Beberapa
bulan lagi, Bangsa Indonesia akan melaksanakan hajatan politik berupa pemilihan
umum yang jatuh pada tanggal 9 April 2014. Semua pihak yang terlibat di
dalamnya baik partai politik maupun konstituen tentu memfokuskan diri melakukan
berbagai strategi melakukan pemenangan suara.
Pemilu
2014 kali ini diikuti oleh 12 partai politik karena 15 partai politik lainnya
tidak memenuhi electoral treshold.
Kesepuluh partai tersebut al., Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Partai
Demokrat, PAN, PPP, PBB, PKPI serta Partai Hanura.
Setiap
hajatan politik melibatkan tiga hal mendasar yaitu Pemilu, Parpol serta Partisipasi Politik. Oleh karenanya kita perlu
memahami secara ringkas ketiga hal mendasar tersebut agar kita memiliki wawasan
politik sebelum kita terlibat dan melakukan partisipasi politik melalui
pemilihan umum. Seperti kata Muhamad Natsir, “Kalau memang saudara-saudara
merasa tidak perlu ikut berpolitik, biar tidak usah berpolitik. Tetapi
saudara-saudara jangan buta politik. Kalau saudara-saudara buta politik,
saudara-saudara akan dimakan oleh politik” (Kompas, 6 Januari 2014). Agar kita
tidak “dimakan” politik alias menjadi korban dan obyek politik kekuasaan
tertentu, maka kita harus memiliki wawasan politik.
Pemilihan Umum
Pemilihan
umum memiliki fungsi al., (1) Sarana legitimasi politik. (2) Mekanisme
terjadinya sirkulasi kekuasaan (3) Pencipta representasi politik (4)
Implementasi kedaulatan rakyat (5) Sosialisasi dan pendidikan politik rakyat[1] Pemilu dikatakan sarana
legitimasi politik dikarenakan partai pemenang pemilihan umum akan menjadi
penguasa dan menentukan berbagai kebijakkan publik. Agar dapat menetapkan
kebijakkan publik maka harus mendapatkan legitimasi politik. Pemilu dikatakan
mekanisme terjadinya sirkulasi kekuasaan karena setiap partai pemenang pemilu
tidak akan selamanya menang dan menduduki jabatan politik dan menetapkan
sejumlah kewenangan politis. Harus ada pergantian politis untuk menjamin
kesegaran udara politik dan memberikan kesempatan partai lainnya meraih
kekuasaan. Pemilu dikatakan pencipta representasi politik dikarenakan
kemenangan partai politik melalui pemilu membuktikan keberpihakkan masyarakat
sehingga suara partai pemenang pemili menjadi representasi suara rakyat yang
memilih. Pemilu dikatakan implementasi kedaulatan rakyat dikarenakan rakyat
memberikan pilihan dan menyuarakan kehendaknya sehingga kemenangan partai
politik tertentu dan terpilihnya individu tertentu dalam jabatan politik
ditindaklanjuti dengan melakukan berbagai program yang dikehendaki masyarakat.
Pemilu dikatakan bentuk sosialisasi dan pendidikan politik karena melalui
pemilu masyarakat belajar menentukan pilihannya secara pribadi dan bertanggung
jawab terhadap partai dan individu yang akan mewakili suaranya. Masyarakat
secara tidak langsung belajar mekanisme kekuasaan melalui jalur representatif
yaitu pemilihan umum.
Melihat
berbagai fungsi pemilihan umum sebagaimana dijabarkan di atas maka
keberlangsungan pemilihan umum yang sehat dan jujur serta adil sangat dinantikan
oleh warga masyarakat. Pengkhianatan dan pelanggaran terhadap fungsi pemilihan
umum akan menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat pemilih mulai dari
pelaporan ke Komisi Pemilihan Umum, demontrasi massa bahkan sampai kepada
tindakan-tindakan anarkis yang tidak terkendali dan mengacaukan hasil pemilihan
umum. Sekalipun demikian, kita tidak menutup mata bahwa berbagai aksi
demonstrasi yang berakhir anarkis dengan melakukan perusakkan simbol-simbol
pemerintahan tidak serta merta dikarenakan ditemukannya ketidakadillan dalam
pelaksanaan pemilihan umum melainkan ketidak siapan individu tertentu saat
tidak memperoleh suara yang diharapkan dan kalah suara dibandingkan lawan
politiknya.
Partai Politik
Prof.
Miriam Budiardjo mendefinisikan partai politik didefinisikan sbb: “Suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita bersama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil
– untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”[2] Selanjutnya Prof. Miriam
Budiardjo menjabarkan beberapa fungsi partai politik sbb: (1) Sarana komunikasi
politik (2) Sarana sosialisasi politik (3) Sarana recruitment politik (4)
Sarana pengatur konflik[3]. Dikatakan sebagai sarana
komunikasi politik karena partai politik bertugas menyalurkan pendapat dan
aspirasi masyarakat. Dikatakan sebagai sarana sosialisasi politik dikarenakan
partai politik bertugas meneruskan orientasi dan nilai-nilai politik kepada
masyarakat. Dikatakan sebagai sarana rekrutmen karena partai politik mengajak
orang yang berbakat untuk terlibat dalam kegiatan politik. Dikatakan sarana
pengatur konflik dikarenakan partai politik berusaha mencari kompromi politik
saat terjadi konflik dan kebuntuan dalam memutuskan kebijakkan-kebijakkan
politik.
Terlepas
dari berbagai kasus baik pidana yang melibatkan sejumlah tokoh politik yang
berasal dari beberapa partai politik sehingga menimbulkan kekecewaan rakyat,
namun kita tidak bisa mengabaikan dan tidak perduli dengan keberadaan partai
politik karena partai politik merupakan salah satu saluran yang dapat
menghantar seseorang untuk melakukan perubahan sosial melalui jalur politis dan
birokratis. Terbukti ketika ada beberapa tokoh saat mengajukan diri sebagai
kepala daerah namun tidak diusung oleh partai politik dan hanya mengandalkan
suara masyarakat murni, keterpilihan mereka sangat kecil. Berbeda saat tokoh
tertentu disalurkan melalui partai politik, maka mesin politik akan bergerak
secara sistemik dan sinergis untuk menjaring suara konstituten demi memenangkan
tokoh yang dicalonkan partai.
Partisipasi Politik
Partisipasi
politik bermakna keterlibatan seseorang atau kelompok dalam berbagai kegiatan
politik baik secara langsung atau tidak langsung dengan tujuan mempengaruhi
berbagai keputusan politik. Beberapa sarjana seperti Samuel P. Huntington
mengelompokkan jenis partisipasi politik dengan sebutan “partisipasi otonom”
dan “partisipasi dimobilisasi”. Partisipasi otonom bermakna individu atau
kelompok melakukan kegiatan dan keterlibatan politik atas dasar kemauan
sendiri. Adapun partisipasi dimobilisasi bermakna individu atau kelompok
diarahkan untuk melakukan berbagai keterlibatan politik.
Fenomena Penurunan
Partisipasi Politik: Membaca Perilaku Pemilih
Pemilihan
umum 2014 sebagaimana pemilihan umum sebelumnya, dibayangi oleh pesimisme dan apatisme masyarakat. Pesimisme tersebut disebabkan ketidakpercayaan
masyarakat terkait perilaku politik para wakil rakyat yang telah menduduki
kursi eksekutif, legislatif maupun yudikatif justru terjerat kasus-kasus
korupsi, baik di tingkat daerah maupun pusat (sebut saja kasus korupsi Ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar yang mengejutkan dan menyita perhatian publik
dan kasus besar sebelumnya yaitu tindakan korupsi simulator SIM oleh
Kakorlantas Brigjen Djoko Susilo dan sederet kasus-kasus besar lainnya yang
berhasil diungkap KPK). Pesimisme ini berujung pada apatisme atau
ketidakpedulian. Apatisme ini diwujudkan dalam bentuk “golput” alias tidak
memberikan suara dalam pemilihan umum. Lembaga Survei Indonesia (LSI) sudah
memprediksi angka golput akan mencapai 50%[4]. Tidak berlebihan jika
pengamat politik dari Unversitas Indonesia, Arbi Sanit mengatakan bahwa
pemenang Pemilu 2014 adalah “golput”[5]
Rendahnya
partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum dengan menyuarakan “golput”
memiliki beberapa penyebab: Pertama,
kasus-kasus megakorupsi yang melibatkan anggota partai politik yang kemudian
menduduki jabatan politik di eksekutif, legislatif serta yudikatif telah
mengecewakan kepercayaan rakyat dan melemahkan animo dan keterlibatan
masyarakat untuk memberikan suara dan partisipasi politiknya. Kedua, lemahnya penegakkan hukum oleh
aparatur pemerintah menimbulkan ketidakpercayaan dan ketiadaan rasa aman bagi
masyarakat tertentu. Ketiga,
kegagalan aparatur pemerintah merespon bencana alam sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur dan partai politik sebagai
kendaraan politik.
Mengikuti
pendekatan dalam sosiologi yaitu teori struktural fungsional, maka berbagai
penyimpangan perilaku anggota partai politik mencerminkan disfungsionalitas yang
merugikan keberadaan partai politik itu sendiri. Kerugian itu dapat bersifat internal
dan kerugian eksternal. Kerugian internal dialami partai berupa merosotnya suara
pemilih partai. Kerugian eksternal adalah antipati dan turunnya partisipasi politik
Partai
politik yang memiliki sejumlah kepentingan dengan rakyat harus berkaca dari fenomena
perilaku pemilih yang mulai kehilangan kepercayaan dan memilih apatis dan
golput. Setidaknya, partai politik perlu melakukan beberapa langkah redefinitif
al., Pertama, melakukan pendidikan
politik kepada kader-kader politik sehingga dihasilkan produk yang “matang
pohon” dan bukan “instant”. Kematangan berpolitik para kader diharapkan agar mereka
tidak mudah terjerumus pada jebakan-jebakan korupsi yang siap membawa mereka
masuk bui saat mereka menduduki jabatan publik. Tidak mengherankan jika Syarif
Hidayat mengistilahkan konsep dan gerak demokrasi di Indonesia masih dalam
taraf “Demokrasi Simbolik” karena perluasan gagasan dan ruang demokrasi yang
terbuka lebar tidak diimbangi oleh penguatan institusi demokrasi bahkan minus
kapasitas demokrasi[6].
Berbicara penguatan institusi demokrasi tentu berbicara mengenai sumber daya
kader. Dan sumber daya kader ini diberdayakan melalui jalur pendidikan politik.
Syarif melanjutkan opininya, “Di antara kebutuhan mendesak dan harus dipenuhi
dalam waktu dekat adalah membangun dan menghadirkan ‘adab berdemokrasi’
(perilaku demokrasi) di kalangan penyelenggara negara, politisi dan masyarakat,
lewat pendidikan politik, pada khususnya dan pendidikan kebangsaan pada
umumnya. Dengan demikian ‘jasad demokrasi’ yang telah dibesarkan 15 tahun
terakhir ini juga secara bersamaan dapat diisi dan digerakkan oleh ‘roh demokrasi”[7]. Pendidikan politik berfungsi
untuk menyembuhkan disfungsionalitas anggota partai yang telah melakukan perilaku
menyimpang karena tersandung kasus-kasus pidana.
Kedua, meninjau ulang dalam perekrutan
kader politik. Fenomena perekrutan publik figur dari kalangan artis dikarenakan
adagium “man make news” (orang menghasilkan berbagai pemberitaan) untuk
mendulang suara partai, terbukti tidak menghasilkan berbagai perubahan
signifikan yang disodorkan partai politik melalui kader-kadernya. Partai kerap
mengorbankan idealisme dan mengikuti arus pasar sehingga kerap mementingkan
perolehan suara belaka namun mengabaikan kualitas para kader.
Kiranya
pemilu 2014 menjadi ajang hajatan politik menuju keadaban demokrasi dan bukan sekedar
ritual politik yang menghantarkan masyarakat pada ritual euforia sekaligus ritual
kekecewaan akibat perilaku penyimpang yang dilakukan para kandidat yang diusung
partai saat menduduki jabatan politis.
[1] Toto Pribadi, Sistem Politik
Indonesia, Jakarta: Universitas Terbuka 2009
[2] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia 1991:160-161
[3] Ibid., 163-166
[4]
LSI Prediksi Angka Golput Pilpres 2014 Capai 50 persen
http://www.merdeka.com/politik/lsi-prediksi-angka-golput-pilpres-2014-capai-50-persen.html
[5] Rakyat Tak Percaya Elite Politik:
2014 Golput Menang
http://indonesia-web.blogspot.com/2013/08/rakyat-tak-percaya-elite-politik-2014.html
[6]
Syarif Hidayatullah, Demokrasi Simbolik, Kompas 16 Januari 2014, hal 7
[7]
Ibid.,
0 komentar:
Posting Komentar