RSS Feed

SOEKARNO: INDONESIA MERDEKA (Ulasan Film dan Catatan Kritis)

Posted by Teguh Hindarto



Film terbaru besutan Hanung Bramantyo berjudul Soekarno: Indonesia Meredeka, kembali menuai kontroversi sekaligus mendapatkan sambutan dari penikmat film[1]. Beberapa media on line melaporkan mengenai animo masyarakat mengenai film baru ini, sehingga sejumlah bioskop kebanjiran penonton[2]. Tidak tanggung-tanggung, Wakil Gubernur Ahok memuji kepiawaian Hanung dalam menyajikan film bertema historis ini[3]

Sebelum tutup tahun 2013, saya menyempatkan menonton film ini di Yogyakarta sebanyak dua kali dan hari kedua penuh dengan penonton yang sangat antusias menonton film ini. Film ini mampu menguras emosi patriotisme dan kebangsaan sehingga membuat saya menangis haru mengikuti alur kisah dan momentum-momentum emosional yang dikemas oleh Hanung. Bahkan saat pidato-pidato politik Sukarno dikumandangkan, seolah-olah mendorong saya untuk mengatakan, “Saya ingin ada di sana jika dilahirkan pada zaman itu dan terlibat dalam pergerakan besar ini”.

Di sisi lain, film ini menuai kontroversi di sana sini. Gelombang protes dan demonstrasi terjadi di beberapa kota. Ada yang menggugat dan menuding Hanung menyebarkan gagasan Liberalisme dan Anti Poligami[4]. Ada yang keberatan dengan adegan Sukarno merangkul Fatmawati yang dituding seperti perilaku seorang germo[5]. Ada yang memprotes mengenai kebiasaan kencing Sukarno di penjara[6]. Ada yang mengecam karena film ini mendistorsi ketokohan Sukarno seolah seorang playboy diantara dua wanita[7]. Ada yang keberatan dikarenakan Aryo Bimo selaku pemeran utama tidak layak memerankan tokoh utama yaitu Sukarno[8].


Film Sukarno: Indonesia Merdeka adalah film terbaru dari garapan produktif Hanung dari beberapa film sebelumnya sbb:

1.    Topeng Kekasih (The Lover's Mask; 2000)
2.    Gelas-Gelas Berdenting (Tinkling Glass; 2001)
3.    Kidung (Song; 2003 -- rejected by six TV stations but shown in road show and festival)
4.    Brownies (2004)
5.    Catatan Akhir Sekolah (Notes from the End of School; 2005)
6.    Sayekti dan Hanafi (Sayekti and Hanafi; 2005)
7.    Jomblo (Single; 2005)
8.    Lentera Merah (Red Lantern; 2006)
9.    Kamulah Satu-Satunya (You Are the One and Only; 2007)
10. Legenda Sundel Bolong (Legend of Sundel Bolong; 2007)
11. Get Married (2007)
12. Ayat-Ayat Cinta (The Verses of Love; 2008)
13. Doa yang Mengancam (Threatening Prayer; 2008)
14. Perempuan Berkalung Sorban (The Girl With the Keffiyeh Around Her Neck; 2009)
15. Get Married 2 (2009)
16. Menebus Impian (Make Dreams Real; 2010)
17. Sang Pencerah (The Enlightener; 2010)
18. ? (2011)
19. Tendangan dari Langit (A Kick from Heaven; 2011)
20. Pengejar Angin (The Wind Chaser; 2011)
21. Soekarno: Indonesia Merdeka (2013)[9]

Film terbaru karya Hanung Bramantyo dengan judul, Soekarno: Indonesia Merdeka, mengisahkan dengan ringkas dan cerdas fase-fase kisah kehidupan Sukarno Sang Proklamator. 

Fase pertama dimulai dengan kisah kelahiran Sukarno dari pasangan Raden Soekemi Sosrodiharjo (diperankan Sujiwo Tejo) dan Ida Ayu Nyoman Rai (diperankan Ayu Laksmi). Sukarno kecil memiliki nama Kusno Sosrodiharjo, namun karena selalu sakit-sakitan maka sang ayah yang berlatar belakang Muslim dan Kejawen memutuskan untuk mengganti namanya melalui tradisi selamatan dengan nama baru, Sukarno (diperankan Emir Mahira).

Fase kedua, film beralih mengisahkan kehidupan Sukarno pada masa remaja (14 tahun) saat mana dia memasuki Hoogere Burger School (HBS) dan tinggal bersama Oemar Said Cokroaminoto, pimpinan organisasi Syarikat Islam di Surabaya. Sukarno kerap mendengar pidato-pidato Cokroaminoto yang menggelegar mengritisi sistem kolonialisme. Petikan pidato Cokroaminoto yang inspiratif, “Marilah kita menjadi tuan-tuan atas dirinya sendiri!”. Sukarno remaja terlibat percintaan dengan seorang remaja Belanda, namun oleh karena perbedaan status sebagai bangsa penjajah dan bangsa jajahan, maka remaja Sukarno mendapatkan perlawanan keras dari keluarga sang gadis. Mendapat perlakuan diskriminatif dan pelarangan ini, remaja Sukarno bereaksi keras.

Fase ketiga, remaja Sukarno (diperankan oleh Aryo Bimo) telah bertumbuh menjadi seorang pemuda yang aktif dalam kegiatan dan pidato-pidato politik menentang dan mengritisi sistem kolonialisme yang membelenggu Indonesia. Setamat di Technische Hoge School (sekarang ITB), Sukarno muda mendirikan Partai Nasional Indonesia. Sukarno telah memiliki istri yang setia mendampingi perjuangan politik dalam suka dan duka bernama Inggit Garnasih (diperankan Maudy Koesnaedy). Dia adalah ibu kost Sukarno yang sudah menjanda, saat Sukarno masih kuliah awal di Bandung dan kemudian menjadi istri Sukarno. Peranan Inggit cukup menonjol dalam film ini sebagai seorang perempuan yang setia mendampingi Sukarno saat dirinya menghadapi masa-masa sulit baik ketika di penjarakan di L.P. Sukamiskin Banceuy maupun saat di buang ke Pulau Ende. Kesetiaan Inggit bukan hanya dalam pendampingan melainkan mengeluarkan pembiayaan atas perjuangan politik Sukarno.

Dalam fase ketiga ini diceritakan pula pidato politik Sukarno menimbulkan kemarahan Belanda sehingga harus dijebloskan penjara Banceuy (1929). Dalam penjara, Sukarno tidak berdiam diri dan terus membaca serta menganalisis yang dituangkan dalam tulisan-tulisan. Saat sidang Landraad di Bandung (1930), Sukarno membacakan pledoinya dengan cemerlang dan berapi-api yang kelak dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat. Dalam pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dikarenakan mengritisi sistem kolonialisme dan membeberkan secara argumentatif. Pidatonya menggegerkan dunia internasional khususnya pemerintahan Belanda dan pada 31 Desember 1931, Sukarno dibebaskan sebelum masa tahanannya selesai. Akibat aktifitas politiknya paska pembebasan dari penjara dengan mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan memimpin majalah partai yang radikal dengan nama Fikiran Ra’jat, ahirnya pemerintahan Belanda membuang Sukarno ke Ende, Flores (1933). Namun karena sakit malaria, kemudian Sukarno dipindahkan ke Bengkulu (1938).

Fase keempat menceritakan kehidupan Sukarno saat berada di pembuangannya di Bengkulu. Sehari-hari dia mengajar di sekolah Muhamadiyah. Di Bengkulu inilah Sukarno terlibat asmara dengan salah satu muridnya bernama Fatmawati (diperankan oleh Tika Bravani), murid yang cantik dan cerdas serta kerap bertanya di kelas. Inggit yang semula menerima keberadaan Fatmawati sebagai anak angkat mulai gerah dan bereaksi keras saat Sukarno menyatakan hendak memperistri Fatmawati. Pertengkaran kerap terjadi dalam rumah tangga Sukarno akibat kekecewaan Inggit dan ketidakbersediaannya untuk menjadi madu karena di polgami.

Jepang saat itu mulai memasuki wilayah Indonesia khususnya Jawa (1942) dan membawa perubahan radikal dan sistemik dalam kehidupan sosial dan politik Bangsa Indonesia saat masih dijajah oleh Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Jepang mendekati Sukarno untuk mendukung propaganda Jepang yaitu 3 A yang terdiri dari Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia. Karena propaganda tersebut tidak berhasil, Jepang kemudian menarik perhatian rakyat Indonesia dengan mendirikan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Namun pendirian PETA ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan untuk menjadi pasukan yang kelak dipakai untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang dan menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada.

Fase kelima, menghantarkan Sukarno kembali ke Jakarta (9 Januari 1942) oleh pemerintahan Jepang. Dalam satu percakapan antara Sukarno dan Sakaguchi (diperankan Ferry Salim) perwira Jepang, terlontar pernyataan, “Walanda (Belanda) yang memenjarakan Anda namun Nipong (Nippon) membebaskan….!”, seraya meninggalkan Sukarno dan mengambil obor yang dipegangnya. Di Jakarta, Sukarno bertemu dengan teman-teman perjuangannya yaitu Muhamad Hatta (diperankan oleh Lukman Sardi) dan Syahrir (diperankan Tanta Ginting). Sukarno tinggal di rumah yang disediakan pemerintahan Jepang. Namun di Jakarta inilah, saat Sukarno menerima kebebasan dari pembuangan, Inggit pun menuntut kebebasan untuk tidak menjadi istri Sukarno dengan menuntut cerai. Tahun 1942, Sukarno bercerai dengan Inggit dan sekaligus menikah dengan Fatmawati dan melahirkan putra pertamanya bernama Guntur Sukarno Putra.

Sukarno, Hatta, Syahrir kerap terlibat diskusi dan perdebatan dalam melawan pemerintahan Jepang. Sukarno memilih jalan kooperasi (kerja sama) sementara Syahrir memilih jalan perlawanan fisik melalui PETA. Hatta berdiri netral sambil memberikan apresiasi terhadap kedua pandangan sahabat-sahabatnya itu.

Tanggal 8 September 1944, bendera Merah Putih diijinkan berkibar namun  hanya di wilayah Jawa saja. Saat itu pemerintahan Jepang telah  memberikan hadiah kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia namun pemerintahan Jepang di Indonesia tidak segera melakukan penyerahan melainkan mempersiapkan teknis secara bertahap melalui panitia persiapan kemerdekaan Indonesia.

Situasi Jepang paska pemboman Hiroshima dan Nagasaki diketahui oleh Syahrir melalui siaran radio yang dipasang secara rahasia di rumahnya. Kondisi ini membuat Syahrir mendesak agar Sukarno dan Hatta mengambil alih situasi dan menolak pemberian hadiah kemerdekaan oleh Jepang dan segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta berbeda pendapat dengan Syahrir. Mereka ingin kemerdekaan diproklamirkan melalui prosedur yang telah dipersiapkan, sekalipun oleh pemerintahan Jepang. Hal ini menimbulkan kemarahan Syahrir dan para pemuda yang sudah tidak sabar menginginkan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan secepatnya. Para pemuda sempat menculik Sukarno dan Hatta, sekalipun bukan atas petunjuk Syahrir.

Dalam situasi genting ini, akhirnya Sukarno dan Hatta berhasil ditemukan dan terjadilah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI adalah panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, sebelum panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka Jepang membubarkannya dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai (Komite Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945, sebuah persidangan di Volksraad telah membicarakan berbagai usulan Dasar Negara yang pada akhirnya pidato Sukarno mengenai Dasar Negara diterima dengan nama Pancasila.

Film ini ditutup dengan kisah heroik dan mengharukan saat naskah Proklamasi dibacakan dan bendera merah putih buatan Fatmawati dikibarkan. Bangsa Indonesia bersorak dan bersukacita atas kebebasan yang diproklamirkan, Inggit yang menenun sepi di Bandung pun turut bergembira atas berita kemerdekaan ini. Indonesia baru telah ditandatangani dan diproklamirkan, sebuah pintu masuk menuju jembatan emas – sebagaimana tulisan Sukarno- baru saja dimulai.

Beberapa ulasan hendak saya sampaikan mengenai karya film ini beserta tanggapan terhadap berbagai demonstrasi terhadap penanyangan film tersebut.

Pertama, mengenai alur tokoh Sukarno, Hanung Bramantyo telah memaparkan dengan baik dalam bahasa film seorang Sukarno sebagai seorang pemimpin nasional menuju Indonesia merdeka, Sukarno sebagai seorang suami serta Sukarno sebagai seorang lelaki dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saya akan menggunakan pendekatan Analisis Dramaturgis Sosiolog bernama Erfing Goffman yang berasal dari Kanada untuk mendekati persoalan di atas. Goffman adalah Sosiolog Mazhab Interaksionis Simbolisme. Margaret M. Poloma dalam bukunya, Sosiologi Kontemporer menjelaskan mengenai Analisis Dramaturgy buah pikir Goffman sbb: Kehidupan sosial seperti sebuah arena pertunjukkan teater dimana ada bagian depan (front region) dan bagian belakang (back region). “Panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang umum dan tetap untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu. Di dalamnya termasuk setting dan personal front, yang selanjutnya dapat dibagi mejadi penampilan (appearance) dan gaya (manner)[10]. Ambillah contoh kehidupan seorang dokter. Setting seorang dokter adalah kantor. Penampilannya memperlihatkan status sosialnya sebagai seorang dokter yaitu mengenakan jas putih dengan tas dan stetoskop. Gaya seorang dokter memperlihatkan sikap tenang dan persuasif dan meyakinkan pasien untuk memperoleh kesembuhan. Bagian depan kehidupan seorang dokter selalu mengetengahkan sosok ideal. Margaret M. Poloma melanjutkan,”Disamping panggung depan yang merupakan tempat melakukan pertunjukkan tersebut, terdapat juga daerah belakang layar. Identifikasi daerah belakang ini tergantung pada penonton yang bersangkutan. Pada saat istirahat, kantor pribadi seorang dokter bisa merupakan sebuah ruangan dimana dia dapat melepaskan jas putihnya, duduk santai dan bercanda dengan para juru rawatnya. Sekalipun juru rawatnya dapat menyaksikan sang dokter di dalam keadaannya yang demikian di dalam panggung belakang, tidaklah demikian halnya dengan para pasien. Beberapa menit kemudian, kantor ini akan berubah menjadi ruang konsultasi dan oleh karenanya menjadi panggung depan[11] .

Wagiyo dalam bukunya Teori Sosiologi Modern mengatakan, “di panggung depan (front region), terjadi manipulasi sebagaimana terjadi di tempat-tempat penjualan mobil. Sebaliknya, bagian belakang (the back region) merupakan tempat tertutup dan tersembunyi dari pengamatan penonton dimana teknik-teknik dari ‘impression management’ dipraktikkan. Di back stage (belakang panggung) ini pula sang aktor dapat dengan santai beristirahat, sebagaimana dikatakan oleh Goffman dibelakang panggung itu sang aktor dapat meninggalkan bagian depan, dapat berbicara di luar skrip dan keluar dari karakter yang dimainkannya[12]

Dengan menggunakan Analisis Dramaturgis Goffman, kita letakkan pada karya film Hanung Bramantyo. Film Soekarno:Indonesia Merdeka, mengetengahkan sosok historis Sukarno di ‘panggung depan’ (front region) kehidupan sosial sebagai seorang pemimpin pergerakkan menuju kemerdekaan Indonesia. Seluruh gambaran yang ditampilkan sebagai seorang tokoh diidealisir sehingga menampilkan kesempurnaan sikap dan pikiran serta perilaku. 

Namun demikian, Hanung tidak hanya berhenti menampilkan sosok historis Sukarno dari wilayah ‘pangung depan’ (front region) melainkan menampilkan Sukarno dari wilayah ‘panggung belakang’ (back region). Sosok Sukarno di panggung belakang ini diperlihatkan dalam karakter Sukarno kecil saat masuk sekolah di HBS dan mencintai apa adanya seorang gadis Belanda, saat Sukarno hidup di penjara dan buang air kecil di penjara dalam sebuah wadah dan membuangnya di luar pintu penjara, saat Sukarno terpikat hatinya pada Fatmawati dan berusaha memperoleh perhatian dalam banyak kesempatan, saat Sukarno tersenyum bahagia dikunjungi Gatot (diperankan Agus Kuncoro) temannya dan memberikan komentar tentang Fatmawati dan anaknya, “Jujur, aku tidak bisa memungkiri hati kecilku kalau aku butuh anak!

Dengan demikian, karya film Hanung tidak menempatkan sosok Sukarno sebagai tokoh metafisis dan mitologis yang digambarkan dan diidealisir nyaris tanpa kecacatan sama sekali. Sebaliknya, Hanung menyajikan tokoh Sukarno secara lengkap baik di “panggung depan” dan “panggung belakang sekaligus”. Di sinilah letak kekuatan dinamis film Hanung yang bagi saya dapat menyentak emosi kejiwaan sekaligus menorehkan kesan mendalam dalam momen-moment penting yang disajikan sehingga membangkitkan jiwa patriotisme dan nasionalisme. 

Kedua, mengenai keberatan dan gelombang protes serta demonstrasi. Saya justru melihat bahwa mereka yang mempersoalkan isi film Hanung bukan hanya bersifat tidak substansial dan irasional melainkan hanya memahami sosok Sukarno secara subyektif dan mitologis idealistik. Mereka tidak membuka ruang obyektif bahwa Sukarno memiliki bagian lain dari kehidupan sosialnya yaitu “panggung belakang” (back region) yaitu kehidupan pribadinya yang dikatakan Goffman, “dibelakang panggung itu sang aktor dapat meninggalkan bagian depan, dapat berbicara di luar skrip dan keluar dari karakter yang dimainkannya[13], sehingga ketika muncul beberapa adegan seperti “Sukarno kencing di penjara”, “Sukarno terpikat dan melakukan pendekatan terhadap Fatmawati”, itulah bagian dari kehidupan keseharian yang alamiah dari Sukarno.
 
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam memberikan keterangan saat ditemui Islahuddin wartawan merdeka.com di Gedung Widya Graha LIPI mengenai perilaku Sukarno yang mudah buang air kecil sbb: "Adegan itu memang dimungkinkan, bahwa Soekarno kencing di pinggir jalan pun juga sebetulnya terjadi. Itu ada di bukunya Okman. Di sana juga diceritakan Soekarno pergi ke Istana Bogor dengan iringan pengawalnya. Kemudian tiba-tiba Bung Karno ingin buang air kecil. Bung Karno sendiri bermasalah dengan ginjalnya, dia kalau kencing harus cepat. Jadi tidak harus menunggu, justru akan sakit.

Bung Karno minta turun, saat itu dalam perjalanan dari Jakarta ke Bogor di tengah jalan. Saat mobil berhenti Bung Karno langsung turun dan langsung kencing. Saat kencing itu terdengar suara penduduk di sekitar situ. Setelah kencing, Bung Karno menemui penduduk itu dan ngobrol sebentar dan naik mobil lagi. Jadi gak ada masalah dengan adegan itu kalau pun ada. Bahkan dalam pidato Bung Karno pada 1965 sampai 1967 dalam buku kumpulan pidato Bung Karno yang baru diterbitkan belakangan ini. Di situ juga dikatakan, meminta Leimena memimpin rapat karena mau ke belakang mau kencing. Jadi itu sesuatu yang manusiawi saja. Tapi kalau kencing di pesawat, kesannya agak jorok ya dan adegan itu sudah dihilangkan dalam film itu"[14]

Ketiga, mengenai keislaman Sukarno. Jika ada beberapa demostran mengecam jika film karya Hanung menyebarkan gagasan Liberal dan mendistorsi keislaman Sukarno. Saya justru melihat sebaliknya. Figur Sukarno yang disajikan Hanung Bramantyo sangat Islami dengan dikedepankan gesture (sikap tubuh) ibadah sholat dan mengajar di sekolah Muhamadiyah di Bengkulu. Tanpa bermaksud mengecilkan kualitas keislaman Sukarno (apalagi beliau pernah bersama Sarikat Islam-nya Cokro Aminoto), namun beliau bukan tokoh yang mengusung prinsip-prinsip religius dalam ranah politik. Nurani Soyomukti, dalam bukunya Soekarno dan Nasakom mengatakan, “Soekarno kecil tidak pernah mendapatkan pelajaran agama baik formal maupun informal. Keluarganya lebih ke arah kejawen”[15]. Bahkan ayah Sukarno, Raden Soekemi adalah juga penganut ajaran Teosofi yang berkembang tahun 1930-an di Hindia Belanda dan banyak anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang pernah didirikan Sukarno, masuk menjadi anggota Teosofi[16].

Selanjutnya Nurani Soyomukti menuliskan, “Suatu ketika, seorang pengamat politik Indonesia, Clifford Geertz dalam ‘Islam Observed’ (1982) menuliskan: ‘Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri’. Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai, ‘bergaya ekspnasif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia[17]

Dan Nurani Soyomukti membuat kesimpulan dan pandangannya mengenai keislaman Sukarno sbb: “Saya akan mengatakan, karna Bung Karno adalah seorang sinkretis, tetap saja Islamnya adalah Islam sinkretis. Islam dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran dan pemikiran lainnya. Islam dikuatkan dengan cara pandang yang berasal dari luar Islam itu sendiri, sesuai dengan pengalaman dan sosialisasi pemikiran yang diterima Bung Karno yang dipandangnya cocok dengan kondisi dan masyarakatnya[18].

Gambaran Sukarno seorang ideolog yang banyak membaca karya-karya pikir besar dan berpengaruh baik Karl Marx, Hegel, Roesou, Hector Bywater yang kemudian mempengaruhi konsep dan pemikiran politik Sukarno, kurang kuat ditonjolkan dalam karakter film Sukarno hasil garapan Hanung Bramantyo. Bahkan ada kesan Hanung menetralisir keterpengaruhan Sukarno kecil (diperankan oleh Emir Mahira) dengan gagasan-gagasan Marxisme dan Sosialisme dan ini terekspresi dari percakapan Sukarno dengan gadis Belanda yang ditaksirnya, Mien Hessel (diperankan oleh Mia) . Ketika Mien Hessel bertanya kepada Sukarno, “Apakah kamu seorang Marxis?” Jawaban Sukarno kecil, “Tapi saya juga seorang Muslim!”.

Keempat, film ini bukan hanya mengedepankan aspek historis dan ketokohan Sukarno bersama teman-teman seperjuangannya, namun memperlihatkan sebuah sisi lain dari kehidupan seorang wanita yang melakukan dukungan bagi perjuangan Sukarno sekaligus pengorbanan, yaitu Inggit Garnasih. Dalam film tersebut ditayangkan penggalan peran Garnasih yang mendukung Sukarno saat berada di penjara Banceuy, Bandung, saat Sukarno berada di pengasingan baik di Ende, Flores maupun Bengkulu. Bahkan Garnasih memberikan hartanya untuk mendukung perjuangan politik Sukarno. Taufik Adi Susilo dalam buku Soekarno: Biografi Singkat 1901-1970 mendeskripsikan kegigihan dan kesetiaan Inggit sbb: “Jika Soekarno adalah api, maka Inggit menjadi kayu bakarnya. Ingit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan dan menghiburnya ketika kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan sebagai ibu mauoun teman…Dalam kamus hidupnya, hanya ada kata memberi dan meminta. Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga, sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya, dan pikirannya tercurah untuk pergerakkan. Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencintai Soekarno tanpa pamrih[19]. Seorang penulis blog mengutipkan ucapan Inggit saat Sukarno wafat sbb: “Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Inggit didoakeun …” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Inggit di depan jasad Soekarno, mantan suaminya. Baginya Soekarno adalah cinta sejati, mantan suami yang sangat dicintai dan dibanggakannya. Setelah bercerai, Soekarno sekali menyempatkan menjenguk Inggit yang sakit-sakitan pada 1960 di Bandung[20].

Mengenai pengorbanan Inggit, Taufik Adi Susilo kembali mendeskripsikan, “…Ia memang mencintai Soekarno luar dalam, sebuah kecintaan yang membuatnya rela menderita dan melarat. Tetapi, kecintaan itu tak membuatnya kehilangan karakter sebagai seorang perempuan agung. Dari huku hingga hilir, Inggit tetap konsisten menolak poligami, bahkan ketika ia harus kehilangan lelaki yang sangat dicintainya…Perceraian itu membuat Inggit kehilangan kesempatan menikmati masa-masa emas menjadi istri Soekarno. Jika ia menerima dimadu, boleh jadi dirinyalah yang akan menjadi ibu negara dan menikmati sejumlah fasilitas. Tapi, Inggit menyadari bahwa tugasnya sebagai istri Soekarno telah usai. Ia telah menunaikan dengan sebaik-baiknya sebuah tugas historis untuk mengantarkan seorang lelaki besar yang pernah dilahirkan bangsa ini sampai ke gerbang cita-citanya[21]. Pengorbanan Inggit ini dibahasakan oleh Hanung dalam kalimat penutup film, “Berjuang untuk kemenangan sendiri adalah kekalahan sejati”.

Film Soekarno: Indonesia Merdeka, terlapas dari konflik dan kontroversi yang mengelilinginya – sebagaimana tokoh Soekarnopun penuh kontroversi - merupakan film bermutu yang layak ditonton oleh generasi muda yang telah kehilangan ruh Patriotisme dan Nasionalisme, untuk menemukan ruh zaman lampau untuk diterjemahkan dalam konteks kekinian. Jika generasi muda gagal membangun mentalitas patriotik dan melakukan perubahan, maka mereka akan menjadi generasi gagal sebagaimana disitir oleh Cipto Mangoenkusumo sbb: “Keadaan yang akan datang bagi tanah air dan bangsa ada terletak di dalem keadaan sekarng dan keadaan sekarang adalah kamu. Oleh karena itu janganlah kamu membiarkan barang sesuatu jugapun untuk membikin terangnya waktu yang akan datang itu. Serahkanlah dirimu pada pekerjaan yang menjadi kebahagiaan anak cucu kita agar supaya turunan kita tidak akan mengatakan bahwa kita telah hidup tidak berguna![22]


End Notes

[6] Polemik Film Soekarno dan Kebiasaan Kencing Sang Presiden
http://www.merdeka.com/peristiwa/polemik-film-soekarno-dan-kebiasaan-kencing-sang-presiden.html

[8] Rachmawati Soekarnoputri Protes Film Soekarno!
http://m.inilah.com/read/detail/2029132/rachmawati-soekarnoputri-protes-film-soekarno
[9] Hanung Bramantyo
http://en.wikipedia.org/wiki/Hanung_Bramantyo
[10] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hal 232

[11] Ibid., hal 234
[12] Wagiyo, Teori Sosiologi Modern, Tangerang: Universitas Terbuka 2012, hal 10.13-10.15
[13] Ibid.,
[14] Polemik Film Soekarno dan Kebiasaan Kencing Sang Presiden
http://www.merdeka.com/peristiwa/polemik-film-soekarno-dan-kebiasaan-kencing-sang-presiden.html

[15] Nurani Soyomukti, Soekarno dan Nasakom, Jogjakarta: Garasi 2008, hal 200

[16] Iskandar P. Nugraha, Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia, Depok: Komunitas Bambu 2011, hal 23-24

[17] Ibid., hal 201

[18] Ibid.,
[19] Taufik Adi Susilo, Soekarno: Biografi Singkat 1901-1970, Jogjakarta: Garasi 2008, hal 36

[20] Inggit Garnasih, Perempuan Hebat di Belakang Soekarno
https://perempuankeumala.wordpress.com/2013/12/24/inggit-garnasih-perempuan-hebat-di-belakang-soekarno/
[21] Ibid., hal 37
[22] Fikiran Rakyat No 35, 24 Februari 1933

4 komentar:

  1. Unknown

    Mantap !! Film ini emang cukup baik..

  1. dimas

    Thank you for nice information.
    Please visit dimas

  1. Desain Komunikasi Visual

    sejumlah bioskop kebanjiran penonton

  1. Desain Komunikasi Visual

    menyempatkan menonton film ini di Yogyakarta sebanyak dua kali dan hari kedua penuh dengan penonton yang sangat antusias menonton film
    visit Tel-U

Posting Komentar