RSS Feed

CRACKING MISQUOTING JESUS (6)

Posted by Teguh Hindarto



Tanggapan Atas Pemikiran Bart Ehrman

Mengenai Validitas dan Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru

Mempersoalkan Pemutlakan Manuskrip Rujukan Ehrman

Dalam membangun teorinya Ehrman melandaskan pada rujukan manuskrip yang dianggap terbaik dibandingkan manuskrip-manuskrip yang ada. Dan manuskrip itu adalah Kodeks Sinaitikus dan Kodeks Vatikanus. Dalam Bab IV bukunya, Ehrman memaparkan tokoh-tokoh sebelum dirinya yang concern untuk menemukan mana saja dari daftar manuskrip yang tersedia yang mewakili naskah asli Kitab Perjanjian Baru. Ehrman merujuk pada sejumlah nama tokoh pada Abad XVII al., John Mill, Richard Simon, Richard Bentley, Johan Albrecht Bengel, Johann J. Wettstein, Karl Lachman, Lobegott Friedrich Constantine von Tischendorf , Brooke Foss Westscoot dan Fenton John Anthony Hort. Nama kedua tokoh yang terakhir ini sangat berpengaruh dalam tradisi proses penyalinan Kitab Perjanjian Baru. Karya mereka yang diterbitkan pada Tahun 1881 yaitu The New Testament in The Original Greek. Bart Ehrman sendiri memberikan komentar untuk nama tokoh terakhir sbb: “...para pengritik naskah zaman sekarang paling berutang budi atas pengembangan metode analisis yang membantu kita meneliti tradisi penyalinan manuskrip Perjanjian Baru”[1]. Bahkan Ehrman tidak meluluskan siswanya jika tidak menguasai karya Westscoot dan Hort sebagaimana dia katakan, “Buku ini adalah buku yang sangat bagus, yang dalam banyak segi merupakan yang terbaik di bidangnya. Saya tidak membiarkan mahasiswa saya lulus tanp menguasai buku itu terlebih dahulu”[2]

Dengan mengikuti metodologi tokoh-tokoh di atas yang berusaha mengelompokkan salinan Kitab Suci dan manuskrip-manuskrip kuno yang tersedia menjadi sebuah susunan kelompok “keluarga”. Maksudnya, jika dari aneka ragam manuskrip tersebut ada kesamaan bahasa dan struktur kata maka dapat diduga diturunkan atau disalin dari sumber yang sama. Ehrman merujuk metode Westscoot dan Hort yang mengelompokkan manuskrip yang ada menjadi empat keluarga sbb: (1) Naskah Syria (yang oleh para ahli disebut naskah Byzantium) dan disusun pada Abad Pertengahan. Jumlahnya banyak namun kata-katanya tidak mendekati naskah asli; (2) Naskah Barat, diduga naskah dari Abad Awal, namun diangap bentuk penyalinannya tidak bermutu karena tidak dikerjakan oleh penyalin profesional; (3) Naskah Alexandria, salinannya lebih rapi dan profesional dan ada perubahan dari kata-kata aslinya agar lebih mudah dipahami pembaca; (4)Naskah Netral, yang diangap tidak mengalami pengubahan atau revisi dari naskah aslinya.

Naskah Netral yang dirujuk oleh Westscoot dan Hort adalah Kodeks Sinaituk dan Vatikanus. Ehrman memberikan penilaian mengenai kedua kodeks tersebut sbb: “Dua manuskrip Naskah Netral yang paling terkemuka, menurut Westscoot dan Hort adalah Kodeks Sinaiticus (yang ditemukan oleh Tischendorf) dan terlebih lagi, Kodeks Vatikanus, yang ditemukan di perpustakaan Vatikan. Kedua manuskrip itu adalah yang tertua yang dimiliki oleh Westscoot dan Hort, dan menurut penilaian mereka, kedua manuskrip itu jauh lebih unggul daripada manuskrip lain mana pun, karena keduanya merupakan Naskah Netral”[3]

Dan selanjutnya pada Bab V bukunya, kedua kodeks yang berasal dari Abad IV ini mendominasi kajian kritis Ehrman untuk membuktikan bahwa manuskrip ini memuat teks Perjanjian Baru yang paling awal karena berbeda dengan naskah-naskah Perjanjian Baru yang banyak beredar dan diterjemahkan dalam banyak bahasa.

Sebelum kita mendeskripsikan bukti-bukti yang disajikan Ehrman dalam Bab V dengan mengutip beberapa kajian kritik teks sejumlah ayat Kitab Perjanjian Baru, mari kita lihat terlebih dahulu pemahaman Ehrman mengenai status manuskrip di luar Kodeks Sinaiticus dan Kodeks Vatikanus yaitu naskah Textus Receptus yang menjadi cikal bakal sumber penerjemahan Kitab versi King James Version yang kemudian menjadi cikal bakal berbagai penerjemahan bersumber King James Version.

Istilah Textus Receptus semula dipergunakan oleh Elzevirs pada Tahun 1633 atas penerbitan Kitab Suci bahasa Yunani yang dia lakukan. Dalam kata pendahuluan yang ditulis oleh Daniel Heinsus disebutkan, “Textum ergo habes, nunc ab omnibus receptum” (sehingga –para pembaca- sekarang memiliki teks yang dapat diterima oleh semua). Ketika Desidarius Erasmus menerbitkan Kitab Suci Latin dari manuskrip Yunani pada Tahun 1516, terjemahan tersebut pun dinamai denganTextus Receptus. Dan kelak hasil karya Erasmus ini pun menjadi rujukan penerjemahan Kitab King James Version pada Tahun 1611 untuk menghormati Raja James I.

Dalam Bab III buku Ehrman kita mengetahui bahwa sejak Johanes Gutenberg (1400-1468) menemukan mesin cetak, maka salinan Kitab Suci mulai dicetak. Karya cetak pertama adalah Vulgata (edisi bahasa Latin). Kemudian disusul naskah Perjanjian Baru dalam bentuk polyglot (bersisian dalam 3 bahasa: Ibrani, Latin, Yunani) yang dikerjakan Kardinal Ximenes de Cisneros (1437-1517) dengan merekrut Diego Lopez de Zuniga (Stunica) dan diresmikan namanya dengan sebutanPoliglot Complutum. Edisi Kitab Suci ini dicetak Tahun 1514 namun baru diterbitkan Tahun 1522 karena menunggu persetujuan Paus Leo X.

Namun sebelum edisi Poliglot Complutum diterbitkan Tahun 1522, Desiderius Erasmus telah menerbitkan edisi Kitab Suci pada Tahun 1515. Menurut Ehrman rujukan manuskrip yang menjadi dasar bagi Erasmus menyusun Kitab Suci terjemahan Latinnya berasal dari manuskrip Abad Pertengahan yang meliputi naskah Abad XII untuk Injil dan Kisah Rasul serta Surat Rasuli dan naskah milik Johanesse Reuchlin untuk Kitab Wahyu dimana ada enam ayat terakhir dalam Kitab Wahyu yang hilang dari naskah pinjaman tersebut.

Setelah edisi yang dibuat Erasmus bermunculan edisi-edisi berikutnya dari Stephanus, Theodore Beza, Bonaventure serta Abraham Elzevir yang melandaskan pada naskah Erasmus dimana Erasmus pun melandaskan pada naskah Abad Pertengahan yang kurang bagus.

Bagaimana pandangan Ehrman terkait dengan Kitab Textus Receptus yang dihubungkan dengan karya Erasmus dan penerjemah berikutnya hingga terbitnya King James Version? Ehrman memberikan penilaian sbb: “Tetapi yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa semua edisi susulan itu-termasuk edisi-edisi Stephanus-pada akhirnya berpulang kepada editio princeps (edisi yang pertama kali diterbitkan,pen) milik Erasmus, yang didasarkan atas manuskrip-manuskrip bahasa Yunani yang sudah jauh dari aslinya dan tidak begitu bisa diandalkan-yang kebetulan ia temukan di Basel dan yang ia pinjam dari Reuchlin, temannya.  Tidak ada alasan untuk menduga bahwa manuskrip-manuskrip itu bermutu tinggi. Manuskrip-manuskrip itu cuma kebetulan ia temukan. Maka jelaslah bahwa manuskrip-manuskrip itu tidak bermutu tinggi: waktu pembuatannya saja sudah berbeda sekitar seribu seratus tahun dari aslinya!”[4] Dan pada halaman yang sama Ehrman menyitir kisah dan ayat yang ada dalam naskah Erasmus namun tidak tertulis dalam naskah yang diyakini Ehrman sebagai naskah tertua yaitu kisah perempuan yang kedapatan berzinah (Yoh 7:53-8:11) lalu teks Markus 16:9-20 serta 1 Yohanes 5:7-8.

Kembali kepada Bab V buku Ehrman. Ayat-ayat yang dipersoalkan dan diperbandingkan dengan Kodeks Sinaiticus dan Vatikanus sbb, Markus 1:41, Lukas 22:43-44, Ibrani 2:8-9. Dalam kasus Markus 1:41, Ehrman mempersoalkan frasa “Dan Dia (Yesus) merasa kasihan” (Yun: Splangnistheis) atau “Dan Dia (Yesus) menjadi marah” (Yun: Orgistheis). Dengan merujuk pada Kodeks Bezae, Ehrman lebih memilih bahwa frasa aslinya adalah “Dan Dia menjadi marah”[5]. Dalam kasus Lukas 22:43-44, Ehrman meragukan isi kalimat yang menggambarkan penderitaan Yesus dengan mengeluarkan keringat darah padahal seluruh gambaran Lukas dalam seluruh pasal tersebut menggambarkan Yesus yang tenang. Mengapa tiba-tiba ada kalimat yang berbeda dalam ayat 43-44 yang berbeda dengan konteks keseluruhan perikop. Kecurigaan Ehrman didukung dengan manuskrip yang lebih tua yang tidak menuliskan dua ayat tersebut sebagaimana dia katakan, “Satu-satunya pengecualian adalah kisah tentang ‘keringat darah’ Yesus, suatu kisah yang tidak ada di manuskrip-manuskrip tertua dan terbaik”[6]. Mengenai Ibrani 2:8-9, Ehrman meragukan otentisitas frasa, “dengan kebaikkan hati Tuhan” (Yun: Charity Theou) dalam bagian ayat yang mengatakan,”Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia (Tuhan) Ia mengalami maut bagi semua manusia”. Dengan merujuk dua manuskrip lain yang berbeda yang mengatakan, “dengan terpisah dari Tuhan” (Yun: Choris Theou), Ehrman memiliki frasa ini yang diklaim lebih asli. Dan Ehrman pun berusaha membuktikan dengan manuskrip yang tersedia pada Abad X yang menuliskan hal sama dan pernyataan-pernyataan Origen, Ambrose dan Yerome[7].

Bagaimana menanggapi pernyataan Ehrman perihal manuskrip tertua yaitu Vatikanus dan Sinaitikus yang isinya lebih valid karena dibuat dari Abad 3 Ms dan 4 Ms dibandingkan Textus Receptus atau Received Text yang menjadi rujukan terjemahan King James Version?
Ada tiga kelompok yang berbeda pandangan dalam menilai keberadaan istilah-istilah tersebut di atas. Kita akan mengkaji pikiran-pikiran pokok mereka sebelum kita memberikan kesimpulan dan penilaian.

Superioritas Naskah Textus Receptus dan Byzantin

Serta Menolak Naskah Alexandria

Kelompok Pertama menyatakan bahwa naskah Textus Receptus sama dengan Majority Text (naskah mayoritas) dan dekat dengan naskah asli Perjanjian Baru. Naskah Textus Receptus yang dihasilkan bersumber dari naskah Byzantium yang terpelihara dan lebih lengkap isinya. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini menolak validitas Kodek Sinaitikus dan Vatikanus sebagai naskah yang tidak lengkap dan produk bidah karena isinya banyak yang hilang dan tidak sesuai dengan Kodek Byzantin.

Alasan utama yang dipergunakan untuk mendukung keberadaan dan validitas naskah Textus Receptus yang didasarkan pada naskah Byzantin yang kelak disebut dengan Majority Text adalah sbb:

Pertama, keberadaan Peshitta yaitu naskah Perjanjian Baru bahasa Aramaik yang yang yakini sebagai naskah Perjanjian Baru yang mula-mula dan dipergunakan oleh Gereja Ortodox Timur. Naskah Peshitta kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani yang terpelihara dalam naskah Byzantin yang kemudian kelak menjadi sumber naskah Textus Receptus yang menjadi acuan penerjemahan dalam bahasa Inggris King James Version.

Burgon dan Miller dalam bukunya The Traditional Text of the Holy Gospels menuliskan, “"The Peshitto in our days is found in use amongst the Nestorians, who have always kept it, by the Monophysites on the plains of Syria, the Christians of St. Thomas in Malabar, and by the Maronites, on the mountain terraces of Lebanon”[8] (Peshitto di zaman kita ditemukan diantara orang-orang Nestorian yang memelihara dengan setia, oleh kaum Monophisit di atas pegunungan Syria, oleh para pengikut Santo Thomas di Malabar serta kaum Moronit di lereng pegunungan Lebanon).

Mengenai keberadaan Peshitta, Mar Eshai Shimun dari Gereja Orthodox memberikan komentar sbb: “We wish to state, that the Church of East received the Scripture from the Hand of the Blessed Apostles themselves in the Aramaic Original, the languange spoken by our Lord Jesus Christ Himself, and that the Peshitta is the Text of the Church of the East which has come down from the Biblical times without any change of revisions”[9] (Kami hendak menyatakan bahwa Gereja Timur menerima Kitab Suci dari tangan para rasul yang diberkati dalam bahasa Aramaik yang asli yaitu bahasa Junjungan Agung kita Yesus Sang Mesias dan Peshitta adalah naskah Gereja Timur yang telah diturunkan dari zaman Kitab Suci tanpa perubahan apapun).

Terkait keberadaan Peshitta, Ir. Harold Lolowang mengritik Ehrman atas kelalainnya memasukkan Peshitta sebagai sumber valid bagi naskah Byzantium yang kelak menjadi naskah Textus Receptus sumber penerjemahan King James Version. Beliau mengatakan, “Dalam pembagian empat keluarga naskah seperti disebutkan dalam buku Misquoting Jesus, Ehrman tidak pernah menyebut tentang Peshitta (dan kelompok lain yang bersamaan, seperti naskah Waldensian, Italic Curetonian...Dalam buku Ehrman, entah sengaja atau tidak sengaja, Peshitta sebagai sumber awal tidak pernah dibicarakan sama sekali. Penjelasan di atas lebih memperkuat lagi bukti bahwa Peshitta jauh lebih tua dibandingkan dengan KV dan KS (Kodek Vatikanus dan Kodek Sinaitikus, red)”[10]

Saya akan membahas keberadaan dan nilai signifikan Peshitta dalam tulisan tersendiri dan menjadi bagian dari pembahasan atas tulisan Ehrman. Saya sepakat bahwa Peshitta sebagai kitab Perjanjian Baru berbahasa Aramaik yang lengkap justru luput dari kajian Ehrman padahal dari kitab ini banyak perspektif baru kita dapatkan yang tidak kita temui saat membaca naskah Perjanjian Baru Yunani.

Kedua, para penyalin dan penerjemah kitab suci seperti Yerome, Erasmus, Luther, John Gurgon bahkan Fenton J.A. Hort mengakui bahwa Lucian yang hidup antara tahun 250-312 di Syria adalah editor dari naskah yang kelak disebut dengan Textus Receptus atau Received Text. Lucian mengumpulkan kitab suci dari Kejadian hingga Wahyu secara rapih dan teratur[11]

Ketiga, Pernyataan Bapa Gereja. Frasa “melakukan perintah-perintah-Nya” dalam Wahyu 22:14 dalam naskah Alexandrian tertulis, “yang membasuh jubah mereka”. Namun Bapa Gereja seperti Tertulianus (200 Ms) dan Cyprian (248-258 Ms) serta Tertonius (390 Ms) mengutip pernyataan, “melakukan perintah-perintah-Nya”[12]

Demikian pula frasa, “di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu. Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi” 1 Yoh 5:7), naskah Alexandrian tidak memuatnya namun Bapa gereja seperti Tertulianus mengutipnya dalam buku Apology, Against Praxeas (200 Ms), Cyprianus dari Kartago dalam bukunya On The Lapsed, On the Novatians (250 Ms), demikian pula Priskila dalam bukunya Corpus Scriptorum Ecclesiasticorum Latinorum, Academia Litterarum Vindobonensis mengutip ayat tersebut. Bahkan Athanasius dalam bukunya De Incarnatione (300 Ms) serta Agustinus dalam buku De Trinitate (398 Ms) saat melawan Sabelianisme[13] mengutip pernyataan dalam 1 Yohanes 5:7.

Bagaimana penilaian mengenai Kodek Sinaitikus dan Vatikanus? David B. Loughran dari Stewarton Bible School dari Skotlandia memberikan penilaian sbb: “Bible students are often told that Codices Sinaiticus and Vaticanus are older and better than other manuscripts: the implication being that they must therefore; be more accurate. But this conclusion is wrong. We have already seen how Sinaiticus and Vaticanus are corrupt beyond measure,…The are older, but older than what? They are older than older Greek manuscripts of the New Testament. But they are not older than earliest version of the Bible; the Peshitta, Italic, Waldensian and Old Latin Vulgate: versions which agree with the Mayority Text. These ancient versions are some 200 year older than Aleph and  B”[14] (Pelajar Kitab Suci terkadang mengatakan bahwa Kodek Sinaitikus dan Vatikanus lebih tua dan lebih baik dibandingkan manuskrip lainnya. Implikasinya bahwa kdua manuskrip tersebut lebih tepat. Namun kesimpulan tersebut keliru. Kami telah melihat bahwa Kodek Sinaitikus dan Vatikanus memiliki kerusakan yang sangat banyak...mereka naskah paling tua namun tua dibandingkan dengan apa? Mereka lebih tua dibandingkan naskah Perjanjian Baru berbahasa Yunani namun manuskrip tersebut tidak lebih tua dibandingkan dengan naskah Kitab Suci yang mula-mula yaitu Peshitta, Waldensian dan Vulgata Latin Kuno. Kitab-kitab ini lebih sepakat dengan naskah mayoritas. Ini adalah versi paling tua yaitu 200 tahun lebih tua dibandingkan naskah Alef dan B).

Berikut penemuan Kodek Sinaitikus. Pada tahun 1844, sementara perjalanan di bawah perlindungan Frederick Augustus seorang Raja Saxony, dalam pencarian naskah, Tischendorf berhasil mencapai Biara St Catherine, di Gunung Sinai . Di biara ini sampil beberapa lama waktunya meneliti dokumen kuno  dalam keranjang kertas yang siap untuk dibakar, Tischendorf kemudian mengangkat mereka keluar, dan menemukan bahwa ada empat puluh tiga lembar vellum dari versi Septuaginta. Tischendorf mengakui bahwa dia menemukan manuskrip tersebut dari keranjang sampah yaang siap dibakar sebagaimana pengakuannya dalam buku Narrative of the Discovery of the Sinaitic Manuscript, sbb: “I perceived a large and wide basket full of old parchments; and the librarian told me that two heaps like this had been already committed to the flames. What was my surprise to find amid this heap of papers..."[15] (saya mengganggap keranjang besar dan luas tersebut penuh dengan  perkamen tua,.. dan pustakawan mengatakan kepada saya bahwa dua tumpukan seperti ini siap untuk dibakar. Apa yang mengejutkan  saya untuk mencari ditengah tumpukan kertas ini...).

Beberapa fakta mengejutkan seputar Kodek Sinaitikus sbb:[16]

  1. Kodek Sinaitikus ditulis oleh tiga orang yang berbeda dan telah dikoreksi oleh beberapa orang. H.J.M. Milne dan T.C. Skeat dari the British Museum, telah menyatakan fakta tersebut dalam buku Scribes and Correctors of Codex Sinaiticus, London, 1938. David Brown dalam bukunya The Great Uncials menyatakan pengakuan Tischendorf bahwa ada 14.800 koreksi dalam manuskrip tersebut. Dr. F.H.A. Scrivener, penulis buku A Full Collation of the Codex Sinaiticus pada tahun 1864 mengatakan, “Kodek tersebut ditutupi dengan berbagai perubahan dari sebuah karakter koreksi yang nyata dan dilakukan sekurangnya oleh sepuluh korektor yang berbeda. Beberapa dari mereka menyebar secara sistematis di setiap halaman atau membatasi untuk memisahkan bagian-bagian manuskrip. Kebanyakan dianggap sejaman dengan tulisan awal namun bagian yang paling besar justru berasal dari Abad VI sampai IX Ms 
  2. John Burgon dalam bukunya The Revision Revised menyatakan bahwa penyalin naskah Sinaitikus banyak melakukan kecerobohan dalam penulisan dan penyalinan. Dalam banyak kasus, mereka bisa 10, 20, 30, 40 kali menaruh kata-kata dengan sangat tidak hati-hati. Banyak kata-kata dan kalimat yang diulang-ulang dan itu terjadi sebanyak 115 kali dalam Kitab Perjanjian Baru 
  3. Markus 16:9-20 tidak ada dalam Kodek Sinaitikus 
  4. Dalam Kodek Sinaitikus ada kitab-kitab Apokrip seperti (Esdras, Tobit, Yudit, I da IV Makabe, Hikmat, Eklesiastikus) serta dua tulisan bidah lainnya yaitu, Surat Barnabas dan Gembala Hermas.  Dalam Surat Barnabas dikatakan bahwa Musa mengetahui bahasa Yunani dan menerima baptisan keselamatan. Dalam Gembala Hermas dikatakan bahwa roh Mesias turun saat Yesus dibaptis
  5. Kodek Sinaitikus memperkenalkan gagasan Gnostik (kebatinan Timur) dalam Yohanes 1:18 yang seharusnya berbunyi, “Anak Tunggal yang dilahirkan” menjadi “Tuhan Tunggal yang dilahirkan”
Berikut penemuan Kodek Vatikanus. Kodek ini ditemukan di Perpustakaan Vatikan pada tahun 1481. Dibungkus dengan sampul kulit yang tebal dan mahal terbuat dari kulit menjangan dan lembaran kertas dari kulit binatang, naskah ini kemungkinan salah satu dari 50 kitab yang dipesan Kaisar Konstantin dari Mesir. Namun nasib serupa dialami Kodek Vatikanus sebagaimana Sinaitikus. Penuh dengan penghilangan dan perubahan di sana sini. John W. Burgon dalam bukunya The Traditional Text of the Holy Gospels meringkas kerusakan pada Kodek Vatikanus sbb, “"The impurity of the text exhibited by these codices is not a question of opinion but fact...In the Gospels alone, Codex B(Vatican) leaves out words or whole clauses no less than 1,491 times. It bears traces of careless transcriptions on every page…"[17] (Kekotoran naskah yang dipertontonkan dalam kodek ini bukanlah opini belaka melainkan fakta...dalam Injil, Kodeks B [Vatikanus] membuang sejumlah kata atau keseluruhan klausa sekurangnya 1.491 kali. Kodek ini menyimpan kecerobohan penyalinan di setiap halamannya).

Beberapa fakta mengejutkan seputar Kodek Sinaitikus sbb:[18]
  1. Menurut W. Eugene Scott dalam bukunya Codex Vaticanus mengatakan bahwa naskah ini dikoreksi oleh editor pada Abad VIII, X, XV
  2. DR. David Brown dalam buku The Great Unicals menyatakan bahwa dirinya mempertanyakan nilai dari kesaksian besar manuskrip yang telah ditulis ulang, diubah serta ditambahi lebih dari 10 Abad
  3. John W. Burgon kembali menegaskan bahwa ada 2.877 kata yang hilang dalam Kodek Vatikanus dibandingkan dengan naskah Yunani lainnya dan itu terdiri dari 749 kalimat yang hilang, 452 klausa serta 237 kata.
  4. Memiliki kesamaan ayat yang hilang seperti dalam naskah Kodek Sinaitikus al., Markus 16:9-20 dan mengandung kitab-kitab Apokrif
Setelah meneliti keberadaan Kodek Sinaitikus dan Vatikanus, Pastor David L. Brown, Ph.D. memberikan kesimpulan sbb, “While Codex Sinaiticus may be old (or may not be since it was corrected into the twelfth century), it is obvious that it is corrupt. And yet, Sinaiticus is one of the two key manuscripts that form the basis of modern Bible versions”[19] (Meskipun Kodek Sinaitikus mungkin saja berusia tua namun yang pasti kodeks ini rusak. Namun demikian Kodeks Sinaitikus adalah salah satu dari dua manuskrip kunci yang menjadi dasar bagi terjemahan Kitab Suci modern). Yang dimaksudkan dengan terjemahan modern adalah selain King James Version seperti Contemporary English Version (CEV),Revised Standard Version (RSV), Today English Version (TEV), New International Version (NIV), dll.

Kecurigaan terhadap dua Kodek tertua tersebut dikaitkan juga dengan Origenes seorang Bapa Gereja dari Alexandria mesir yang walaupun saleh dan ketat dalam hal devosi atau peribadahan, namun salah satu pandangannya mengenai Yesus sangat membahayakan yaitu Yesus lebih rendah dari Bapa Sorgawi[20]


Textus Receptus, Naskah Byzantin dan Naskah Alexandria
(Kodek Sinaitikus dan Vatikanus)
Memiliki Kualitas Yang Sama

Kelompok Kedua menyatakan bahwa semua naskah yang ditemukan baik Kodek Byzantin yang kelak menjadi sumber rujukan Textus Receptus maupun naskah Alexandrian termasuk Kodek Sinaitikus dan Kodek Vatikanus sama-sama memiliki nilai dalam perbendaharaan ilmu Kritik Teks (Textual Criticsm).

Tokoh-tokoh Evanggelikal (Injili) yang berada dalam posisi ini seperti Prof. Ben Witherington[21], Prof. Daniel Wallace[22], Prof Craig Evans[23], Prof. Darel Bock[24], dll. Sekalipun Daniel Wallace mengritisi pandangan Ehrman dalam artikelnya berjudul Review of Bart D. Ehrman, Misquoting Jesus[25] namun Daniel tidak mempersoalkan keberadaan Kodek Sinaitikus dan Vatikanus yang menjadi rujukan Ehrman. Sanggahan Daniel lebih difokuskan pada sikap yang berlebihan Ehrman yang membesar-besarkan adanya variasi teks yang dituduhkan mempengaruhi doktrin Kekristenan. Demikian juga saat Ben Witherington menulis artikel dengan judul Misanalyzing Text Criticsm-Bart Ehrman’s Misquoting Jesus lebih menyoroti keputusan yang salah dari Ehrman terkait dengan analisis tekstualnya dan kesalahan penafsiran Ehrman atas data yang dia baca namun Witherington sama sekali tidak menyinggung persoalan manuskrip yang menjadi rujukan Ehrman.

CRACKING MISQUOTING JESUS (5)

Posted by Teguh Hindarto

Tanggapan Atas Pemikiran Bart Ehrman

Mengenai Validitas dan Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru

Perubahan Naskah Atas Dasar Kepentingan Teologis:
Seberapa Pengaruhnya Atas Keaslian Perjanjian Baru?

Ehrman menilai bahwa telah terjadi kesalahan penyalinan Kitab Perjanjian Baru pada awal abad penyalinan sehingga berdampak pada penyalinan pada abad-abad berikutnya sebagaimana ditegaskan sbb: “Karena naskah-naskah Kristen masa awal tidak disalin oleh para penyalin profesional, setidaknya pada abad kedua dan ketiga, tetapi hanya oleh anggota terpelajar jemaat Kristen yang bisa melakukannya dan mau melakukannya, kita bisa berkesimpulan bahwakesalahan penyalinan banyak terdapat terutama di dalam salinan terawal. Sesungguhnya, kita memiliki bukti kuat bahwa seperti itulah yang terjadi, karena orang-orang Kristen, yang membacakan naskah-naskah itu dan berupaya mengetahui apa kata-kata asli yang ditulis penulisnya, kadang-kadang mengeluhkan hal tersebut”[1]. Bukti yang dimaksudkan adalah pernyataan Origen, Bapa Gereja (Church Father) dari Abad Ketiga yang mengatakan, “Perbedaan di antara manuskrip-manuskrip itu sangat banyak, yang diakibatkan oleh kelalaian beberapa penyalinnya atau oleh kelancangan yang menyimpang dari para penyalin lainnya; mereka tidak memeriksa apa yang telah mereka salin atau dalam proses memeriksa, membuat penambahan atau pengurangan sesuka hati”[2] Bukan hanya Origen melainkan lawan-lawannya dari kaum non Kristen yaitu Celsus dalam mengomentari perilaku tersebut dengan mengatakan sbb: “Beberapa penganut seolah-olah habis minum-minum, menentang diri mereka sendiri dan mengubah naskah asli injil sampai tiga atau empat atau beberapa kali; dan mereka mengubah karakter naskah itu guna menghindarkan mereka dari kesulitan dalam menghadapi kritik”[3].

Bukan hanya terjadi kesalahan penyalinan pada abad-abad awal, bahkan terjadi pengubahan naskah saat menyalin dengan dimotivasi tujuan teologis agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh para bidah demi kepentingan teologi mereka. Hal ini ditegaskan oleh Ehrman sbb: “Para penyalin yang merupakan penganut tradisi ortodoks ternyata sering mengubah naskah yang mereka salin, kadang-kadang untuk menghapuskan kemungkinan adanya ‘penyalahgunaan’ naskah-naslkah itu oleh orang-orang Kristen yang ingin meneguhkan kepercayaan bidah mereka dan kadang-kadang untuk membuat agar naskah-naskah itu lebih sesuai dengan doktrin-doktrin yang dipegang oleh orang-orang Kristen penganut tradisi ortodoks”[4]. Persoalan pengubahan naskah yang dimotivasi oleh kepentingan teologis ini dipertajam dalam Bab 6 buku Ehrman. Dalam bab tersebut Ehrman menghabiskan 33 halaman untuk mengulas dan meyakinkan pembacanya mengenai pengubahan naskah dengan dimotivasi pandangan teologis penyalin. Intinya, dalam Bab 6 bukunya bahwa pada Abad Dua dan Abad Tiga Kekristenan memiliki keanekaragaman mazhab teologi dengan mendasarkan kitab-kitab yang diyakini sebagai ditulis dengan otoritas rasul-rasul. Ada Kekristenan Semitik, ada Kekristenan Helenistik, ada Kekristenan Gnostik, dll yang mengklaim ajarannya bedasarkan tulisan-tulisan yang diyakini sebagai ajaran yang ditulis oleh para rasul Yesus Sang Mesias. Apalagi pada waktu itu belum ada kanonisasi Kitab Suci sehingga semua memiliki klaim yang subyektif.

Perdebatan-perdebatan teologis di atas menurut Ehrman sangat memengaruhi para penyalin Kitab Suci saat melakukan tugas penyalinan. Ehrman memberikan tiga kasus pengubahan yang dilandasi motivasi teologis yaitu “Pengubahan Antiadopsionistik”, “Pengubahan Antidocetik”, “Pengubahan Antiseparasionis”.

Golongan Adopsionis menglaim bahwa Yesus tidak bersifat Ilahi. Dia hanya manusia biasa yang diadopsi menjadi Anak Tuhan saat peristiwa pembaptisan. Menurut Ehrman, golongan Antiadopsionis berusaha mengeliminir pandangan mereka dengan mengubah pernyataan dalam 1 Timotius 3:16. Berikut penjelasannya: “Wettstein memeriksa Kodeks Alesandrianus, yang sekarang terdapat di British Library, dan menetapkan bahwa di 1 Tim 3:16, dimana kebanyakan manuskrip yang lebih kemudian mengatakan bahwa Kristus ‘adalah (Tuhan)[5] yang dibuat nyata dalam daging’, manuskrip awal itu sebetulnya mengatakan Kristus ‘yang dibuat nyata dalam daging’. Perbedaanya sangat tipis dalam bahasa Yunani-antara teta dan omicron, yang bentuknya sangat mirip (QS dan OS). Seorang penyalin yang lebih kemudian telah mengubah tulisan yang asli, sehingga bunyinya bukan lagi ‘yang’ tetapi ‘(Tuhan)[6] (yang dibuat nyata dalam daging). Dengan kata lain, korektor yang lebih kemudian itu mengubah naskah tersebut sedemikian rupa sehingga menandaskan keilahian Kristus. Yang mengejutkan, koreksi serupa terdapat dalam empat dari manuskrip-manuskrip awal yang lain dari 1 Timotius, semuanya telah mengalami pengubahan serupa yang dilakukan para korektornya, sehingga tulisannya secara gamblang menyebut Yesus sebagai ‘Tuhan’[7]. Tulisan itu akhirnya termuat dalam sebagian besar manuskrip Byzantium (abad pertengahan) yang lebih kemudian-kemudian dimuat dalam sebagian besar terjemahan awal dalam bahasa Inggris”[8]

Salinan ayat-ayat lain yang dipermasalahkan karena telah meninggikan derajat Yesus sebagai Yang Ilahi adalah Markus 1:11 dan Lukas 3:22 serta Yohanes 1:18. Dalam manuskrip Byzantium, Markus 1:11 dan Lukas 3:22 menyatakan, “Engkaulah Putra-Ku yang Kukasihi; Aku berkenan kepada-Mu” sementara manuskrip tertua yaitu manuskrip Alexandria menyatakan, “Engkaulah Putra-Ku, hari ini Aku melahirkan-Mu”. Bagi Ehrman, frasa “melahirkan-Mu” yang ditujukan pada Yesus merupakan penyangkalan bahwa Yesus memiliki keilahian.

Mengenai Yohanes 1:18, manuskrip Alexandria yang lebih tua dari manuskrip Byzantium justru menyatakan, “Tidak seorangpun pernah melihat (Tuhan), tetapi satu-satunya (Tuhan) yang berada di pangkuan Bapa, Dia itulah yang menjelaskan mengenai diri-Nya”. Sementara manuskrip Byzantium menyatakan “Tidak seorangpun pernah melihat (Tuhan), tetapi satu-satunya Putra (Tuhan) yang berada di pangkuan Bapa, Dia itulah yang menjelaskan mengenai diri-Nya”. Bart Ehrman memberikan komentarnya mengenai Yohanes 1:18 sbb: “Patut diakui bahwa versi pertama adalah versi yang dimuat dalam manuskrip-manuskrip yang tertua dan yang pada umumnya dianggap terbaik-manuskrip-manuskrip dari keluarga Alexandria. Tetapi yang mengherankan adalah bahwa versi itu jarang ditemukan dalam manuskri-manuskrip yang bukan berasal dari keluarga Alexandria. Mungkinkah versi tersebt diciptakan oleh seorang penyalin di Alexandria dan dipopulerkan di sana? Jika demikian, hal itulah yang menyebabkan sebagian besar manuskrip dari tempat-tempat lain memuat versi yang berbeda, yang mengatakan bahwa Yesus satu-satunya Putra, bukan satu-satunya (Tuhan)”[9]

Golongan Doketik berpandangan berkebalikan dengan kaum Ebionit beserta paham Adopsionismenya. Kaum Docetik berpendapat bahwa Yesus bukanlah manusia darah dan daging sepenuhnya. Sebaliknya, dia sepenuhnya (dan seutuhnya) bersifat ilahi; dia hanya tampak atau kelihatan sebagai manusia, merasa lapar, haus, sakit, berdarah, mati. Karena Yesus adalah Tuhan (God), maka menurut mereka Dia tidak pernah betul-betul menjadi manusia. Dia hanya datang ke bumi dengan wujud penampakan yang sementara saja. Kata Doketik sendiri dari kata Yunani “Dokeo” yang artinya “tampak” atau “kelihatan”.

Para penulis proto-orthodox (sebuah istilah yang dipergunakan Ehrman untuk menyebut para tokoh fundamen Gereja sebelum konsili-konsili dan kanonisasi Kitab Suci) seperti Tertulian menentang keras ajaran Doketisme dengan mengatakan bahwa jika Mesias bukan benar-benar manusia, Dia tidak bisa menyelamatkan manusia dan jika darahnya tidak tercurah maka darah-Nya tidak menghasilkan keselamatan bahkan kematian-Nya yang memiliki nilai soteriologipun (penyelamatan) dianggap hanya kematian yang tampaknya belaka.

Perdebatan ini menurut Ehrman, sebagaimana kasus perdebatan dengan golongan Adopsionisme, juga mempengaruhi para penyalin Kitab Suci untuk menyanggah kelompok Doketisme. Contoh penambahan yang dilakukan penyalin Anti Doketik adalah pada Lukas 22:17-19 dan ayat 43-44. Ehrman mempersoalkan frasa, “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:44) dan frasa, “"Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku."(Luk 22:19).

Komentar Ehrman mengenai Lukas 22:17-19 sbb: “Tetapi dalam kebanyakan manuskrip, ada penambahan ke dalam ayat-ayat itu, penambahan yang bunyinya akrab di telingan para pembaca Alkitab bahasa Inggris, karena penambahan tersebut telah masuk ke dalam sebagain besar terjemahan masa kini...Meskipun ayat-ayat itu sangat terkenal, ada alasan-alasan yang membuktikan bahwa aat-ayat itu bukan asli tulisan Lukas melainkan suatu penambahan untuk menandaskan bahwa tubuh Yesus yang menderitalah dan darahnya yang ditumpahkan yang menghasilkan keselamatan bagi kamu...Lagi pula, harus kita perhatikan bahwa ayat-ayat itu, meskipun sangat terkenal, tidak mencerminkan pemahaman Lukas sendiri terhadap kematian Yesus. Bisa dilihat dengan jelas dalam catatan Lukas tentang kematian Yesus-hal ini awalnya kedengaran aneh-bahwa ia tidak pernah, di bagian manapun menyiratkan bahwa kematian itu sendirilah yang menghasilkan keselamatan dari dosa. Tidak ada satu kali pun dalam keseluruhan dari kedua karya Lukas (Lukas dan Kisah) ada perkataan bahwa kematian Yesus adalah ‘bagi kamu’”[10]

Komentar Ehrman mengenai Luk 22:44 sbb: “Namun, mengapa para penyalin menambahkan ayat-ayat itu ke dalam kisah tersebut? Sekarang adalah saat yang tepat untuk menjawabnya. Yang menarik adalah bahwa ayat-ayat itu disebut tiga kali oleh para penulis proto-ortodoks pada abad pertengahan dan pengujung abad kedua (Justin Martyr, Irenaeus dari Gaul dan Hippolytus dari Roma); dan yang lebih menarik lagi, setiap kali ayat-ayat itu disebut, hal itu dilakukan untuk menyanggah pandangan bahwa Yesus bukan sungguh-sungguh manusia. Maksudnya, penderitaan mendalam yang Yesus alami menurut ayat-ayat itu digunakan untuk memperlihatkan bahwa ia betul-betul manusia, bahwa ia bisa betul-betul menderita seperti kita semua...Dengan demikian, sebagaimana telah kita bahas, ayat-ayat itu kemungkinan besar bukan bagian asli dari Injil Lukas, melainkan tambahan yang dibuat untuk tujuan Antidocetik, karena ayat-ayat itu dengan begitu bagus menggambarkan betapa manusiawinya Yesus”[11]

Golongan berikutnya yaitu golongan Separasionis yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan dua golongan di atas. Menurut sebagian besar pendukung paham tersebut, Yesus untuk sementara waktu didiami oleh Sang Pribadi Ilahi yaitu Mesias sehingga Dia bisa melakukan mukjizat dan menyampaikamn ajaran-Nya namun sebelum kewafatan-Nya, Mesias meninggalkan Yesus sehingga Dia harus menghadapi kematian sendirian. Pemahaman golongan ini terefleksi dalam sejumlah Injil Gnostik seperti Injil Petrus yang menuliskan teriakan Yesus saat disalibkan, “Kekuatan-Ku, kekuatan-Ku, Engkau telah meninggalkan Aku!” dan dalam Injil Filipus, “Tuhan-Ku, Tuhan-Ku, mengapa oh Tuan Engkau meninggalkan Aku? Karena Dia mengatakan hal ini seaktu disalib, karena disanalah Dia terpisah”.

Dan perdebatan teologis ini pun mengimbas pada proses penyalinan Kitab Suci. Contoh kasus yang diangkat adalah dalam Markus 15:34 dan 1 Yohanes 4:2-3. Komentar Ehrman mengenai Markus 15:34 sbb: “Dalam sebuah manuskrip bahasa Yunani dan beberapa dokumen bahasa Latin, Yesus dikatakan tidak meneriakkan mengapa Tuhan meninggalkannya sesuai Mazmur 22, tetapi meneriakkan, “Tuhan-Ku, Tuhan-Ku, mengapa Engkau mencemoohkan-Ku?”...Lantas, mengapa para penyalin mengubah ayat itu? Mengingat kegunaanya bagi orang-orang yang membela Kristologi Separasionis, pertanyaannya sudah terjawab. Para penyalin orthodoks memastikan agar ayat itu tidak digunakan untuk menentang mereka oleh musuh-musuh Gnostik mereka. Mereka membuat pengubahan yang penting dan cocok dengan konteksnya, sehingga alih-alih menelantarkan Yesus, Tuhan dikatakan mencemooh Dia”[12]

Sementara frasa “roh yang tidak mengakui Yesus” (1 Yoh 4:3) menurut Ehrman ditemukan juga frasa yang berbeda dari manuskrip Abad IV yang merekam proses penyalinan untuk menyanggah pemahaman separasionis dimana dalam manuskrip tersebut berbunyi, “roh yang melepaskan Yesus” dikatakan sebagai Anti Mesias. Dan Ehrman menegaskan bahwa frasa dalam manuskrip Abad IV tersebut merekam proses pengubahan naskah dengan motivasi teologis dan sekalipun frasa dalam naskah tersebut (roh yang melepaskan Yesus) dikutip oleh para Bapa Gereja seperti Irenaeus, Klemen dan Origen serta muncul dalam salinan Latin Vulgata, namun Ehrman menganggap itu sebagai salinan yang tidak asli[13]

CRACKING MISQUOTING JESUS (4)

Posted by Teguh Hindarto

Tanggapan Atas Pemikiran Bart Ehrman

Mengenai Validitas dan Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru

Apakah Perbedaan Antar Salinan
Mengubah Pesan Aslinya Dan Mengubah Doktrin?

Pandangan  Ehrman berikutnya mengatakan bahwa salinan naskah Perjanjian Baru dibuat berabad-abad kemudian dan memiliki perbedaan yang signifikan sebagaimana dikatakan: “Dalam banyak kasus, salinan-salinan itu dibuat berabad-abad kemudian. Dan salinan-salinan itu berbeda satu dengan yang lainnya, dan bagian yang berbeda berjumlah ribuan. Sebagaimana akan kita lihat dalam buku ini, salinan itu-salinan itu berbeda satu dengan yang lainnya dalam begitu banyak bagian sehingga kita bahkan tidak tahu berapa banyak perbedaan  yang sebenarnya ada. Mungkin hal. Mungkin hal itu bisa lebih mudah dipahami dengan perbandingan berikut: jumlah perbedaan yang terdapat diantara manuskrip-manuskrip kita lebih banyak daripada jumlah kata-kata dalam Perjanjian Baru”[1]

Lebih jauh mengenai perbedaan naskah tersebut dipertajam pada pada Bab 3 sbb: “Dengan berlimpahnya bukti di atas, apa yang bisa kita katakan tentang jumlah total perbedaan yang diketahui dewasa ini? Para cendekiawan sedikit berbeda dalam perkiraan mereka-beberapa mengatakan ada 200.000 perbedaan yang diketahui, beberapa mengatakan 300.000 beberapa mengatakan 400.000 atau lebih banyak lagi! Kita tidak mengetahui angkanya dengan pasti karena meskipun adanya perkembangan yang mengesankan dalam teknologi komputer, belum ada seorangpun yang bisa menghitung semuanya. Mungkin, sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, lebih baik hal itu diukur dari segi perbandingannya saja. Ada lebih banyak perbedaan di antara manuskrip-manuskrip kita daripada kata-kata dalam Perjanjian Baru”[2]. Sebelumnya Ehrman mengutip karya John Mill, cendekiawan dari Queens College, Oxford di bab yang sama sbb: “Berdasarkan kerja keras selama tiga puluh tahun mengumpulkan bahan itu, Mill menerbitkan naskah cetaknya, yang disertai sebuah aparatus berisi perbedaan-perbedaan antara semua bahan yang masih ada yang ia miliki. Betapa kagetnya para pembaca ketika melihat bahwa aparatus itu memat sekitar tiga puluh ribu perbedaan di antara bukti-bukti yang masih ada, tiga puluh ribu perbedaan dimana manuskrip-manuskrip, kutipan-kutipan bapa gereja, serta versi-versi yang mengandung bagian-bagian yang berbeda-beda untuk bagian-bagian Perjanjian Baru”[3]. Sungguh sebuah “fakta” yang mengejutkan.

Bagaimana menanggapi pernyataan Ehrman perihal jumlah kesalahan salinan teks dalam Perjanjian Baru Yunani?

CRACKING MISQUOTING JESUS (3)

Posted by Teguh Hindarto



Tanggapan Atas Pemikiran Bart Ehrman

Mengenai Validitas dan Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru

Apakah Keaslian Perjanjian Baru Diragukan
Dikarenakan Yang Tersisa Hanya Salinannya?

Menurut Ehrman, naskah asli Kitab Perjanjian Baru disangsikan untuk ditemukan keberadaannnya sebagaimana dikatakan: “Selain itu, sebagian besar orang Kristen di sepanjang sejarah gereja tidak memiliki akses untuk membaca naskah aslinya, sehingga keterilhaman naskah-naskah itu dipertanyakan. Kita bukan hanya tidak memiliki naskah aslinya, kita juga tidak memiliki salinan pertama dari naskah aslinya. Kita bahkan tidak memiliki salinan dari salinan naskah aslinya. Yang kita miliki hanyalah salinan yang dibuat lama kemudian-sangat lama kemudian”[1] . Memang benar bahwa Kitab Perjanjian Baru yang tersedia kini dalam bahasa Yunani adalah salinan dari salinan dan bukan naskah asli. Bukan hanya Kitab Perjanjian Baru, namun semua Kitab Suci agama-agama (Islam, Hindu, Budha, dll) tidak memiliki naskah asli yang ditulis tangan pertama kali. Yang ada adalah salinan dari salinan.

Apakah kita patut meragukan nilai salinan dikarenakan dihasilkan dari salinan yang berasal dari salinan sebelumnya? Data-data berikut menepis keraguan bahwa naskah salinan telah menyimpang dari naskah aslinya.

Pertama, Kesaksian Bapa Gereja.

Tertulianus berkata, “Marilah hai engkau yang memerlukan lebih banyak jawaban untuk keselamatanmu, datanglah ke Gereja-gereja Apostolik yang masih memiliki dan membacakan tulisan-tulisan otentik dari para rasul serta menampilkan wajah beberapa dari mereka”[2]. Darrel L. Bock dan Daniel B. Wallace memberikan komentar atas pernyataan Tertulianus sbb, “Dalam skenario terburuk pun, pernyataan Tertullianus menunjukkan bahwa orang-orang Kristen pada saat itu cukup peduli untuk menyimpan salinan yang akurat dan tidak mengabaikan naskah-naskah yang lebih awal. Tetapi setelah Tertuallianus tidak ada lagi saksi yang mengklaim hal yang sama. Ini dapat menjadi indikasi bahwa naskah-naskah asli elah hilang sejak akhir abad ketiga”[3]

Kedua, Jumlah salinan Perjanjian Baru.

Ada lebih dari 5,300 salinan manuskrip dalam bahasa Yunani kuno (MSS) dan berbagai fragment Kitab Perjanjian Baru Yunani yang tetap bertahan sampai hari ini. Masih ditambah 10,000 Kitab Vulgata berbahasa Latin dan lebih dari and9,300 berbagai versi manuskrip awal dalam bahasa Siriak, Koptik, Armenian, Gotik dan Etiopik sehingga jumlah keseluruhan ada lebih dari 24,000 manuskrip Kitab Perjanjian Baru yang masih bertahan. Sedikit perubahan dan variasi dalam manuskrip tidak berpengaruh satupun pada doktrin Kekristenan, bahkan tidak mengubah pesan apapun di dalamnya[4].

Tertullian menyatakan pada Tahun 150 A.D., bahwa Gereja di Roma telah menyusun daftar Kitab Perjanjian Baru yang cocok dengan daftar yang kita miliki sekarang. Kita memiliki 32.000 kutipan dari periode sebelum 325 AD, dari Irenaeus (182-188 AD), dari Justin Martyr (150 AD), Polycarpus (107 AD), Ignatius (100), Clement (96 AD) dan banyak lagi dari para Bapa Gereja Abad Kedua dan Ketiga.

Ketiga, Bukti Manuskrip Tertua

Kekristenan memiliki sejumlah manuskrip yang cukup tua dengan usia penulisan sekitar tahun 300-400-an yaitu Kodek Sinaitikus (Codek Aleph) dan Kodek Vatikanus (Codek B). Kedua kodek di atas lazim disebut dengan Kodek Alexandria . Kodek Sinaiticus ditemukan di Biara St Catharina yang didirikan oleh Kaisar Justinianus pada Abad VI Ms di bawah kaki Gunung Sinai. Penemunya adalah Lobegott F.C. Von Tischendorf pada tahun 1844. Sementara Kodek Vatikanus merupakan hadiah yang diberikan Gereja Orthodok bagi Paus di Vatikan pada Abad XIV. Sebenarnya kodek ini ditemukan di lingkungan Vatikan tepatnya di Perpustakaan Paus pada tahun 1481. Kodek ini tidak diperkenankan dibaca oleh umum hingga tahun 1889 Kodek ini dapat dibaca oleh umum dan disimpan di Vatikan.

Kedua kodek ini dipakai sebagai rujukan untuk membuat salinan naskah Yunani Kitab Perjanjian Baru oleh Brooke F. Wescott (1825-1901) dan Fenton A. Hort (828-1892) yang kemudian menjadi rujukan terjemahan bagi RSV, NIV, ASV, GNFTV.

Apakah Kodek Sinaitikus dan Vatikanus merupakan manuskrip tertua dan valid? Sekalipun dari usia kertas, Kodek Sinaitikus dan Kodek Vatikanus lebih tua dari  Kodek Byzantium yang kerap disebut Textus Receptus dan Mayority Teksyang menjadi rujukan bagi penerjemahan KJV (King James Version), namun beberapa ahli Kritik Teks meyakini bahwa naskah Bizantium didasarkan pada naskah yang lebih tua yang disebut Peshitta dalam bahasa Aramaik (sekalipun beberapa ahli lain berpendapat bahwa Peshitta adalah terjemahan dari naskah Byzantin berbahasa Yunani)

Terjemahan Kitab Suci yang menggunakan Textus Receptus sebagai rujukan adalah: Complutensian Polygot (1514-1522), Edisi Desidarius Erasmus (1516-1535), Edisi Colinaeus (1534), Karya Robert Estienne (1546-1551), Karya Theodore Beza dan John Calvin (1565-1604), Karya Elzevir (1624, 1633, 1641). Kodek Byzantium di dasarkan pada naskah Peshitta (Aramaik) dan Curetonian Syriac yang dituliskan sekitar tahun 170 M (berbeda dengan Sinaitikus dan Vatikanus yang dituliskan sekitar tahun 300-400-an).

Berikut beberapa daftar manuskrip tertua sbb:

Papyri Injil Sinoptik Tertua[5]
  1. PAPIRUS 67 (P.BARCELONA) 125-150 MS (Mat 3:9,15; 5:20-22, 25-28)
  2. PAPIRUS 103 (P.OXY.4403) 175-200 MS (Mat 13:55-57; 14:3-5)
  3. PAPIRUS 104 (P.OXY.4404) 175-200 M (Mat 21:34-37,43,45 (?)
  4. PAPIRUS 77 (P.OXY.2683 + 4405) 175-200 M (Mat 23:30-39)
  5. PAPIRUS 64 (P.MAGDALEN 17) 125-150 M (Mat 26:7-8, 10,14-15, 22-23, 31-33)
  6. PAPIRUS 4 (P.PARIS 1120) 125-150 M (Luk 1:58-59, 1:62-2:1; 2:6-7; 3:8-4:2; 4:29-32, 34-35; 5:3-8)
  7. PAPIRUS 75 (JOHN BODMER) + 175 M (Luk 3:18-22; 3:33-4:2; 4:34-5:10; 5:37-6:4:6:10-7:32; 7:35-39, 41-43; 7:46-9:2; 9:4-17:15; 17:19-18:18;22:4-24:53)

Kodek Yunani Tertua[6] 
  1. KODEKS SINAITICUS ( a ): dihasilkan oleh 3 ahli kitab pada Abad IV Ms
  2. KODEKS VATIKANUS (B): kodeks Abad V, pertama jatuh ke tangan para ahli Barat, yang menuntun pada pencarian naskah-naskah lainnya, disampaikan kepada Charles I dari Inggris pada tahun 1627
  3. KODEKS BEZA (D): kodeks abad IV akhir, memuat beberapa bacaan yang unik
  4. KODEKS EPHRAEMI RESCRIPTUS (C): disebut “tulisan ulang Ephraem” karena rahib abad XII menggores, kemudian menyalin ke atasnya kodeks Yunani Abad VI dengan khotbah Ephraem Syrus
  5. KODEKS WASHINGTONIANUS (W): kodeks Abad IV akhir/ V awal, memuat keterangan yang menarik tentang Markus 16:14-15

CRACKING MISQUOTING JESUS (2)

Posted by Teguh Hindarto

Tanggapan Atas Pemikiran Bart Ehrman

Mengenai Validitas dan Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru

Kritik Atas Pra Paham Bart Ehrman

DR. Craig Evans menggunakan istilah “titik awal yang salah” untuk menggambarkan berbagai pernyataan para teolog Kristen yang menempuh jalan berpikir liberal dan menihilkan nilai kesucian Kitab TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru. Yang dimaksudkan dengan titik awal yang salah adalah sikap berpikir tertentu terhadap Yesus dan kedudukan Kitab Suci  yang telah dibentuk dalam lembaga akademis yang mengeluarkan keterlibatan sesuatu yang supranatural di dalamnya.

DR. Craig Evans memberikan contoh beberapa asumsi yang dipercayai oleh para teolog Liberal yang tidak mempercayai kesucian dan otoritas spiritual Yesus dan Kitab Suci bahwa mereka mempercayai empat hal sbb: (1) Yesus itu buta huruf (2) Yesus tidak tertarik terhadap Kitab Suci (3) Yesus tidak tertarik terhadap eskatologi (4) Yesus tidak memandang dirinya adalah Mesias Israel bahkan tidak menganggap dirinya memiliki tabiat Ketuhanan. Terhadap empat pikiran pokok yang menjadi titik awal yang salah, Craig Evans memberikan komentar sbb, “Karena dimulai dari titik awal yang salah, yang sering tidak lebih dari dugaan dan merupakan kesimpulan yang tidak didokumentasikan dan dibukukan, tidak heran jika banyak bahan dalam Injil Perjanjian Baru dipandang tidak autentik dan tidak historis”[1].

Jika Ir. Harold Lolowang, MSc., melihat bahwa pemahaman masa kecil Bart Ehrman dan keluarganya bahwa Kitab Suci hanya bagian dari liturgi sebagai titik berangkat yang salah[2], maka saya melihat bahwa sikap awal Ehrman yang mulai meragukan otoritas dan kesejarahan Kitab Perjanjian Baru yang menjadi pintu masuk baginya untuk membuat klaim-klaim keliru berikutnya. Saat Ehrman meragukan laporan Markus 2:25-26 dan menerima pengakuan Profesor Story yang mengakui kemungkinan Markus membuat kekeliruan dan membuat pernyataan demikian, “Begitu saya membuat pengakuan itu, terbukalah pikiran saya. Karena jika di dalam Markus 2 terdapat satu kesalahan kecil dan remeh, bisa jadi ada kesalahan di bagian-bagian lainnya juga”[3]. Ehrman memulai dengan dengan sebuah titik berangkat yang keliru saat dia mengalami keraguan. Titik berangkat yang keliru itu laporan Markus keliru maka bagian-bagian lain dari naskah Perjanjian Baru pasti mengandung kekeliruan yang sama.

Benarkah Markus 2:25-26 merupakan sebuah kekeliruan? Benarkah Yesus salah mengutip nama Ahimelek menjadi Abyatar anaknya? Mari kita perhatikan kutipan selengkapnya perkataan Yesus sbb, “Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Tuhan waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu -- yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam -- dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya?”  Sementara 1 Samuel 21:1-6 melaporkan bahwa bukan Abyatar yang memberikan roti melainkan Ahimelek sebagaimana dikatakan, “Sampailah Daud ke Nob kepada Ahimelekh, imam itu. Dengan gemetar Ahimelekh pergi menemui Daud dan berkata kepadanya: "Mengapa engkau seorang diri dan tidak ada orang bersama-sama dengan engkau?" Jawab Daud kepada imam Ahimelekh: "Raja menugaskan sesuatu kepadaku, katanya kepadaku: Siapa pun juga tidak boleh mengetahui sesuatu dari hal yang kusuruh kepadamu dan yang kutugaskan kepadamu ini. Sebab itu orang-orangku telah kusuruh pergi ke suatu tempat. Maka sekarang, apa yang ada padamu? Berikanlah kepadaku lima roti atau apa pun yang ada." Lalu jawab imam itu kepada Daud: "Tidak ada roti biasa padaku, hanya roti kudus yang ada; asal saja orang-orangmu itu menjaga diri terhadap perempuan." Daud menjawab imam itu, katanya kepadanya: "Memang, kami tidak diperbolehkan bergaul dengan perempuan, seperti sediakala apabila aku maju berperang. Tubuh orang-orangku itu tahir, sekalipun pada perjalanan biasa, apalagi pada hari ini, masing-masing mereka tahir tubuhnya." Lalu imam itu memberikan kepadanya roti kudus itu, karena tidak ada roti di sana kecuali roti sajian; roti itu biasa diangkat orang dari hadapan YHWH, supaya pada hari roti itu diambil, ditaruh lagi roti baru”

Jika memang benar ada kekeliruan yang dilakukan penulis Injil Markus atau bahkan Yesus, mengapa kekeliruan itu begitu menyolok dan dibiarkan tertulis dalam Kitab Suci? Justru dengan Kitab Suci menuliskan bahwa nama Abyatar dan bukan Ahimelekh ini menuntun kita pada kenyataan bahwa ada persoalan yang harus dipecahkan mengapa Yesus mengatakan Abyatar dan bukan Ahimelek, daripada tergesa-gesa menyebutnya sebagai “misquoting Jesus” (kesalahan pengutipan oleh Yesus).

Persoalan Markus 2:26 bukan persoalan baru namun persoalan lama yang sudah menjadi wilayah kajian para ahli Kritik Teks (Textual Criticism). Prof. Daniel Wallace mentabulasikan pemecahan masalah terhadap isu lama dalam ilmu Kritik Teks terkait Markus 2:26 sbb:
  1. Kesalahan teks sehingga harus dibuang dari daftar ayat
  2. Penafsiran yang keliru sehingga harus diperbaiki
  3. Yesus yang keliru (atau Yesus sedang melakukan Midrash)
  4. Sumber yang dipergunakan Markus (Petrus) keliru
  5. Markus yang keliru[4]
Terhadap persoalan di atas, DR. Gleason L. Archer Jr dalam bukunya Encyclopedia of Bible Difficulties menjelaskan persoalan tersebut, jauh-jauh hari sebelum Bart Ehrman mempertanyakannya. Beliau menganalisis frasa Yunani epi Abiathar archieireoos bukan “waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar”

CRACKING MISQUOTING JESUS (1)

Posted by Teguh Hindarto

Tanggapan Atas Pemikiran Bart Ehrman

Mengenai Validitas dan Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru

Pendahuluan

Kehadiran buku Misquoting Jesus karya Bart Ehrman menjadi begitu fenomenal setelah publik Kristen digemparkan dengan buku-buku seperti The Da Vinci Code karya Dan Brown dan buku The Jesus Dynasty karya James Tabor serta film The Lost Tomb of Jesus karya Simcha Jacobovichi yang mendiskreditkan jantung keimanan Kristen yang berpusatkan pada ajaran Yesus Sang Mesias yang disaksikan oleh Kitab Injil.

Darrel L Bock & Daniel B. Wallace memberikan gambaran mengenai dampak penerbitan buku tersebut sbb: “Sejak diterbitkan pada Tgl 1 November 2005, Misquoting Jesus terus menerus laris terjual. Inilah buku impian penerbit. Kesadaran publik akan buku ini sangat didukung oleh penampilah Ehrman di TV, radio dan surat kabar. Selama 2 bulan sejak penerbitan, Ehrman diwawancarai dalam 2 program TV yaitu Diane Rehm Show dan Fresh Air with Terry Gross. Lebih dari 100.000 buku terjual dalam 3 bulan. Setelah Ehrman diwawancarai oleh Neely Tucker dan dimuat dalam Washington Post edisi 5 Maret 2006, penualan buku semakin meningkat. 9 hari kemudian, Ehrman menjadi bintang tamu dalam acara The Daily Show yang dipandu oleh John Stewart...48 jam setelah acara tersebut, Misquoting Jesus bertengger dipuncak daftar terlaris Amazon.com. Menjelang akhir tahun Ehrman tampil lagi dalam acara The Daily Show. Bukunya ‘telah menjadi salah satu buku laris tak terduga dalam tahun ini’, menurut Tucker (2006)”[1]

Bart Ehrman sendiri adalah teolog yang mengepalai Fakultas Kajian Agama di University of Carolina di Chapel Hill. Dia adalah lulusan The Moody Bible Institute di Chichago yang kemudian meneruskan kuliahnya di Wheaton College Graduate hingga memperoleh gelar M.Div di bidang Perjanjian Baru serta mendapat gelar Ph.D dari Princeton Theological Seminary di bawah asuhan pakar Perjanjian Baru tersohor yaitu Almarhum Bruce M. Metsger. Jabatan penting lainnya adalah Presiden dari Southeast Region of the Society of Biblical Literature.

Bart Ehrman termasuk teolog yang produktif dalam menulis. Ada 19 buku yang telah dihasilkan. Buku-buku hasil karyanya cukup banyak terkait bidang kajian Biblika seperti: The Orthodox Corruption of Scripture: The Effect of Early Christological Controversies on the Text of the New Testament (Oxford University Press, 1993), Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faith We Never Knew (Oxford University Press, 2003), The Lost Gospel of Judas Iscariot: A New Look at Betrayer and Betrayed (Oxford University Press, 2006). Dan buku yang booming pada tahun 2005 dengan judul Misquoting Jesus: The Story behind Who Changed the Bible and Why (Harper San Fransisco).

Krisis Epistemologis Ehrman:

Dari Fundamentalist Menuju Agnostik

Sebelum kita membahas butir-butir argumentasi Bart Ehrman yang memikat sekaligus meresahkan, kita akan melihat sepintas perjalanan spiritual Ehrman yang mengalami krisis epistemologis ketika dia berada di Princeton Theological Seminary. Dalam kata pengantar bukunya, Ehrman mengatakan, “Suatu titik balik saya alami pada semester kedua, dalam sebuah mata kuliah yang dosennya adalah seorang profesor yang sangat dihormati dan saleh bernama Cullen Story”[2]. Saat itu Ehrman ditugaskan untuk melakukan eksegesis Kitab Markus, yaitu kitab yang disukainya dan dia memilih Markus 2. Ketika meneliti Markus 2: 25-26 yang berbunyi: “Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah (Tuhan) waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya”. Nama Abyatar ternyata mengganggu pikiran Ehrman karena kisah yang dikutip dari 1 Samuel 21:1-6 tersebut justru merujuk bukan nama Abyatar melainkan Ahimelek, ayah Abyatar. Ehrman sendiri membuat sebuah eksegesis apologetis untuk memberikan solusi terhadap pengutipan yang salah ini agar dapat dipertanggungjawabkan pada dosen pembimbingnya. Namun jawaban Profesor Story ketika memeriksa penjelasan Ehrman, menuntun pada awal sikap skeptis yang berujung pada agnostik hingga kini.

Profesor Story mengatakan, “Mungkin Markus memang membuat kesalahan”. Akibatnya Ehrman mulai memikirkan perkataan Sang Profesor dan menyimpulkan hal yang sama dengan Sang Profesor. Dan Ehrman memulai sebuah sebuah kesadaran baru yang didorong skeptisme dengan mengatakan, “Begitu saya membuat pengakuan itu, terbukalah pikiran saya. Karena jika di dalam Markus 2 terdapat satu kesalahan kecil dan remeh, bisa jadi ada kesalahan di bagian-bagian lainnya juga”[3]

Dan sekarang, Bart Ehrman menjadi seorang yang mengklaim sebagai “a happy agnostik” (agnostik yang berbahagia) dan mempercayai bahwa manusia hanya mengalami keterpisahan dengan keberadaan saat mengalami kematian, seperti nyamuk yang telah Anda pukul kemarin, demikian laporan The Book of Bart dalam Washington Post, 5 Maret 2006[4]. Dia adalah seorang yang tidak mempercayai mukjizat yang dilaporkan dalam Kitab Injil. Dalam sebuah kesempatan perdebatan, bersama William Craign di Perguruan Tinggi Holy Cross, Worcester, Massachusetts, pada Tahun 2006, Erhman ditanyai oleh salah satu peserta sbb: “Dari penjelasan metode sejarah yang Anda sampaikan adakah mukjizat telah terjadi? Jika ya, yang mana dan jika tidak apakah Anda akan menolak kepercayaan terhadap mukjizat dengan sukarela?” Bart Ehrman tidak menjawab pertanyaan tersebut[5] . Dalam kesempatan lain Ehrman menyatakan bahwa murid-murid Yesus tidak ada yang meyaksikan kebangkitan Yesus. Mereka hanya melihat penglihatan mengenai Yesus yang bangkit. Dengan yakin dia mengatakan, “terkaan saya yang terbaik adalah apa yang dialami para murid sama dengan apa yang dialami oleh seseorang ketika seseorang yang dikasihinya meninggal-mereka terkadang merasa melihat mereka dalam penglihatan”, demikian laporan CNN Tgl 15 Mei 2009 dalam topik “Former Fundamentalist”[6]