Pada
tanggal 1 Juni 1945, dihadapan peserta sidang BPUPKI Soekarno menyampaikan
pidato yang dikenal dengan lahirnya Pancasila. Bukan hanya Soekarno namun Muh
Yamin pun mengemukakan rumusan mengenai dasar negara sebanyak lima perkara
namun pidato dan istilah yang dikemukakan Soekarno akhirnya diterima sebagai Philosofisch grondslag. Apa itu Philosofisch grondslag itu? Soekarno
mendefinisikan, “Philosofisch grondslag
itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnja, djiwa, hasrat jang
sedalam-dalamnja untuk diatasnja didirikan gedung Indonesia Merdeka jang kekal
dan abadi”[1}
Rumusan
Pancasila dalam perkembangannya mengalami perubahan urutan dan penataan istilah
hingga rumusan yang berlaku saat ini, mulai dari rumusan Pancasila menurut Piagam Jakarta,
Hasil BPUPKI,
Hasil PPKI,
Konstitusi RIS,
UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), rumusan MPR 1966, hingga rumusan Populer[2].
Rumusan
Pancasila yang dikenal saat ini menempatkan prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dalam urutan pertama sekalipun Soekarno saat merumuskan Pancasila
menempatkannya pada urutan paling terakhir yaitu urutan kelima. Berbicara
mengenai urutan pertama atau sila pertama dari Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, menarik mendengar pidato dan penjelasan Soekarno sebagai penggali
dan pencetus Pancasila. Selengkapnya beliau berkata:
“Saudara-saudara, apakah prinsip kelima? Saja
telah mengemukakan 4 prinsip:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
- Mufakat,-atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
Prinsip jang kelima
hendaknya: Menjusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan jang Maha
Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan
sadja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan Tuhannja sendiri. Jang Kristen menjembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al Masih, jang Islam bertuhan menurut petundjuk Nabi Muhammad
s.a.w., orang Budha mendjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab jang ada
padanja. Tetapi marilah kita semuanja ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia
ialah negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Tuhannja dengan tjara yang
leluasa. Segenap rakjat hendaknja ber-Tuhan setjara kebudayaan, ja’ni
dengan tiada ‘egoisme-agama’, Dan hndaknja Negara Indonesia satu Negara jang
bertuhan”[3].
Konsepsi
Pancasila mengenai Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberikan rujukan historis
bahwa Indonesia bukan negara agama atau negara dengan satu agama dominan
melainkan negara dengan beberapa agama di dalamnya yang diakui eksistensinya
dan diberikan ruang kebebasan untuk mengekspresikan ibadah sesuai keyakinan dan
kepercayaan dengan istilah, “dengan cara
yang leluasa”. Bahkan sila pertama ini direalisasikan menjadi undang-undang
Pasal 29 dimana negara memberikan jaminan kebebasan beragama dan melaksanakan
peribadatan sesuai agama yang dianut di Indonesia.
Sudah
69 tahun sejak Soekarno menyampaikan rumusan Pancasila yang akhirnya diterima
sebagai Dasar Negara Indonesia namun berbagai kekerasan atas nama agama masih
saja terjadi hingga kini. Pemaksaan tafsir tunggal agama, perilaku kekerasan
terhadap kelompok agama yang berbeda masih dan masih kita temui di negara yang
menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara.
Dalam
beberapa hari ini kembali terjadi peristiwa kekerasan terhadap jemaat Kristiani
yang sedang mengadakan peribadatan di rumah. Peristiwa perusakan pertama
terjadi di rumah Julius
Felicianus, Direktur Galang Press, di Perumahan STIE YKPN, Tanjungsari Desa
Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Yogyakarta, pada Kamis (29/5/2014) malam[4]. Peristiwa kedua terjadi
di rumah Pendeta Niko Lamboan di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, pada Minggu
(1/6/2014) pagi[5].
Bentuk represi lainnya terjadi pada tanggal 31 Mei 2014 dimana perayaan Paskah Adi Yuswa
Sinode GKJ sempat terganggu oleh penolakkan segolongan ormas sehingga
pelaksanaan perayaan Paskah tidak dikonsentrasikan di satu gedung melainkan
dipecah di beberapa lokasi gereja di Gunung Kidul.[6]
Alasan-alasan
klasik kerap dikemukakan untuk membenarkan perilaku kekerasan tersebut yaitu
perihal perizinan dan penyalahgunaan fungsi rumah tinggal menjadi rumah ibadah.
Sebagaimana kita ketahui, pemerintahan
Orde Baru telah membuat pengaturan mengenai perijinan pembangunan rumah ibadah
melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam
Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama
oleh Pemeluk-pemeluknya. Setelah Orde Baru jatuh dan digantikan rezim Reformasi
maka SKB Nomor 1 Tahun 1969 kini digantikan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006.
Dalam
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan
Nomor 9 Tahun 2006 pengaturan pendirian rumah ibadah diatur pada Bab IV Pasal
13 dan Pasal 14. Dalam Pasal 14 butir 1 dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah
harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung. Dalam
butir 2 ditambahkan sejumlah persyaratan khusus al., daftar KTP pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat, dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah/kepala desa,
rekomendasi tertulis kepala kantor Depag kabupaten/kota, rekomendasi tertulis
FKUB kabupaten/kota[7].
Jika memang
terjadi pelanggaran terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006, haruskah digunakan cara-cara
paksaan dan kekerasan masif terhadap komunitas yang sedang menjalankan
peribadahannya? Bukankah Pancasila pada Sila ke-4 menjadikan musyawarah sebagai
media untuk mengomunikasikan kepentingan yang berbeda? Atau justru keputusan
formal pemerintah di atas dijadikan kelompok tertentu untuk semakin mempersulit
umat agama tertentu (dalam kasus ini umat Kristiani) melaksanakan peribadatan
dan membangun sarana peribadatan?
Ketengangan
di antara umat beragama khususnya Islam dan Kristen dapat dilacak sejak era
Orde Lama dan memuncak saat terjadi konversi masif kelompok penganut
kepercayaan yang menjadi basis penggalangan massa partai komunis ke dalam
kekristenan. Kelompok penganut kebatinan dan partai komunis yang semula menjadi
rival kelompok-kelompok Islam namun sejak partai komunis mengalami kegagalan
menguasai pemerintahan maka banyak dari antara mereka mengubah kepercayaan mereka
ke dalam agama Kristen. Pergeseran ini mengakibatkan pergeseran rival bagi
kelompok Islam yang semula mengarahkan pada penganut kepercayaan dan partai
komunis, menjadi terhadap Kristen, demikian analisis Amos Sukamto[8].
Sampai hari ini sekalipun rezim telah berganti dari Orla ke Orba hingga era
Reformasi, riak-riak persoalan diantara umat Islam dan Kristen tersebut masih
terus terjadi. Riak persoalan saat ini mempergunakan isyu terkait perizinan dan
penyalahgunaan fungsi rumah tinggal menjadi rumah ibadah.
Sudah
banyak praktisi baik dari kalangan Islam dan Kristen mempertanyakan dalil dan
kegunaan Peraturan Bersama Menteri (PMB) di atas. Abd
Moqsith Ghazali mengatakan, “Sekurangnya ada beberapa kelemahan paradigmatis dari upaya menghidupkan
kembali jasad SKB dua menteri tersebut, sehingga layak untuk dihapuskan. Pertama,
Negara Indonesia sesungguhnya tidak memerlukan pengaturan pendirian rumah
ibadat seperti itu. Kalaulah itu harus diatur, mestinya negara segera
menerbitkan semacam undang-undang yang mengatur dan menjamin kebebasan beragama
dan bukan sebaliknya membelenggu aktivitas keberagamaan umat beragama. Sebab,
fakta sejarah telah menunjukkan bahwa SKB dua menteri itu telah terbukti
sebagai bagian strategi rezim Orde Baru untuk mengontrol dan mengawasi umat
beragama. Di beberapa daerah, SKB tersebut telah dipakai pemerintah daerah
untuk menutup rumah-rumah ibadat, terutama gereja. Dengan ini jelas bahwa SKB
yang kini berubah menjadi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri tersebut bukan hanya bertentangan dengan hak asasi manusia, melainkan
juga telah menabrak konstitusi negara, UUD 1945… Kedua,
pasal demi pasal dalam rancangan terakhir itu mengandung bahaya hegemoni dan
monopoli mayoritas atas minoritas. Coba perhatikan pasal 13, yang berbunyi, ‘Pendirian
rumah ibadat didasari oleh keperluan nyata dan sungguh-sungguh bagi pelayanan
umat di wilayah Kelurahan/Desa di mana rumah ibadat didirikan dengan tetap
menjaga kerukunan umat beragama, memenuhi ketentuan perundang-undangan, serta
menjaga keamanan dan ketertiban umat’. Pertanyaannya, terkait dengan pasal ini:
siapa yang merumuskan bahwa pendirian sebuah rumah ibadat didasari oleh
keperluan nyata dan sungguh-sungguh? Fakta yang terjadi, mayoritaslah yang
banyak mengambil peran tentang perlu dan tidaknya mendirikan sebuah rumah
ibadat bagi umat agama minoritas. Lihatlah, betapa sulitnya gereja didirikan di
tengah mayoritas umat Islam.”[9]
Andreas A
Yewangoe dalam artikelnya menjelaskan, “Apakah
PBM itu memuaskan semua pihak? Tentu saja, tidak. Saya kira setiap
majelis-majelis agama masih menyisakan berbagai pertanyaan-pertanyaan,
keberatan-keberatan dan usulan-usulan yang tidak semuanya diakomodasi dalam PBM
tersebut. PGI misalnya berkeberatan terhadap ketentuan jumlah pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 orang (Pasal 24 ayat 2a). PGI mengusulkan 60 orang.
Demikian juga dengan Pasal 18, 19, dan 20
yang mengatur izin sementara pemanfaatan bangunan gedung ibadah. PGI
menghendaki tidak perlu ada izin, apalagi kalau izinnya mesti dikeluarkan oleh
bupati/wali kota. Pengalaman memperlihatkan bahwa guna mengurus izin
pembangunan gedung ibadah pada waktu lalu dibutuhkan waktu bertahun- tahun.
Bahkan ada yang izinnya tidak pernah diberikan. Orang tidak bisa berhenti beribadah hanya karena tidak ada izin. Dalam
kaitan ini, PGI meminta penjelasan pemerintah tentang apa yang dimaksud dengan
"laik fungsi" pada PBM tersebut. Apakah ini dimaksudkan untuk
mempersulit atau menghalangi umat untuk beribadat di ruko-ruko, mal atau
bangunan lain (karena umat belum memilik rumah ibadat permanen)?”[10]
Terlepas
dari sejumlah keberatan-keberatan yang diajukan oleh berbagai tokoh agama
khususnya Islam dan Kristen di atas, yang juga belum ditindaklanjuti secara
serius sampai saat ini, jika kita kembali kepada diktum yang tertulis dalam Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9
Tahun 2006 khususnya Bab IV (Pendirian Rumah Ibadat) pada Pasal 14 butir 3 ada
pernyataan yang menarik yaitu, “Dalam hal
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan
persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat”.
Jika
masyarakat tertentu atau ormas-ormas tertentu selalu menjadikan PMB sebagai alat
legitimatif untuk melarang umat beragama tertentu (dalam kasus ini umat
Kristiani) untuk melaksanakan peribadatan di rumah-rumah dikarenakan kesulitan
memenuhi persyaratan “huruf b” yaitu, daftar KTP pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat, dukungan masyarakat setempat
paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah/kepala desa, rekomendasi tertulis
kepala kantor Depag kabupaten/kota, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota,
sudahkan pemerintah daerah atau pejabat pemerintah daerah setempat
menindaklanjuti amaran dalam PBM tersebut yaitu memfasilitasi tersedianya
lokasi pembangunan rumah ibadat? Apakah pemerintah daerah dan aparat keamanan
telah melakukan langkah-langkah serius dengan melakukan proses hukum terhadap
pelaku kekerasan dan mencegah agar tindakan serupa tidak terjadi dikemudian
hari?
Rekomendasi
yang dituliskan oleh Tim Peneliti Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi
Konflik, Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM), dan Indonesian Conference on
Religion and Peace (ICRP) dalam penelitian mereka menyimpulkan peranan
pemerintah dan aparat keamanan dalam memberikan jaminan hak mendirikan rumah
ibadat akan mempengaruhi proses dan kondisi di lapangan, sebagaimana dikatakan:
“Pemerintah sebenarnya dapat, dan harus,
berbuat lebih untuk menjamin hak mendirikan rumah ibadah dan kebebasan beragama
pada umumnya. Selesainya permasalahan gereja dalam penelitian ini tidak ada
yang tidak melibatkan ketegasan aparat pemerintah, utamanya kepolisian selaku
penanggungjawab keamanan dan kepala daerah sebagai pemegang otoritas birokrasi.
Lemahnya aparat pemerintah merupakan faktor krusial banyaknya polemik gereja
saat ini…Figur kepala daerah cukup berperan menentukan kebijakan birokrasi
terhadap gereja-gereja yang dipermasalahkan. Dari kasus- kasus dalam studi ini,
gereja-gereja yang dapat menyelesaikan masalahnya hampir semua terbantu oleh
kepala daerah yang suportif atau aparat keamanan yang bekerja profesional.
Sebalik- nya, kepala daerah yang resisten akan mempersulit proses pem- bangunan
gereja, bahkan dapat pula mencabut kembali izin yang telah dikeluarkan”[11].
Pernyataan
pejabat pemerintah atau aparat keamanan yang hanya memberikan pernyataan
sederhana bahwa agar tidak terjadi peristiwa-peristiwa kekerasan serupa terjadi
dengan menghimbau agar umat Kristen tidak melaksanakan peribadatan rutin di
rumah-rumah, sebagaimana pernyataan Kapolri baru-baru ini[12],
sungguh semakin menyudutkan para korban kekerasan oleh para pelaku penyerangan
dan kekerasan. Mereka mendapatkan justifikasi secara tidak langsung bahwa
tindakan-tindakan sebagaimana dihimbaukan terbuka untuk dipermasalahkan dan
dilakukan kekerasan.
Mengapa
pemerintah atau aparat keamanan tidak menggeser persoalan kepada esensi dan
fungsionalitas Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8
Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 yang rawan menjadi alat legitimasi melakukan
kekerasan terhadap umat beragam tertentu yang tidak memenuhi persyaratan atau
gagal mendapatkan persetujuan dikarenakan aksi penolakkan kelompok mayoritas?
Mengapa
pula pemerintah dan aparat keamanan tidak menelisik lebih jauh terhadap
masifitas dan sistematisnya gerakan-gerakan radikal agama yang sudah masuk ke
berbagai struktur kehidupan masyarakat, dimana kehadiran dan eksistensi mereka
kian hari kian menguatirkan dan menjadi ancaman bagi minoritas bahkan
kelompok-kelompok dalam internal Islam sendiri yang dilabeling sebagai bid’ah?
Bukan hanya menjadi ancaman bagi umat beragama tertentu yang mengalami hegemoni
dan penindasan psikologis dan fisik melainkan ancaman bagi negara kesatuan
Republik Indonesia yang didirikan oleh para pendahulu bangsa dimana mereka
mencita-citakan Indonesia merdeka dihuni oleh keragaman baik suku, budaya,
bahkan agama.
Tahun 2009
terbit sebuah buku kontroversial dan menimbulkan reaksi keras dari sejumlah
ormas keagamaan. Buku tersebut berjudul “Ilusi
Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”[13].
Buku tersebut dituding berisikan fitnah dengan data-data tidak valid serta
manipulatif. Sampai hari ini cukup sulit mendapatkan buku tersebut. Namun
deskripsi mengenai ancaman radikalis agama internasional yang telah bersintesa
dengan gerakan-gerakan lokal, nampaknya menjadi sebuah keniscayaan apalagi
dengan semakin masif dan sistematisnya kelompok-kelompok radikal tersebut dalam
melakukan aksinya. Mengapa fenomena dan indikasi-indikasi radikalisme yang
menjadi ancaman bagi iklim kebebasan beragama ini tidak menjadi perhatian utama
bagi pemerintah dan aparat keamanan khususnya?
Dalam kasus
perusakkan rumah yang difungsikan sebagai sarana peribadatan di wilayah Sleman
belum lama ini, kita mengharap peranan Sultan Hamengkubuwono yang bukan hanya
berkedudukan sebagai Gubernur belaka melainkan Raja Kraton Yogyakarta yang
memiliki kekuasaan kultural historis untuk dapat menindak tegas
kelompok-kelompok radikalis agama yang kerap menggunakan jalan kekerasan
tinimbang jalan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan terkait
pendirian rumah ibadah dan penggunaan rumah pribadi sebagai tempat beribadah.
Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan simbolisasi penghormatan keragaman dimana kepelbagaian
dirayakan di kota tersebut (kepelbagaian agama dan kepelbagaian suku) dalam
harmoni. Peristiwa kekerasan dan perusakkan dengan mengatasnamakan agama sangat
merusak citra Yogyakarta sebagai pemelihara keragaman yang terjaga harmoni
selama ini.
Sungguh
ironi, di saat menjelang peringatan hari lahir Pancasila yang menaungi keragaman
terjadi peristiwa kekerasan mengatasnamakan agama. Kekerasan dengan mengatas namakan agama untuk menunjukkan
hegemoni terhadap keberadaan umat beragama yang berbeda atau terhadap perbedaan-perbedaan
tafsir dalam lingkup agama internal, bukan saja mencederai nilai-nilai kemanusiaan
yang digemakan dalam ajaran masing-masing agama namun juga sebagai bentuk penodaan
terhadap nilai-nilai luhur Pancasila yang merupakan Dasar Negara yang telah dirumuskan
para pendiri bangsa, khususnya Sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana “Hendaknya negara Indonesia
ialah negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Tuhannja dengan tjara yang
leluasa”.
End Notes
[1] Lahirnya Pantja Sila – Pidato pertama tentang Pantja Sila jang
diucapkan pada tg 1 juni 1945 oleh Bung Karno, sekarang Presiden Negara
Republik Indonesia (dikutip dari Penerbitan Departemen Penerangan R.I,
Penerbitan Chusus No 153, Djakarta: C.V. Bwaro Niaga, 1947, hal 7
[4] Martahan Lumban Gaol, Umat
Katolik Sleman Diserang Kelompok Bergamis
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/umat-katolik-sleman-diserang-kelompok-bergamis
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/umat-katolik-sleman-diserang-kelompok-bergamis
[5] Rumah Seorang Pendeta di
Yogyakarta Diserang Puluhan Orang Bersorban
http://www.sergapntt.com/rumah-seorang-pendeta-di-yogyakarta-diserang-puluhan-orang-bersorban/#.U43CWnYi5IB
http://www.sergapntt.com/rumah-seorang-pendeta-di-yogyakarta-diserang-puluhan-orang-bersorban/#.U43CWnYi5IB
[6] Bayu Probo, Ditolak Ormas Intoleran, Paskah Adiyuswa GKJ Tetap Terlaksana
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/ditolak-ormas-intoleran-paskah-adiyuswa-gkj-tetap-terlaksana
[7] Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006
http://ntt.kemenag.go.id/file/file/dokumen/rndz1384483132.pdf
[8] Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik
Fisik, Jurnal Teologi Indonesia 1/1 (Juli 2013): hal 25-47
[9] Abd Moqsith Ghazali, Perihal Pendirian Rumah Ibadat
http://islamlib.com/?site=1&aid=113&cat=content&cid=9&title=perihal-pendirian-rumah-ibadat
[10] Andreas A Yewangoe, Menyikapi Peraturan Bersama Dua Menteri
http://artikel.sabda.org/menyikapi_peraturan_bersama_dua_menteri
[11] Kontroversi Gereja di Jakarta, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (penyunting bahasa: Endy Saputro), 2011, hal 136-137
[12] Soal Penyerangan di Yogyakarta, Kapolri: Rumah Jangan Jadi Tempat
Ibadah
http://www.beritasatu.com/nasional/187576-soal-penyerangan-di-yogyakarta-kapolri-rumah-jangan-jadi-tempat-ibadah.html
http://www.beritasatu.com/nasional/187576-soal-penyerangan-di-yogyakarta-kapolri-rumah-jangan-jadi-tempat-ibadah.html
[13] Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, LibForAll Foundation, 2009
0 komentar:
Posting Komentar