategorikan pemalsuan dan menyimpang.

Klasifikasi ini diperbarui oleh Eusebius dari Kaisarea selama Abad ke-IV Ms dengan sebutan (a) Homologoumena (diakui), (b) Antilegomena (diperdebatkan), yang terbagi dua kategori lagi yaitu gnorima (dikenal), karena banyak orang-orang Kristen mengakuinya dan Notha (tidak sah), karena dianggap sebagai tidak asli serta (c) Apocrypha (tersembunyi), yang dianggap sebagai kepalsuan.

Kategori-kategori tersebut akhirnya ditetapkan menjadi empat istilah baku yaitu : (a) Homologoumena, daftar kitab yang diterima oleh hampir sebagian besar orang-orang (b) Antilegomena, buku yang diperdebatkan oleh beberapa orang (c)Pseudoepigrapha, daftar kitab yang oleh gereja dianggap tidak asli dan ditolak serta (d) Apocrypha, buku yang dianggap oleh beberapa orang sebagai kanonik dan semi kanonik[8]

Berkaitan dengan daftar kitab-kitab yang diistilahkan kelak dengan Perjanjian Baru yang meliputi Homologumena adalah daftar kitab yang telah diterima oleh Kekristenan yang terdaftar dalam kanon termasuk 27 Kitab Perjanjian Baru (dari Matius sampai Wahyu).

Yang dikategorikan Antilegomena ada tujuh kitab yang diperdebatkan baik dari segi keaslian penulisnya maupun isinya. Yang dikategorikan Antilegomena berada dalam daftar susunan Homologoumena al., Kitab Ibrani, Kitab Yakobus, 2 Petrus, 2 & 3 Yohanes, Yudas, Wahyu.

Yang dikategorikan sebagai Pseudoepigrapha al.,Injil Thomas (Awal Abad II Ms), Injil Ebionit (Abad II Ms), Injil Petrus(Abad II Ms), Proto Injil Yakobus (Akhir Abad II Ms), Injil orang-orang Ibrani (Abad II Ms), Injil orang-orang Mesir (Abad II Ms), Injil orang-orang Nazaren (Awal Abad II Ms), Injil Filipus (Abad II Ms), Kitab Thomas Sang Atlit, Injil menurut Mathias, Injil Yudas, Epistula Apostolorum (surat-surat rasuli), Apcryphon Yohanes, Injil Kebenaran.

Yang dikategorikan Apocrypha al., Surat Pseudo Barnabas (70-79 Ms), surat kepada orang-orang Korintus (96 Ms),Surat ke-2 Klement, Homili kuno (120-140 Ms), Gembala Hermas (115-140 Ms), Didache, Ajaran Rasul-rasul 12 (100-120 Ms), Wahyu Petrus (150 Ms), Kisah Paulus & Thecla (170 Ms), Surat kepada orang-orang Laodikea, Injil menurut orang-orang Ibrani (65-100 Ms), Surat Polikarpus kepada orang-orang Efesus (108 Ms), Tujuh surat-surat Ignatius (110 Ms).

Geisler menempatkan Didake dalam daftar Apokrifa. Namun tidak semua penulis Kristen sepakat dengan penempatan Kitab Didake dalam daftar Apokrifa Perjanjian Baru.

Dalam situs Early Christian Writing justru Kitab Didake tidak masuk dalam daftar Apokrifa. Berikut daftar Apokrifa menurutt Early Christian Writing:

  1. The Gospel of Thomas
  2. Oxyrhynchus 1224 Gospel
  3.  The Egerton Gospel
  4. The Gospel of Peter
  5.  Secret Mark
  6.  The Gospel of the Egyptians
  7. The Gospel of the Hebrews
  8.  The Apocalypse of Peter
  9.  The Secret Book of James
  10.  The Preaching of Peter
  11. The Gospel of the Ebionites
  12. The Gospel of the Nazoreans
  13. The Oxyrhynchus 840 Gospel
  14.  The Traditions of Matthias
  15. The Gospel of Mary
  16.  The Dialogue of the Savior
  17.  The Gospel of the Savior
  18.  The Epistula Apostolorum
  19. The Infancy Gospel of James
  20. The Infancy Gospel of Thomas
  21.  The Acts of Peter
  22.  The Acts of John
  23.  The Acts of Paul
  24.  The Acts of Andrew
  25.  The Acts of Peter and the Twelve
  26.  The Book of Thomas the Contender
  27.  The Acts of Thomas[9]
Gereja Orthodok memasukkan Kitab Didake dalam daftar kanonnya yang berjumlah 81 kitab[10]. Sementara Katolik, Orthodox, Protestan tidak memasukkan dalam daftar kanon namun menjadikan kitab tersebut sebagai sumber sejarah yang mengungkap kehidupan jemaat perdana.

Benarkah Kitab Didake Adalah Versi Surat Rasul-Rasul
Dalam Kisah Rasul 15:27?

Akhir-akhir ini munjul kelompok jemaat yang menamakan diri mereka dengan sejumlah nama al., Jemaat Yerusalem (Assembly of Jerusalem), Esseni Nasrani dll. Mereka mengklaim sebagai Bunda Gereja yang merupakan jemaat yang dipimpin oleh garis keturunan kerabat Yesus yang disebut Shemishqo atau Desposyni. 

Mereka mendasarkan Kitab Suci mereka pada Peshitta Aramaik dan sejumlah kitab lainnya seperti Sefer Av Kadmonim, Sefer Shakanyah, Injil Thomas dll. Mereka menyalahkan kepemimpinan Gereja Katolik dan Ortodox sebagai bentuk kemurtadan Gereja terhadap Bunda Gereja yaitu Jemaat Yerusalem. Berikut pernyataan Rabbi (Sh’masha) Hotman Lumbantoruan selalu salah satu dari orang yang ditahbiskan oleh Jemaat Yerusalem di Indonesia sbb: “Keliru besar Gereja Kristen yang mendasarkan kepemimpinan pada Shimon Keipha, saudara Keipha dan anaknya Keipha sebagai Ketua dan Wakil Tuhan seperti Roma Katolik, Gereja Ortodoks Antiokhia, Konstantinople dan Koptik. Shimon Keipha BUKAN Kohen (Imam), tetapi hanya “Uskup” yang masuk kelompok Penatalayanan (Servanthood) yang merupakan perpanjangan dari Keimamatan ( Kehunnah /Kohaneim – Priesthood)”[11]

PENYALIBAN YESUS DIMATA KAUM AHMADIYAH

Posted by Teguh Hindarto



Siapakah yang dimaksudkan dengan Ahmadiyah itu?[1] 

Ahmadiyah adalah gerakan reformis Islam yang didirikan di British India menjelang akhir abad ke-19, yang berasal dengan kehidupan dan ajaran (1835-1908), yang mengklaim sebagai nabi dan telah memenuhi nubuat sebagai pembaharu dunia akhir zaman, yang akan memberitakan mengenai akhir zaman tersebut seperti yang diperkirakan dalam tradisi agama-agama dunia dan mengadakan berbagai kemenangan akhir Islam sesuai nubuatan Islam.

Mirza Ghulam Ahmad mengklaim bahwa dia adalah mujaddid (pembaharu ilahi) Islam ke-14, Mesias yang dijanjikan dan Mahdi yang dinantikan oleh umat Islam. Para pengikut gerakan Ahmadiyah disebut sebagai Ahmadiyah atau Ahmadi Muslim. Ahmadi penekanan  pada keyakinan bahwa Islam adalah dispensasi akhir untuk kemanusiaan sebagaimana diturunkan kepada Muhammad dan perlunya memulihkan untuk itu esensi sejati dan bentuk murni, yang telah hilang selama berabad-abad. Dengan demikian, Ahmadi melihat diri mereka sebagai yang memimpin kembali dan melakukan propagasi damai Islam. Kaum Ahmadiyah telah ada di antara komunitas Muslim paling awal yang tiba di Inggris dan negara-negara Barat lainnya.

Mirza Ghulam Ahmad mendirikan gerakan ini pada tanggal 23 Maret 1889 dan menyebutnya Jama'at Muslim Ahmadiyah serta menganggap itu sebagai revitalisasi Islam. Ahmadiyah menganggap diri Muslim dan mengklaim menerapkan Islam dalam bentuk yang murni, namun, pandangan Ahmadiyah tentang keyakinan tertentu dalam Islam telah menjadi kontroversi bagi Muslim tradisional sejak lahirnya gerakan itu. Muslim tradisional tidak menganggap Ahmadiyah sebagai muslim, dengan mengutip khususnya sudut pandang Ahmadiyah tentang kematian dan kembalinya Yesus, konsep Ahmadiyah Jihad dalam format damai dan pandangan masyarakat tentang finalitas kenabian dengan khususnya mengacu pada interpretasi Quran 33:40.

Di negara-negara Islam Ahmadiyah beberapa hari ini telah terpinggirkan oleh masyarakat mayoritas beragama; mengalami penganiayaan berat. Berbagai penindasan sistematis telah menyebabkan Ahmadiyah banyak yang pindah dan menetap di tempat lain.

Perbedaan Diantara Jemaat Ahmadiyah[2] 

Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah "Ahmadiyya Muslim Jama'at" (atau Ahmadiyah Qadian). Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).

Kelompok kedua ialah "Ahmadiyya Anjuman Isha'at-e-Islam Lahore" (atau Ahmadiyah Lahore). Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35.

Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam. 

Perbedaan Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore[3]

Terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:

Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru.

Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah Qadian sebagai berikut:

1.     Mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad, laki-laki kelahiran India yang mengaku menjadi nabi, adalah nabinya.
2.     Mengimani dan meyakini bahwa "Tadzkirah" yang merupakan kumpulan sajak buatan Mirza Ghulam Ahmad adalah kitab sucinya. Mereka menganggap bahwa wahyu adalah yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad.
3.     Mengimani dan meyakini bahwa kitab "Tadzkirah" derajatnya sama dengan Alquran.
4.     Mengimani dan meyakini bahwa wahyu dan kenabian tidak terputus dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. Mereka beranggapan bahwa risalah kenabian terus berlanjut sampai hari kiamat.
5.     Mengimani dan meyakini bahwa Rabwah dan Qadian di India adalah tempat suci sebagaimana Mekah dan Madinah.
6.     Mengimani dan meyakini bahwa surga berada di Qadian dan Rabwah. Mereka menganggap bahwa keduanya sebagai tempat turunnya wahyu.
7.     Wanita Ahmadiyah haram menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, namun laki-laki Ahmadiyah boleh menikah dengan wanita di luar Ahmadiyah.
8.     Haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar Ahmadiyah.

Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam .

Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:

1.     Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al Quran dan Hadits, dan percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir.
2.     Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.
3.     Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
4.     Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat.
5.     Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar.
6.     Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
7.     Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadits, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid.
8.     Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.
9.     Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir.
10. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.

Dogma Kashrush Salib

Kaum Ahmadiyah gencar dalam melakukan serangan dan dakwaan yang membantah historitas dan makna soteriologis peristiwa salib. Berbagai kajian dipublikasikan untuk meruntuhkan doktrin dan fakta peristiwa penyaliban Yesus. Dogma mereka dinamakan “Kashrush Salib” dengan merujuk bunyi Hadits sbb: “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya hampir turun kepadamu Ibnu Maryam menjadi hakim yang adil, maka ia akan memecahkan salib (yaksirush-shalib) …” (H.r. Bukhari) 

Kata yaksirush-shalib menurut Mulla Ali Al-Qari (1041 H/1606 M) artinya adalah membatalkan  kepercayaan  Kristen   (Al-Mirqah, jilid V, hlm. 221). Sedang Ibnu Hajar Al-Asqalani,  Mujaddid abad VIIIH menerangkan bahwa ”yaksirush-shalib artinya mematahkan kepercayaan Kristen” (Fathul-Barri, jilid VI, hlm. 356). Kitab Biharul-Anwar menerangkan, bahwa yaksirush-shalib adalah  menolak  dengan bukti-bukti  yang nyata akan kepercayaan Kristen dan memecahkan kepercayaannya. Jadi yaksirush-shalib adalah membatalkan dan mematahkan atau menolak kepercayaan Kristen dengan bukti-bukti yang nyata atau dalil-dalil yang kuat. Kepercayaan pokok Gereja Kristen adalah ketuhanan Yesus Kristus (5:17,72; lih 1 Kor 12:3), sebagai bukti ketuhananya mati disalib lalu bangkit dari kubur, kemudian naik ke langit nanti pada akhir zaman turun ke  dunia  menjadi hakim yang adil. Jika bantahan Qur’an Suci 4:157 tentang tidak matinya Isa Almasih di tiang salib diungkapkan, simbol salib yang memenuhi bumi dipecah dan dipatahkan, sebab simbol salib  merupakan manifestasi kepercayaan Yesus mati disalib, padahal sejatinya hanya serupamati saja di tiang salib. Maka dari itu kebangkitan  pada  hari ketiga hal  yang wajar, bukan bangkit dari maut, sebab  menurut Kitab Suci orang yang telah mati tak akan  kembali  hidup di dunia, sebagaimana diajarkan oleh Ayub  (Ayub 7: 7-10), Daud (2 Sam 12:19-23) kemudian diperkuat oleh Nabi Suci Muhammad saw (21:95; 36:31)[4].

Ali Yasir, dalam bukunya, Mengungkap Misteri Penyaliban Yesus, menyatakan bahwa Isa memang disalibkan namun tidak mati melainkan nampaknya saja. Kelihatannya Isa mengalami kematian[5].

KEMATIAN YANG MENGHIDUPKAN

Posted by Teguh Hindarto



Pernyataan, “kematian yang menghidupkan” mengesankan kontradiksi. Betapa tidak? Bukankah kematian identik dengan ketidakberdayaan selamanya? Bagaimana mungkin kematian dan ketidakberdayaan dapat menghidupkan?

Inilah yang telah dikerjakan Yesus Sang Mesias, bahwa kematiannya bukan sebuah kekalahan dan kesia-siaan. Kematian Yesus Sang Mesias di kayu salib memiliki makna soteriologis yang mendalam. Dengan kata lain memiliki makna keselamatan.

Kita akan mengkaji makna kematian Yesus Sang Mesias melalui pembacaan Kitab Ibrani Pasal 8-10. Namun kita akan terlebih dahulu mengkaji mengenai kepenulisan Kitab Ibrani.

Penulis Kitab Ibrani

Banyak teolog Kristen meragukan kepenulisan rasul Paul sebagai penulis Kitab Ibrani, mengingat struktur bahasa, isi pembahasan dan bahasa Yunani yang lebih baik susunannya. Namun jika kita membaca kesaksian Bapa Gereja (Church Fathers) salah satunya bernama Klement dari Alexandria (200 Ms) yang dikutip oleh sejarawan Eusebeius dalam karyanya Historiae Eclesiastica - History of the Church, beliau mengatakan sbb: “That the letter is Paul’s and that is written to Hebrews in the Hebrew language and translated (into Greek) by Luke[1] (surat ini buatan Paul dan ditulis dalam bahasa Ibrani kepada orang-orang Ibrani dan diterjemahkan oleh Lukas). Sementara Bapa Gereja Origenes (280 Ms) menyatakan agak berbeda demikian, “The thought are those of the emmisary, but the language and composition that of one who recalled from memory and as it were, made notes of what was said by his master[2] (pemikirannya merupakan pemikiran rasuli namun susunan bahasa dan komposisi merupakan hasil dari mereka yang menyimpan kenangan rasuli dan membuat catatan dari apa yang pernah diucapkan gurunya). Jika Klement dengan tanpa keraguan menyatakan rasul Paul penulisnya, maka Origenes menyangsikan kepengarangan rasul Paul melainkan salah satu murid rasul Paul yang menerjemahkan pemahaman rasul Paul.

Premis Dasar Kitab Ibrani

Jika kita mebaca Kitab Ibrani secara keseluruhan nampaklah pada kita sebuah benang merah dimana seluruh sistem hukum korban umat Israel yang berpusat pada peranan Imam Besar (kohen ha gadol) sebagaimana diamarkan dalam Torah, merupakan sebuah  bayangan dari karya mesianis yang dikerjakan oleh Yesus. Fokus karya Yesus sebagai penggenapan bayangan dalam Torah dapat kita simak dalam Ibrani 8,9,10. Ibrani 8 berbicara mengenai kedudukan Yesus sebagai Imam Besar Perjanjian Baru. Ibrani 9 berbicara mengenai kedudukan Yesus sebagai Pengantara Perjanjian Baru. Ibrani 10 berbicara mengenai pengorbanan darah Yesus sebagai wujud sejati hukum korban dalam Torah.

Ibrani 8:1-2 dimulai dengan pernyataan, “Inti segala yang kita bicarakan itu ialah: kita mempunyai Imam Besar yang demikian, yang duduk di sebelah kanan takhta Yang Mahabesar di sorga, dan yang melayani ibadah di tempat kudus, yaitu di dalam kemah sejati, yang didirikan oleh Tuhan dan bukan oleh manusia”. Imam Besar berdasarkan peraturan Torah bertugas mempersembahkan korban umat Israel setiap tahunnya dalam perayaan Yom Kipur sebagai korban penebusan atas berbagai pelanggaran umat Israel selama satu tahun. Yesus Sang Mesias adalah Imam Besar yang melakukan karya keimamatan yang lebih besar daripada Imam Besar dalam Torah. Mengapa? Jawabannya ada dalam Ibrani 9:11-12 yang mengatakan demikian, “Tetapi Mesias telah datang sebagai Imam Besar untuk hal-hal yang baik yang akan datang: Ia telah melintasi kemah yang lebih besar dan yang lebih sempurna, yang bukan dibuat oleh tangan manusia, -- artinya yang tidak termasuk ciptaan ini, -- dan Ia telah masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri. Dan dengan itu Ia telah mendapat kelepasan yang kekal”. Yesus datang sebagai Imam Besar “untuk hal-hal yang baik yang akan datang” yaitu “Dia telah masuk sekali dan untuk selamanya ke dalam tempat kudus YHWH dengan membawa darahnya sendiri”. Apa artinya? Yesus mengorbankan dirinya sendiri sebagaimana ditegaskan kembali dalam Ibrani 9:27-28, “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi, demikian pula Mesias hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia”.

Oleh karenanya Yesus dikatakan sebagai “Pengantara dari suatu perjanjian yang baru” (Yun: diathekes kaines mesites estin, Arm: metsa’ya de’diyatiqiya khadata, Ibr: melits hu laberit hakhadasha, Ing: mediator of new covenant) (Ibr 9:15).

Berbagai hukum korban dalam Torah memang tidak sempurna karena mereka tidak dapat menghapuskan dosa yang sesungguhnya sebagaimana dikatakan Ibrani 10:2-4 sbb: “Sebab jika hal itu mungkin, pasti orang tidak mempersembahkan korban lagi, sebab mereka yang melakukan ibadah itu tidak sadar lagi akan dosa setelah disucikan sekali untuk selama-lamanya. Tetapi justru oleh korban-korban itu setiap tahun orang diperingatkan akan adanya dosa. Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa”.

Berbeda dengan korban-korban hewan dalam Torah yang dipersembahkan setiap tahun khususnya saat perayaan Yom Kippur maka persembahan sejati dan sekali untuk selamanya telah dilakukan dengan sempurna oleh Sang Mesias sekali dan untuk selamanya. Perubahan dari berulang kali dan setiap tahun dikontraskan dengan sekali dan untuk selamanya menyiratkan kesempurnaan dan keunggulan Sang Mesias dalam menghapus dosa manusia sebagaimana dikatakan dalam ayat 10-12 dan 14 sbb: “Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Sang Mesias. Selanjutnya setiap imam melakukan tiap-tiap hari pelayanannya dan berulang-ulang mempersembahkan korban yang sama, yang sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa. Tetapi Ia, setelah mempersembahkan hanya satu korban saja karena dosa, Ia duduk untuk selama-lamanya di sebelah kanan Tuhan...Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan”.

Meluruskan Kesalahpahaman Arti Kematian Yesus
Terhadap Kedudukan Torah

Apakah dengan demikian kematian Yesus Sang Mesias telah membatalkan fungsi dan kedudukan Torah? Tidak! Yesus Sang Mesias berkata dalam Matius 5:17 sbb: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan Torah atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya”.

Kematian Yesus dan kebangkitan-Nya telah membuat hukum korban kehilangan relavansinya sehingga baik umat Yahudi maupun non Yahudi yang sudah menerima Yesus sebagai Mesias tidak lagi memerlukan hukum korban hewan sebagaimana dikatakan dalam Ibrani 10:18 sbb: “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Kehilangan relevansi bukan berarti dibatalkan. Dibatalkan bermakna digugurkan. Jika demikian maka memberikan gambaran seolah Tuhan berubah-ubah pikiran. Jika Tuhan berubah-ubah pikiran maka Tuhan adalah Tuhan yang peragu. Dan itu mustahil ada pada diri Tuhan.

Jika kematian Yesus tidak membatalkan Torah, lalu mengapa dalam Ibrani 7:18-19 dikatakan,”Sebab, jikalau imamat berubah, dengan sendirinya akan berubah pula hukum Taurat itu? demikian pula dalam Ibrani 8:13 dikatakan, “Oleh karena Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya?”

Mengenai Ibrani 7:18-19 bukan berbicara mengenai pembatalan Torah tetapi perubahan sistem keimamatan paska kedatangan Yesus dan penghancuran Bait Suci di Yerusalem tahun 70 Ms. Kata Yunani Athetesis (pembatalan)  merupakan penekanan ulang pada apa yang dinyatakan pada ayat 12 tentang nomou Methatesis (perubahan Torah). Perubahan yang dimaksudkan bukan Torah itu sendiri melainkan sistem keimamatan dari Imamat Lewi yang ditandai dengan korban hewan, menjadi Imamat Melkitsedeq yang ditandai dengan persembahan rohani.

Mengenai Ibrani 8:13, ayat ini pun menegaskan mengenai perubahan sistem keimamatan Lewi kepada sistem keimamatan Melkitsedek. DR. David Stern menjelaskan:  Konteks perikop hendak menunjukkan bahwa penulis Ibrani berbicara mengenai sistem keimamatan dan korban, bukan mengenai aspek lain. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah ambang kemusnahan sistem keimamatan yang lama dan bukan Perjanjian Lama[3]

Makna Kematian Yesus

Kematian Yesus di kayu salib berdasarkan perspektif Kitab Ibrani memiliki makna soteriologis sbb (yang berhubungan dengan keselamatan manusia): Pertama, Yesus telah menggantikan fungsi korban dalam Torah menjadikan dirinya sendiri sebagai korban bagi Tuhan Yahweh untuk selama-lama-Nya. Kematian-Nya telah menghapuskan dosa manusia yang berujung pada kematian kekal.

EKSISTENSI DAN HISTORITAS KEBANGKITAN YESUS DARI KEMATIAN

Posted by Teguh Hindarto


Tanggapan Terhadap DR. Ioanes Rahmat

Ioanes Rakhmat dalam artikelnya berjudul Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus yang dimuat KOMPAS  pada 5 April 2007 berusaha mengekspos dan memberikan relavansi teologis terhadap penemuan yang di duga merupakan makam Yesus di Talpiot (sebelah selatan Kota Lama Yerusalem) Temuan dan komentar-komentar berkaitan dengan temuan ini semakin meramaiakan kegandrungan orang pada hal-hal yang sensasional yang yang berkaitan dengan historitas Yesus. Sebelumnya telah beredar buku-buku provokatif dan sensasional seperti “The Da Vinci Code” dan “The Gospel of Judas”.

Dari beberapa artikel yang ditulis Ioanes Rakhmat, ada tiga pemikiran dasar yang dapat disimpulkan.

Pertama, Kebangkitan Yesus dari kematian adalah metafor belaka dan bukan realita yang sebenarnya, sebagaimana di katakan, “Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi, maka kebangkian dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah obyektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis PB (Perjanjian Baru, red) sendiri pasti memahami keduannya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi”[1]

Kedua, bahasa penulisan Kitab Suci adalah bahasa iman dan bukan bahasa ilmiah historis, sebagaimana tersirat dari pernyataan, “Yang ditemukan dalam Alkitab bukanlah mukjizat-mukjizat tetapi kisah-kisah tentang mukjizat…kisa-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah dengan mengajukan antara lain pertanyaan berikut: dalam konteks sosial kultural historis dan religius apa kisah itu ditulis; faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah itu; untuk kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah pararel yang dapat ditemukan dlam dunia Greko Romawi; apa tujuan penulisan kisah tentang mukjizat dalam konteks luas dunia Greko-Romawi;….”[2]

Ketiga, dukungan positip terhadap penelitian penemuan makam Talpiot sebagaimana dia nyatakan, “Usaha membuktikan makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth sama sekali bukanlah usaha demirakulisasi, melainkan usaha bidang kajian prosopographis untuk menemukan kecocokkan sejarah antara bukti material arkeologis dan keterangan-keterangan di dalam teks-teks kuno;…jangan mereka dikecam atas nama teologi Kristen apapun [3]

Pemikiran bahwa kebangkitan Yesus dari kematian adalah metafor, sebenarnya bukan konsekwensi logis dari hasil temuan makam Talpiot, yang apabila di kemudian hari ternyata terbukti benar sebagai makam keluarga Yesus, sebagaimana dugaan Ioanes Rakhmat. Jauh sebelumnya, cara berpikir yang menyatakan bahwa kebangkitan adalah metafor belaka, merupakan kerangka berpikir sarjana Liberal yang tidak memberi ruang bagi aspek metefisik dalam melakukan pendekatan terhadap teks-teks Kitab Suci. Jauh-jauh hari,penggagas “Teori Demythologisasi”, yaitu Rudolph Bultman pernah menyatakan pemikirannya mengenai hakikat kebangkitan sbb, “Namun bagaimana dengan kebangkitan Mesias? Bukankah ini sepenuhnya mitos? Dalam beberapa kasus, kebangkitan bukanlah peristiwa historis yang harus dimengerti secara demikian. Dapatkah berbicara mengenai kebangkitan Mesias dengan sesuatu yang selain hanya merupakan ekspresi rangkaian dari peristiwa salib?

Dapatkah mengatakan sesuatu selain Yesus mati dikayu salib, bukan sebagai kematian manusia belaka namun sebagai penghakiman Tuhan yang membebaskan dunia, penghakiman sebagaimana perampok yang kehilangan kekuatannya? Tidakkah lebih tepat kebenaran ini diekspresikan dengan pernyataan bahwa seseorang yang disalibkan tidak mati melainkan telah bangkit? Kenyataannya, salib dan kebangkitan adalah satu kesatuan seperti peristiwa kosmis, sebagaimana digambarkan oleh Rasul Paul, “Yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita” (Rm 4:25)… Salib dan kebangkitan adalah suatu kesatuan dalam mana secara bersamaan mereka adalah satu peristiwa kosmis melalui mana dunia dihakimi dan kemungkinan kehidupan yang sejati diciptakan. Namun demikian kebangkitan tidak dapat dipandang sebagai muzizat yang sebenarnya yang mana seseorang merasa aman sehingga meyakinkan orang yang meragukan bahwa salib sesungguhnya adalah memiliki peristiwa kosmis eskatologis…Tentu saja tidak ditolak bahwa kebangkitan Yesus terkadang dipandang oleh Perjanjian Baru sebagai muzizat yang sebenarnya…namun tidak diragukan bahwa perumusan kemudian dari Paul tetap  tidak dapat diketahui…Para saksi yang dianggap menjadi saksi bagi Injil Pau, bukanlah fakta mengenai kebangkitan “[4]

Dari kutipan di atas, sangat tidak dapat disangkal bahwa proses berpikir Ioanes Rakhmat berangkat dari pendekatan liberal yang menampik aspek metafisik sebagai bagian dari sejarah penulisan dalam Kitab Suci.

Persoalannya adalah, sejauh manakah validitas pernyataan Ioanes Rakhmat yang mengusung teolog-teolog liberal terdahulu yang menyatakan bahwa kebangkitan adalah metafora? Untuk menjawab hal ini, tentu saja sangat bergantung pada metodologi kita dalam menafsirkan teks-teks dalam Kitab Suci. Rasul Paul mengatakan dalam 1 Korintus 15: 3-8 sbb, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Mesias telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefa dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya”.

Dari kutipan ayat di atas kita mendapati empat kata penting, dalam teks Greek, yaitu apethanen (telah mati), etaphe (telah dikuburkan), egegertai (telah bangkit) dan kata oupthe (menampakkan diri) sebanyak dua kali. Jika kata apethanen (telah mati), etaphe  (telah dikuburkan) serta oupthe (menampakkan diri) bersifat riil, lalu apa alasannya mengatakan bahwa kataegegertai [telah bangkit] harus dimaknai sebagai metafor?

Penolakkan fakta bahwa kebangkitan dari kematian adalah realitas historis, lebih didorong oleh sisa-sisa pemikiran teolog liberal Abad XIX yang menolak bahwa fenomena metafisik sebagai hal empirik. Meminjam istilah Deshi Ramadhani, demirakulisasi [5]

Yang menarik pada kasus Lazarus yang mati kemudian dibangkitkan dari kematian oleh  Yesus, justru Yesus menggunakan bahasa metafor yang kemudian diberi penjelasan oleh penulis Injil Yohanes. Hal ini nampak dari pernyataan dalam Yohanes 11:11 dan 13 sbb, “Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu Ia berkata kepada mereka: "Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya….Tetapi  maksud Yesus ialah tertidur dalam arti mati, sedangkan sangka mereka Yesus berkata tentang tertidur dalam arti biasa. Namun ketika Dia membangkitkan Lazarus dari kematian, Dia benar-benar membangkitkan Lazarus dari kematian”

Tidak ada komentar dari penulis Kitab Yohanes bahwa kebangkitan yang dialami Lazarus adalah metafor. Dengan penjelasan di atas, kita mendapati kenyataan bahwa penulis Kitab  Injil dapat membedakan mana ungkapan yang metafor dan mana yang literal.