RSS Feed

MEMISAHKAN FAKTA DAN FIKSI SEPUTAR SEJARAH KEBUMEN

Posted by Teguh Hindarto




TANGGAPAN UNTUK ARTIKEL RAVIE ANANDA,
“SEJARAH CIKAL BAKAL KABUPATEN KEBUMEN”


Introduksi

Saya bukan pakar sejarah namun saya menaruh minat terhadap pengkajian kesejarahan. Demikian pula mengenai kesejarahan Kabupaten Kebumen. Minat saya bermula sejak tahun 1998 memasuki kota Kebumen dan sampai hari ini tinggal dan menjadi warga Kebumen. Saat berjalan berkeliling kota saya kerap menemukan situs bangunan peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda, mulai dari pabrik Sari Nabatiasa (dulu eks pabrik minyal Mexolie), stasiun Kereta Api, gedung Gereja Kristen Jawa (GKJ), gedung bundar, serta berbagai bentuk bangunan rumah kuno yang masih tersisa hingga kini, baik dalam bentuk rumah asli berasitektur Kebumen maupun rumah peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda. Namun demikian, informasi mengenai masa lalu Kebumen sangat minim sekali.

Beberapa hari lalu saya membuka situs Pemkab Kebumen dan mendapatkan informasi sbb: “KEBUMEN- Desakan dari sejumlah masyarakat untuk meninjau kembali Hari Jadi Kabupaten Kebumen beberapa waktu lalu sempat mengemuka. Kini, wacana merevisi Hari Jadi Kabupaten Kebumen pun kembali menguat. Hal ini terungkap saat audiensi Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen bersama Bupati Kebumen H Buyar Winarso SE di Gedung F Sekretariat Daerah Kebumen, Selasa (22/1)........... Salah satu tokoh yang mempermasalahkan hari jadi tersebut, yakni Ravie Ananda, Budayawan dan Pemerhati Sejarah asal Kebumen, Dia mengungkapkan, peringatan Hari Jadi Kebumen yang selama ini diperingati berdasar Perda Kabupaten Kebumen yang merujuk Surat Keputusan Jenderal Pemerintahan Belanda Nomor 629/1935 tertanggal 31 Desember 1935. Yakni mengenai penggabungan pemerintahan atau birokrasi antara Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kebumen. Surat yang ditadatangani Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda bernama De Jonge ini secara resmi diberlakukan sejak 1 Januari 1936.”[1]. Mendengar nama Ravie Ananda saya jadi teringat bahwa belakangan ini saya sedang “melahap” semua keterangan dan informasi penting yang saya cari selama ini mengenai kesejarahan Kebumen baik masa pra kolonial maupun masa kolonial Belanda. Nama Ravie Ananda saya kenal dari kedua blog yang menampung semua tulisan dan pengkajiannya seputar Kebumen yaitu kebumen2013.blogspot.com dan wahyupancasila.wordpress.com

Saya bersyukur dan berterimakasih kepada Ravie Ananda yang telah membuat suatu kajian yang cukup lengkap mengenai kesejarahan Kebumen yang meliputi sejarah Panjer, sejarah pabrik Mexolie, peranan Kebumen dalam perang Diponegoro, peranan Kebumen dalam masa revolusi melawan pemerintahan kolonial Belanda, serta sejumlah nama-nama tokoh penting yang berkaitan dengan cikal bakal Kebumen seperti Singo Patra, Badranala, Bumi Dirjo, Arung Binang, Kolopaking.


Tinjauan Kritis

Namun demikian, pembacaan saya atas artikel Ravie Ananda bukan tanpa sikap kritis. Ada dua hal yang hendak saya kritisi mengenai kajian sejarah Ravie Anand. Saya meragukan kesimpulan Ravie Ananda ketika menghubungkan nama Panjer (sebuah wilayah Kadipaten cikal bakal kota Kebumen yang berlokasi di sekitar Pabrik Mexolie atau Sari Nabatiasa sekarang) dengan Babad Kediri. Saya juga meragukan kesimpulan meletakkan lokasi Panjer sebagai tempat pamoksan dari Patih Gajah Mada.

Dalam kajiannya, Ravie Ananda menuliskan mengenai hubungan Panjer dengan Kediri sbb:

Wilayah Panjer sebagai sebuah kadipaten/ Kerajaan telah dikenal dalam ranah nasional pada masa kerajaaan Kediri. Dalam Kitab “Babad Kedhiri“, disebutkan: ‘Babagan kadipaten Panjer dicritakake nalika Adipati Panjer sepisanan mrentah ing Panjer, duwe kekareman adu pitik. Sawijining dina nalika rame-ramene kalangan adu pitik ing pendhapa kadipaten, ana salah sijine pasarta sing jenenge Gendam Asmarandana, asale saka Desa Jalas. Gendam Asmarandana sing pancen bagus rupane kuwi wusana ndadekake para wanita kayungyun, kalebu Nyai Adipati Panjer. Nyai Adipati sing weruh baguse Gendam Asmarandana uga melu-melu kayungyun. Kuwi ndadekake nesune Adipati Panjer. Nalika Adipati Panjer sing nesu kuwi arep merjaya Gendam Asmarandana kanthi kerise, Gendam Asmarandana kasil endha lan suwalike kasil nyabetake pedhange ngenani bangkekane Adipati Panjer. Adipati Panjer sing kelaran banjur mlayu tumuju Sendhang Kalasan sing duwe kasiyat bisa nambani kabeh lelara. Nanging durung nganti tekan sendhang kasil disusul dening Gendam Asmarandana lan wusana mati. Gendam Asmarandana sing weruh Adipati Panjer mati banjur mlayu tumuju omahe nanging dioyak dening wong akeh. Gendam Asmarandana sing keweden banjur njegur ing Sendhang Kalasan. Wong-wong sing padha melu njegur ing sendhang, kepara ana sing nyilem barang, tetep ora kasil nyekel Gendam Asmarandana. Wong-wong ngira yen Gendam Asmarandana wus malih dadi danyang sing manggon ing sendhang kuwi. Sabanjure kanggo ngeling-eling kedadeyan kuwi digawe pepethan saka watu sing ditengeri kanthi aran Smaradana, mapan ing Desa Panjer’”[2]

Ravie Ananda juga menghubungkan nama Patih Gajah Mada yang moksa dengan Panjer sbb:
Maha Patih Gajah Mada adalah salah satu tokoh termasyhur pada zaman Kerajaan Majapahit yang telah berhasil menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapanya. Dari berbagai literatur yang ada belum pernah didapati mengenai riwayat lengkap mengenai kelahirannya, keluarga dan kematiannya. Sosok Gajah Mada hingga kini menjadi suatu misteri bagi sejarah Nusantara. Akhir – akhir ini banyak bermunculan klaim terhadap lokasi kelahiran dari Maha Patih Gajah Mada, akan tetapi mengenai Pamokshannya ( tempat bertapanya Beliau hingga hilang dengan raganya seperti tradisi tokoh – tokoh besar Jawa jaman dahulu ) tidak pernah diketahui. Satu – satunya situs Pamokshan Gajah Mada yang sejak dahulu telah diketahui masyarakat pada zaman Mataram Islam adalah di Kabupaten Panjer. Situs tersebut kemudian dihilangkan bersama kompleks makam kuno yang ada di sana oleh Belanda dengan mengubahnya menjadi pabrik minyak kelapa Sari Nabati. Hal ini senasib dengan situs kerajaan Kediri yang kemudian diubah Belanda menjadi pabrik gula Mamenang Kediri. Pernah muncul klaim mengenai pamokshan Gajah Mada di suatu gua di balik sebuah air terjun di Jawa Timur. Klaim tersebut berdasar pada pemahaman sekelompok orang terhadap Gajah Mada yang disamakan dengan Patih Udara alias Patih Tunggul Maniq ( Patih Majapahit sebelum Gajah Mada ). Tentunya dasar landasan tersebut sangat tidak tepat jika mengacu pada literatur Dr. J. Brandes yang diturun dari kitab – kitab babad Jawa yang berhasil ditemukan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Literatur Dr. J. Brandes menyebutkan sebagai berikut :

Kyai Patih Udara als kluizenaar Tunggulmaniq op den berg Mahameru; zijne 2 plichtkinderer : Ki Tanpa Una en Ni ( of Dewi ) Tanpa Uni de door Siung Wanara in de Karawang rivier geworpen vorst en vorstin van Pajajaran. Rijksbestuurdeerna Patih Udara vertrek : Patih Logender, diens broer, gehuwd met eene dochter van den Adipati van Gending…… Brawijaya – Patih Wirun Bra Kumara – Patih Wahas ( zoon van Wirun ) en daarna Ujungsabata. Ardiwijaya – Patih Jayasena ( zoon van Wahas, dipati van Kadiri) Adaningkung of Kala Amisani – Patih Udara Kencana Wungu – Patih Logender Mertawijaya – Patih Gajah Mada Angkawijaya – Patih Gajah Mada ………

Dari uraian di atas sangat jelas bahwa Gajah Mada bukanlah Tunggul Maniq, sehingga Pamoksan Tunggul Maniq yang diklaim di Jawa Timur tersebut bukanlah Pamokshan Gajah Mada. Semakin kuat kiranya situs Pamoksan Gajah Mada yang berada di desa Panjer sebagai situs asli mengingat desa tersebut sejak jaman dahulu selalu menjadi tempat tokoh – tokoh besar Jawa mengungsi, bersemadhi, bersembunyi dan sebagai basis kekuatan militer serta pemerintahan darurat ketika kraton asli direbut oleh pemberontak”[3]

Apakah yang dimaksudkan dengan Moksa? Moksa dapat diartika pembebasan jiwa dari tubuh. Berikut saya kutipkan salah satu penjelasan dari perspektif agama Hindu sbb:

Dalam agama Hindu kita percaya adanya Panca Srada yaitu lima keyakinan yang terdiri dari, Brahman, Atman, Karma Pala, Reinkarnasi, dan Moksa. Moksa berasal dari bahasa sansekreta dari akar kata "MUC" yang artinya bebas atau membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Jagaditha dapat juga disebut dengan Bukti artinya membina kebahagiaan, kemakmuran kehidupan masyarakat dan negara.

Jadi Moksa adalah suatu kepercayaan adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman. Kalau orang sudah mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran, kebahagian).

Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebesan asal persyaratan2 moksa dilakukan, jadi kita mencapai moksa tidak menunggu waktu sampai meninggal” [4]

Sebelum saya memberikan tanggapan kritis atas kajian Ravie Ananda saya akan mengulas secara singkat mengenai sejarah Kebumen dari beberapa sudut pandang.


Beberapa Versi Lahirnya Kabupaten Kebumen

Berdasarkan Perda Kab. Kebumen nomor 1 tahun 1990 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten kebumen dan beberapa sumber lainnya dapat diketahui latar belakang berdirinya Kabupaten kebumen antara lain ada beberapa versi yaitu :[5]

Versi I 

Versi Pertama asal mula lahirnya Kebumen dilacak dari berdirinya Panjer . Menurut sejarahnya menurut sejarahnya, Panjer berasal dari tokoh yang bernama Ki Bagus Bodronolo. Pada waktu Sultan Agung menyerbu ke Batavia ia membantu menjadi prajurit menjadi pengawal pangan dan kemudian diangkat menjadi senopati. Ketika Panjer dijadikan menjadi kabupaten dengan bupatinya Ki Suwarno( dari Mataram ), Ki Bodronolo diangkat menjadi Ki Gede di Panjer Lembah ( Panjer Roma ) dengan gelar Ki Gede Panjer Roma I, Pengangakatan tersebut berkat jasanya menangkal serangan Belanda yang akan mendarat di Pantai Petanahan sedangkan anaknya Ki Kertosuto sebagai patihnya Bupati Suwarno. Demang Panjer Gunung, Adiknya Ki Hastrosuto membantu ayahnya di Panjer Roma, kemudian menyerahkan jabatannya kepada Ki Hastrosuto dan bergelar Ki Panjer Roma II. Tokoh ini sangat berjasa karena memberi tanah kepada Pangeran Bumidirja. yang terletak di utara Kelokan sungai Lukulo dan kemudian dijadikan padepokan yang amat terkenal. Kedatangan Kyai P Bumidirja menyebabkan kekhawatiran dan prasangka, maka dari itu beliau menyingkir ke desa Lundong sedang Ki panjer Roma II bersama Tumenggung Wongsonegoro Panjer gunung menghindar dari kejaran pihak Mataram. Sedangkan Ki Kertowongso dipaksa untuk taat kepada Mataram dan diserahi Penguasa dua Panjer, sebagai Ki Gede Panjer III yang kemudian bergelar Tumenggung Kolopaking I ( karena berjasa memberi kelapa aking pada Sunan Amangkurat I ). dari Veri I dapat disimpulkan bahwa lahirnya Kebumen mulai dari Panjer yaitu tanggal 26 Juni 1677. 

Versi II 

Sejarah Kabupaten Kebumen dimulai sejak Tumenggung Arung Binang I yang masa mudanya bernama JAKA SANGKRIP yang berdarah Mataram dan dititipkan kepada pamannya Demang Kutawinangun. Setelah dewasa lalu mencari ayahnya ke keraton Mataram dan setelah membuktikan keturunan Raja maka ia diangkat menjadi Mantri Gladag, kemudian sampai Bupati Nayaka dengan Gelar Hanggawangsa. setelah diambil menantu oleh Patih Surakarta kemudian diangkat menjadi Tumenggung Arung Binang I sampai dengan keturunannya yang Ke III sedangkan Arung Binang IV sampai ke VIII secara resmi menjadi Bupati Kebumen. 

Versi III 

Asal mula nama Kebumen adalah adanya tokoh KYAI. PANGERAN BUMIDIRJA. Beliau adalah bangsawan ulama dari Mataram, adik Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Ia dikenal sebagai penasihat raja, yang berani menyampaikan apa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah. Kyai P Bumidirjo sering memperingatkan raja bila sudah melanggar batas-batas keadilan dan kebenaran. Ia berpegang pada prinsip : agar raja adil dan bijaksana. Disamping itu juga ia sangat kasih dan sayang kepada rakyat kecil. Kyai P Bumidirjo memberanikan diri memperingatkan keponakannya, yaitu Sunan Amangkurat I. Karena sunan ini sudah melanggar paugeran keadilan dan bertindak keras dan kejam. Bahkan berkompromi dengan VOC (Belanda) dan memusuhi bangsawan ,ulama dan rakyatnya. Peringatan tersebut membuat kemarahan Sunan Amangkurat I dan direncanakan akan dibunuh, Karena menghalangi hukum qishos terhadap Kyai P Pekik dan keluarganya ( mertuanya sendiri ). 

Untuk menghadapi hal itu, Kyai P Bumidirjo lebih baik pergi meloloskan diri dari kungkungan sunan Amangkurat I. Dalam perjalanan ia tidak memakai nama bangsawan , namun memakai nama Kyai Bumi saja. Kyai P Bumidirjo sampai ke Panjer dan mendapat hadiah tanah di sebelah utara kelok sungai Lukulo , pada tahun 1670. Pada tahun itu juga dibangun padepokan/pondok yang kemudian dikenal dengan nama daerah Ki bumi atau Ki-Bumi-An, menjadi KEBUMEN.

Oleh karena itu bila lahirnya Kebumen diambil dari segi nama, maka versi Kyai Bumidirjo yang dapat dipakai dan mengingat latar belakang peristiwanya tanggal 26 Juni 1677. Berdasarkan bukti-bukti sejarah bahwa Kebumen berasal dari kata Bumi, nama sebutan bagi P Kyai Bumidirjo , mendapat awalan Ke dan akhiran an yang menyatakan tempat. Hal itu berarti Kabumen mula mula adalah tempat tinggal P Bumidirjo[6]

Ravie Ananda dalam banyak tulisannya nampak lebih menaruh fokus pada nilai historis Panjer sebagai wilayah penting jauh sebelum kedatangan Belanda ke wilayah Kebumen. Panjer merupakan sebuah wilayah penting di zaman Mataram Islam yaitu sebagai pusat lumbung padi Mataram khususnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646 Ms)[7]. Kekalahan Sultan Agung disebabkan oleh dibakarnya lumbung-lumbung padi Mataram khususnya yang berada di wilayah Panjer

Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma disebabkan oleh dibakarnya lumbung – lumbung padi Mataram oleh Belanda, dimana lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di Panjer” [8].

Namun ketika saya membuka beberapa catatan sejarah dan artikel yang terkait dengan penyerbuan Sultan Agung Hanyakrakusuma ke Batavia yang berlangsung pada tahun1628 dan 1629, tidak didapati nama Panjer sebagai pusat lumbung beras terbesar Mataram. Sebaliknya, Tegal, Karawang dan Cirebon lah yang menjadi pusat-pusat lumbung padi Mataram yang terbesar sebagaimana disitir Nurdayat sbb:

Sementara itu orang-orang Mataram mengumpulkan padi di Tegal. Padi itu akan ditumbuk di Tegal untuk diperdagangkan ke Batavia. Siasat ini kemudian dibocorkan oleh seorang anak buah dari salah satu perahu warga, sehingga ketika Warga tiba di Batavia untuk kedua kalinya ia ditangkap dan ditanyai tentang kebenaran berita, bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Hal ini dibenarkan oleh Warga dan rahasia bahwa Tegal menjadi gudang persediaan beras bagi tentara Mataram pun terbuka. Setelah mendapat keterangan ini Kompeni mengirimkan armadanya ke Tegal, di mana perahu-perahu Mataram, rumah-rumah dan gudang-gudang beras bagi tentara Mataram dibakar habis, setelah Tegal mendapat perusakan, Kompeni mengarahkan perhatiannya terhadap Cirebon. Kota ini juga mendapat gilirannya. Persediaan padi di sini pun habis dibakar oleh VOC. Akibat dari dimusnahkannya gudang beras Mataram, usaha pengepungan Batavia tidak berlangsung lama. Meskipun demikian mereka toh mendekati benteng Hollandia dengan mengadakan pendekatan melalui parit-parit. Benteng Hollandia dapat mereka rusakkan. Setelah berhasil, mereka menuju benteng Bommel, akan tetapi di sini mereka gagal”[9]

Senada dengan pernyataan di atas, Mayor Cba I.K.Arsana Putra, S.T., M.Sc menegaskan,

Bercermin pada kegagalan penyerangan yang pertama ke Batavia, kemudian Sultan Agung memerintahkan untuk melakukan penanaman padi diwilayah Purwakarta dan Cirebon[10]

Menurut sumber yang lainnya dikatakan mengenai peranan lumbung pemasok logistik Mataram,

Baru setelah Surabaya dapat dikuasai Mataram (1625), Sultan Agung merencanakan penyerangan ke Batavia.Untuk perbekalan bagi pasukannya, disiapkan di tempat-tempat yang dilalui, seperti di Jepara, Tegal, Kendal, Pekalongan, Ciasem, Cirebon dan Kerawang — yang direbutnya dari Banten. Karawang terkenal penghasil beras yang besar bagi Banten”[11]

Satu-satunya rujukan yang dipakai oleh Ravie Ananda adalah tulisan karya Rijklof Van Goens tanpa menyebutkan judul buku yang dituliskan beliau. Rijklof Van Goens sendiri adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda yang memerintah dari Tahun 1678-1681. Beliau lahir di Ress dan banyak menuliskan kunjungannya ke Ceylon dan India. Beliau pernah menuturkan kunjungannya ke istana Sultan Agung di zaman Mataram Islam. Beliau meninggal pada usian 63 Tahun[12]. Selengkapnya pernyataan Ravie Ananda,

Catatan Rijklof Van Goens, seorang sejarawan Belanda yang lima kali mengunjungi Mataram mencatat bahwa Mataram mengalami jaman keemasan di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ketika itu memiliki lumbung padi terbesar di Panjer dengan bupatinya yang bernama Ki Soewarno. Usaha penyerangan Belanda terhadap lumbung terbesar Mataram Sultan Agung yang berada di Panjer melalui Urut Sewu (Petanahan) berhasil digagalkan oleh Ki Badranala bersama Ki Singapatra (mertua Ki Badranala) dimana Ki Badranala kemudian dijadikan Senopati pada ekspedisi penyerangan Mataram ke Batavia dan berhasil memporak-porandakan pertahanan Belanda di benteng Solitude (kini menjadi Masjid Istiqlal). Penyerangan Pasukan Panjer berikutnya tertunda karena Batavia dilanda wabah penyakit, sehingga pasukan Panjer gelombang kedua berhenti di Ajibarang”[13]

Dalam artikel lainnya Ravie Ananda mengutip tulisan Rijklof Van Goens, sayangnya tidak memberikan rujukan judul dan penerbitnya. Kutipan tersebut menuliskan catatan Rijklof Van Goens sbb:

Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang – orang jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno”[14]

Menurut Ravie Ananda, nilai penting Panjer bukan hanya sebatas lumbung-lumbung padi Mataram melainkan menjadi lokasi penting pertemuan Pangeran Diponegoro dengan pejabat panjer saat mengambil keputusan melakukan perlawanan terhadap VOC. Pertemuan tersebut untuk mengatur strategi perlawanan. Bahkan beberapa wilayah Panjer adalah lokasi persembunyian Pangeran Diponegoro. Ravie Ananda menuliskan,

Pecahnya perang Diponegoro pada tanggal 20 juli 1825 meluas sampai ke wilayah Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Pada tanggal 21 Juli 1826 datanglah utusan Pangeran Diponegoro ke Kotaraja Kabupaten Panjer ( lokasi Kotaraja tersebut kini berada di kompleks eks pabrik minyak kelapa Sari Nabati Panjer, sedangkan lokasi Kodim 0709 Kebumen dahulunya dinamakan Kebun Raja atau Taman Raja karena disitulah taman/kebun Kabupaten Panjer berada). Utusan Pangeran Diponogoro tersebut bernama Senopati Sura Mataram dan Ki Kertodrono (Adipati Sigaluh Karanggayam). Kedatangan mereka di Panjer Roma disambut oleh Tumenggung Kalapaking IV, Senopati Somawijaya dan Banaspati Brata Jayamenggala (nama asli Mbah Jamenggala yang akhirnya dihukum gantung oleh Belanda di tengah alun – alun Kebumen karena mendukung Pangeran Diponegoro). Bersamaan dengan utusan tersebut, datang pula tamu dari Kradenan yaitu Ki Cakranegara. Mereka kemudian mengadakan perundingan dengan keputusan untuk membantu Perjuangan Pangeran Diponegoro yang sedang melawan Belanda. Adipati Panjer Roma ( Tumenggung Kalapaking IV ) bertugas menyediakan logistik pangan, dan persenjataan untuk para prajurit Panjer Roma yang dipimpin oleh Senopati Gamawijaya.
Pada tanggal 19 November 1826 terjadi perang besar di Purworejo antara Belanda melawan Pangeran Diponegoro yang pada saat itu dibantu oleh prajurit Banyumas. Dalam perang tersebut Pangeran Diponegoro jatuh sakit sehingga pasukan Banyumas mundur dan bersembunyi di benteng Sokawarna. Pangeran Diponegoro sendiri bersembunyi di sebuah gua selama beberapa hari hingga pulih. Setelah sembuh dari sakitnya, Pangeran Diponegoro segera berangkat ke Kotaraja Panjer untuk menyusun strategi dan kekuatan bersama Tumenggung Kalapaking IV. di sana pulalah Beliau selama 3 hari bersemadhi di kompleks makam kuno dan Pamokshan Maha Patih Gajah Mada yang dari dahulu telah menjadi salah satu tempat semadi para tokoh – tokoh Mataram ( Lokasi tempat pertemuan dan peristirahatan sementara Pangeran Diponegoro itu kini menjadi taman kanak – kanak PMK Sari Nabati. Di tempat itu pula lah kuda tunggangan Beliau beristirahat sementara Pangeran Diponegoro bersemadhi di Pamokshan Maha Patih Gajah Mada yang kini terbengkalai, bahkan dijadikan gudang kursi – kursi rongsokan oleh pengelolanya).

Keberadaan Pangeran Diponegoro di Kotaraja Panjer ternyata tercium juga oleh Belanda. Beliau berhasil meloloskan diri dari Kotaraja Panjer sebelum daerah tersebut diserbu oleh Belanda yang bekerjasama dengan Adipati Arungbinang IV. Penyerbuan terhadap Kotaraja Panjer itu sendiri dilakukan secara besar – besaran dari tiga jurusan ( dari arah timur, selatan, dan barat )yang mengakibatkan tewasnya Tumenggung Kalapaking IV akibat terluka cukup parah dalam pertempuran tersebut”[15]

Sejarah mencatat akar perlawanan Pangeran Diponegoro bermula dari rencana dan tindakan Gubermen Hindia Belanda yang berencana membuat jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melalui rute Muntilan. Namun tahun 1825 Belanda mengubah rute tersebut dengan membelokkan jalur jalan tersebut ke arah Tegalrejo (kediaman nenek Pangeran Diponegoro). Tanpa pemberitahuan Belanda langsung mematok tanah dan mengusur rumah warga yang dilewati proyek jalan raya.

Bahkan proyek tersebut akan menerabas makam leluhur Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro mengajukan surat protes keras atas tindakan Belanda tersebut. Namun demikian, Patih Danurejo dan Residen Yogyakarta bernama A.H. Smissaert tidak mengubris. Karena tidak mendapatkan tanggapan, Pangeran Diponegoro dan rakyat dibelakangnya melakukan pencabutan patok-patok proyek jalan raya tersebut.

Tindakan Diponegoro menarik perhatian A.H. Smissaert sehingga membuat dirinya memanggil Diponegoro untuk berunding. Namun Diponegoro tidak mengindahkan panggilan tersebut sehingga Belanda mengutus paman Diponegoro yaitu Pangeran Mangkubumi. Alih-alih mendukung Belanda, Pangeran Mangkubumi justru berpihak kepada Diponegoro.

Dalam kegusarannya, Belanda mengutus Chevallier untuk menangkap Diponegoro. Sejak itulah terjadi kontak senjata berkepanjangan antara kedua belah pihak[16]

Kita kembali ke persoalan Panjer. Dimanakah letak Panjer kuno sebagai sebuah Kadipaten? Ravie Ananda menyitir bahwa lokasi pendopo Kadipaten Panjer adalah di tempat dimana sekarang ini berdiri bekas Pabrik Minyak Mexolie yang didirikan VOC tahun 1851 yang kepemilikannya sejak tahun 1985 menjadi milik Perusda Jateng dan tutup hingga kini[17]. Selengkapnya Ravie Ananda menuliskan,

Seiring berjalannya waktu dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Panjer juga tidak luput dari kekuasaan Belanda. Panjer tetap dijadikan basis pemerintahan oleh Pemerintah Belanda karena lokasinya yang sangat strategis ( meskipun sejarah masa lalu itu telah hilang ). Hal ini dapat kita lihat dari sisi genetik historisnya dimana Panjer sampai saat ini adalah suatu desa / kelurahan yang lengkap dengan fasilitas – fasilitas yang dibangun oleh Belanda jauh sebelum kemerdekaan, seperti: Stasiun Kereta Api, Rumah Sakit ( dahulu dikenal dengan nama Sendeng; berasal dari kata Zending yang berarti politik penyebaran agama Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara pertolongan kesehatan ), Gedung Pertunjukan, Pertahanan Militer, Perumahan Belanda yang lebih dikenal dengan nama KONGSEN ( berasal dari kata Kongsi ), Taman Kanak – Kanak yang dahulunya merupakan tempat pendidikan dan bermain bagi anak – anak para Pejabat Belanda yang tinggal di wilayah tersebut, serta Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabatiasa”[18]

Dalam bukunya yang berjudul Kebumen dan Jejak-Jejak Merah Putih dijelaskan,

Sejak pemerintahan Arungbinang IV inilah Panjer Roma dan Panjer Gunung digabung menjadi satu dengan nama Kebumen. Untuk memantapkan kedudukan setelah kemenangannya atas peristiwa pembagian wilayah, Arungbinang IV mendirikan Pendopo Kabupaten baru yang kini menjadi Pendopo dan Rumah Dinas Bupati Kebumen lengkap  dengan alun-alunnya. Adapun Pendopo Agung lama/Kabupaten Panjer kemudian dibumihanguskan dan diubah menjadi Pabrik Minyak Mezolie/sari Nabati Panjer yang dibangun pada tahun 1851)”[19]

Demikian ulasan dan penekanan Ravie Ananda terhadap Panjer sebagai situs bersejarah cikal bakal berdirinya Kabupaten Kebumen sehingga menempatkannya pada kedudukan yang istimewa dalam perjalanan sejarah berdirinya Kabupaten Kebumen.

Kermbali pada kajian awal dimana saya hendak mengritisi asumsi Ravie Ananda yang manarik lebih jauh mengenai keberadaan Panjer sampai pada zaman Kediri dengan pendalilan nama Panjer tercantum dalam Babad Kediri serta menjadi tempat pamoksannya Patih Gajah Mada.

Panjer Dalam Babad Kediri Bukan Panjer Kebumen

Penyimpulan bahwa nama Panjer dalam Babad Kediri sebagai Panjer Kebumen bukan saja lemah secara historis bahkan tidak memiliki korelasi langsung. Beberapa keberatan perlu dikemukakan untuk menyanggah ketidakmungkinan Panjer Kebumen adalah Panjer dalam Babad Kediri.

Pertama, Kisah Adipati Panjer yang berseteru dengan Gendam Smardhana sebagai akibat dibakar rasa cemburu dikarenakan istri Adipati mencintai Gendam Smaradhana hanya terkenal dan menjadi cerita rakyat di Jawa Timur dan bukan di Jawa Tengah apalagi di wilayah Kebumen. Berikut nukilan kisahnya.

Pada waktu itu Kerajaan Medangkamulan sudah berusia 120 tahun, kemudian dipindah, Prabu Mundingwangi yang bertahta di Prambanan dengan gelar Prabu Prawatasari. Dengan demikian kerajaan besar lalu berpindah ke Prambanan, sedangkan di Mamenang hanya dipimpin seorang adipati (bupati) yang berada di wilayah Panjer.

Tersebutlan seorang pemuda yang sangat tampan, yang membuat semua wanita di Panjer yang melihat pasti akan tertarik dan tergila-gila padanya, hal tersebut juga terjadi pada istri Bupati Panjer, Nyai Adipati juga tertawan hatinya pada saat melihatnya di arena persabungan ayam di Pendapa Kadipaten, sehingga Adipati Panjer sangatlah cemburu pada Gendam Smaradana, hingga ingin sekali beliau segera membunuh sang pemuda itu. Pada suatu kesempatan di arena sabung ayam Adipati Panjer sudah bulat tekadnya ingin segera menghabisi nyawa sang pemuda Gendam Smaradana.

Namun rencana tersebut telah diketahui oleh Nyai Adipati, sewaktu Adipati Panjer menghunus keris tepat dibelakang Gendam Smaradhana, berteriaklah Nyai Adipati demi mengingatkan sang pemuda, sehingga selamatlah si Gendam Smaradana, malahan beliau yang tewas. Adipati Panjer meninggal di tangan Gendam Smaradana. Dengan tewasnya Adipati Panjer menjadikan marahnya sehingga warga Panjer, mereka beramai-ramai mengejar ingin membunuh Gendam Smaradana. Demi untuk menyelamatkan diri dari kejaran penduduk Panjer, maka Gendam Smaradana lalu melarikan diri kearah timur, pada kawasan hutan kecil Gendam Smaradana tercebur di sebuah sendang (Sendang Kalasan), dan menghilang disana.

Untuk mengingat peristiwa itu, Gendam Smaradana lalu diabadikan dalam bentuk arca, yang diberi nama arca Semaradana. Sampai sekarang keberadaan arca tersebut masih ada dan konon masih berada di desa Panjer”[20].

Bahkan seorang pengarang bernama Edy Santosa menuliskan buku dengan judul Cerita Rakyat dari Jawa Timur 3dengan memasukkan kisah Adipati Panjer dan istrinya yang berselingkuh dengan Gendam Smaradhana[21].

Jika kisah Gendam Smaradhana milik masyarakat Panjer Kebumen, maka kisah tersebut akan menjadi kisah mulut ke mulut atau legenda masyarakat Kebumen. Faktanya, masyarakat Kebumen tidak mengetahui kisah tersebut dan tidak pernah menyebut-nyebut kisah tersebut sebagai bagian dari legenda.

Kedua, meyakini Panjer dalam Babad Kediri adalah Panjer Kebumen adalah oversimplicity mengingat nama suatu wilayah bisa disebutkan dan berada di wilayah lainnya. Contoh nama “Tegal Gondo” di wilayah Klaten dapat ditemui di wilayah Butuh, Kutoarjo. Nama “Karanganyar” ada di wilayah Solo dan juga di Karanganyar Kebumen. Nama “Geneng” ada di wilayah Sragen dan Prambanan Klaten. Adapun wilayah Panjer yang disebutkan dalam Babad Kediri masih ada sampai sekarang yaitu di desa Ploso Klaten, Kediri. Berikut akan saya perlihatkan beberapa lokasi Panjer Kediri al.,[22]





Tidak Ada Bukti Bahwa Panjer Adalah Lokasi Pamoksan Gajah Mada

Sekarang kita akan membahas dan mengritisi asumsi Ravie Ananda yang mengatakan bahwa eks Pabrik Minyak Mexolie Sari Nabatiasa yang dahulunya adalah pendopo Kabupaten Panjer kuno juga merupakan situs pamoksan Patih Gajah Mada. Asumsi ini sangat lemah karena tidak ada bukti-bukti material yang mendukung bahwa Gajah Mada pernah mendatangi Panjer selain dugaan-dugaan belaka berdasarkan mitologi masyarakat saja. Beberapa lokasi yang dimitoskan ada kaitannya dengan keberadaan Gajah Mada yaitu di dusun Loning, Sadang Wetan sebagaimana dituturkan Ravie Ananda berikut ini,

Punden Majapahit adalah nama sebuah situs spiritual yang berada di Dusun Loning, Desa Sadang Wetan, Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Tempat ini berupa sebuah batu yang dahulunya digunakan tokoh besar Majapahit yakni Gajah Mada untuk meletakkan pusaka – pusakanya. Gajah Mada berada di tempat ini dalam rangkaian perjalannya ke barat setelah diberhentikannya Beliau sebagai Maha Patih dikarenakan peristiwa perang Bubat.

Punden Majapahit berada di tengah areal pesawahan batu berbentuk terasering yang oleh masyarakat setempat disebut Sawah Majapahit. Meskipun merupakan lahan batu, pertanian padi di sawah Majapahit ini sangat baik. Pengairan tidak penah terkendala sehingga bisa dilakukan tiga kali tanam. Sawah Majapahit pun ibarat miniatur surga dunia di bumi Kebumen.

Di lokasi ini terdapat juga dua situs tak dikenal yang kemudian oleh warga dimitoskan sebagai makam meski sesungguhnya merupakan tempat dikubur dan dimurcakannya pusaka – pusaka Gajah Mada. Tumbuh pula beberapa pohon kelapa gading emas (warna gading tua kemerah – merahan) layaknya pagar hidup lokasi situs.

Setelah beberapa waktu berada di tempat ini, Gajah Mada kemudian melanjutkan perjalanannya ke selatan menyusuri sungai Luk Ula dan berhenti di daerah Panjer Kuno yang dahulunya masih berupa hutan kelapa di tepian Kerajaan/Kadipaten Panjer (yang kini bernama Kabupaten Kebumen). Di Panjer kuno inilah kemudian Gajah Mada Moksa/Murca”.[23]




Gambar di atas adalah areal pesawahan di dusun Loning, Sadang yang diyakini warga setempat sebagai sawah Majapahit. Demikian pula batu besar di bawah ini dianggap sebagai tempat pusaka-pusaka Gajah Mada murca atau raib secara gaib.



Namun asumsi mengenai eksistensi sawah majapahit dan batu besar di desa Loning, Sadang berkaitan dengan Gajah Mada, tidak mendapatkan dukungan apapun dari literatur babad maupun literatur pendukung lainnya.

Sebaliknya, ada kajian mengejutkan yang saya temukan yang menghubungkan nama sebuah tempat moksanya Gajah Mada di Sulawesi Tenggara, tepatnya di pulau Wangiwangi yang dulu merupakan wilayah Buton dan kini menjadi wilayah Wakatobi. Saya kutipkan selengkapnya kajian tersebut sbb:

Pulau Buton di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam catatan sejarah, pernah menjadi tempat pilihan perlindungan yang aman dari sejumlah bangsawan kerajaan ternama di Nusantara. Bahkan dalam penelusuran terakhir, ditemukan petunjuk dari sejumlah catatan dan bukti arkeolog, Pulau Wangiwangi yang dulunya masuk wilayah Buton dan kini menjadi Kabupaten Wakatobi justru tempat lahir dan moksanya Gajah Mada, Mahapatih Kerjaaan Majapahit yang terkenal dengan ‘Sumpah Palapa’ - Pemersatu Nusantara. 

Lembaga adat Forum Komunikasi (Forkom) Kabali yang dibentuk sejak 6 Desember 2009 di Kabupaten Kepulauan Wakatobi, kini begitu konsen mengumpulkan data dari berbagai sumber, bukti arkeolog, dan berupaya keras menjalin kerjasama dengan semua pihak terkait untuk membuka tabir emas adanya petunjuk perjalanan hidup Gajah Mada di Pulau Wangiwangi. 

Sejarah nasional mencatat bagaimana Mahapatih Kerajaan Majapahit yang diperkirakan lahir pada tahun 1290 (Encarta Encylopedia) itu memiliki kemampuan strategi di medan perang serta kecerdasan berpikir untuk kemaslahatan kehidupan masyarakat yang luas di masanya. Tapi, dimana tempat wafat dan makamnya, hingga saat ini belum ada keterangan yang pasti. 

Dari sejumlah catatan yang telah dihimpun Forkom Kabali, sekitar bulan Sya’ban 634 Hijriyah atau akhir tahun 1236 Masehi sebuah kapal layar Popanguna menggunakan simbol bendera Buncaha strep-strep warna Kuning Hitam merapat di Kamaru, wilayah pesisir arah utara timur laut Pulau Buton. Kapal tersebut memuat bangsawan bernama Simalaui dan Sibaana (bersaudara) dikawal seorang sakti mandraguna bernama Sijawangkati bersama puluhan pengawalnya, yang diperkirakan berasal dari Bumbu, negeri melayu Pariaman. 

Kedatangan mereka ke Pulau Buton diperkirakan lantaran terjadi pergolakan yang memaksa untuk meninggalkan tempat asalnya. Terbukti, setelah mereka membuat pemukiman di Kamaru, juga membangun sebuah perlindungan yang hingga kini dikenal dengan sebutan Benteng Wonco. Sijawangkati pun kemudian memohon diri untuk membuat pemukiman tersendiri di Wasuembu serta membuat Benteng Koncu di Wabula. 

Syahdan, beberapa waktu kemudian datang lagi dua buah kapal yang diburitannya ditandai dengan kibaran bendera Davialo berwarna Merah Putih di Teluk Kalumpa, tak jauh dari tempat pendaratan Simalaui, Sibaana, dan Sijawangkati dan rombongannya. Sijawangkati dan Sitamanajo menyambut kedatangan mereka. Ternyata, kedua kapal tersebut membawa Raden Sibahtera, Raden Jatubun dan Lailan Mangrani yang kesemuanya merupakan anak dari Raja Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Setiap kapal memuat sekitar 40 orang pengikut. 

Singkat cerita, kehadiran para pendatang tersebut, selain berupaya menjalin keakraban dengan warga di sekitar Pulau Buton, juga di antara pendatang saling menguatkan persahabatan. Raden Sibahtera yang diangkat menjadi Raja Buton mempermaisurikan Wa Kaa Kaa (Mussarafatul Izzati Al Fahriy). Sedangkan Sijawangkati menyunting Lailan Mangrani (Putri Raden Wijaya). 

Dari perkawinan Sijawangkati dengan Lailan Mangrani membuahkan keturunan 2 anak laki-laki dan 1 perempuan. Anak tertua lelaki itulah yang kemudian diberi nama Gajah Mada. Sejak kecil Gajah Mada telah memperlihatkan kecerdasan dan kesaktian. Ayahnya, Sijawangkati yang disebut-sebut keturunan wali di negeri Melayu terkenal memiliki ilmu-ilmu kesaktian sudah berupaya menurunkan ilmunya kepada Gajah Mada sejak berusia 7 tahun. Ketika berumur sekitar 15 tahun, Gajah Mada lalu dibawa oleh ibunya (Lailan Mangrani) menemui kakeknya Raden Wijaya di Pulau Jawa. 

Tatkala Kerajaan Majapahit dipimpin Jayanegara (1309 - 1328 M) — anak Raden Wijaya dari perkawinan dengan Dara Petak dari Jambi, Sumatera, Gajah Mada pun tampil berperan membantu melawan pemberontakan yang muncul dari lingkungan kerajaan sendiri. Dia memimpin pasukan Bhayangkara bertugas menjaga keamanan raja dan keluarganya. 

Dahsyatnya Pemberontakan Kuti (1319 M) yang dipelopori salah seorang pejabat Kerajaan Majapahit, sampai memaksa Raja Jayanagara, berikut istri Raden Wijaya dan putrinya Tribhuwanattunggadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita mengungsi ke Bedander. Akan tetapi berkat kecerdikan dan kepiawaian Gajah Mada, pemberontakan dapat diredam. Raja dan keluarganya pun aman untuk kembali bertahta ke istana. 

Pascaperistiwa tersebut Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Menteri Wilayah (Patih) Majapahit, membawahi Daha dan Jenggala. Kepercayaan kepada Gajah Mada yang diberi gelar Pu Mada diperluas dengan kewenangan hingga Jenggala - Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura. Setelah Mahapatih Kerajaan Majapahit Arya Tadah pensiun tahun 1329 M, kedudukannya digantikan oleh Gajah Mada. 

Dari catatan yang dihimpun Forkom Kabali (www.informasibudayaliya.blogspot.com), ada yang menyebut Gajah Mada wafat 1364 akibat penghianatan Hayam Wuruk. Namun data lain yang dihimpun dengan sejumlah fakta pendukung, setelah Gajah Mada membaca gelagat pihak berkuasa di Kerajaan Majapahit tak lagi memberikan kepercayaan kepadanya, ia bersama sejumlah pengikut setianya melakukan pelayaran kembali ke tempat kelahirannya di wilayah kepulauan Wangiwangi, Buton. 

Perjalanan pulang bersama rombongannya tersebut diperkirakan terjadi sekitar abad XIV, mendarat kembali di wilayah kepulauan Wangiwangi. Di pesisir pantai antara pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora terdapat Batu Parasasti yang dinamakan Batu Mada. Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sebagai manusia memiliki banyak kesaktian tersebut kemudian memilih sebuah goa di wilayah Togo Mo’ori sebagai tempat Tapa Brata. Di dalam gowa di daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas inilah diperkirakan Gajah Mada yang mengenggam cakram senjata andalannya lantas moksa (menghilang) dalam semedi. Sedangkan puluhan pengikutnya memilih sebuah gua di Batauga, Pulau Buton sebagai tempat semedi. Goa itu sampai sekarang masih dinamai sebagai Goa Mada di Kampung Mada Desa Masiri, Batauga”[24]. 

Saya tidak berusaha membenarkan atau menjadikan kedua data di atas (situs Panjer di desa Ploso Klaten Kediri dan situs goa di Togo Mo’ori di wilayah Buton Sul Teng) sebagai pengganti bagi asumsi yang diusulkan Ravie Ananda yang meyakini bahwa Panjer kuno yang sekarang ditempati sebuah bangunan kuno eks Pabrik Mexolie Sari Nabatiasa.

Dengan pengajuan data-data pembanding di atas saya mengajak baik kepada Ravie Ananda sebagai pengusul situs Panjer kuno sebagai sebuah wilayah yang disinggung oleh Babad kediri dan diyakini sebagai pamoksan Gajah Mada untuk meninjau ulang asumsinya tersebut dan lebih memperdalam dengan membandingkan dengan berbagai literatur dan kajian-kajian yang terkait.

Asumsi Ravie Ananda masih harus dibuktikan melalui penelitian arkeologis yang panjang dan penelitian litertur yang mendalam mengenai wilayah Panjer kuno yang akhirnya dikenal sebagai kota Kabupaten Kebumen.

Dengan kajian pembanding yang saya sajikan ini maka apabila pihak pemda Kebumen akan merevisi sejarah Kebumen yang telah masuk dalam Perda dengan merujuk pada kajian-kajian yang ditulis oleh Ravie Ananda, maka saya mengusulkan agar dua asumsi yang menghubungkan situs Panjer kuno dengan Babad Kediri dan pamoksan Gajah Mada jangan dimasukkan dalam kajian sejarah Kebumen mengingat minimnya bukti dan ada bukti-bukti eksternal yang menentang asumsi tersebut dengan diklaimnya situs goa di Togo Mo’ori di wilayah Buton Sulawesi Tenggara sebagai situs pamoksan Gajah Mada.

Oleh karenanya, sebagaimana judul artikel/risalah yang saya buat, “Memisahkan Fakta dan Fiksi Sejarah Berdirinya Kebumen” maka menarik eksistensi historis keberadaan Kebumen hingga zaman Kediri dan moksanya Gajah Mada adalah fiksi yang harus dipisahkan dengan faktanya. Dengan kata lain kita perlu melakukan prosesDemitologisasi terhadap kesejarahan Kebumen.
Apa yang benar-benar fakta yang membanggakan dan harus dikaji lebih mendalam adalah kedudukan Panjer di zaman Mataram Islam yaitu sebagai salah satu lumbung padi (bukan pusat) dari sekian lumbung padi Mataram Islam dimana keberadaan lumbung padi ini berguna dalam menyediakan logistik prajurit Sultab Agung yang hendak merebut Batavia sebagai pusat kedudukan VOC. Selain itu, keberadaan Panjer sebagai wilayah strategis dan pengungsian Pangeran Diponegoro saat memutuskan melakukan perlawanan terhadap VOC.

Perlukah Merevisi Hari Jadi Kebumen?

Upaya beberapa pihak yang berkompeten dengan kesejarahan Kebumen dengan mengajukan peninjauan ulang mengenai hari jadi Kebumen, patut dihargai dan diapresiasi. Apalagi Bupati Buyar Winarso memberikan ruang untuk peninjauan kembali atas akurasi hari jadi Kebumen.

Namun yang menjadi persoalan, kita tidak memiliki keseragaman data yang cukup untuk memastikan hari jadi Kebumen. Jika ukuran yang dipergunakan adalah nama Pangeran Bumidirjo (paman Amangkurat I yang menyingkir ke Panjer dikarenakan berselisih paham dengan Sultan Amangkurat I) yang memperoleh tanah dari putra Ki Badranala (Ki Gedhe Panjer Roma I) yang bernama Ki Hastrasuta (Ki Gedhe Panjer Roma II) yaitu di sebelah Timur Luk Ulo yang konon disebut desa Trukah yang dahulunya hutan lebat (sekarang jalan Garuda dimana terdapat Balai Desa Kebumen) dan kemudian mengalami perubahan menjadi Ke-Bumi-an atau Kebumen, yang bermakna tempat tinggal Ki Bumidirjo, maka sejarah berdirinya Kebumen bisa dimulai dari penyebutan nama tersebut yang terjadi sekitar tahun 1670-an. Jika kisah di atas dijadikan patokan, hampir mendekati dengan fakta. Namun yang menjadi persoalan, wilayah yang dinamakan Kibumian atau kelak menjadi Kebumen bukan sebuah wilayah pusat kekuasaan dan tidak pernah menjadi pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan tetap ada di Panjer dan kepemimpinan masih tetap dipegang oleh Ki Gedhe Panjer Roma II. Maka sangat tidak mungkin menjadikan sebuah wilayah pemberian yang tidak pernah menjadi pusat kekuasaan sebagai dalil bagi bermulanya kota Kebumen.

Namun jika ukuran yang dipergunakan adalah eksistensi penobatan Ki Kertawangsa yang menerima jabatan bupati oleh Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara sehingga kemudian Ki Kertawangsa bergelar Ki Gedhe Panjer Roma III yang kemudian bergelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking) pada tanggal 12 Juni 1677 (nama Kolopaking berasal dari Kalapa Aking. Ketika Trunojoyo memberontak di Mataram tanggal 2 Juni 1677 maka Sultan Amangkurat I menyingkir ke wilayah Panjer. Ketika sakit diobati oleh Ki Gedhe Panjer Roma III dengan memberikan air Kelapa Aking. Karena kesembuhan yang dialami maka Sultan Amangkurat I memberi gelar Tumenggung Kalapa Aking atau Kolopaking), maka kedudukan historis Kebumen dapat diletakkan dan dimulai dari sana. Namun yang menjadi persoalan, nama Kebumen tidak menjadi nama populer untuk wilayah yang dipimpin oleh Adipati Panjer bernama Kolopaking I. Nama wilayah tersebut tidak pula dirubah menjadi Kebumen dan tetap Panjer.

Adapun jika eksistensi Kebumen ditarik sangat jauh hingga keberadaan Kadipaten Panjer yang dihubungkan dengan nama Ki Badranala (cucu Panembahan Senopati dari anaknya Kanjeng Ratu Pembayun yang menikah dengan Ki Ageng Mangir VI. Dari pernikahan keduanya lahirlah Ki Maduseno yang kelak menikah dengan Dewi Majati yang akan melahirkan Ki Badranala) yang karena kepahlawanannya bersama Ki Singa Patra (kelak menjadi mertuanya karena menikah dengan Endang Patra Sari) berhasil mengusir VOC yang menyerbu Pantai Urut Sewu pada Tahun 1643 sehingga ditahbiskan menjadi Adipati Panjer dengan gelar Ki Gedhe Panjer Roma I, maka sejarah Kebumen akan semakin tua dari kajian historis. Namun persoalannya nama Kebumen tidak dikenal dan baru muncul kemudian dikenal pada tahun 1670-an yang dihubungkan dengan nama Pangeran Bumidirjo.

Dari aspek kronologis, maka kedudukan Kadipaten Panjer di bawah kepemimpinan Ki Badranala (Ki Gedhe Panjer Roma I, 1643) dapat menjadi titik permulaan keberadaan Kebumen modern. Dari linguistik (kebahasaan), maka keberadaan Pangeran Bumidirjo (1677) yang kelak membuka tanah di wilayah Panjer yang kemudian di namaiKe-Bumi-an dan berubah menjadi Kebumen dapat dijadikan titik permulaan Kebumen modern. Nampaknya dari kedua opsi tersebut sama-sama sulit untuk ditentukan menjadi titik tolak penetapan hari jadi Kebumen modern.

Mengingat kesulitan menetapkan hari jadi Kebumen, maka saya fikir kita tetap saja mempertahankan hari jadi Kebumen pada tanggal 1 Januari berdasarkan keputusan Perda Kabupaten Kebumen yang merujuk Surat Keputusan Jenderal Pemerintahan Belanda Nomor 629/1935 tertanggal 31 Desember 1935. Yakni mengenai penggabungan pemerintahan atau birokrasi antara Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kebumen. Surat yang ditadatangani Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda bernama De Jonge ini secara resmi diberlakukan sejak 1 Januari 1936.

Rujukan hari jadi Kebumen di atas sah secara De Jure (penetapan hukum) di zaman pemerintahan Bupati KRT Arungbinang VIII (1934-1942). Namun secara De Facto (kenyataan historis) eksistensi Kebumen telah ada sejak Abad XVII dengan nama Kadipaten Panjer di bawah kepemimpinan Ki Badranala alias Ki Gedhe Panjer Roma I (1642-1657). Adalah tugas pemerintah dan para budayawan serta sejarawan Kebumen untuk mensosialisasikan akar historis Kebumen demi membangun kebanggaan sejarah dan mendorong jiwa nasionalis dan patriotisme, tanpa harus mengganti hari jadi Kebumen pada tanggal 1 Januari.



END NOTES

[1] Wacana Revisi Hari Jadi Kabupaten Kebumen Menguat; Dasarnya Jelas, Bupati Siap Merevisi
http://www.kebumenkab.go.id/index.php/public/news/detail/891

[2] Ravie Ananda, Sejarah Cikal Bakal Kabupaten Kebumen
http://kebumen2013.com/sejarah-cikal-bakal-kabupaten-kebumen/

[3] Ibid.,

[4] Parisada Hindu Dharma Indonesia, Moksa Adalah Pembebasan Atma dalam Agama Hindu
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=275&Itemid=29

[5] Sejarah
http://www.kebumenkab.go.id/index.php/public/page/index/20

[6] Sejarah
http://www.kebumenkab.go.id/index.php/public/page/index/20

[7] Op.Cit., Sejarah Cikal Bakal Kabupaten Kebumen

[8] Ibid.,

[9] Perlawanan Mataram terhadap Kompeni Belanda Pada Masa Sultan Agung
http://nurdayat.wordpress.com/2008/10/30/perlawanan-mataram-terhadap-kompeni-belanda-pada-masa-sultan-agung-2/

[10] Mayor Cba I.K.Arsana Putra, S.T., M.Sc., Pentingnya Dukungan Logistik Untuk Meningkatkan Peran Komando Kewilayahan dalam rangka Melaksanakan Operasi Militer Selain Perang
http://bekang.kodam-mulawarman.mil.id/artikel/52-pentingnya-dukungan-logistik-

[11] The Journey of Public Relation, Penyerbuan Mataram ke Batavia
http://humaspdg.wordpress.com/2010/05/08/penyerbuan-mataram%C2%A0ke%C2%A0batavia/

[12] Rijklof Van Goens
http://en.wikipedia.org/wiki/Rijckloff_van_Goens

[13] Ravie Ananda, Sejarah Singkat Panjer – Kebumen
http://kebumen2013.com/sejarah-singkat-panjer-kebumen/

[14]

[15] Op.Cit., Sejarah Cikal Bakal Kabupaten Kebumen

[16] Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, Yogyakarta: Diva Press 2011, hal 255-263

[17] Mengenai sejarah singkat keberadaan Pabrik Mexolie Sari Nabatiasa dan perkembangannya terkini dapat membaca artikel, Pabrik Mexolie Pasok Kebutuhan Minyak Belanda, Napak Tilas – Suara Merdeka Cetak: Rabu, 26 Oktober 2011 Dalam, Ravie Ananda, Selamatkan Situs Sari Nabati, Panjer – Kebumen, Tempat Bersemayamnya Wahyu Pancasila (Sang Burung Gaib Garuda dan Para Leluhur)
http://kebumen2013.com/selamatkan-situs-sari-nabati-panjer-kebumen-tempat-bersemayamnya-wahyu-pancasila/

[18] Ibid.,

[19] Ravie Ananda, Kebumen dan Jejak-Jejak Merah Putih
http://www.fileden.com/files/2012/5/20/3306424/Ebooks/kebumen-dan-jejak-jejak-merah-putih--kebumen2013.com.pdf

[20] Gendam Smaradhana, Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:  Suyami, Tinjauan Historis dalam Babad Kadhiri. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Jakarta, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999. hlm. 137-138.

http://jawatimuran.wordpress.com/2012/08/14/gendam-smaradhana/

[21] Cerita Rakyat dari Jawa Timur Volume 3
http://books.google.co.id/books/about/Cerita_rakyat_dari_Jawa_Timur.html?id=weqAAAAAMAAJ&redir_esc=y

[22] Petilasan Adipati Panjer dan Babad Kediri
http://cahdjengkol.multiply.com/photos/album/77#photo=1

[23] Ravie Ananda, Situs Punden Majapahit, di Dusun Loning, Sadang Wetan, Sadang – Kebumen
http://kebumen2013.com/situs-punden-majapahit-di-dusun-loning-sadang-wetan-sadang-kebumen/

[24] Gajah Mada Lahir dan Moksa di Liya, Wakatobi
http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/01/gajah-mada-lahir-dan-moksa-di-liya-wakatobi-353230.html


19 komentar:

  1. Unknown

    bagus

  1. Teguh Hindarto

    Terimakasih....

  1. CERITA RAKYAT KEBUMEN

    sy sudah membaca ulasan anda, dan pada dasarnya setuju, saat ini kami sedang membuat semacam wadah/yayasan yang bertujuan untuk menggali poteni kebumen terutama dari sisi budaya dan sejarah lokalnya. (www.lokalkebumen.blogspot.com : blog ini sdah lama tdak aktif karena akun sdah tdak bisa di buka, dari agus bedhe/pemilik blog, contact 087715117628)

  1. Teguh Hindarto

    Terimakasih atas komentar dan apresiasi Pak Agusti Putra. Saya terus mengumpulkan data-data mengenai sejarah kota dan sejarah desa serta beberapa kajian seputar Kebumen mulai dari periode Pra Kebumen (Panjer), periode Pra Kemerdekaan dan Paska Kemerdekaan.

  1. sahrul

    saya tertarik mengikuti sejarah panjer karena menurut pengakuan sesepuh desa kami bahwa awal mula desa kami berasal dari panjer, dan hal ini dapat dibuktikan dengan kesaksian sejarah.

  1. Teguh Hindarto

    Silahkan Sdr. Sahrul mendalami kajian saya terkusus seputar kesejarahan Kebumen di historyandlegacy-kebumen.blogspot.com

  1. sahrul

    Terimakasih Pak Teguh, sebagai informasi dusun kami berada kecamatan mungkid kabupaten magelang, menurut riwayat yang saya peroleh dari sesepuh dusun. Nenek moyang/'cikal bakal" pendiri dusun kami dahulu merupakan orang yang berasal dari kabupaten panjer, dan menyamar untuk menghindari kejaran belanda.. Kejadian tersebut sekitar saat P. Diponegoro ditangkap oleh Belanda. Awal mulanya beliau membuka lahan di tempat kami sendirian , kemudian beliau menjemput anak2 dan istrinya untuk menetap di dusun kami sampai saat ini kami adalah keturunan beliau. Saya tertarik untuk mngetahui lebih dalam tentang panjer karena saya ingin menelusuri jejak siapakah sebenarnya "simbah cikal bakal" dusun kami, karena menurut sesepuh desa juga bahwa dahulu beliau pernah mengajak cucunya yang merupakan eyang dari sesepuh desa tersebut kembali ke panjer untuk menengok panjer dan disana beliau dapanggil "Pangeran ALit". dan sebenarnya apakah yang terjadi dengan Panjer. dan adakah hubungan beliau dengan P.Diponegoro, mengapa beliau harus menyamar untuk menghindari pencarian pemerintah Belanda, ssampai saat ini tidak ada yang tahu pastinya.

  1. Teguh Hindarto

    Jika Anda memiliki data tertulis atau menyusun informasi lisan yang diketahui dari leluhur seputar Panjer atau keterkaitan dengan Panjer, silahkan mengirimkan informasi ke no 081327274269 dan nanti saya berikan alamat email saya

  1. sahrul

    Data tertulis sampai saat ini tidak ada, saya hanya memperoleh informasi dari cerita sesepuh desa. Sampai saat ini generasi yang paling dekat adalah generasi ke empat.

  1. Unknown

    oya kalu ada yang tau ttg sejarah syech ibrahim asmoro kondhi / banyu mudal kwarisan panjer tolong dong kirimin sejarahnya , sebab sya cari- cari tau kok tidak tercatat dalam buku sejarah kebumen , sebab dulu rumah bapakku tepat di depan makam , dan tanah kosong yang ada di depan makam tersebut sebenarnya warisan untuk bapakku dan adik2nya , tapi sayang sekarang sudah berpindah tangan , sekarang keluarga kami tinggal di PONOROGO....DAN HANYA BERKUNJUNG SATU TAHUN SEKALI ke kwarisan panjer ,kebumen, saat menghadiri acara adat kumpul tumpeng di masjid banyu mudal...nama kakekku mbah madya yaitu bapaknya bapakku..jika ada yang tau sejarahnya ,bisa kirim di emailku rianto_17@yahoo.co.id /

  1. Unknown

    seumpama tanah leluhurku tidak keburu berpindah tangan , mungkin aku akan mengajak seluruh keluargaku pindah ke sana tepatnya di kwarisan panjer , , dan dalam hal ini ada beberapa faktor mengapa aku menyukai kebumen, yang salah satunya " aku selalu merasakan aura yang bisa menumbuhkan ketenangan dan kedamaian saat berada di sana , bahkan putriku yang masih umur 3 bulan , saat aku ajak kesana dan menginap selama 1 minggu , seakan2 merasakan kedamaian itu , dan sama sekali tidak rewel , berbeda saat masih berada di PONOROGO , sampai sekarang pun masih tetep aja rewel , karena memang aku bertempat di ponorogo,dan faktor yang kedua adalah menurutku kebumen adalah negeri yang terbebas dari bencana alam karena pergeseran lempengan bumi , jika daerah2 lain seakan2 saat ini banyak yang mengalami penurunan tanah/ tenggelam secara perlahan2 , akibat pergeseran lempengan tersebut , aku yakin kota KEBUMEN , malah akan mengalami kenaikan tanah , karena memang berada tepat di atas tiga lempengan bumi yang saling bertabarakan , spt contoh daerah karang sambung yang seharusnya berada di kilometer bawah laut dan sekarang malah berada di atas pegunungan..yach bersukurlah untuk anda yang saat ini berada di kebumen,,i love you kebumen..

  1. Teguh Hindarto

    Saya selalu berdoa untuk keselamatan dan keamanan dan kenyamanan wilayah Kebumen pak. Jika kita melihat data, sesungguhnya Kebumen adalah salah satu wilayah rawan bencana. Berikut saya kutipkan berita di KEBUMEN EKSPRES, 8 Februari 2013 sbb:

    KEBUMEN RANGKING TIGA RAWAN BENCANA

    Kabupaten Kebumen menempati urutan ketiga daerah yang memiliki resiko bencana di wilayah propinsi Jateng. Berdasarkan indeks resiko bencana badan nasional penganggulangan bencana, kabupaten kebumen memiliki nilai skor 113. Pada urutan pertama ditempati kabupaten Cilacap dengan skor 132 dan disusul Banyumas dengan skor 123. Hal itu diungkapkan Wakil Bupati Djuwarni Ampd di balai kelurahan Gombong, Rabu (6/2).

    Menurut Djuwarni, pada lingkup nasional, indeks resiko bencana kabupaten Kebumen berada pada peringkat ke 12 se-Indonesia.

    'Kondisi geografis dan topografis yang cukup beragam serta dengan kemiringan tanah datar hingga curam dengan ketinggian antara nol sampai 997,5 mdpl menjadikan kabupaten Kebumen berisiko terhadap berbagai bencana', papar Wabup"

  1. Unknown

    tapi kalu menurut saya , tanah kebumen itu kayak lem ,,walaupun berada di kemiringan...derajat , tetep akan melekat erat , kalupun longsor , paling cuma beberapa titik , selain itu menurut saya di sana juga banyak tertancap besi tawa yang sengaja di tanam untuk paku bumi oleh orang2 sakti tempo dulu , harapan saya semoga paku2 bumi ini juga masih tetap terus tertanam , jangan spt di daerah saya , yang dimana besi- besi tawa yang tertanam di beberapa titik daerah rawan longsor pada di curi oleh golongan paranormal dan di salah gunakan untuk kesaktian ,dan kekebalan tubuh ,

  1. Teguh Hindarto

    Wah, itu soal kajian Metafisika Supranatural. Bukan bagian dari kajian sejarah. Fakta dan Data geografis Kebumen menunjukkan tingkat kerawanan tinggi. Jika benar ada paku besi bersifat supranatural yang telah ditanam, tentu fakta dan data akan memberikan korelasi dengan dugaan Anda tersebut.

  1. Fransiskus widodo

    pak Teguh selamat malem
    bpk sudah punya buku sejarah kebumen

    SEJARAH DAN KEBUDAYAAN KEBUMEN

    ditulis oleh drs Sugeng Priyadi,M.Hum.

    penerbit Jendela

    disitu dibahas tuntas tentang panjer dari berbagai babad 2 yang ada
    baik yang versi ilmiah maupun yang versi legenda

    makasih sebelumnya

  1. Teguh Hindarto

    Saya belum memiliki dan berminat memiliki. Bagaimana saya bisa mendapatkannya?

  1. jayaabadilampung

    apakah benar ada batu pusaka yg bernama mbah dalem kalapaking??????????

  1. aankuzuma

    @ jayaabadilampung : wah yang saya tahu malah novia kalajengking ehh..kalapaking...
    hehe...

  1. Unknown

    interpretasi saya suka...

Posting Komentar