RSS Feed

MEMBACA ANOMALI POLITIK MENJELANG PEMILIHAN UMUM: PERILAKU PERDUKUNAN DI KANCAH POLITIK

Posted by Teguh Hindarto




Menarik mengamati panggung politik Indonesia khususnya menjelang pemilihan umum. Fenomena perdukunan politik sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan setiap menjelang pemilihan umum. Demikian pula menjelang pemilihan umum 2014 ini, berbagai media melaporkan bagaimana sejumlah dukun politik mengalami peningkatan pesanan dari berbagai pejabat dan politisi, dari level lurah sampai pejabat eksekutif, legislatif bahkan yudikatif[1].

Anomali Politik

Fenomena pemilihan legislatif, eksekutif, yudikatif dengan melibatkan jasa paranormal dan dukun politik nampaknya khas Indonesia dan tidak ditemui di negara-negara penjunjung demokrasi seperti Amerika atau Eropa. Jika tahun lalu saya memberikan istilah “Anomali Sosial”[2] terkait berbagai perilaku irasional di masyarakat kita, maka fenomena perdukunan menjelang pemilihan umum saya istilahkan dengan “Anomali Politik”. Mengapa saya katakan anomali politik? Karena jika pemilihan umum mensyaratkan kemampuan personal dan mesin politik pengusung untuk menaikkan elektabilitas seseorang secara rasional, maka perilaku anomali politik justru menekankan pada peranan-peranan kekuatan gaib untuk menaikkan eletabilitas dan keterpilihan dirinya menduduki jabatan publik.

Nampaknya Indonesia belum menuntaskan fase-fase pertumbuhan dirinya, sehingga fase-fase yang seharusnya sudah ditinggalkan jauh justru masih tetap dipertahankan. Beberapa ahli kebudayaan seperti Prof. C.A. van Peurseun pernah menuliskan tahapan dan fase pertumbuhan kebudayaan manusia menjadi “tahap mistis, tahap ontologis, tahap fungsionil”. Beliau menjelaskan ketiga tahapan tersebut sbb:

“Yang dimaksudkan dengan tahap mistis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif…Yang dimaksudkan dengan tahap kedua atau ontologis ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu)…Tahap ketiga atau fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mistis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis)”[3]

PEMILU, PARTAI POLITIK DAN PARTISIPASI POLITIK

Posted by Teguh Hindarto






Beberapa bulan lagi, Bangsa Indonesia akan melaksanakan hajatan politik berupa pemilihan umum yang jatuh pada tanggal 9 April 2014. Semua pihak yang terlibat di dalamnya baik partai politik maupun konstituen tentu memfokuskan diri melakukan berbagai strategi melakukan pemenangan suara.

Pemilu 2014 kali ini diikuti oleh 12 partai politik karena 15 partai politik lainnya tidak memenuhi electoral treshold. Kesepuluh partai tersebut al., Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PPP, PBB, PKPI serta Partai Hanura.

Setiap hajatan politik melibatkan tiga hal mendasar yaitu Pemilu, Parpol serta Partisipasi Politik. Oleh karenanya kita perlu memahami secara ringkas ketiga hal mendasar tersebut agar kita memiliki wawasan politik sebelum kita terlibat dan melakukan partisipasi politik melalui pemilihan umum. Seperti kata Muhamad Natsir, “Kalau memang saudara-saudara merasa tidak perlu ikut berpolitik, biar tidak usah berpolitik. Tetapi saudara-saudara jangan buta politik. Kalau saudara-saudara buta politik, saudara-saudara akan dimakan oleh politik” (Kompas, 6 Januari 2014). Agar kita tidak “dimakan” politik alias menjadi korban dan obyek politik kekuasaan tertentu, maka kita harus memiliki wawasan politik.

Pemilihan Umum

Pemilihan umum memiliki fungsi al., (1) Sarana legitimasi politik. (2) Mekanisme terjadinya sirkulasi kekuasaan (3) Pencipta representasi politik (4) Implementasi kedaulatan rakyat (5) Sosialisasi dan pendidikan politik rakyat[1] Pemilu dikatakan sarana legitimasi politik dikarenakan partai pemenang pemilihan umum akan menjadi penguasa dan menentukan berbagai kebijakkan publik. Agar dapat menetapkan kebijakkan publik maka harus mendapatkan legitimasi politik. Pemilu dikatakan mekanisme terjadinya sirkulasi kekuasaan karena setiap partai pemenang pemilu tidak akan selamanya menang dan menduduki jabatan politik dan menetapkan sejumlah kewenangan politis. Harus ada pergantian politis untuk menjamin kesegaran udara politik dan memberikan kesempatan partai lainnya meraih kekuasaan. Pemilu dikatakan pencipta representasi politik dikarenakan kemenangan partai politik melalui pemilu membuktikan keberpihakkan masyarakat sehingga suara partai pemenang pemili menjadi representasi suara rakyat yang memilih. Pemilu dikatakan implementasi kedaulatan rakyat dikarenakan rakyat memberikan pilihan dan menyuarakan kehendaknya sehingga kemenangan partai politik tertentu dan terpilihnya individu tertentu dalam jabatan politik ditindaklanjuti dengan melakukan berbagai program yang dikehendaki masyarakat. Pemilu dikatakan bentuk sosialisasi dan pendidikan politik karena melalui pemilu masyarakat belajar menentukan pilihannya secara pribadi dan bertanggung jawab terhadap partai dan individu yang akan mewakili suaranya. Masyarakat secara tidak langsung belajar mekanisme kekuasaan melalui jalur representatif yaitu pemilihan umum.

SOEKARNO: INDONESIA MERDEKA (Ulasan Film dan Catatan Kritis)

Posted by Teguh Hindarto



Film terbaru besutan Hanung Bramantyo berjudul Soekarno: Indonesia Meredeka, kembali menuai kontroversi sekaligus mendapatkan sambutan dari penikmat film[1]. Beberapa media on line melaporkan mengenai animo masyarakat mengenai film baru ini, sehingga sejumlah bioskop kebanjiran penonton[2]. Tidak tanggung-tanggung, Wakil Gubernur Ahok memuji kepiawaian Hanung dalam menyajikan film bertema historis ini[3]

Sebelum tutup tahun 2013, saya menyempatkan menonton film ini di Yogyakarta sebanyak dua kali dan hari kedua penuh dengan penonton yang sangat antusias menonton film ini. Film ini mampu menguras emosi patriotisme dan kebangsaan sehingga membuat saya menangis haru mengikuti alur kisah dan momentum-momentum emosional yang dikemas oleh Hanung. Bahkan saat pidato-pidato politik Sukarno dikumandangkan, seolah-olah mendorong saya untuk mengatakan, “Saya ingin ada di sana jika dilahirkan pada zaman itu dan terlibat dalam pergerakan besar ini”.

Di sisi lain, film ini menuai kontroversi di sana sini. Gelombang protes dan demonstrasi terjadi di beberapa kota. Ada yang menggugat dan menuding Hanung menyebarkan gagasan Liberalisme dan Anti Poligami[4]. Ada yang keberatan dengan adegan Sukarno merangkul Fatmawati yang dituding seperti perilaku seorang germo[5]. Ada yang memprotes mengenai kebiasaan kencing Sukarno di penjara[6]. Ada yang mengecam karena film ini mendistorsi ketokohan Sukarno seolah seorang playboy diantara dua wanita[7]. Ada yang keberatan dikarenakan Aryo Bimo selaku pemeran utama tidak layak memerankan tokoh utama yaitu Sukarno[8].