RSS Feed

MEMISAHKAN FAKTA DAN FIKSI SEPUTAR SEJARAH KEBUMEN

Posted by Teguh Hindarto




TANGGAPAN UNTUK ARTIKEL RAVIE ANANDA,
“SEJARAH CIKAL BAKAL KABUPATEN KEBUMEN”


Introduksi

Saya bukan pakar sejarah namun saya menaruh minat terhadap pengkajian kesejarahan. Demikian pula mengenai kesejarahan Kabupaten Kebumen. Minat saya bermula sejak tahun 1998 memasuki kota Kebumen dan sampai hari ini tinggal dan menjadi warga Kebumen. Saat berjalan berkeliling kota saya kerap menemukan situs bangunan peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda, mulai dari pabrik Sari Nabatiasa (dulu eks pabrik minyal Mexolie), stasiun Kereta Api, gedung Gereja Kristen Jawa (GKJ), gedung bundar, serta berbagai bentuk bangunan rumah kuno yang masih tersisa hingga kini, baik dalam bentuk rumah asli berasitektur Kebumen maupun rumah peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda. Namun demikian, informasi mengenai masa lalu Kebumen sangat minim sekali.

Beberapa hari lalu saya membuka situs Pemkab Kebumen dan mendapatkan informasi sbb: “KEBUMEN- Desakan dari sejumlah masyarakat untuk meninjau kembali Hari Jadi Kabupaten Kebumen beberapa waktu lalu sempat mengemuka. Kini, wacana merevisi Hari Jadi Kabupaten Kebumen pun kembali menguat. Hal ini terungkap saat audiensi Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen bersama Bupati Kebumen H Buyar Winarso SE di Gedung F Sekretariat Daerah Kebumen, Selasa (22/1)........... Salah satu tokoh yang mempermasalahkan hari jadi tersebut, yakni Ravie Ananda, Budayawan dan Pemerhati Sejarah asal Kebumen, Dia mengungkapkan, peringatan Hari Jadi Kebumen yang selama ini diperingati berdasar Perda Kabupaten Kebumen yang merujuk Surat Keputusan Jenderal Pemerintahan Belanda Nomor 629/1935 tertanggal 31 Desember 1935. Yakni mengenai penggabungan pemerintahan atau birokrasi antara Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kebumen. Surat yang ditadatangani Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda bernama De Jonge ini secara resmi diberlakukan sejak 1 Januari 1936.”[1]. Mendengar nama Ravie Ananda saya jadi teringat bahwa belakangan ini saya sedang “melahap” semua keterangan dan informasi penting yang saya cari selama ini mengenai kesejarahan Kebumen baik masa pra kolonial maupun masa kolonial Belanda. Nama Ravie Ananda saya kenal dari kedua blog yang menampung semua tulisan dan pengkajiannya seputar Kebumen yaitu kebumen2013.blogspot.com dan wahyupancasila.wordpress.com

Saya bersyukur dan berterimakasih kepada Ravie Ananda yang telah membuat suatu kajian yang cukup lengkap mengenai kesejarahan Kebumen yang meliputi sejarah Panjer, sejarah pabrik Mexolie, peranan Kebumen dalam perang Diponegoro, peranan Kebumen dalam masa revolusi melawan pemerintahan kolonial Belanda, serta sejumlah nama-nama tokoh penting yang berkaitan dengan cikal bakal Kebumen seperti Singo Patra, Badranala, Bumi Dirjo, Arung Binang, Kolopaking.

AKHIR SEBUAH IRONI SEKOLAH BERLABEL RSBI

Posted by Teguh Hindarto




Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan bahwa sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) sebagai inkonstitusional alias tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945[1].

Keberadaan sekolah berlabel RSBI didasarkan pada elemen aturan hukum yaitu UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 50 ayat 3, PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional, Renstra 2010-2014. Melalui uji materil yang dilakukan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) yang dipimpin Mahfud M.D. maka ketiga elemen dasar hukum di atas, khususnya UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 50 ayat 3, ditiadakan kekuatan hukumnya. Dasar pembubaran sekolah bertatus RSBI didasarkan pada beberapa hal berikut, Pertama, bertentangan dengan UUD 1945 karena undang-undang menjamin bahwa pendidikan adalah hak seluruh masyarakat dan bukan sebuah keistimewaan tertentu. Kedua, terjadinya kesenjangan antara sekolah reguler dengan sekolah berstatus RSBI baik dibidang pembiayaan serta perlakuan terhadap sekolah dan siswa di dalamnya. Ketiga, sekolah berlabel RSBI berhak menarik pungutan lebih besar pada peserta didik dan peserta didik harus membayar biaya lebih besar dibanding dengan peserta didik yang bersekolah di sekolah reguler[2].

Setidaknya, dengan keputusan MK di atas akan berdampak pada ditutupnya sekitar 1300-an sekolah-sekolah berstatus RSBI. Tahun 2007 tercatat ada 419 sekolah berlabel RSBI. Tahun 2009 tercatat ada 323 sekolah dan tahun 2011 tercatat ada 1.305 sekolah[3].

Ironi Eksistensi RSBI

Keberadaan sekolah berlabel RSBI sendiri sudah banyak melahirkan sejumlah ironi dan kontradiksi. Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV bertajuk Mencerdaskan Tanpa Diskriminasi, mengungkapkan sejumlah malpraktek dalam sekolah-sekolah berlabel RSBI al., kompetensi guru yang tidak memadai dalam bahasa Inggris saat penyampaian mata pelajaran Fisika menimbulkan kebingungan dan ketidakmengertian di kalangan peserta didik, baik terhadap makna bahasa Inggris yang tidak memadai saat dikomunikasikan, apalagi dengan mata pelajaran yang disajikan. Ada lagi laporan dari Medan yang melaporkan bahwa masih ditemuinya guru-guru dari sekolah berlabel RSBI yang kerap tidak masuk sekolah serta ada pula yang melaporkan mengenai kebiasaan guru yang hanya menyuruh murid untuk mengerjakan soal-soal kemudian ditinggal pergi. Jika ada pertanyaan dari murid-murid justru diminta untuk mencari jawabannya pada teman-teman yang mengerti. Usman Kamsong sebagai nara sumber dalam Bedah Editorial Media Indonesia meringkaskan dengan kalimat, “Praktiknya tidak sesuai dengan tujuan mulianya”.

Beberapa waktu lalu keberadaan RSBI telah disoroti tajam oleh sejumlah pakar pendidikan. Mohamad Ali, MPd., seorang praktisi pendidikan dan penulis buku, Menyemai Sekolah Bertaraf Internasional, mengatakan bahwa program RSBI dinilai gagal total. Beliau menjelaskan, “Padahal sudah delapan tahun program tersebut diadakan oleh pemerintah. Tapi berdasarkan evaluasi Kemdiknas hingga akhir 2011, tak ada satupun RSBI yang layak menjadi SBI. Itu bisa dibilang RSBI gagal total[4]. Salah satu penyebab kegagalan RSBI menurut Mohamad Ali antara lain adanya mekanisme seleksi yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dan bukan oleh sekolah. Tindakan pemerintah tersebut dinilai merupakan wujud tidak adanya kepercayaan baik dari pemerintah kepada sekolah maupun dari sekolah kepada hasil seleksi. Pemerintah dinilai mencengkram sekolah berstatus RSBI[5].

Ironi yang menyolok adalah ketika Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011 melaporkan nilai rata-rata siswa kelas VIII hanya 386 dan menempati urutan ke 38 dari 42 negara. Di bawah Indonesia ada Suriah, Maroko, Oman dan Ghana. Negara tetangga seperti Malaysia, Singgapura dan Thailand ada di atas Indonesia. Singgapura bahkan ada diperingkat kedua dengan nilai rata-rata 611. Bukan hanya Matematika, hasil Sains tidak kalah mengecewakan. Indonesia berada diurutan ke 40 dari 42 negara dengan nilai rata-rata 406. Di bawah Indonesia ada Maroko dan Ghana. Yang mencengangkan, nilai matematika dan sains kelas VIII Indonesia bahkan berada di bawah Palestina yang negaranya didera konflik berkepanjangan[6].