Pada tanggal 9 Juli 20014, bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi besar bernama Pilihan Presiden (Pilpres). Masing-masing kubu kedua kandidat telah bekerja keras menggerakkan mesin-mesin partai pengusung untuk memobilisasi massa pendukungnya menyukseskan kandidat yang mereka pilih. Suasana sosial semakin panas dengan interaksi yang bersifat disasosiatif (persaingan – lawannya interaksi asosiatif atau kerjasama). Berbagai black campaign (kamanye hitam) bertebaran dimana-mana baik di media sosial (facebook, tweeter, website) maupun media cetak (Koran, majalah, tabloid, dll).
Umat Kristen sebagai bagian dari kehidupan sosial politik di Negara Indonesia harus pula terlibat dalam proses pemilihan pemimpin atau presiden. Tindakan Golput (golongan putih) alias tidak menentukan sikap dan pilihan merupakan bentuk ketidakpedulian terhadap nasib bangsa dan negara. Khususnya mereka yang melakukan Golput Ideologis.
Direktur Research Director Charta Politika, Yunarto Wijaya, menyatakan ada tiga jenis Golput yaitu yang pertama adalah Golput Administratif. Ini adalah masyarakat yang tidak memilih karena masalah administrasi kependudukan yang tidak jelas, seperti tidak terdaftar dan sebagainya.Yang kedua adalah Golput Teknis. Ini adalah orang-orang yang tidak memilih karena pada hari pemilihan mereka berhalangan. Ia menjelaskan bahwa banyak pemilih yang lebih memilih melakukan kegiatan lain, seperti berlibur, daripada mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS). Yang ketiga adalah Golput Ideologis atau politis. Ini adalah golongan orang-orang yang tidak memilih karena alasan apatisme dan skeptisme (1).
Berkaitan dengan pemilihan presiden 2014 ini, bagaimana orang Kristen mendasari tindakannya untuk terlibat dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam proses pemilihan pemimpinnya untuk 5 tahun ke depan? Ada tiga pembahasan yang dapat menjadi pedoman bagi setiap orang Kristen sebelum menentukan pilihan mengenai pemimpin yang akan dipilihnya.
Tanggung Jawab dan Kewajiban Politik Orang Kristen
Saya akan kutipkan dari artikel yang saya tuliskan beberapa bulan lalu sbb:
“Apa yang dimaksudkan dengan “tanggung jawab politik?” dan “partisipasi politik?”. Tanggung jawab politik saya definisikan sebagai bentuk kesadaran dan tindakkan untuk berperan serta aktif maupun pasif, langsung atau tidak langsung terhadap peristiwa-peristiwa politik di tanah air. Sementara partisipasi politik merupakan bentuk keterlibatan secara aktif dan pasif, langsung atau tidak langsung dalam kegiatan politik. Tanggung jawab politik lebih menunjuk pada sebuah kesadaran dan kewajiban serta peranan yang bersifat lebih umum, sementara partisipasi politik lebih menunjuk pada keterlibatan yang bersifat lebih khusus.
Ketika seorang Kristen melibatkan diri dalam pemilihan umum dan memasuki partai politik, maka mereka disebut melaksanakan hak partisipasi politik yang bersifat aktif dan langsung. Ketika seorang Kristen mengamati berbagai kebijakkan pemerintah dan situasi politik yang ada serta memberikan kritik-kritik konstruktif baik melalui saluran media cetak, media sosial namun mereka tidak memasuki salah satu atau memasuki salah satu partai, maka tindakkan ini menunjukkan tanggung jawab politik.
Sekalipun tanggung jawab politik belum tentu merupakan partisipasi politik namun antara tanggung jawab politik dan partisipasi politik berkaitan erat satu sama lain. Dimana keterkaitannya? Partisipasi politik khususnya partisipasi politik secara langsung (memilih eksekutif, legislatif, menjadi anggota partai) adalah wujud tanggung jawab politik namun tanggung jawab politik belum tentu diwujudkan dalam bentuk partisipasi politik secara langsung” (2)
Berkaitan dengan tanggung jawab politik dan partisipasi politik, saya mengulas beberapa dasar teologis sebagai panduan dan motif dasar kita melakukan tindakan tersebut. Salah satunya saya merujuk pada pemahaman terhadap teks Yeremia 29:7 yang mengatakan:
"Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada YHWH, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu".
Berdasarkan sabda Tuhan di atas, ada dua perintah yang seharusnya dikerjakan orang Kristen terhadap wilayah dimana dia tinggal yaitu: “wedirshu et shelom ha’ir” (mengusahakan kesejahteraan kota) dan “hitpalelu” (berdoa).
Kata kerja imperatif “dirshu” dari kata dasar “darash” yang artinya “mencari,menyelidiki,mengupayakan”. Apa yang diupayakan? Apa yang dicari? “shalom” terhadap kota. Kata Ibrani “shalom” dalam Yeremia 29:7 diterjemahkan “peace and prosperity” (New English Translation), “peace” (King James Version), “welfare” (Complete Jewish Bible).
Dalam artikel yang sama saya menjelaskan pemaknaan terhadap Yeremia 29:7 sbb:
“Apakah wujud nyata mengusahakan kesejahteraan kota? Jika dia seorang pengusaha, maka seluruh tindakan usahanya bukan hanya digerakkan oleh motof ekonomi berupa pengumpulan keuntungan finansial namun membawa manfaat bagi lingkungan dengan mempekerjakan masyarakat sekitar dalam usahanya. Jika dia seorang pendidik, maka bukan hanya mentransfer pengetahuan belaka melainkan mencerdaskan anak didik untuk berfikir kritis bagi lingkungannya dan situasi sosial di sekelilingnya. Jika dia seorang politikus, wakil rakyat yang duduk di legislatif ataupun eksekutif maka dia bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan sosial dan membela kepentingan rakyat melalui kedudukan politisnya sehingga terjadi kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, keamanan.
Bukan hanya tindakan-tindakan ekonomis, edukatif dan politis belaka, namun harus pula dilambari dengan sebuah penyerahan pada Tuhan agar memberkati kota dimana dia tinggal. Dengan cara bagaimana? “Hitpalelu” atau “berdoa”. Seorang Kristen yang baik, harus mendoakan lingkungan sosialnya agar terjadi kondisi-kondisi yang fungsional yang bermuara kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, keamanan” (2)
Dari pemaparan di atas, kita mendapatkan sebuah pemahaman bahwa orang Kristen tidak seharusnya abai dan acuh tak acuh terhadap kondisi sosial, politik, ekonomi, keamanan dll karena mereka memiliki tugas “dirshu et shalom” (mengupayakan kedamaian, ketentraman, kemakmuran, kesejahteraan). Golput Ideologis merupakan tindakan abai dan acuh tidak acuh yang bertentangan dengan kewajiban seorang Kristiani sebagai warga negara yang memiliki peran dan partisipasi dalam pemilihan presiden.
Pedoman Memilih Pemimpin
Jika kita telah mendasari dan melengkapi pemahaman kita dengan landasan bagi partisipasi politik sebagai orang Kristen, lalu bagaimanakah kita menemukan kriteria yang benar mengenai pemimpin atau seorang presiden?
1 Samuel 16:7 memberikan kita kriterium umum bagaimana memilih seorang pemimpin, “Tetapi berfirmanlah YHWH kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Tuhan; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi YHWH melihat hati”
Perhatikan frasa, “ha adam yireh la’enayim wa YHWH yireh la levav” (manusia melihat dengan mata dan YHWH melihat dengan hati). Kita tidak mungkin sepenuhnya melihat sebagaimana Tuhan YHWH melihat dan memilih seorang pemimpin karena kita tidak bias mengukur kedalaman hati seorang pemimpin. Namun setidaknya ayat tersebut memberikan pedoman umum agar saat memilih seseorang sebagai pemimpin (entah kepala desa, ketua RT, bupati, gubernur, khususnya kepala negara) maka janganlah kita hanya membuat penilaian yang didasarkan keterbatasan mata kita. Mata kita hanya menilai ketampanan, kecantikan, kecerdasan, kompetensi serta pesona yang Nampak dari luar.
Kita harus memilih melampaui yang dapat dilihat mata kita. Kita harus mencari tahu sebanyak mungkin informasi mengenai siapa orang yang akan kita pilih yang meliputi: religiusitas, integritas moral, dedikasi, rekam jejak (track record), latar belakang pendidikan, kemampuan (kompetensi), pengalaman. Berbicara mengenai rekam jejak, apakah calon pemimpin pernah terjerat kasus hukum dan pelanggaran hak asasi. Kriterium ini penting dikarenakan pemimpin adalah seseorang yang bertindak berlandaskan undang-undang dan hukum. Jika seorang calon pemimpin adalah orang yang pernah tersandung persoalan hukum dan pelanggaran hak-hak asasi, maka ini merupakan preseden buruk jika dia tetap terpilih.
Kitab TaNaKh banyak memberikan contoh-contoh mengenai tokoh-tokoh pemimpin yang memenuhi kriterium di atas. Salah satunya adalah Daniel. Daniel adalah seorang pejabat negara yang “…setia dan tidak ada didapati sesuatu kelalaian atau sesuatu kesalahan padanya”(Dan 6:5). Perhatikan frasa, “meheyman hu, wekol shalu ushekitah la”. Kalimat ini merangkum keseluruhan karakter dan kualitas moral Daniel yang terejawantahkan dalam jabatan dan pekerjaannya sebagai pejabat negara. Daniel tidak memiliki sifat koruptif dan manipulatif sehingga sukar untuk dicari-cari kesalahannya oleh pejabat negara yang iri hati padanya sehingga mencari-cari kelemahan pada keimanannya pada Tuhan yang bermuara pada penahanan Daniel melalui konspirasi pejabat yang koruptif dan manipulatif.
Saat kita menentukan pilihan mengenai siapa sosok atau pribadi yang akan kita pilih sebagai presiden mendatang, hendaklah kriterium yang kita lakukan melampaui apa yang dapat dilihat oleh mata kita.
Harapan Terhadap Pemimpin
Yeremia 23:5 memberikan sebuah harapan profetis mengenai datangnya tokoh “Tunas Yang Adil” (tsemakh tsadiq) yang akan memerintah Israel masa depan. Tokoh tersebut menunjuk pada diri Yesus Sang Mesias (Why 22:16) yang akan memerintah dalam Kerajaan 1000 tahun damai (Why 20:1-6). Harapan profetis itupun analog dengan keadaan kita yang saat ini sedang menantikan dan akan memilih pemimpin. Selengkapnya Yeremia 23:5 berkata: "Sesungguhnya, waktunya akan datang, demikianlah firman YHWH, bahwa Aku akan menumbuhkan Tunas adil bagi Daud. Ia akan memerintah sebagai raja yang bijaksana dan akan melakukan keadilan dan kebenaran di negeri”
Umat Kristiani dan umat-umat beragama lainnya berharap dan berdoa agar pemimpin masa depan yang akan memimpin dan mengelola pemerintahan bernama Indonesia adalah pemimpin yang “umalak melek wehishkil” (raja, pemerintah yang memerintah dengan kebijaksanaan) dan “asyah mishpat utsedaqah baarets”(mengerjakan keadilan dan kebenaran di bumi).
Kiranya Indonesia tidak jatuh pada mereka yang menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan padanya untuk melakukan berbagai tindakan fasisme agama, fasisme negara, fasisme suku.
Oleh karenanya marilah kita sebagai umat Kristiani khususnya yang menganut mazhab Judeochristianity turut ambil bagian dalam menentukan nasib bangsa kita 5 tahun ke depan dan seterusnya dengan mencari dan memilih pemimpin yang “umalak melek wehishkil” (raja, pemerintah yang memerintah dengan kebijaksanaan) dan “asyah mishpat utsedaqah baarets”(mengerjakan keadilan dan kebenaran di bumi).
Marilah kita berdoa agar bangsa kita dihindarkan dari berbagai konflik horizontal menjelang atau sesudah pemilihan umum. Tuhan YHWH di melalui Putra-Nya, Sang Firman Hidup, Yesus (Yahshua) Sang Mesias dan Juruslamat serta Junjungan Agung kita yang Ilahi mengaruniakan keamanan, ketentraman, kedamaian senantiasa. Amen we amen.
End Notes
(1) Pangeran Siahaan, Anak Muda Cenderung Golput Teknis, Bukan Golput Ideologis
http://www.ayovote.com/anak-muda-cenderung-golput-teknis-bukan-golput-ideologis/
(2) Teguh Hindarto, Tanggung Jawab Politik dan Partisipasi Politik Orang Kristen Dalam Hajatan Politik
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/02/tanggung-jawab-politik-partisipasi.html
Ibid.,
0 komentar:
Posting Komentar