RSS Feed

MEMBANGUN KEJAYAAN MARITIM NUSANTARA BERBASIS KEKUATAN HISTORIS DAN GEOGRAFIS

Posted by Teguh Hindarto






Koran Kompas pada kolom “Fokus” menguraikan tentang keluhan seorang pelaku usaha kargo bernama Ridwan yang mengeluarkan biaya distribusi 16 ton jeruk dari Palopo ke Makasar (320 km) dengan dua truk angkut menelan biaya 8 juta. Lalu pengiriman dari Makasar ke Jakarta menelan biaya 1,5 juta per kontainer. Itu belum memperhitungkan biaya bongkar muat di Pelabuhan Makasar dan Tanjung Priok yang menghabiskan biaya 1,3 juta. Biaya 8 juta tesebut lebih mahal daripada biaya pengiriman jeruk dari Shanghai ke Jakarta yaitu 5 juta[1]. Keluhan yang sama disampaikan Hengky Pratoko, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Jawa Timur. Menurutnya, biaya pengiriman peti kemas antar pula di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan biaya pengiriman barang di sejumlah negara. Sebagai contoh, pengiriman dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ke Makasar mencapai 4,5 juta hingga 7 juta dan Surabaya ke Sorong mencapai 13 juta hingga 17 juta. Padahal biaya pengiriman dari Surabaya memakan biaya 3,4 juta dan Surabaya ke Beijing hanya 3,8 juta hingga 4,85 juta[2].

Akar persoalan tersebut bukan tidak diketahui oleh pejabat yang berwenang. Harry Sutanto, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia menjelaskan bahwa mahalnya biaya tersebut disebabkan “Lemahnya interkoneksi pelabuhan di wilayah Indonesia timur. Pengiriman dari Makasar ke Kendari dan Jaya pura harus dilakukan melalui Surabaya karena ketiadaan kapal yang langsung melayani rute itu”[3]

Berbagai keluhan terkait mahalnya ongkos kirim berbagai produk melalui perairan Indonesia memang memprihatinkan jika mengingat basis historis Indonesia sebagai kerajaan besar bernama Nusantara merupakan negara dengan kekuatan berbasiskan kemaritiman. Dan akar persoalan yang sudah ditemukan yaitu “lemahnya interkoneksi antar pelabuhan” telah menemukan momentumnya saat pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilihan presiden 2014 menguraikan visi dan misi mengenai Politik Luar Negeri pada debat sesi 3 (tgl 22 Juni 2014) memberikan tekanan pada pembangunan maritim serta mengusung konsep Tol Laut sebagai solusi untuk mengatasi biaya tinggi saat pengantaran komoditi dalam dan ke luar negeri melalui perairan Indonesia.

Sebagaimana beberapa pemerhati persoalan kemaritiman di Indonesia, kita bukan hanya memiliki sejumlah kelemahan manajemen pengelolaan pelabuhan, persoalan lainnya adalah mengelola dan memproteksi kekayaan alam serta pemanfaatan kekayaan alam di lautan, sebagaimana ditegaskan Andreas Pereira[4]. Maka konsepsi membangun poros maritim dan segala aspek yang terkait di dalamnya yang dilakukan pasangan presiden terpilih 2014-2018 dinilai oleh Guspiabri Sumowigeno, Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies, “Terobosan pemikiran yang gemilang”[5]

BUKAN SEKEDAR MEMBUKA HUBUNGAN DIPLOMATIK

Posted by Teguh Hindarto


Menarik membaca pernyataan dalam sebuah artikel berikut ini:

“Bagi Indonesia sendiri, sebetulnya, membuka hubungan diplomatik dengan Israel membuka peluang untuk memosisikan Indonesia lebih aktif dalam proses rekonsiliasi konflik. Indonesia sudah terlebih dulu punya hubungan diplomatik dengan Palestina, dan Dubes Palestina sudah bercokol lama di Jakarta. Dengan demikian, Indonesia akan punya peluang lebih besar dalam memediasi Israel dan Palestina tanpa ada hambatan politik yang berarti.

Di sinilah ‘cerdas’-nya Gus Dur. Membuka hubungan diplomatik bukan berarti ‘mendukung’ Israel. Ini soal siasat. Jika Indonesia tidak membuka relasi pertemanan yang lebih baik, bagaimana mungkin Indonesia bisa tampil dalam proses perdamaian?

Artinya, membuka hubungan diplomatik dengan Israel bukan berarti ‘mendukung penjajahan Israel atas Palestina’ seperti banyak dituduhkan selama ini, tetapi justru ‘turut serta menjaga ketertiban dunia’ sebagaimana diamanatkan Konstitusi.

Inilah ‘ijtihad’ yang coba diambil Gus Dur. ‘Ijtihad’ ini bukannya tidak berisiko. Risiko terbesar adalah ditolak warganya sendiri. Inilah yang menghampiri Gus Dur ketika ia menjadi presiden. Hambatan lainnya, tentu saja, soal yang remeh-temeh dalam politik internasional –keamanan regional, posisi Indonesia dalam pergaulan di negara-negara mayoritas Islam, spionase dan intelijen, hingga mobilitas orang dan keamanan nasional.

Namun, jika risiko tersebut tidak diambil, apa arti dari sebuah kebijakan politik? Plus dan minus dari suatu kebijakan pasti ada. Yang perlu dimiliki oleh seorang kepala negara adalah keberanian. Inilah yang dipunyai dan diajarkan oleh seorang Gus Dur ketika ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel”.

GUS DUR, ERDOGAN, DAN ISRAEL

Berbicara mengenai konflik Israel dan Palestina, opini publik di Indonesia sudah dapat terpetakkan antara yang mendukung Israel, mendukung Palestina, mendukung kemanusiaan dan perdamaian dan tidak mendukung konflik keduanya sampai yang apatis dan tidak memperdulikan konflik kedua wilayah yang jauh dari teritori Indonesia.

Para pemimpin negeri ini dan juga segenap masyarakatnya bukan sekedar membela dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina untuk bisa berdaulat menjadi sebuah negeri dengan mengatasnamakan Hak Asasi dan Konstitusi namun memerlukan sebuah keberanian baru untuk membangun hubungan diplomatik dengan Israel dengan tujuan dapat menjalankan peran dan partisipasi aktif dalam memediasi konflik di antara keduanya sekaligus memberikan kontribusi konstruktif untuk menghadirkan dua buah entitas yang dapat hidup berdampingan tanpa saling menihilisasi satu sama lain.

Membangun hubungan diplomatik dengan Israel, memerlukan sebuah keberanian. Keberanian bukanlah semata-mata tindakan yang dihubungkan dengan kekerasan, peperangan, perkelahian. Keberanian adalah sebuah tindakan yang memerlukan segenap kekuatan baik pikiran dan perkataan serta tindakan untuk memberikan respon terhadap berbagai ancaman ataupun situasi yang menghimpit. Mengeluarkan sebuah keputusan yang tidak populer namun telah menimbang manfaat dan kerugiannya adalah juga sebuah keberanian. Sebagaimana konsepsi kekuatan bukan hanya diletakkan pada kemampuan fisik yang luar biasa. Yesus Sang Mesias telah mengajar mengenai konsepsi kekuatan dan keberanian ketika di atas kayu salib dan penderitaannya mengatakan: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Hanya orang yang kuat dan berani yang mampu mengeluarkan kata-kata pengampunan terhadap musuhnya yang telah menganiaya dan mengakhiri kehidupannya dengan mengeksekusinya di atas salib yang hina. 

Alm. Gus Dur telah menjadikan keputusannya dan tindakannya sebagai referensi historis dengan melakukan terobosan baru melalui membangun komunikasi, interaksi dengan pemerintahan Israel untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina.

Namun demikian, ada tindakan lain yang memerlukan keberanian dari sekedar membangun hubungan diplomatik dengan Israel. Apakah itu? Memahami dan memiliki pengetahuan yang proporsional serta obyektif mengenai Israel baik mengenai struktur sosial, struktur budaya serta struktur agamanya dengan mendekonstruksi semua negatif labeling yang selama ini dilekatkan padanya. Mengapa demikian? Selama ini, kita hanya dijejali dan menjejali diri dengan informasi yang bias mengenai Israel atau Yahudi. 

MENYIKAPI KONFLIK ISRAEL - PALESTINA/ IDF – HAMAS

Posted by Teguh Hindarto



שׁאלו שׁלום ירושׁלם ישׁליו אהביך

Sha’alu shelom Yerusalayim, yishlau ohavayik (TaNaKh, Sefer Tehilim 122:6)

ερωτησατε δη τα εις ειρηνην την ιερουσαλημ και ευθηνια τοις αγαπωσιν σε

Erootesate de ta eis eirenen ten Ierousalem kai euthenia tais agapoosin se (Septuaginta, Psalmoi  122:6)

“Berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem: "Biarlah orang-orang yang mencintaimu mendapat sentosa” (Mazmur 122:6)

 
Kalimat doa inilah yang sebaiknya kita panjatkan kepada Tuhan agar perdamaian dan ketentraman terjadi terhadap Yerusalem,baik bagi penduduknya maupun yang mendoakannya. Konflik Israel-Palestina lebih merepresentasikan konflik IDF dan Hamas yang merugikan baik warga sipil Israel dan warga sipil Palestina. Konflik yang sama selalu akan mendapatkan respon yang sama, baik itu kecaman, kutukan maupun pembelaan serta bentuk keprihatinan, baik dari pejabat politik, pengamat sosial politik sampai masyarakat awam. Oleh karenanya tidak ada salahnya saya membagikan artikel yang pernah saya tulis pada bulan November 2012 silam saat pecah konflik Israel dengan Palestina khususnya Gaza


Berdoalah Untuk Kedamaian Yerusalem
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/11/berdoalah-untuk-kedamaian-yerusalem.html

Saudara-saudaraku,agar kita tidak terjebak pada euforia dan klaim-klaim yang berupaya menarik isyu konflik Israel-Palestina sebagai konflik keagamaan (Yahudi-Islam, Kristen-Islam), selayaknya kita merenungkan sejumlah data-data berikut yang dapat berfungsi sebagai peta jalan (road map) agar kita memiliki cara berfikir yang lebih luas dan tidak terpolarisasi oleh berbagai sentimen keagamaan. Silahkan data-data berikut dicermati dan mulailah membuat keputusan bijaksana menyikapi konflik Israel-Palestina.

MENCARI DAN MEMILIH PEMIMPIN: PERAN DAN PARTISIPASI ORANG KRISTEN DALAM PILPRES

Posted by Teguh Hindarto



Pada tanggal 9 Juli 20014, bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi besar bernama Pilihan Presiden (Pilpres). Masing-masing kubu kedua kandidat telah bekerja keras menggerakkan mesin-mesin partai pengusung untuk memobilisasi massa pendukungnya menyukseskan kandidat yang mereka pilih. Suasana sosial semakin panas dengan interaksi yang bersifat disasosiatif (persaingan – lawannya interaksi asosiatif atau kerjasama). Berbagai black campaign (kamanye hitam) bertebaran dimana-mana baik di media sosial (facebook, tweeter, website) maupun media cetak (Koran, majalah, tabloid, dll).

Umat Kristen sebagai bagian dari kehidupan sosial politik di Negara Indonesia harus pula terlibat dalam proses pemilihan pemimpin atau presiden. Tindakan Golput (golongan putih) alias tidak menentukan sikap dan pilihan merupakan bentuk ketidakpedulian terhadap nasib bangsa dan negara. Khususnya mereka yang melakukan Golput Ideologis.

Direktur Research Director Charta Politika, Yunarto Wijaya, menyatakan ada tiga jenis Golput yaitu yang pertama adalah Golput Administratif. Ini adalah masyarakat yang tidak memilih karena masalah administrasi kependudukan yang tidak jelas, seperti tidak terdaftar dan sebagainya.Yang kedua adalah Golput Teknis. Ini adalah orang-orang yang tidak memilih karena pada hari pemilihan mereka berhalangan. Ia  menjelaskan bahwa banyak pemilih yang lebih memilih melakukan kegiatan lain, seperti berlibur, daripada mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS). Yang ketiga adalah Golput Ideologis atau politis. Ini adalah golongan orang-orang yang tidak memilih karena alasan apatisme dan skeptisme (1).

Berkaitan dengan pemilihan presiden 2014 ini, bagaimana orang Kristen mendasari tindakannya untuk terlibat dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam proses pemilihan pemimpinnya untuk 5 tahun ke depan? Ada tiga pembahasan yang dapat menjadi pedoman bagi setiap orang Kristen sebelum menentukan pilihan mengenai pemimpin yang akan dipilihnya.