RSS Feed

BUKAN SEKEDAR MEMBUKA HUBUNGAN DIPLOMATIK

Posted by Teguh Hindarto


Menarik membaca pernyataan dalam sebuah artikel berikut ini:

“Bagi Indonesia sendiri, sebetulnya, membuka hubungan diplomatik dengan Israel membuka peluang untuk memosisikan Indonesia lebih aktif dalam proses rekonsiliasi konflik. Indonesia sudah terlebih dulu punya hubungan diplomatik dengan Palestina, dan Dubes Palestina sudah bercokol lama di Jakarta. Dengan demikian, Indonesia akan punya peluang lebih besar dalam memediasi Israel dan Palestina tanpa ada hambatan politik yang berarti.

Di sinilah ‘cerdas’-nya Gus Dur. Membuka hubungan diplomatik bukan berarti ‘mendukung’ Israel. Ini soal siasat. Jika Indonesia tidak membuka relasi pertemanan yang lebih baik, bagaimana mungkin Indonesia bisa tampil dalam proses perdamaian?

Artinya, membuka hubungan diplomatik dengan Israel bukan berarti ‘mendukung penjajahan Israel atas Palestina’ seperti banyak dituduhkan selama ini, tetapi justru ‘turut serta menjaga ketertiban dunia’ sebagaimana diamanatkan Konstitusi.

Inilah ‘ijtihad’ yang coba diambil Gus Dur. ‘Ijtihad’ ini bukannya tidak berisiko. Risiko terbesar adalah ditolak warganya sendiri. Inilah yang menghampiri Gus Dur ketika ia menjadi presiden. Hambatan lainnya, tentu saja, soal yang remeh-temeh dalam politik internasional –keamanan regional, posisi Indonesia dalam pergaulan di negara-negara mayoritas Islam, spionase dan intelijen, hingga mobilitas orang dan keamanan nasional.

Namun, jika risiko tersebut tidak diambil, apa arti dari sebuah kebijakan politik? Plus dan minus dari suatu kebijakan pasti ada. Yang perlu dimiliki oleh seorang kepala negara adalah keberanian. Inilah yang dipunyai dan diajarkan oleh seorang Gus Dur ketika ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel”.

GUS DUR, ERDOGAN, DAN ISRAEL

Berbicara mengenai konflik Israel dan Palestina, opini publik di Indonesia sudah dapat terpetakkan antara yang mendukung Israel, mendukung Palestina, mendukung kemanusiaan dan perdamaian dan tidak mendukung konflik keduanya sampai yang apatis dan tidak memperdulikan konflik kedua wilayah yang jauh dari teritori Indonesia.

Para pemimpin negeri ini dan juga segenap masyarakatnya bukan sekedar membela dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina untuk bisa berdaulat menjadi sebuah negeri dengan mengatasnamakan Hak Asasi dan Konstitusi namun memerlukan sebuah keberanian baru untuk membangun hubungan diplomatik dengan Israel dengan tujuan dapat menjalankan peran dan partisipasi aktif dalam memediasi konflik di antara keduanya sekaligus memberikan kontribusi konstruktif untuk menghadirkan dua buah entitas yang dapat hidup berdampingan tanpa saling menihilisasi satu sama lain.

Membangun hubungan diplomatik dengan Israel, memerlukan sebuah keberanian. Keberanian bukanlah semata-mata tindakan yang dihubungkan dengan kekerasan, peperangan, perkelahian. Keberanian adalah sebuah tindakan yang memerlukan segenap kekuatan baik pikiran dan perkataan serta tindakan untuk memberikan respon terhadap berbagai ancaman ataupun situasi yang menghimpit. Mengeluarkan sebuah keputusan yang tidak populer namun telah menimbang manfaat dan kerugiannya adalah juga sebuah keberanian. Sebagaimana konsepsi kekuatan bukan hanya diletakkan pada kemampuan fisik yang luar biasa. Yesus Sang Mesias telah mengajar mengenai konsepsi kekuatan dan keberanian ketika di atas kayu salib dan penderitaannya mengatakan: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Hanya orang yang kuat dan berani yang mampu mengeluarkan kata-kata pengampunan terhadap musuhnya yang telah menganiaya dan mengakhiri kehidupannya dengan mengeksekusinya di atas salib yang hina. 

Alm. Gus Dur telah menjadikan keputusannya dan tindakannya sebagai referensi historis dengan melakukan terobosan baru melalui membangun komunikasi, interaksi dengan pemerintahan Israel untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina.

Namun demikian, ada tindakan lain yang memerlukan keberanian dari sekedar membangun hubungan diplomatik dengan Israel. Apakah itu? Memahami dan memiliki pengetahuan yang proporsional serta obyektif mengenai Israel baik mengenai struktur sosial, struktur budaya serta struktur agamanya dengan mendekonstruksi semua negatif labeling yang selama ini dilekatkan padanya. Mengapa demikian? Selama ini, kita hanya dijejali dan menjejali diri dengan informasi yang bias mengenai Israel atau Yahudi. 

Sebagaimana dikatakan DR. Leonard C. Epafras dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Yogyakarta dalam artikelnya sbb:

"Secara objektif, faktual, dan historis masyarakat Indonesia sangat sedikit bersinggungan dengan kenyataan keyahudian, baik secara keagamaan, sosial-kultural, maupun politis. Terlebih lagi agama Yahudi tidak termasuk dalam enam agama yang diakui pemerintah Indonesia, karena itu praktis realitanya nyaris tak kasat mata. Jika ―Israel dianggap meringkaskan penanda ―Yahudi, maka situasinya juga sama saja sebab secara politis Indonesia dan Israel tidak mempunyai hubungan diplomatik. Memang ada hubungan terbatas di bidang perdagangan, investasi, dan militer tapi ini cenderung jauh dari pengamatan publik" (YAHUDI NUSANTARA Realitas Sejarah dan Dinamika Identitas, Jurnal Religio | Volume 03, Nomor 02, September 2013, hal 33)

Nama Israel atau Yahudi biasanya dihubungkan dengan sentimen-sentimen keagamaan yang bertebaran dalam banyak buku-buku di Indonesia, baik yang bersifat karya terjemahan maupun kajian mandiri. Sebut saja beberapa judul terjemahan Kenapa Kita Tidak Berdamai Saja Dengan Yahudi, karya Muhsin Anbataani (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Yahudi Menggenggam Dunia, karya William G. Carr (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993).

Adapun buku lokal non terjemahan al., Jejak Freemason & Zionis Di Indonesia, karya Herry Nurdi (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2005). Sorotan Terhadap Freemasonry: Organisasi Rahasia Yahudi. Disusun oleh LPPA Muhammadiyah Jakarta tahun 1979.

Bukan hanya itu, nama Yahudi dan berbagai labeling yang melekat pada dirinya dikemas dalam sebuah kisah fiksi berlatar belakang sejarah dengan judul, Anak Betawi Diburu Intel Yahudi pada tahun 2008 silam(Baca resensi dan tanggapan saya di http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/12/anak-betawi-diburu-intel-yahudi-resensi.html). Bisa jadi novel karya Ridwan Saidi mengilhami novel berikutnya yang diterbitkan tahun 2011 yaitu The Jacatra Secret: Misteri Satanic Symbols di Jakarta garapan Rizki Ridyasmara (Baca resensi dan tanggapan saya di http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/05/resensi-jacatra-secret-misteri-satanic.html).

Berikut ini saya kutipkan ulasan yang pernah saya tuliskan di blog dengan judul, Stigma Terhadap Yahudi Dalam Sastra Indonesia  sbb:
“Ketika kita berbicara secara positip mengenai Israel, ada rasa sungkan dan kuatir bahwa kita dianggap sebagai kaki tangan Zionisme. Bahkan ketika Lutfie Assaukanie seorang dosen di Universitas Paramadina memberikan komentar jujur dan positip dari hasil kunjungannya ke Israel dalam salah satu artikelnya yang berjudul Catatan Perjalanan ke Israel yang dimuat dalam website Islamlib.com, beberapa tahun lalu sempat menuai kritik tajam dari sesama Muslim. Jika kita searching google saat ini, Islamlib.com sudah tidak memuat artikel kontroversial tersebut namun sejumlah artikel sanggahan dan kecaman mengalir deras ditujukan pada Lutfie Assaukanie.
Bangsa Israel khususnya Yahudi menjadi sasaran kebencian banyak bangsa. Di Abad-abad pertengahan bangsa Yahudi harus terbuang dari Spanyol. Pada Tgl 31 Maret 1492 Raja Ferdinand dan Ratu Isabela menandatangani Perintah Pengusiran (Edict of Expulsion) untuk membersihkan komunitas Yahudi dari Spanyol. Mereka diberi dua pilihan: dibaptis dan menjadi Kristen atau dideportasi. Banyak yang mencintai Spanyol dan akhirnya memilih dibaptis dan menjadi Kristen. Namun sebanyak 80.000 orang Yahudi lainnya memilih menyebrang ke Portugal dan 50.000 lainnya memilih menyebrang ke dunia Islam khususnya di pemerintahan Khalifah Utsmaniah (Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, Serambi & Mizan 2000, hal 4).
Pada zaman Hitler, Yahudi mengalami pogrom atau pemusnahan massal. Stephane Downing menggambarkan tindakan Hitler sbb: “Pada tahun-tahun awal pasca perang, bangsa Jerman menanggung inflasi tak terkontrol dan pengangguran besar-besaran. Partai Buruh Sosialis Nasional (Nazi) hanya satu dari kelompok rasis yang bermunculan di tengah-tengah ketidakmenentuan ini. Akan tetapi Hitler segera menjadi agitator anti Yahudi yang paling efekstif. Agenda anti semitnya dipaparkan dalam bukunya Mein Kampf (Perjuanganku) dan setelah dia berkuasa penuh pada 1930 agenda itu menjadi kebijakan resmi. Meski bertentangan dengan Kristianitas, Hitler memakainya dalam pesan anti-semitnya. Sebagai contoh, dalam Mein Kampf dia menulis: ‘Jika... bangsa Yahudi menjadi pemenang atas bangsa-bangsa sedunia, mahkotanya akan menjadi karangan bunga kematian untuk kemanusiaan. Dan planet ini akan sepertiyang terjadi ribuan tahun yang lalu, berputar sebagai eter tanpa manusia. Oleh karenanya hari ini saya percaya bahwa saya sedang bertindak menurut kehendak Pencipta: dengan membela diri melawan bangsa Yahudi, saya sedang bertarung demi ciptaan Tuhan’. Pesan ini menggabungkan rasisme dan ajaran agama, sehingga diterima rakyat Jerman yang nasionalismenya sering dikaitkan dengan nilai-nilai Kristianitas. Banyak yang melihat bangsa Yahudi sebagai oposisi dari segala sesuatu yang baik dalam bangsa mereka” (Benarkah Nazi Membantai Yahudi?  Yogyakarta: Narasi 2007, Hal 18-19).
Dalam lingkungan Kekristenan, berbagai stigma dan labeling negatif yang dilekatkan kepada Yahudi telah berkembang seiring Kekristenan melepaskan diri dari akar budaya Semitik Yudaiknya pada Abad II Ms. Hal tersebut nampak dalam sejumlah pernyataan para Bapa Gereja (Chruch Father). Kita simak beberapa kutipan pernyataan para Bapa Gereja sbb: Pertama, Ignatius, Bishop Antiokhia (98-117 Ms) dalam karyanya “Surat untuk orang-orang Magnesia” sbb: “Jika kita tetap melakukan agama Yudaisme, maka kita mengakui bahwa kita tidak menerima kasih karunia Tuhan…adalah keliru untuk mengatakan mengenai Yesus Sang Mesias dan hidup seperti orang Yahudi. Bagi Kekristenan, tidak mempercayai dalam Yudaisme melainkan Yudaisme percaya dalam Kekristenan”. Kedua, Surat Barnabas (130 M-138 Ms), Ps IV Ay 6-7 sbb, “Hindarilah dirimu dan janganlah seperti beberapa orang yang mendorongmu berbuat dosa dan berkata bahwa perjanjian yang mereka warisi sebagaimana yang kita (orang Kristen) warisi, namun sebenarnya mereka kehilangan sepenuhnya warisan itu setelah Musa menerimanya”. Ketiga, Agustinus (354-430 Ms) dalam karyanya, “Conffesions”, 12.14, menuliskan: “Betapa aku benci terhadap musuh-musuh dari Kitab Sucimu! Betapa aku menyarankan padamu untuk membunuh mereka (orang-orang Yahudi) dengan pedang bermata dua, sehingga tidak satupun dari mereka akan melawan perkataanmu! Sungguh menyenangkan menginginkan kematian mereka dan kehidupan bagimu!”(Anti Semitsm of The Church Father, www.yashanet.com/library/fathers.com)
Bagaimana dengan Luther pendiri Protestantisme dan penganjur Reformasi Gereja? Dalam bukunya berjudul, On The Jews and Their Lies (1543) Luther menuliskan sbb: “Apa yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen terhadap ras Yahudi terkutuk dan telah ditolak Tuhan itu? Karena mereka tinggal ditengah-tengah kita dan kita mengetahui mengenai kebohongan dan hujatan serta kutukan mereka, maka kita tidak dapat mentolerir mereka jika kita tidak menghendaki untuk berbagi kebohongan dan hujatan serta kutukan mereka…Biarlah aku memberikan nasihat bijak kepadamu sbb: (!)Bakarlah sinagog mereka dan apapun yang tidak bisa dibakar, tutuplah atau taburilah dengan kotoran sehingga tidak ada seorangpun mmpu melihat abu atau batunya. Dan hal ini seharusnya dikerjakan untuk kemuliaan Tuhan dan Kekristenan sehingga Tuhan boleh melihat bahwa kita adalah orang-orang Kristen dan kita tidak memberikan tolernsi secara sengaja terhadap kebohongan, kutukan dan hujatan terhadap Putra Tuhan dan orang-orang Kristen (2) Rumah-rumah mereka harus dihancurkan…(3) Mereka harus membuang buku-buku doa dan talmud yang mencerminkan penyembahan berhala, kebohongan dan kutukan…(4) Para rabi dilarang untuk mengajar siapapun dengan ancaman hukuman mati…(5) Paspor dan bepergian dengan hak istimewa dilarang…(http://www.jrbooksonline.com/PDF_Books/JewsAndTheirLies.pdf).
Beberapa ayat dalam Al Qur’an pun sarat dengan ayat-ayat yang kerap ditafsirkan sebagai bentuk kewaspadaan, perlawanan, permusuhan terhadap keberadaan Yahudi.
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani." Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri” (Qs 5:82)
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Qs 2:120)
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (Qs 96:6)
Demikian pula dalam Hadits-hadits diceritakan berbagai sifat dan karakter Yahudi dan perlawanan Muslim terhadap mereka serta ajakan Muhamad agar mereka masuk Islam.
Dalam Hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim dikisahkan sbb: “Tidak akan terjadi hari kiamat sebelum kaum Muslimin memerangi orang-orang Yahudi. Kemudian kaum Muslimin membunuh mereka sampai orang Yahudi bersembunyi dibelakang batu atau pohon. Maka batu atau pohon itu berkata: Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ini dibelakangku ada Yahudi,kemarilah lalu bunuhlah. Kecuali pohon Gharqad (sebuah pohon berduri yang dikenal di kalangan bangsa Yahui), sesunguhnya Gharqad adalah salah satu pohon bangsa Yahudi
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Ketika kami di dalam masjid, tatkala Rasullah keluar kepada kami, sambil bersabda: Pergilah kepada orang-orang Yahudi. Maka kamipun keluar bersama beliau, sampai kami mendatangi tempat pengajian (milik seorang pembesar Yahudi). Kemudian Nabi berdiri dan menyeru mereka: Wahai orang-orang Yahudi masuklah ke dalam agama Islam, niscaya kamu akan selamat...”
Seorang penulis Islam bernama Ahmad Faiz Asifuddin dalam artikelnya berjudul Yahudi Musuh Bebuyutan Umat Islam Sampai Mereka Musnah mengatakan demikian, “Rasanya, musuh terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini, salah satunya memang bangsa Yahudi. Bahkan sepertinya, bangsa Yahudi dengan berbagai organisasi yang dimilikinya dari yang terselubung sampai yang terang-terangan, adalah yang mengotaki segala permusuhan seluruh komponen dunia terhadap Islam dan umat Islam (Majalah As Sunnah, Edisi 08/V/1422 H- 2001 M, hal 19). Selanjutnya penulis tersebut mengatakan, “Belumkah kaum Muslimin menyadari bahwa pertarungan kita dengan kaum Yahudi adalah pertarungan aqidah, pertarungan budaya, pertarungan peradaban, pertarungan eksistensi dan pertarungan identitas?...Sesungguhnya penyelesaian (satu-satunya) yang bangsa Yahudi sendiri sudah memahaminya adalah (penyelesaian) jihad yang sesuai persyaratan dalam rangka menjunjung tinggi Kalimat Allah” (Ibid., hal 20)
Paska berdirinya Negara Israel (1948), berbagai kegiatan Anti Semit meluas di dunia Arab dan kalangan Muslim berbagai negara. Berbagai buku dan kajian menghubungkan eksistensi Yahudi dengan sejumlah konspirasi (persekongkolan) untuk menguasai dunia melalui Protokol Sion, bank-bank Yahudi, Freemasonry dll (http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_conspiracy_theories).
Tepatkah kebencian terhadap Yahudi tersebut? Apakah Yahudi adalah simbolisasi berbagai perilaku buruk sebuah umat dan ras tertentu? Sebuah labeling dan stigmatisasi dibentuk dan dikonstruksi oleh masyarakat. Labeling dan stigmatisasi yang dikonstruksi oleh masyarakat disebarluaskan melalui media tulis, cetak, elektronik. Apa yang distigmatisasi dan diberi labeling negatif oleh kelompok masyarakat tertentu, belum tentu menunjukkan esensi keberadaan dirinya.
Bagi Kekristenan, membenci berbagai hal yang berbau Yahudi, berarti membenci Mesias (Kristus), karena Mesias adalah orang Yahudi , sebagaimana dikatakan, “ Sebab telah diketahui semua orang, bahwa Tuan kita berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu Musa tidak pernah mengatakan suatu apapun tentang imam-imam” (Ibr 7:14). Siapakah orang Yahudi itu?Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Tuhan yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin” (Rom 9:4-5).
Hans Ucko menggambarkan sikap-sikap Kekristenan terhadap kenyataan bahwa Mesias adalah Yahudi sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan sebentuk rasa sulit bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu”(Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999, hal 5).
Al Quran pun tidak membuat generalisasi stigmatif dan labeling negatif karena dalam bagian lain dikatakan mengenai Yahudi sbb:
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat” (Qs 2:47)
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).  Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menenerima pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa “ (Qs 3:113-115)
Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman” (Qs 5:43)”

Stigma Terhadap Yahudi Dalam Sastra Indonesia
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/12/anak-betawi-diburu-intel-yahudi-resensi.html

Sedikit catatan perlu saya tambahkan di sini. Dalam tiga artikel berikut, saya pun memberikan kajian bahwa Yesus Sang Mesias adalah seorang Yahudi dan Yudaism. Jika kita mengabaikan latar belakang sosiologis dan kultural serta religius Yesus yang dikisahkan Kitab Perjanjian Baru, maka kita akan mengalami sejumlah konsekwensi serius di bidang tafsir yang melahirkan dogma dan devosi yang menjauhi dari apa yang disabdakan Yesus Sang Mesias. Ketiga artikel tersebut sbb:

Yesus, Yahudi, Yudaisme
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2011/03/yesus-yahudi-yudaisme.html

Apakah Yesus Bermazhab Farisi, Saduki Atau Esseni?
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/02/apakah-yesus-bermazhab-farisi-saduki_2.html

Belajar Di Bawah Kaki Sang Rabi
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/11/belajar-di-bawah-kaki-sang-rabi.html

Kembali kepada persoalan wacana “membangun hubungan diplomatik” yang pernah digagas dan diusung Alm. Gus Dur namun kandas kemudian dalam lipatan waktu dan tenggelam dalam memori masa kini. Kita sudah membicarakan langkah berani yang kedua yaitu “memahami dan memiliki pengetahuan yang proporsional serta obyektif mengenai Israel baik mengenai struktur sosial, struktur budaya serta struktur agamanya dengan mendekonstruksi semua negatif labeling yang selama ini dilekatkan padanya”. Maka langkah ketiga adalah keberanian menerima eksistensi agama Yudaisme sebagai agama yang sejajar dengan keberadaan agama-agama lainnya di Indonesia selain Hindu, Budha, Kristen, Islam, Kong Hu Cu. 

Mungkin ada yang berkata, bukankah selama ini sudah ada para penganut Yudaisme di Indonesia sebagaimana adanya sinagog tua di jalan Kayun, Surabaya? Ya, namun eksistensi agama ini belum menjadi bagian dari agama yang dianggap sah secara konstitusi setara dengan agama-agama lainnya di Indonesia.

Menerima dan mengakui eksistensi agama Yudaisme sejajar dengan agama-agama lainnya melalui konstitusi mendapatkan pijakan historis baik dari zaman pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Saya akan menuliskan topik tersendiri dengan judul Jejak Yahudi dan Yudaisme di Indonesia Pra Kemerdekaan Hingga Paska Kemerdekaan dengan mengandalkan beberapa literatur yang masih minim namun sangat bermanfaat sebagai penelusuran awal. Berbicara mengenai pijakan historis, saya akan mengutip pidato Raden Adipati Aria Muharam Wiranatakusumah. 

Siapakah Raden Adipati Aria Muharam Wiranatakusumah? “Nama kecil beliau adalah Muharam. Wiranatakusumah V adalah gelarnya sebagai Bupati Bandung. Ia lahir di Bandung, 8 Agustus 1888. Versi lain menyebutkan 23 November 1888. Wiranatakusumah adalah putra dari pasangan R. Adipati Kusumahdilaga dan R. A. Soekarsih. Ayahnya adalah Bupati Bandung (1874-1893). Ketika Muharam berusia lima tahun, ayahnya wafat. Ia lalu diasuh dan dididik oleh ibunya hingga usia sembilan tahun. Setelah ayahnya mangkat, ditunjuklah tiga orang sebagai walinya, yaitu R. Martanagara (Bupati Bandung), R. Ardinagara (Jaksa Bandung), dan Suriadiningrat (Camat Cilokotot/Cimahi). Kepada ketiganya juga  dipasrahkan kewajiban untuk mengurus semua warisan Kusumahdilaga. Pada usia sembilan tahun, Muharam dititipkan pada keluarga Adams untuk mendapatkan pendidikan ala Barat. Sekolah formal yang sempat diikutinya adalah ELS (1901), sempat melanjutkan ke OSVIA hingga kelas III, kemudian atas anjuran dr. Snouck Hurgronje, pada 1904 ia pindah ke HBS atau Gymnasium Willem III di Batavia dan mendapatkan diploma pada 1910. Di Batavia, Muharam tinggal di rumah inspektur sekolah Hellwig. Selain belajar di sekolah, setiap hari Minggu, dari jam 9.00-16.00, ia mendapatkan pelajaran tambahan di rumah Hurgronje. Ia belajar bahasa Prancis, Jerman, dan Inggris. Ketika R. Ardinagara wafat, Hurgronje menggantikannya sebagai wali bagi Muharam. Selain Hurgronje, tokoh lain yang ikut membentuk kepribadian Muharanm adalah Prof. G. J. A. Hazeu”.

R.A.A Wiranatakusumah “Raja Sunda” Terakhir

Beliau dikenal sebagai seorang yang menjadi saksi atas pernikahan Soekarno dan Inggit Garnasih. Nasionalisme dan Keislaman beliau tidak diragukan. Namun yang menarik, pada tahun 1940 beliau memberikan sebuah pernyataan yang membela kesucian nilai-nilai agama masing-masing yang berada di wilayah Jawa Barat kala itu dan agama Yahudi (Yudaisme) sudah disebutkan eksistensinya sebagaimana beliau katakan:

“Aliran yang serupa itu sudah mesti dicegah. Tentu orang tidak dapat membiarkan manusia dimusnahkan, karena kebatinan yang suci itu sudah lenyap, dan karena keingkaran manusia kepada Tuhan. Jika memang ada cita-cita yang demikian maka sekalian yang masih beriman, semua orang yang masih bercintakan kepada batin yang suci, sudah seharusnya bekerja bersama-sama mempertahankan kesucian agamanya. Demikianlah maka kita berkumpul di sini, baik Kristen maupun Islam ataupun Yahudi dan yang memeluk agama-agama lain, putih dan hitam bersisi-sisi, akan membuktikan bahwa ada Yang Maha Kuasa yang akan memenangkan kebenaran”

R.A.A Wiranatakusumah “Raja Sunda” Terakhir (hal 22)

Eksistensi Yudaisme sendiri secara sporadis saat ini sudah dapat diterima sebagaimana dibangunnya sinagog dan komunitas agama Yahudi serta pembangunan menorah raksasa di Sulawesi sebagaimana dilaporkan berikut ini:

"Despite what Chabad and the City of New York may claim, it appears that the largest menorah in the world is neither the 32 foot high one to be lit in Grand Army Plaza in Brooklyn (pictured above), nor the one designed by Yaacov Agam that will be lit on Fifth Avenue (apparently also known as "Grand Army Plaza," terribly confusing to all Brooklynites, pictured to the right), beginning December 20th, 2011.  I'm shocked too.  I mean, Chabad even owns the webpage www.largestmenorah.com.


No, as reported in the New York Times just over a year ago, the world's largest menorah is in...Indonesia!  Indonesia?  Where Judaism isn't even an officially recognized religion?  Where, during World War II, Jews were scapegoated and placed in concentration camps by the Japanese?  Where Jews were killed or forced to leave after World War II and during the 1950s? Didn't all the rest emigrate?  Aren't there only, like, 20 Jews left in all of Indonesia?  I mean, Israel and Indonesia don't even have diplomatic relations!  And yet...yes, Indonesia!"

New Jewish Education

Tiga langkah berani yang saya wacanakan (membangun hubungan diplomatik dengan Israel, memiliki pengetahuan yang obyektif perihal Israel secara sosial, politik, kebudayaan, legalisasi agama Yudaisme di Indonesia) mungkin hanya sekedar wacana dan utopia yang sukar terlaksana dikarenakan banyaknya kendala khususnya persepsi keagamaan tertentu yang telah menjadi bagian dari struktur masyarakat kita. Bahkan Alm. Gus Dur pun gagal melaksanakan konsepsinya tersebut. 

Mampukah pemimpin baru yang terpilih sebagai Presiden untuk periode 2014-2018 melakukan tiga langkah berani lebih dari sekedar membangun hubungan diplomatik? Waktu yang akan memberikan jawaban pada kita. Mudah-mudahan kita masih dipertemukan oleh Sang Waktu untuk melihat dan mengalami harapan itu.

0 komentar:

Posting Komentar