Menarik
membaca pernyataan dalam sebuah artikel berikut ini:
“Bagi Indonesia sendiri, sebetulnya, membuka hubungan diplomatik dengan Israel
membuka peluang untuk memosisikan Indonesia lebih aktif dalam proses
rekonsiliasi konflik. Indonesia sudah terlebih dulu punya hubungan
diplomatik dengan Palestina, dan Dubes Palestina sudah bercokol lama di
Jakarta. Dengan demikian, Indonesia akan punya peluang lebih besar dalam
memediasi Israel dan Palestina tanpa ada hambatan politik yang berarti.
Di sinilah ‘cerdas’-nya Gus Dur.
Membuka hubungan diplomatik bukan berarti ‘mendukung’ Israel. Ini soal siasat.
Jika Indonesia tidak membuka relasi pertemanan yang lebih baik, bagaimana
mungkin Indonesia bisa tampil dalam proses perdamaian?
Artinya, membuka hubungan diplomatik
dengan Israel bukan berarti ‘mendukung penjajahan Israel atas Palestina’
seperti banyak dituduhkan selama ini, tetapi justru ‘turut serta menjaga
ketertiban dunia’ sebagaimana diamanatkan Konstitusi.
Inilah ‘ijtihad’ yang coba diambil Gus
Dur. ‘Ijtihad’ ini bukannya tidak berisiko. Risiko terbesar adalah ditolak
warganya sendiri. Inilah yang menghampiri Gus Dur ketika ia menjadi presiden.
Hambatan lainnya, tentu saja, soal yang remeh-temeh
dalam politik internasional –keamanan regional, posisi Indonesia dalam
pergaulan di negara-negara mayoritas Islam, spionase dan intelijen, hingga
mobilitas orang dan keamanan nasional.
Namun, jika risiko tersebut tidak
diambil, apa arti dari sebuah kebijakan politik? Plus dan minus dari
suatu kebijakan pasti ada. Yang perlu dimiliki oleh seorang kepala negara
adalah keberanian. Inilah yang dipunyai dan diajarkan oleh seorang Gus Dur
ketika ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel”.
GUS
DUR, ERDOGAN, DAN ISRAEL
Berbicara mengenai konflik Israel dan Palestina, opini publik di
Indonesia sudah dapat terpetakkan antara yang mendukung Israel, mendukung
Palestina, mendukung kemanusiaan dan perdamaian dan tidak mendukung konflik
keduanya sampai yang apatis dan tidak memperdulikan konflik kedua wilayah yang
jauh dari teritori Indonesia.
Para pemimpin negeri ini dan juga segenap masyarakatnya bukan sekedar
membela dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina untuk bisa berdaulat menjadi
sebuah negeri dengan mengatasnamakan Hak Asasi dan Konstitusi namun memerlukan sebuah keberanian baru untuk
membangun hubungan diplomatik dengan Israel dengan tujuan dapat menjalankan
peran dan partisipasi aktif dalam memediasi konflik di antara keduanya
sekaligus memberikan kontribusi konstruktif untuk menghadirkan dua buah entitas
yang dapat hidup berdampingan tanpa saling menihilisasi satu sama lain.
Membangun hubungan diplomatik dengan Israel, memerlukan sebuah
keberanian. Keberanian bukanlah semata-mata tindakan yang dihubungkan dengan
kekerasan, peperangan, perkelahian. Keberanian adalah sebuah tindakan yang
memerlukan segenap kekuatan baik pikiran dan perkataan serta tindakan untuk
memberikan respon terhadap berbagai ancaman ataupun situasi yang menghimpit.
Mengeluarkan sebuah keputusan yang tidak populer namun telah menimbang manfaat
dan kerugiannya adalah juga sebuah keberanian. Sebagaimana konsepsi kekuatan
bukan hanya diletakkan pada kemampuan fisik yang luar biasa. Yesus Sang Mesias
telah mengajar mengenai konsepsi kekuatan dan keberanian ketika di atas kayu
salib dan penderitaannya mengatakan: "Ya
Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”
(Lukas 23:34). Hanya orang yang kuat dan berani yang mampu mengeluarkan
kata-kata pengampunan terhadap musuhnya yang telah menganiaya dan mengakhiri
kehidupannya dengan mengeksekusinya di atas salib yang hina.
Alm. Gus Dur telah menjadikan keputusannya dan tindakannya sebagai referensi
historis dengan melakukan terobosan baru melalui membangun komunikasi,
interaksi dengan pemerintahan Israel untuk memperjuangkan kepentingan rakyat
Palestina.
Namun demikian, ada tindakan lain yang memerlukan keberanian dari
sekedar membangun hubungan diplomatik dengan Israel. Apakah itu? Memahami dan memiliki pengetahuan yang
proporsional serta obyektif mengenai Israel baik mengenai struktur sosial,
struktur budaya serta struktur agamanya dengan mendekonstruksi semua negatif
labeling yang selama ini dilekatkan padanya. Mengapa demikian? Selama ini,
kita hanya dijejali dan menjejali diri dengan informasi yang bias mengenai
Israel atau Yahudi.
Sebagaimana dikatakan DR. Leonard C. Epafras dari Indonesian Consortium
for Religious Studies (ICRS), Yogyakarta dalam artikelnya sbb:
"Secara objektif, faktual,
dan historis masyarakat Indonesia sangat sedikit bersinggungan dengan kenyataan
keyahudian, baik secara keagamaan, sosial-kultural, maupun politis. Terlebih
lagi agama Yahudi tidak termasuk dalam enam agama yang diakui pemerintah
Indonesia, karena itu praktis realitanya nyaris tak kasat mata. Jika ―Israel‖ dianggap meringkaskan penanda ―Yahudi‖, maka situasinya juga sama saja sebab secara
politis Indonesia dan Israel tidak mempunyai hubungan diplomatik. Memang ada
hubungan terbatas di bidang perdagangan, investasi, dan militer tapi ini
cenderung jauh dari pengamatan publik" (YAHUDI NUSANTARA Realitas
Sejarah dan Dinamika Identitas, Jurnal Religio | Volume 03, Nomor 02,
September 2013, hal 33)
Nama Israel atau Yahudi biasanya dihubungkan dengan sentimen-sentimen
keagamaan yang bertebaran dalam banyak buku-buku di Indonesia, baik yang
bersifat karya terjemahan maupun kajian mandiri. Sebut saja beberapa judul
terjemahan Kenapa Kita Tidak Berdamai Saja Dengan Yahudi, karya Muhsin
Anbataani (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Yahudi Menggenggam Dunia,
karya William G. Carr (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993).
Adapun buku lokal
non terjemahan al., Jejak Freemason & Zionis Di Indonesia, karya Herry Nurdi
(Jakarta: Cakrawala Publishing, 2005). Sorotan Terhadap Freemasonry:
Organisasi Rahasia Yahudi. Disusun oleh LPPA Muhammadiyah
Jakarta tahun 1979.
Bukan hanya itu,
nama Yahudi dan berbagai labeling yang melekat pada dirinya dikemas dalam
sebuah kisah fiksi berlatar belakang sejarah dengan judul, Anak Betawi Diburu Intel Yahudi pada tahun 2008 silam(Baca resensi dan
tanggapan saya di http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/12/anak-betawi-diburu-intel-yahudi-resensi.html). Bisa jadi novel karya Ridwan Saidi
mengilhami novel berikutnya yang diterbitkan tahun 2011 yaitu The Jacatra
Secret: Misteri Satanic Symbols di Jakarta garapan Rizki Ridyasmara (Baca
resensi dan tanggapan saya di http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/05/resensi-jacatra-secret-misteri-satanic.html).
Berikut ini saya
kutipkan ulasan yang pernah saya tuliskan di blog dengan judul, Stigma Terhadap Yahudi Dalam Sastra Indonesia sbb:
“Ketika
kita berbicara secara positip mengenai Israel, ada rasa sungkan dan kuatir
bahwa kita dianggap sebagai kaki tangan Zionisme. Bahkan ketika Lutfie
Assaukanie seorang dosen di Universitas Paramadina memberikan komentar jujur
dan positip dari hasil kunjungannya ke Israel dalam salah satu artikelnya yang
berjudul Catatan Perjalanan ke Israel yang dimuat dalam website
Islamlib.com, beberapa tahun lalu sempat menuai kritik tajam dari sesama
Muslim. Jika kita searching google saat ini, Islamlib.com sudah tidak memuat
artikel kontroversial tersebut namun sejumlah artikel sanggahan dan kecaman
mengalir deras ditujukan pada Lutfie Assaukanie.
Bangsa
Israel khususnya Yahudi menjadi sasaran kebencian banyak bangsa. Di Abad-abad
pertengahan bangsa Yahudi harus terbuang dari Spanyol. Pada Tgl 31 Maret 1492
Raja Ferdinand dan Ratu Isabela menandatangani Perintah Pengusiran (Edict of
Expulsion) untuk membersihkan komunitas Yahudi dari Spanyol. Mereka diberi dua
pilihan: dibaptis dan menjadi Kristen atau dideportasi. Banyak yang mencintai
Spanyol dan akhirnya memilih dibaptis dan menjadi Kristen. Namun sebanyak
80.000 orang Yahudi lainnya memilih menyebrang ke Portugal dan 50.000 lainnya
memilih menyebrang ke dunia Islam khususnya di pemerintahan Khalifah Utsmaniah (Karen
Armstrong, Berperang Demi Tuhan, Serambi & Mizan 2000, hal 4).
Pada
zaman Hitler, Yahudi mengalami pogrom atau pemusnahan massal. Stephane Downing
menggambarkan tindakan Hitler sbb: “Pada
tahun-tahun awal pasca perang, bangsa Jerman menanggung inflasi tak terkontrol
dan pengangguran besar-besaran. Partai Buruh Sosialis Nasional (Nazi) hanya
satu dari kelompok rasis yang bermunculan di tengah-tengah ketidakmenentuan ini.
Akan tetapi Hitler segera menjadi agitator anti Yahudi yang paling efekstif.
Agenda anti semitnya dipaparkan dalam bukunya Mein Kampf (Perjuanganku) dan
setelah dia berkuasa penuh pada 1930 agenda itu menjadi kebijakan resmi. Meski
bertentangan dengan Kristianitas, Hitler memakainya dalam pesan anti-semitnya.
Sebagai contoh, dalam Mein Kampf dia menulis: ‘Jika... bangsa Yahudi menjadi
pemenang atas bangsa-bangsa sedunia, mahkotanya akan menjadi karangan bunga
kematian untuk kemanusiaan. Dan planet ini akan sepertiyang terjadi ribuan
tahun yang lalu, berputar sebagai eter tanpa manusia. Oleh karenanya hari ini
saya percaya bahwa saya sedang bertindak menurut kehendak Pencipta: dengan
membela diri melawan bangsa Yahudi, saya sedang bertarung demi ciptaan Tuhan’.
Pesan ini menggabungkan rasisme dan ajaran agama, sehingga diterima rakyat
Jerman yang nasionalismenya sering dikaitkan dengan nilai-nilai Kristianitas.
Banyak yang melihat bangsa Yahudi sebagai oposisi dari segala sesuatu yang baik
dalam bangsa mereka” (Benarkah Nazi Membantai Yahudi? Yogyakarta: Narasi 2007, Hal 18-19).
Dalam lingkungan Kekristenan, berbagai stigma dan
labeling negatif yang dilekatkan kepada Yahudi telah berkembang seiring
Kekristenan melepaskan diri dari akar budaya Semitik Yudaiknya pada Abad II Ms.
Hal tersebut nampak dalam sejumlah pernyataan para Bapa Gereja (Chruch Father).
Kita simak beberapa kutipan pernyataan para Bapa Gereja sbb: Pertama, Ignatius, Bishop Antiokhia (98-117 Ms) dalam karyanya “Surat untuk
orang-orang Magnesia” sbb: “Jika kita
tetap melakukan agama Yudaisme, maka kita mengakui bahwa kita tidak menerima
kasih karunia Tuhan…adalah keliru untuk mengatakan mengenai Yesus Sang Mesias
dan hidup seperti orang Yahudi. Bagi Kekristenan, tidak mempercayai dalam
Yudaisme melainkan Yudaisme percaya dalam Kekristenan”. Kedua, Surat Barnabas (130 M-138 Ms), Ps IV Ay 6-7 sbb, “Hindarilah dirimu dan janganlah seperti
beberapa orang yang mendorongmu berbuat dosa dan berkata bahwa perjanjian yang
mereka warisi sebagaimana yang kita (orang Kristen) warisi, namun sebenarnya
mereka kehilangan sepenuhnya warisan itu setelah Musa menerimanya”. Ketiga, Agustinus (354-430 Ms) dalam karyanya, “Conffesions”, 12.14, menuliskan:
“Betapa aku benci terhadap musuh-musuh
dari Kitab Sucimu! Betapa aku menyarankan padamu untuk membunuh mereka
(orang-orang Yahudi) dengan pedang bermata dua, sehingga tidak satupun dari
mereka akan melawan perkataanmu! Sungguh menyenangkan menginginkan kematian
mereka dan kehidupan bagimu!”(Anti Semitsm of The Church Father, www.yashanet.com/library/fathers.com)
Bagaimana
dengan Luther pendiri Protestantisme dan penganjur Reformasi Gereja? Dalam
bukunya berjudul, On The Jews and Their Lies (1543) Luther menuliskan sbb: “Apa yang harus kita lakukan sebagai orang
Kristen terhadap ras Yahudi terkutuk dan telah ditolak Tuhan itu? Karena mereka
tinggal ditengah-tengah kita dan kita mengetahui mengenai kebohongan dan
hujatan serta kutukan mereka, maka kita tidak dapat mentolerir mereka jika kita
tidak menghendaki untuk berbagi kebohongan dan hujatan serta kutukan mereka…Biarlah
aku memberikan nasihat bijak kepadamu sbb: (!)Bakarlah sinagog mereka dan
apapun yang tidak bisa dibakar, tutuplah atau taburilah dengan kotoran sehingga
tidak ada seorangpun mmpu melihat abu atau batunya. Dan hal ini seharusnya
dikerjakan untuk kemuliaan Tuhan dan Kekristenan sehingga Tuhan boleh melihat
bahwa kita adalah orang-orang Kristen dan kita tidak memberikan tolernsi secara
sengaja terhadap kebohongan, kutukan dan hujatan terhadap Putra Tuhan dan
orang-orang Kristen (2) Rumah-rumah mereka harus dihancurkan…(3) Mereka harus
membuang buku-buku doa dan talmud yang mencerminkan penyembahan berhala,
kebohongan dan kutukan…(4) Para rabi dilarang untuk mengajar siapapun dengan
ancaman hukuman mati…(5) Paspor dan bepergian dengan hak istimewa dilarang…(http://www.jrbooksonline.com/PDF_Books/JewsAndTheirLies.pdf).
Beberapa
ayat dalam Al Qur’an pun sarat dengan ayat-ayat yang kerap ditafsirkan sebagai
bentuk kewaspadaan, perlawanan, permusuhan terhadap keberadaan Yahudi.
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya kami ini orang Nasrani." Yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri” (Qs
5:82)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Qs
2:120)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni
ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka
kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (Qs 96:6)
Demikian
pula dalam Hadits-hadits diceritakan berbagai sifat dan karakter Yahudi dan
perlawanan Muslim terhadap mereka serta ajakan Muhamad agar mereka masuk Islam.
Dalam
Hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim dikisahkan sbb: “Tidak akan terjadi hari kiamat sebelum kaum Muslimin memerangi
orang-orang Yahudi. Kemudian kaum Muslimin membunuh mereka sampai orang Yahudi
bersembunyi dibelakang batu atau pohon. Maka batu atau pohon itu berkata: Wahai
Muslim, wahai hamba Allah, ini dibelakangku ada Yahudi,kemarilah lalu bunuhlah.
Kecuali pohon Gharqad (sebuah pohon berduri yang dikenal di kalangan bangsa
Yahui), sesunguhnya Gharqad adalah salah satu pohon bangsa Yahudi”
“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Ketika kami
di dalam masjid, tatkala Rasullah keluar kepada kami, sambil bersabda: Pergilah
kepada orang-orang Yahudi. Maka kamipun keluar bersama beliau, sampai kami
mendatangi tempat pengajian (milik seorang pembesar Yahudi). Kemudian Nabi
berdiri dan menyeru mereka: Wahai orang-orang Yahudi masuklah ke dalam agama
Islam, niscaya kamu akan selamat...”
Seorang
penulis Islam bernama Ahmad Faiz Asifuddin dalam artikelnya berjudul Yahudi
Musuh Bebuyutan Umat Islam Sampai Mereka Musnah mengatakan demikian, “Rasanya, musuh terbesar yang dihadapi umat
Islam saat ini, salah satunya memang bangsa Yahudi. Bahkan sepertinya, bangsa
Yahudi dengan berbagai organisasi yang dimilikinya dari yang terselubung sampai
yang terang-terangan, adalah yang mengotaki segala permusuhan seluruh komponen
dunia terhadap Islam dan umat Islam (Majalah As Sunnah, Edisi 08/V/1422 H-
2001 M, hal 19). Selanjutnya penulis
tersebut mengatakan, “Belumkah kaum Muslimin menyadari bahwa pertarungan kita
dengan kaum Yahudi adalah pertarungan aqidah, pertarungan budaya, pertarungan
peradaban, pertarungan eksistensi dan pertarungan identitas?...Sesungguhnya
penyelesaian (satu-satunya) yang bangsa Yahudi sendiri sudah memahaminya adalah
(penyelesaian) jihad yang sesuai persyaratan dalam rangka menjunjung tinggi
Kalimat Allah” (Ibid., hal 20)
Paska
berdirinya Negara Israel (1948), berbagai kegiatan Anti Semit meluas di dunia
Arab dan kalangan Muslim berbagai negara. Berbagai buku dan kajian
menghubungkan eksistensi Yahudi dengan sejumlah konspirasi (persekongkolan)
untuk menguasai dunia melalui Protokol Sion, bank-bank Yahudi, Freemasonry dll
(http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_conspiracy_theories).
Tepatkah
kebencian terhadap Yahudi tersebut? Apakah Yahudi adalah simbolisasi berbagai
perilaku buruk sebuah umat dan ras tertentu? Sebuah labeling dan stigmatisasi
dibentuk dan dikonstruksi oleh masyarakat. Labeling dan stigmatisasi yang
dikonstruksi oleh masyarakat disebarluaskan melalui media tulis, cetak,
elektronik. Apa yang distigmatisasi dan diberi labeling negatif oleh kelompok
masyarakat tertentu, belum tentu menunjukkan esensi keberadaan dirinya.
Bagi
Kekristenan, membenci berbagai hal yang berbau Yahudi, berarti membenci Mesias
(Kristus), karena Mesias adalah orang Yahudi , sebagaimana dikatakan, “ Sebab telah diketahui semua orang, bahwa Tuan kita
berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu Musa tidak pernah mengatakan
suatu apapun tentang imam-imam” (Ibr 7:14). Siapakah orang Yahudi itu? “Sebab mereka adalah orang
Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima
kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan
janji-janji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias
dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Tuhan
yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin” (Rom 9:4-5).
Hans
Ucko menggambarkan sikap-sikap Kekristenan terhadap kenyataan bahwa Mesias
adalah Yahudi sbb: “Gereja Kristen,
teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan
umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang
sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah
kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang
Kristen melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya
memecahkannya dengan membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di
satu sisi dan Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya
‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan
sebentuk rasa sulit bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat
dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang
tidak mudah mengakui akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu”(Akar
Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi,
Jakarta: BPK, 1999, hal 5).
Al
Quran pun tidak membuat generalisasi stigmatif dan labeling negatif karena
dalam bagian lain dikatakan mengenai Yahudi sbb:
“Hai Bani Israil, ingatlah akan
nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya
Aku telah melebihkan kamu atas segala umat” (Qs 2:47)
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab
itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk
orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka
sekali-kali mereka tidak dihalangi (menenerima pahala)nya; dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertakwa “ (Qs 3:113-115)
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi
hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum
Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka
sungguh-sungguh bukan orang yang beriman” (Qs 5:43)”
Stigma Terhadap Yahudi Dalam Sastra Indonesia
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/12/anak-betawi-diburu-intel-yahudi-resensi.html
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/12/anak-betawi-diburu-intel-yahudi-resensi.html
Sedikit catatan perlu saya tambahkan di sini. Dalam tiga artikel berikut, saya pun memberikan kajian bahwa Yesus Sang Mesias adalah seorang Yahudi dan Yudaism. Jika kita mengabaikan latar belakang sosiologis dan kultural serta religius Yesus yang dikisahkan Kitab Perjanjian Baru, maka kita akan mengalami sejumlah konsekwensi serius di bidang tafsir yang melahirkan dogma dan devosi yang menjauhi dari apa yang disabdakan Yesus Sang Mesias. Ketiga artikel tersebut sbb:
Yesus, Yahudi, Yudaisme
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2011/03/yesus-yahudi-yudaisme.html
Apakah Yesus Bermazhab Farisi, Saduki Atau Esseni?
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/02/apakah-yesus-bermazhab-farisi-saduki_2.html
Belajar Di Bawah Kaki Sang Rabi
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/11/belajar-di-bawah-kaki-sang-rabi.html
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2011/03/yesus-yahudi-yudaisme.html
Apakah Yesus Bermazhab Farisi, Saduki Atau Esseni?
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/02/apakah-yesus-bermazhab-farisi-saduki_2.html
Belajar Di Bawah Kaki Sang Rabi
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/11/belajar-di-bawah-kaki-sang-rabi.html
Kembali kepada persoalan wacana “membangun hubungan diplomatik” yang
pernah digagas dan diusung Alm. Gus Dur namun kandas kemudian dalam lipatan
waktu dan tenggelam dalam memori masa kini. Kita sudah membicarakan langkah
berani yang kedua yaitu “memahami dan memiliki pengetahuan yang proporsional serta
obyektif mengenai Israel baik mengenai struktur sosial, struktur budaya serta
struktur agamanya dengan mendekonstruksi semua negatif labeling yang selama ini
dilekatkan padanya”. Maka langkah ketiga adalah keberanian menerima eksistensi agama Yudaisme sebagai agama yang sejajar dengan
keberadaan agama-agama lainnya di Indonesia selain Hindu, Budha, Kristen,
Islam, Kong Hu Cu.
Mungkin ada yang berkata, bukankah selama ini sudah ada para penganut
Yudaisme di Indonesia sebagaimana adanya sinagog tua di jalan Kayun, Surabaya?
Ya, namun eksistensi agama ini belum menjadi bagian dari agama yang dianggap
sah secara konstitusi setara dengan agama-agama lainnya di Indonesia.
Menerima dan mengakui eksistensi agama Yudaisme sejajar dengan
agama-agama lainnya melalui konstitusi mendapatkan pijakan historis baik dari
zaman pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Saya akan menuliskan topik
tersendiri dengan judul Jejak Yahudi dan
Yudaisme di Indonesia Pra Kemerdekaan Hingga Paska Kemerdekaan dengan
mengandalkan beberapa literatur yang masih minim namun sangat bermanfaat
sebagai penelusuran awal. Berbicara mengenai pijakan historis, saya akan
mengutip pidato Raden Adipati Aria Muharam Wiranatakusumah.
Siapakah Raden Adipati Aria Muharam Wiranatakusumah? “Nama kecil beliau
adalah Muharam. Wiranatakusumah V adalah gelarnya sebagai Bupati Bandung. Ia
lahir di Bandung, 8 Agustus 1888. Versi lain menyebutkan 23 November 1888.
Wiranatakusumah adalah putra dari pasangan R. Adipati Kusumahdilaga dan R. A.
Soekarsih. Ayahnya adalah Bupati Bandung (1874-1893). Ketika Muharam berusia
lima tahun, ayahnya wafat. Ia lalu diasuh dan dididik oleh ibunya hingga usia
sembilan tahun. Setelah ayahnya mangkat, ditunjuklah tiga orang sebagai
walinya, yaitu R. Martanagara (Bupati Bandung), R. Ardinagara (Jaksa Bandung),
dan Suriadiningrat (Camat Cilokotot/Cimahi). Kepada ketiganya juga dipasrahkan kewajiban untuk mengurus semua
warisan Kusumahdilaga. Pada usia sembilan tahun, Muharam dititipkan pada
keluarga Adams untuk mendapatkan pendidikan ala Barat. Sekolah formal yang
sempat diikutinya adalah ELS (1901), sempat melanjutkan ke OSVIA hingga kelas
III, kemudian atas anjuran dr. Snouck Hurgronje, pada 1904 ia pindah ke HBS
atau Gymnasium Willem III di Batavia dan mendapatkan diploma pada 1910. Di
Batavia, Muharam tinggal di rumah inspektur sekolah Hellwig. Selain belajar di
sekolah, setiap hari Minggu, dari jam 9.00-16.00, ia mendapatkan pelajaran
tambahan di rumah Hurgronje. Ia belajar bahasa Prancis, Jerman, dan Inggris.
Ketika R. Ardinagara wafat, Hurgronje menggantikannya sebagai wali bagi
Muharam. Selain Hurgronje, tokoh lain yang ikut membentuk kepribadian Muharanm
adalah Prof. G. J. A. Hazeu”.
R.A.A Wiranatakusumah “Raja Sunda” Terakhir
Beliau dikenal sebagai seorang yang menjadi saksi atas pernikahan
Soekarno dan Inggit Garnasih. Nasionalisme dan Keislaman beliau tidak
diragukan. Namun yang menarik, pada tahun 1940 beliau memberikan sebuah
pernyataan yang membela kesucian nilai-nilai agama masing-masing yang berada di
wilayah Jawa Barat kala itu dan agama Yahudi (Yudaisme) sudah disebutkan
eksistensinya sebagaimana beliau katakan:
“Aliran yang serupa itu sudah mesti dicegah. Tentu orang tidak dapat
membiarkan manusia dimusnahkan, karena kebatinan yang suci itu sudah lenyap,
dan karena keingkaran manusia kepada Tuhan. Jika memang ada cita-cita yang
demikian maka sekalian yang masih beriman, semua orang yang masih bercintakan
kepada batin yang suci, sudah seharusnya bekerja bersama-sama mempertahankan
kesucian agamanya. Demikianlah maka kita berkumpul di sini, baik Kristen maupun
Islam ataupun Yahudi dan yang
memeluk agama-agama lain, putih dan hitam bersisi-sisi, akan membuktikan bahwa
ada Yang Maha Kuasa yang akan memenangkan kebenaran”
R.A.A Wiranatakusumah “Raja Sunda” Terakhir
(hal 22)
Eksistensi Yudaisme sendiri secara sporadis saat ini sudah dapat
diterima sebagaimana dibangunnya sinagog dan komunitas agama Yahudi serta
pembangunan menorah raksasa di Sulawesi sebagaimana dilaporkan berikut ini:
"Despite what Chabad and the City of New York may claim, it appears
that the largest menorah in the world is neither the 32 foot high one to be lit
in Grand Army Plaza in Brooklyn (pictured above), nor the one designed by
Yaacov Agam that will be lit on Fifth Avenue (apparently also known as
"Grand Army Plaza," terribly confusing to all Brooklynites, pictured
to the right), beginning December 20th, 2011.
I'm shocked too. I mean, Chabad
even owns the webpage www.largestmenorah.com.
No, as reported in the New York Times just over a year ago, the world's largest menorah is
in...Indonesia! Indonesia? Where Judaism isn't even an officially
recognized religion? Where, during World
War II, Jews were scapegoated and placed in concentration camps by the
Japanese? Where Jews were killed or
forced to leave after World War II and during the 1950s? Didn't all the rest
emigrate? Aren't there only, like, 20
Jews left in all of Indonesia? I mean,
Israel and Indonesia don't even have diplomatic relations! And yet...yes, Indonesia!"
New Jewish Education
Tiga langkah berani yang saya wacanakan (membangun hubungan diplomatik dengan Israel, memiliki pengetahuan yang obyektif perihal Israel secara sosial, politik, kebudayaan, legalisasi agama Yudaisme di Indonesia) mungkin hanya sekedar wacana dan
utopia yang sukar terlaksana dikarenakan banyaknya kendala khususnya persepsi keagamaan
tertentu yang telah menjadi bagian dari struktur masyarakat kita. Bahkan Alm. Gus
Dur pun gagal melaksanakan konsepsinya tersebut.
Mampukah pemimpin baru yang terpilih sebagai Presiden untuk periode 2014-2018 melakukan tiga langkah berani lebih dari sekedar membangun hubungan diplomatik? Waktu yang akan memberikan jawaban pada kita. Mudah-mudahan kita masih dipertemukan oleh Sang Waktu untuk melihat dan mengalami harapan itu.
Mampukah pemimpin baru yang terpilih sebagai Presiden untuk periode 2014-2018 melakukan tiga langkah berani lebih dari sekedar membangun hubungan diplomatik? Waktu yang akan memberikan jawaban pada kita. Mudah-mudahan kita masih dipertemukan oleh Sang Waktu untuk melihat dan mengalami harapan itu.
0 komentar:
Posting Komentar