RSS Feed

MENDENGAR DAN MELAKUKAN FIRMAN TUHAN: MEMAHAMI PERBEDAAN CARA PANDANG IBRANI DAN CARA PANDANG YUNANI

Posted by Teguh Hindarto



Kitab Suci TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim) yang lazim disebut dengan Kitab Perjanjian Lama oleh Kekristenan, dituliskan dalam bahasa Ibrani dan beberapa Aramaik. Kitab Perjanjian Baru sekalipun dituliskan dalam bahasa Yunani, namun sarat dengan berbagai idiom dan struktur kata serta kalimat yang bercorak Ibrani[1]. Mengenai bahasa penulisan Kitab Perjanjian Baru, masih terbagi dalam pendapat: Bahasa Yunani, Bahasa Aram, Bahasa Ibrani[2]. Bukti material yang tersedia bahwasanya Kitab Perjanjian Baru yang kita miliki mayoritas berbahasa Yunani dan disusul dengan berbahasa Aram yang disebut dengan Peshitta. Sementara Kitab Perjanjian Baru berbahasa Ibrani tidak ditemukan sama sekali, selain keterangan Papias yang mengatakan bahwa Matius menuliskan kitabnya dalam bahasa Ibrani dan merekam berbagai perkataan dan tindakan Yesus Sang Mesias yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa sesuai dengan kemampuan penerjemahnya[3]. Dugaan bahwa ada Kitab Perjanjian Baru yang keseluruhannya ditulis dalam bahasa Ibrani didasarkan pada bukti formal dan kajian terhadap idiom, susunan kata serta struktur kalimat yang bercorak Semitik Hebraik.

Karena Kitab Suci baik TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Semitik Hebraik dan mengandung muatan-muatan berupa idiom dan struktur kalimat Ibrani, maka seharusnya dalam menafsirkan teks Kitab Suci kita menggunakan pendekatan dan cara pandang menurut kebudayaan penulis Kitab Suci tersebut. Dalam hal ini kita harus memiliki “cara pandang Ibrani” dalam memahami Kitab Suci.

Apa dan bagaimanakah “cara pandang Ibrani” itu? Tim Hegg menjelaskan sbb: “To think Hebraically means to think like a Hebrew did in ancients times. Why would this be important? Because the Scriptures, for the most part, were written by Hebrews (Jews). In fact, only Luke of all the writers of Scriptures was not a Jew by birth (at least by modern scholarly opinion). Thus, if we’re going to understand the manner of speech, the way words are used, and the way important issues of life are described by someone in the Hebrew culture, we must understand, in general terms, how the Hebrew people thought-how they looked at life-their world view” [4] (Berpikir secara Ibrani berarti berpikir sebagaimana orang Ibrani berpikir pada zaman lampau. Mengapa hal ini demikian penting? Karena sebagain besar isi Kitab Suci, dituliskan oleh orang-orang Ibrani. Sebenarnya, hanya Lukas dari keseluruhan penulis Kitab Suci yang bukan seorang Yahudi berdasarkan kelahirannya (setidaknya menurut pendapat sarjana modern). Agar kita dapat memahami yaitu cara berbicara, mengenai kata-kata yang dipergunakan serta pentingnya persoalan-persoalan kehidupan yang digambarkan oleh seseorang dalam kebudayaan Ibrani, maka kita harus memahami dengan istilah umum, mengenai bagaimana orang Ibrani berpikir, bagaimana mereka melihat kehidupan - pandangan dunia yang mereka miliki).

Faktanya para penafsir Kitab Suci yang terdidik dalam pendidikan teologi Yunani dan Barat khususnya, kurang atau bahkan mengabaikan sama sekali kenyataan ini dan membaca dengan pola pikir yang bersebrangan dengan para penulis Kitab Suci. Dengan kata lain, para penafsir modern yang terdidik dalam pendidikan Barat cenderung menggunakan pola penafsiran dan cara pandang Helenistik dalam membaca Kitab Suci, sehingga kerap terjadi kesalahpahaman dalam memaknai teks dalam Kitab Suci. Apa yang dimaksudkan dengan cara pandang Helenistik itu?

Helenisme dan Helenisasi

Berbicara mengenai cara pandang Helenistik tidak akan utuh tanpa memahami apa yang dimaksudkan dengan Helenisme dan proses Helenisasi. Helenisme meliputi tiga pengertian. Pertama, biasanya dipergunakan oleh para sejarawan untuk menandai periode dari wafatnya Alexander Agung (323 SM) sampai wafatnya Ratu Kleopatra serta penggabungan Mesir ke dalam wilayah Kerajaan Romawi pada tahun 30 SM. Mesir adalah sistem politik penting terakhir yang masih bertahan yang berkembang sebagai konsekwensi atas kejayaan Alexander sekaligus kematiannya yang terlalu dini. Kedua, Helenisme juga menunjuk secara umum pada tradisi kebudayaan Yunani yang menjadi bagian kerajaan Romawi diantara Kaisar Agustus dan Yustinian atau pengaruh peradaban Yunani pada Romawi, Kartago, India serta wilayah lain yang tidak pernah menjadi wilayah kerajaan Alexander. Ketiga, istilah Helenisme dipergunakan untuk menunjuk pada wilayah-wilayah seperti Yudea, Persia dll untuk menunjukkan pengaruh unsur-unsur peradaban Yunani ke dalam wilayah tersebut yang lebih dahulu takluk kepada pemerintah Yunani Makedonia untuk beberapa periode waktu dan menyediakan kebudayaan nasional mereka dengan kesuksesan yang menyolok[5]. Dalam periodisasi sejarah, kegiatan Helenisasi atau proses Yunanisasi, gencar dilakukan oleh Anthiokus IV pada tahun 175 sM yang banyak memakan korban dan perlawanan dari bangsa Yahudi al., Simon Bar Khokhba (165 sM) dan Yahuda Makabe (143 sM).


Helenisme dan Pengaruhnya

Sekalipun bangsa Yahudi menolak upaya Helenisme dan Helenisasi dalam segala bidang kehidupan, namun berbagai pengaruh itu tetap ada. Beberapa pengaruh tersebut adalah sbb:
Pertama, pengaruh terhadap penerjemahan Kitab TaNaKh dalam bahasa Yunani yang diprakarsasi oleh kaisar Ptolemaus II Filadelphus (3 sM) dengan tenaga dari 72 rabbi-rabbi Yahudi di Alexandria. Kedua, pengaruh terhadap arsitektur dan Bait Suci yang dibangun Herodes. Bangunan Bait Suci dikelilingi oleh serambi-serambi dengan pilar tinggi seperti kuil-kuil Yunani. Ketiga, dalam penulisan surat-surat Rasul Paul, terkandung ungkapan-ungkapan dan syair Yunani sebagai pewartaan iman sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep “rahasia” (1 Kor 2:10), “rupa Tuhan” (Fil 2:6-7), “gambar Tuhan” (Kol 1:15), “manusia baru” (Ef 2:15)[6]. Sekalipun Paulus mengutip istilah-istilah atau konsep Yunani, namun pengajarannya bukan berasal dari filsafat Yunani. Willliam M. Ramsay dalam buku The Teaching of Paul in Terms of the Present Day, menuliskan sbb, “Pengaruh pemikiran Yunani terhadap Paulus, walaupun nyata, sama sekali hanya pada faktor luarnya saja. Helenisme tidak pernah menyentuh jiwa serta inti ajaran Paulus...namun secara kuat mempengaruhi cara pengungkapan dalam pengajaran Paulus”[7]

Dan pengaruh Helenisme tidak hanya berhenti dalam dunia Kitab Suci dan kekristenan awal namun merambah dalam dunia pemikiran Eropa melalui Roma khususnya Katolikisme. Lord Major menuliskan, “Through Rome, the Greek influence was transmitted to mediƦval Europe in a form which obscured much of its charm yet also served to extend its empire”[8](Melalui Roma, pengaruh Yunani telah dipindahkan ke Eropa Abad Pertengahan dalam bentuk yang mengaburkan banyak hal yang mempesona namun juga demi tujuan memperluas kerajaannya). Hal senada dikatakan Packer, “Kekuatan politik Yunani telah berlalu tetapi budaya dan suasana Yunani telah menjadi fondasi bagi budaya kekaisaran Romawi”[9]

Cara Pandang Ibrani VS Cara Pandang Yunani

Setelah kita selayang pandang mengurai perihal Helenisme dan Helenisasi maka kita akan memperbandingkan perbedaan pola pikir Yunani dan pola pikir Ibrani dan apa akibatnya ketika kita secara keliru menerapkan pola pikir tersebut saat membaca Kitab Suci yang berasal dari kebudayaan Semitik Hebraik.

Perbedaan menonjol pola pikir Ibrani dan Yunani terletak pada konsep MELAKUKAN (Doing) dan MENGETAHUI (Knowing).William Barret dalam bukunya Irrational Man menuliskan sbb: The distinction…arises from the difference between doing and knowing. The Hebrew is concerned with practice, the Greek with knowledge. Right conduct is the ultimate concern of the Hebrew, right thinking that of the Greek. Duty and strictness of conscience are the paramount things in life for the Hebrew; for the Greek, the spontaneous and luminous play of the intelligence. The Hebrew thus extols the moral virtues as the substance and meaning of life; the Greek subordinates them to the intellectual virtues…the contrast is between practice and theory, between the moral man and the theoretical or intellectual man[10](Perbedaan...muncul dari perbedaan antara melakukan dan mengetahui. Orang Ibrani lebih cenderung dengan praktek kehidupan sementara orang Yunani dengan pengetahuan. Perilaku yang benar adalah tujuan akhir orang Ibrani sementara berpikir benar adalah tujuan orang Yunani. Kewajiban dan keketatan kesadaran adalah sesuatu yang mulia dalam kehidupan orang Ibrani sementara orang Yunani, pengetahuan memainkan peranan yang utama dan spontan. Orang Ibrani meninggikan kebaikan moral sebagai makna dan hakikat kehidupan sementara orang Yunani menempatkan itu dalam kedudukan di bawah kebaikan intelektual...perbedaan menyolok adalah antara praktik dan teori, antara moral manusia dan manusia teoritis atau intelektualis).

Kata “melakukan” menonjol dalam sepanjang Kitab Suci baik dalam TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru khususnya sabda Yesus Sang Mesias. Mari kita telaah dengan singkat.

Dalam konsep mengenai rahasia memperoleh berkat dan menghindarkan diri dari kutuk, Tuhan YHWH telah menegaskan dalam Ulangan 28:1 dan 16 sbb:

"Jika engkau baik-baik mendengarkan suara YHWH Tuhanmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka YHWH Tuhanmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi.”

"Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara YHWH Tuhanmudan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini akan datang kepadamu dan mencapai engkau

Frasa “mendengarkan dengan seksama” (shamo’a tishmo’a) disandingkan dengan “melakukan dengan kesungguhan” (lishmor la’asyot). Dan jika kita periksa dalam TaNaKh, Tuhan YHWH menginginkan umat Israel dan semua orang yang takut akan Dia agar melakukan perintah-Nya sebagaimana dikatakan dalam ayat-ayat berikut:

Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi” (Ul 4:6)

Maka lakukanlah semuanya itu dengan setia, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh YHWH Tuhanmu. Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri.” (Ul 5:32)
“jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!” (Mzm 34:15)

Dan Yesus Sang Mesias menggemakan kembali perihal melakukan sabda Tuhan sebagai bentuk dan wujud mengasihi Tuhan sebagaimana dikatakan sbb:

dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20)
Tetapi Ia menjawab mereka: "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Tuhan danmelakukannya (Luk 8:21)

Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya”(Yoh 14:21).

Demikian pula rasul-rasul menggemakan pengajaran yang sama sbb:

Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain,lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Tuhan” (1 Kor 10:31).

Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:7)

"Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya” (1 Ptr 3:10)

Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Tuhan, yaitu apabila kita mengasihi Tuhan serta melakukanperintah-perintah-Nya” (1 Yoh 5:2).

Dan barangsiapa menang dan melakukan pekerjaan-Ku sampai kesudahannya, kepadanya akan Kukaruniakan kuasa atas bangsa-bangsa” (Why 2:26)

Perbedaan inilah (antara “doing” dan “knowing”) yang mengakibatkan mengapa Gereja dan Kekristenan pada umumnya hanya memfokuskan pada topik-topik disekitar doktrin daripada mempersoalkan bagaimana menampilkan kehidupan yang lebih baik sebagaimana dikatakan Bryan Knowless sbb: “This helps explain why so many Christian churches are focused on the issues of doctrinal orthodoxy (however they may define it) -- often at the expense of godly living”[11] (Hal ini menolong menjelaskan, mengapa banyak Gereja Kristen lebih memfokuskan pada isu doktrin yang ortodox namun jarang sekali memperluas perihal kehidupan yang baik)

Senada dengan hal tersebut, Dennis Prager menuliskan sbb, “belief in God and acting ethically must be inextricably linked...God demands right behavior more than anything else, including right ritual and right belief." [12](Iman dalam Tuhan dan melakukan yang bersifat etis seharusnya jaringan yang tidak terputus...Tuhan menuntut sikap yang benar dibandingkan apapun juga termasuk ritual yang benar dan iman yang benar).

Kecenderungan cara berpikir orang Yunani yang abstrak dan logis serta sistematis, terkadang memberikan pengaruh pada para penafsir untuk memberikan kategori-kategori logis dan sistematis mengenai Tuhan dan tindaka-Nya dalam sejarah umat-Nya, sehingga terkadang mengurangi aspek dinamis dan interaktif antara Tuhan dan Umat-Nya sebagaimana dikatakan oleh Abraham Heschel dalam bukunya, God in Search of Man sbb"To try to distill the Bible, which is bursting with life, drama, and tension, to a series of principles would be like trying to reduce a living person to a diagram" [13](Mencoba untuk menyaring Kitab Suci yang meledak dengan kehidupan, drama dan ketegangan menjadi serial prinsip-prinsip, seperti mencoba mengurangi seseorang yang hidup menjadi sebuah diagram).

Berikut kita lihat berbagai perbedaan-perbedaan pola pikir antara Ibrani dan Yunani sbb:  

Pendekatan Barat

Pendekatan Ibrani
Kehidupan dianalisis dalam kategori yang tepat.
Segala sesuatu melebur dalam segala sesuatu yang lain
Ada pemisahan tajam antara yang supranatural dan natural
Supernatural menguasai kehidupan
Logika lurus
Logika tertutup
Individualisme yang ketat
Pentingnya menjadi bagian dari suatu kelompok
Kesetaraan pribadi
Nilai berasal dari tempat dalam suatu tingkatan hirarkis
Orientasi kemerdekaan
Orientasi pada keamanan
Persaingan adalah baik
Persaingan adalah jahat (kerjasama lebih baik)
Semesta berpusat pada manusia
God/tribe/family-centered universe
Nilai seseorang ditentukan berdasarkan uang/benda material/kekuasaan
Nilai seseorang ditentukan dari hubungan kekeluargaan
Memuliakan kehidupan biologis
Kehidupan sosial sangat utama
Kesempatan, sebab serta akibat membatasi apa yang dapat terjadi
Tuhan menyebabkan segala sesuatu di alam semesta
Manusia mengendalikan tabiatnya melalui pemahaman dan penerapan hukum ilmu pengetahuan
Tuhan mengatur segala sesuatu sehingga hubungan dengan Tuhan menentukan bagaimana sesuatu terjadi
Kekuasaan atas orang lain diukur melalui bisnis, politik dan pengorganisasian kemanusiaan
Kekuasaan atas orang lain distrukturisasi oleh pola sosial yang ditetapkan Tuhan
Semua yang ada adalah material
Dunia dipenuhi dengan keberadaan roh
Garis waktu lurus membagi ke dalam jaringan unsur. Setiap peristiwa adalah baru
.Putaran waktu atau siklus. Peristiwa yang sama merupakan pengulangan yang terus menerus
Sejarah merekam fakta obyektif dan kronologis
Sejarah adalah sebuah upaya untuk memelihara kebenaran yang bermakna dalam ingatan atau makna entahkan faktanya tersebut obyektif atau tidak
Berorientasi pada masa depan yang mendekat
Berorientasi pada pelajaran dari sejarah
Perubahan adalah baik=perkembangan
Perubahan adalah buruk=merusak tradisi
Semesta disusun berdasarkan kesempatan
Semesta disusun oleh Tuhan
Semesta dikuasai dan dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
Tuhan memberikan manusia penatalayanan terhadap bumi ciptaannya. Pertanggungjawaban kepada Tuhan
Barang baik=ukuran prestasi seseorang
Barang baik=ukuran berkat Tuhan
Iman buta
Pengetahuan – didasari iman
Time as points on straight line ("at this point in time…"Waktu seperti titik pada jalan lurus (pada titik waktu ini)
Waktu ditentukan berdasarkan isi (pada hari YHWH bertindak...)


Sumber Irrational Man, by William Barrett; Christianity With Power by Charles Kraft; Hebrew Thought Compared With Greek by Thorleif Boman; Judaism and Christianity – The Differences by Trude Weiss-Rosmarin, Our Father Abraham, by Marvin Wilson, God in Search of Man by Abraham Heschel[14].

Dalam artikelnya berjudul Ancient Hebrew Thought, Jeff A. Benner mengulas beberapa corak perbedaan berpikir antara Ibrani dan Yunani sbb:[15]

Abstrak vs Pemikiran Konkrit

Orang Yunani memandang dunia melalui pemikirannya sementara orang Yahudi melalui perasaan. Contoh yang menarik terambil dalam Mazmur 1:3 yang mengatakan, “Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil”. Kondisi orang yang menyukai dan merenungkan Torah-Nya, digambarkan secara konkrit dalam wujud “pohon”, “air”, “buah”, “daun”.

Apa yang Nampak vs Gambaran Fungsional

Orang Yunani menggambarkan obyek dalam hubungannya dengan apa yang nampak semantara orang Ibrani menggambarkan obyek berdasarkan fungsinya. Kata “rusa” dan “pohon Ek” adalah dua obyek yang berbeda dan jika diterjemahkan dalam bahasa Yunani tidak akan sama. Namun kata Ibrani untuk “rusa” dan “Ek” adalah sama yaitu Ayil. Kata Ayil mengandung makna “pemimpin  yang kuat”. Tidak mengherankan ada perbedaan penerjemahan kata Ayil dalam Mazmur 29:9, dalam bahasa Inggris. King James Version menerjemahkan sbb, “Suara YHWH membuat beranak rusa yang mengandung”, sementara New International Version menerjemahkan, ““Suara YHWH membuat pohon Ek bergoyang”, Terjemahan hurufiah untuk ayat tersebut dalam pemikiran Ibrani adalah, “Suara YHWH membuat pemimpin yang kuat turun”.

Karena orang Ibrani lebih banyak memberikan gambaran fungsional maka lebih banyak dipergunakan kata kerja daripada kata sifat.

Gambaran Tidak Nyata vs Gambaran Nyata

Orang Yunani menggambarkan obyek dalam kaitannya dengan obyek itu sendiri sementara orang Ibrani menggambarkan obyek dalam kaitannya dengan orang Ibrani. Contoh, kata “pensil”. Orang Yunani akan menghubungkan dengan kata kerja “is” (adalah). Bagi orang Yunani, pensil adalah batang panjang untuk menulis. Bagi orang Ibrani kata “pensil” dihubungkan dengan “aku menulis” (aktav-katav)

Kata Benda Pasif dan Kata Benda Aktif

Kata benda dalam pemikiran orang Yunani menunjuk pada orang, tempat, sesuatu. Sementara kata benda Ibrani menunjuk pada tindakan orang, tempat atau sesuatu. Kata Barak bermakna lutut. Namun kata ini bukan hanya dimaknai benda atau bagian tubuh namun juga bermakna aktif. Kata Barak juga dimakna “melipat lutut” karena kata Berakahartinya “memberikan sesuatu dengan berlutut”.

Demikianlah perbedaan antara pola pikir Ibrani dan pola pikir Yunani. Pemahaman terhadap kedua pola pikir tersebut akan menolong para pembaca Kitab Suci khususnya para siswa Teologi untuk memahami makna teks dengan lebih akurat. Dalam artikel saya berjudul Pemahaman Terhadap Cara Pandang Semitik Hebraik Dan Implikasinya Terhadap Pembacaan Kitab Suci[16]diulas beberapa contoh kajian teks dan kalimat yang harus ditafsirkan dari sudut pandang Ibrani agar memperoleh pemahaman yang akurat.

Pemahaman perihal pola pikir Ibrani ini sangat menantang dan dapat menimbulkan pertentangan dalam pemikiran kita karena selama ini kita secara tidak langsung telah dibentuk dengan pola pikir Yunani melalui pendidikan yang mengadopsi kebudayaan Barat, khususnya kelas-kelas Teologi di manapun. Kiranya melalui pengkajian perbedaan pemikiran Yunani dan Ibrani, akan menuntun kita menemukan makna kata dalam Kitab Suci yang bermuara dalam menemukan kehendak Tuhan secara lebih akurat.


End Notes

[1] Teguh Hindarto,  Idiom-Idiom Semitik Hebraik Dalam Naskah Kitab Perjanjian Baru Yunani (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/10/idiom-idiom-semitik-hebraik-dalam.html


[2] David Bivin & Roy Blizzard, Understanding the Difficult Words of Jesus, Destiny Image Publishers 1994, p. 7-16


[3] Eusebeius (wafat tahun 338 Ms) dalam bukunya Historia Ecclesiastica III, 39


[4] Interpreting the Bible: An Introduction to Hermeneutics, TorahResources.com Distance Learning Yeshiva, 2000, p. 20


[5] Helenism (http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/judaica/ejud_0002_0008_0_08708.html)


[6] J.I. Packer, Merril C. Tenney, William White, JR., Dunia Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas 1993, hal 58-64


[7] Ibid., hal 64


[8] The Influence of the Greek Mind in Modern Life
(http://en.wikisource.org/wiki/Essays_and_Addresses/The_Influence_of_the_Greek_Mind_on_Modern_Life

[9] Op.Cit., Dunia Perjanjian Baru, hal 64

[10] Bryan Knowles, The Hebrew Mind vs The Western Mind(http://www.godward.org/Hebrew%20Roots/hebrew_mind_vs__the_western_mind.htm)


[11] Ibid.,

[12] Ibid.,

[13] Ibid.,

[14] Ibid.,


[15] Ancients Hebrew Thought (http://www.ancient-hebrew.org/12_thought.html)


[16] Teguh Hindarto, Pemahaman Terhadap Cara Pandang Semitik Hebraik Dan Implikasinya Terhadap Pembacaan Kitab Suci (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/04/pemahamanterhadap-cara-pandang-semitik.html

0 komentar:

Posting Komentar