RSS Feed

REVOLUSI BELUM SELESAI, REVOLUSI MENTAL

Posted by Teguh Hindarto

 

Beberapa hari setelah Jokowi dan Romo Benny menuliskan artikel “Revolusi Mental”[1], muncul tanggapan dari Munir As. Dalam artikelnya di media on line Kompasiana dan membuat tudingan bahwa artikel tersebut saling kait mengait atau hasil dari plagiasi diantara keduanya sebagaimana dikatakan: “Tulisan Jokowi “Revolusi Mental” di Kompas bikin geger dan memalukan. Pasalnya, berbarengan dengan tulisan Jokowi, Tulisan dengan judul yang sama “Revolusi Mental” oleh Romo Benny Susetyo muncul di harian Sindo (Edisi 10 Mei 2014). Patut dicurigai, dua tulisan ini saling mengekor. Atau dua tulisan ini mempecundangi Koran sekelas Kompas dan Sindo. Rasanya tak mungkin Romo Menjiplak tulisan Jokowi. Yang paling mungkin Jokowi menjiplak Romo Benny. Jokowi tak pernah punya record sebagai penulis, apalagi kolumnis. Tapi sekali lagi, yang kotor tetaplah kotor. Dari paragraph awal tulisan Romo Benny, sudah terendus, bahwa tulisan Romo dan Jokowi saling memintal”[2].

Istilah “Revolusi Mental”, Siapa Memplagiat Siapa?

Benarkah keduanya saling memplagiasi satu sama lain? Atau keduanya merujuk pada sebuah satu sumber gagasan yang sama untuk kemudian direaktualisasikan dalam konteks kekinian?

Jika kita sedikit menarik ke belakang dan belajar dari sejarah, istilah “Revolusi Mental” bukanlah barang baru dan bukan karya orisinil baik Romo Benny maupun Jokowi. Kedua tokoh masyarakat dan salah satunya adalah calon presiden hanya menggemakan dan menghidupkan kembali istilah dan roh di dalam istilah yang pernah dikemukakan oleh Presiden Soekarno.

Pada tanggal 17 Agustus 1962 silam, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pada Hari Proklamasi dengan tema, “Tahun Kemenangan”. Pada saat itulah muncul pernyataan “revolusi belum selesai” dan “revolusi mental”. Saya kutipkan pidato tersebut sbb:

Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun mau menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi phisik semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dédél-duwél, babak-bundas.

Revolusi kita pada waktu itu belum meliputi Revolusi Mental. Belum berpijak kepada Manipol-USDEK! Revolusi kita pada waktu itu belum merupakan benar-benar satu Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan. Revolusi kita pada waktu itu boleh dikatakan semata-mata ditujukan kepada mengusir kekuasaan Belanda dari Indonesia. Maka sesudah kekuasaan Belanda terusir, sesudah khususnya kekuasaan politik Belanda lenyap dari bumi Indonesia, menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tidak mempunyai pegangan yang tertentu. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang oleh seorang fihak Belanda dinamakan "Een Revolutie op drift". Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tanpa arah. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang penuh dengan dualisme. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tubuhnya bolong-bolong dan dimasuki kompromis-kompromis dan penyeléwéngan-penyeléwéngan. Hampir-hampir saja kemenangan 1949 itu merupakan satu Kemenangan Bohong, satu Pyrrhus-overwinning, satu kemenangan sementara, satu kemenangan satu hari yang merupakan satu permulaan daripada Keruntuhan Total!”[3]

Dari kutipan pidato Presiden Soekarno nampaklah pada kita sekalian bahwa beliaulah penggagas ide mengenai “Revolusi Mental”. Istilah Revolusi Mental merupakan kelanjutan dari revolusi sebelumnya yaitu Revolusi Fisik dan merupakan bentuk-bentuk revolusi yang beraneka ragam untuk meneruskan perjuangan di zaman Revolusi Fisik (beliau mengistilahkan dengan, Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan).


Bahkan jauh sebelumnya Pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956 Bung Karno sudah menyinggung-nyinggung istilah “Revolusi Mental” dengan menghubungkan tiga fase revolusi bangsa. Yudi Latif dalam artikelnya menuliskan, “Dua fase telah dilalui secara berhasil dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah melewati taraf physical revolution (1945-1949) dan taraf survival (1950-1955). Lantas ia menandaskan, ”Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment[4].

Kita diingatkan oleh Presiden Soekarno untuk “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jasmerah). Kita perlu mengetahui sejarah dan menjadikan sejarah sebagai refleksi kelemahan dan kelebihan sekaligus kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Dengan menelaah dan membaca sejarah kita menjadi paham bahwa istilah “Revolusi Mental” adalah gagasan Presiden Soekarno sebagai kelanjutan dari Revolusi Fisik. Revolusi tidak hanya berhenti sampai di sini. Revolusi belum selesai. Revolusi Mental adalah bentuk lain dari revolusi untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Generasi muda yang hidup di alam demokrasi Orde Reformasi perlu membaca pemikiran-pemikiran brilian Soekarno baik pada fase pra kemerdekaan maupun paska kemerdekaan khususnya pidato-pidato politik beliau. Selain buku “Di Bawah Bendera Revolusi”[5] yang berisikan pemikiran-pemikiran Soekarno muda mengenai tema-tema politik di era kolonialisme, kita dapat membaca pidato-pidato beliau sekitar tahun 1940-an hingga 1960-an dengan judul, “Soekarno Sang Singa Podium[6] serta buku karya Asvi Warman, doktor lululasan EHESS Prancis, “Revolusi Belum Selesai[7]. Mengapa perlu membaca pemikiran-pemikiran beliau? Karena pemikiran beliau tetap aktual sampai hari ini meski telah berganti rezim dan setiap partai politik dan calon presiden kerap mengusung gagasan-gagasan beliau dengan memberikan makna-makna baru yang diperluas.

Oleh karenanya, sikap menuding istilah “Revolusi Mental” sebagai bentuk plagiasi oleh Jokowi atau Romo Benny, mencerminkan miskinnya informasi sejarah darimana dan dalam konteks apa istilah tersebut muncul.

Baik Romo Benny maupun Jokowi sebenarnya hanya menggemakan istilah yang dicetuskan Soekarno dan mengaktualisasikan dalam konteks kebangsaan masa kini sedang mengalami “paradoks pelik” – meminjam istilah Jokowi dalam artikelnya. Paradok pelik yang dimaksudkan adalah, “Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis. Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?”[8]

Paradok pelik inilah yang berusaha untuk dipecahkan oleh Jokowi dengan merujuk jargon lama namun belum selesai dituntaskan hari ini yaitu “Revolusi Mental”. Dalam artikelnya, Jokowi pun mendasarkan Revolusi Mental-nya dengan merujuk konsepsi Soekarno mengenai konsep Tri Sakti yang diucapkan dalam pidato tahun 1963 sebagaimana beliau katakan: “Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya[9]

Apakah Revolusi Mental itu?

Jokowi sendiri tidak memberikan penjelasan definitif mengenai apa dan bagaimana dengan Revolusi Mental. Dalam artikelnya hanya dijelaskan, “Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental”[10]. Namun jika kita menyimak penjelasan berikutnya, nampaklah bahwa sekalipun Jokowi tidak memberikan definisi secara langsung namun deskripsi yang diberikan berikut ini menolong kita untuk memahami lebih jauh karakteristik yang terkandung dalam istilah “Revolusi Mental” sebagaimana dikatakan: “Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis”[11]. Dari deskripsi Jokowi sudah jelas bahwa yang dimaksudkan “Revolusi Mental” tentu saja berkaitan dengan tindakan perubahan radikal berkaitan dengan mental-mental represif, mental intoleransi, mental korupsi, mental menang sendiri, mental menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, mental melecehkan hukum, mental oportunis yang masih saja terjadi di Orde Reformasi. Inilah “paradoks pelik” yang dimaksudkan Jokowi dan dijawab dengan konsep “Revolusi Mental” sebagai jawaban terhadap persoalan di atas.

Mental-mental negatif di atas mengingatkan kita pada deskripsi Mochtar Lubis mengenai enam ciri manusia Indonesia yang disampaikan secara lisan pada tahun 1977 dan dibukukan pada tahun 2001 dengan judul “Manusia Indonesia”. Beliau mendaftarkan keenam ciri manusia Indonesia itu sbb: (1) Hipokrit alias munafik (2) Enggan bertanggung jawab (3) Berjiwa feodal (4) Percaya tahayul (5) Artistik (6) Berwatak lemah[12].

Ada baiknya kita memperdalam istilah “Revolusi Mental” dengan mengutip pemaparan Karlina Rohima Supelli, Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta sbb:

“Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi Mental’? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa dan cara-bertindak kita itu. Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan”(3) jika kita sungguh memberi perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi ‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari.

Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.

Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian ini), cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.

Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship)”[13]

Menjadi semakin jelas bahwa “Revolusi Mental” berkaitan dengan perubahan sikap, perilaku, cara berfikir, tindakan, etos agar tercipta Indonesia Baru yang lebih sejahtera secara ekonomi dengan diiringi keadaban mentalitas setiap warga negaranya. Apalah artinya kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakkan mental sebagai bangsa? Mental korupsi, mental menyuap, mental menjilat, mental kolusi, mental suka menyalahkan kesalahan pada bangsa lain, mental diskriminatif, mental primordialistik, mental malas bekerja, mental fatalistik, mental hipokrit.

Mental yang sehat berpengaruh terhadap perilaku berpolitik. Mental yang sehat berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi. Mental yang sehat berpengaruh terhadap produktifitas pekerjaan.

Mencermati Aplikasi Revolusi Mental di Bidang Ekonomi

Sekalipun saya bukan ekonom dan tidak memiliki kompetensi keilmuan di bidang keekonomian namun ada yang menarik dari penjelasan Jokowi terkait persoalan aplikasi “Revolusi Mental” di bidang ekonomi. Dalam artikel tersebut dijelaskan, “Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya[14]. Yang disoroti dalam artikel tersebut mengenai mental ketergantungan pada pemodal asing dan mental ketergantungan pada impor.

Sangat ironi bahwasanya Indonesia sebagai negara yang agraris dimana pertanian menjadi sektor andalan, namun impor beras masih sangat tinggi. Siswono Yudo Husodo memberikan analisisnya mengenai kondisi pangan di Indonesia sbb: “Indonesia adalah pengimpor pangan yang sangat besar. Nilainya sekitar 9 miliar dollar AS, atau setara lebih dari Rp 100 Triliun, setiap tahun dan angka ini terus membesar dari tahun ke tahun. Menurut Green Pool Commodities (Australia), Indonesia menjadi importir gula terbesar dunia di tahun 2013, menggeser China dan Rusia. Pada tiga tahun terakhir, setiap tahun rata-rata Indonesia mengimpor 1,5 juta ton garam (50 persen kebutuhan garam nasional), 70 persen kebutuhan kedelai nasional, 12 persen kebutuhan jagung, 15 persen kebutuhan kacang tanah, 90 persen kebutuhan bawang putih, 30 persen konsumsi daging sapi nasional, 70 persen kebutuhan susu; sementara impor buah (jeruk mandarin, apel, anggur, pir) dan sayuran juga terus meningkat. Jika kita tidak mampu meningkatkan produksi pangannya, Indonesia akan terus mengalami defisit neraca perdagangan pangan, yang telah menguras devisa kita dan memperlemah nilai rupiah”[15]

Penilaian yang sama dikemukakan Dwi Andreas Santosa, “Pertumbuhan impor pangan selama hampir 10 tahun terakhir ini sekaligus juga menyiratkan kinerja sektor pertanian yang buruk. Akibatnya, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-64 dengan skor 46,8 yang jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat ke 33 (dengan skor 63,9), China 38 (62,5), Thailand 45 (57,9), Vietnam 55 (50,4) dan bahkan Filipina yang berada diurutan ke-63 (47,1) (Global Food Security Index, 2012)”[16]

Perilaku impor pangan sebagai jalan keluar tentu saja merugikan petani. Satu tahun sebelumnya, Dwi Andreas Santosa peneliti pangan dari Institut Pertanian Bogor bahkan telah memprediksikan bahwa krisis pangan akan melanda Indonesia pada tahun 2017 disebabkan konversi lahan pertanian yang terus meningkat[17]. Apakah krisis pangan ini akan ditanggapi dengan melakukan impor pangan kembali? Ketidakberpihakkan kebijakan-kebijakan pangan pemerintah terhadap petani bukan hanya mengakibatkan kerugian bagi petani namun juga menciptakkan peta kesenjangan ekonomi yang menyolok. Rasio gini tertinggi ada di Papua (0,442) kemudian Yogyakarta (0,439), Gorontalo (0,437) serta Jakarta (0,433). Andreas menuding bahwa pengabaian pemerintah terhadap sektor pertanian selama 10 tahun terakhir inilah yang menciptakan kesejangan tersebut karena sektor pertanian merupakan tempat bernaung dua pertiga masyarakat termiskin di Indonesia[18].

Selain persoalan mentalitas impor, tentu mentalitas memberikan kebebasan bagi pemodal asing untuk mengeruk kekayaan negara dengan keuntungan minim bagi negara dan tidak mendatangkan kesejahteraan rakyat perlu mengalami revolusi mental. Sekalipun Jokowi tidak menyebutkan secara langsung namun pernyataan berikut memperlihatkan kegelisahan terhadap permodalan asing yang tidak menguntungkan sebagaimana tertulis sbb: “Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya”[19].

Rektor Universitas Gajah Mada Prof Dr Pratikno menjelaskan kekuatirannya terhadap penguasaan asing terhadap aset-aset negara. Asing kini menguasai sekitar 70%-80% aset negara, mulai dari perbankan, telekomunikasi, hingga pertambangan. Hal ini memicu kekhawatiran apabila pemerintah tidak mendukung kebijakan yang pro rakyat. Pernyataan tersebut disampaikan saat Seminar Nasional yang diselenggarakan Keluarga Alumni UGM (KAGAMA) menyambut pra Munas XII 2014 di Kendari.

Praktikno mencontohkan aset di industri perbankan, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50%. Begitu pula di sektor lain seperti migas dan batu bara  70%-75%, telekomunikasi sekitar 70%.  “Lebih parah lagi adalah pertambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasi mencapai 80%-85%,” tegasnya. Namun, sambungnya, kecuali sektor perkebunan dan pertanian dalam arti luas, asing baru menguasai 40%[20].

Berkaitan dengan keberadaan PT. Freeport, menarik membaca minusnya kontribusi Freeport untuk kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana dikatakan: “Sudah hampir setengah abad Freeport mengeruk kekayaan alam kita, terutama di Papua. Selama itu pula mereka mengeruk jutaan ton tembaga dan ratusan juta ton emas. Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari mencapai Rp 114 miliar. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau Rp 3,534 triliun. Namun, di balik keuntungan yang spektakuler itu, rakyat Indonesia justru tidak mendapat manfaat apapun. Rakyat kita di Papua sana, yang notabene berada di sekitar pertambangan Freeport, juga tidak mendapat efek keuntungan yang menetes. Sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan tetap melekat pada rakyat Papua. Cerita tentang kelaparan juga tak henti-hentinya berhembus di Papua.

Ironisnya, bukannya merasakan efek keuntungan yang menetes, rakyat Papua justru merasakan efek politik dan sosial akibat nafsu serakah Freeport untuk mengamankan dan melanggengkan eksploitasinya di bumi Papua. Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM sangat massif dilakukan oleh militer Indonesia, yang notabene jadi pasukan pengawal Freeport, di tanah Papua. Tak hanya itu, rakyat Papua juga merasak dampak kerusakan ekologis yang sifatnya jangka-panjang.

Kontribusi Freeport untuk penerimaan negara juga nyaris tidak ada. Pemerintah Indonesia hanya menerima royalti emas 1% dan royalti tembaga sebesar 1,5-3,5%. Sudah begitu, Freeport juga sering membandel untuk membayar dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal, pemerintah Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport mestinya menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar”[21]

Pernyataan senada dikatakan Hendri F. Isnaeni “Meskipun Freeport telah menjadi penyumbang utama bagi kemakmuran Indonesia – menyediakan sekitar $ 33 miliar dalam laba langsung dan tidak langsung selama periode 1992-2004 – dampaknya tidak sepositif itu pada tingkat lokal. Laba langsung kepada Indonesia berjumlah total $ 2,6 juta dari 1992 sampai 2004. Freeport melaporkan bahwa mereka membayar Indonesia lebih dari $ 1 Miliar dalam pajak, royalti dan dividen pada tahun 2005[22]

Kekuatiran terhadap penguasaan aset-aset negara dan kekayaan alam oleh asing bukan bermakna kita harus menjadi anti asing. Sikap ini lebih mencerminkan sikap keprihatinan dan kewaspadaan. Bagaimanapun, kedaulatan politik dipengaruhi kedaulatan ekonomi. Jika kekuatan ekonomi kita sudah tersandera, bagaimana kita memiliki kedaulatan secara politik?

Kembali kepada persoalan “Revolusi Mental”. Bahwasanya konsep ini bukan hanya berhenti di persoalan moralitas belaka. Sebagaimana telah dikatakan Karlina Rohima Supelli, “Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian ini), cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari”.[23] Muara akhir dari “Revolusi Mental” adalah perubahan cara berfikir dan cara merasa yang diterjemahkankan dalam tindakan atau perilaku baik perilaku politik, perilaku ekonomi, perilaku pendidikan, perilaku kerja, perilaku sosial kemasyarakatan.

Harapan-harapan yang terkandung dalam “Revolusi Mental” bukanlah sekedar anjuran-anjuran memiliki perilaku santun belaka. Lebih daripada itu adalah membuang mental malas bekerja, membuang mental diskriminatif, membuang mental koruptif, membuang mental menyuap.
Kita berharap, pemerintahan baru yang akan terpilih kelak, mampu membuktikan dan menerjemahkan konsep “Revolusi Mental” dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan keamanan. Revolusi Mental adalah revolusi berkesinambungan setelah revolusi fisik diakhiri. Revolusi Mental adalah revolusi yang harus diselesaikan oleh segenap bangsa dan negara untuk menuju Indonesia sejahtera dan berwibawa di mata bangsa-bangsa.


Foot Notes:

[1] Artikel Jokowi muncul di Koran Kompas (10 Mei 2014) dan artikel Romo Benny muncul di Koran Sindo (10 Mei 2014)

[2] Munir A.s, Romo Benny dan Jokowi, Siapa Plagiatornya?
http://politik.kompasiana.com/2014/05/13/romo-benny-dan-jokowi-siapa-plagiatornya-652735.html

[3] Ari Raya, Tahun Kemenangan (Bagian I), Amanat Presiden Soekarno Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1962
http://id-raya.mywapblog.com/tahun-kemenangan-bagian-i.xhtml

[4] Yudi Latif , Keharusan Revolusi Mental, Kompas,  12 Juni 2014

[5] Di Bawah Bendera Revolusi , Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi 1964

[6] Rhien Soemohadiwidjojo, Soekarno Sang Singa Podium, Second Hope 2013

[7] Asvi Warman Adam, Revolusi Belum Selesai, Serambi 2014

[8] Op.Cit., Revolusi Mental

[9] Ibid.,

[10] Ibid.,

[11] Ibid.,

[12] Masa Depan “Manusia Indonesia”nya Mochtar Lubis, Kompas, 21 Juli 2008

[13] Karlina Rohima Supelli ,Memahami Arti Revolusi Mental
http://www.sesawi.net/2014/06/16/memahami-arti-revolusi-mental/

[14] Op.Cit., Revolusi Mental

[15] Siswono Yudo Husodo, Keluar Dari Impor Pangan, Kompas 28 Maret 2014

[16] Dwi Andreas Santosa, Ancaman Bencana Pangan, Kompas 26 Maret 2014

[17] 2017, Indonesia Diprediksi Krisis Pangan, Kebumen Ekspres, 28 Oktober 2013

[18] Dampak Abaikan Pertanian, Kompas, 4 April 2014

[19] Op.Cit., Revolusi Mental

[21] Ambil Alih Freeport Untuk Memulihkan Kedaulatan Bangsa
http://www.berdikarionline.com/editorial/20140131/ambil-alih-freeport-untuk-memulihkan-kedaulatan-bangsa.html#ixzz2sE9x51eC

[22] Hendri F. Isnaeni, Indonesia, Wilieaks & Julian Asange, Jakarta: Ufuk Press 2011, hal 135
[23] Op.Cit., Memahami Arti Revolusi Mental

0 komentar:

Posting Komentar