RESENSI DAN NOTASI NOVEL, "ANAK BETAWI DIBURU INTEL YAHUDI"
Penulis:
Ridwan Saidi
Penerbit:
Masup Jakarta
Tahun:
2008
Tebal:
291
Nama Yahudi biasanya dihubungkan
dengan sentimen-sentimen keagamaan yang bertebaran dalam banyak buku-buku di
Indonesia, baik yang bersifat karya terjemahan maupun kajian mandiri. Sebut
saja beberapa judul terjemahan Kenapa
Kita Tidak Berdamai Saja Dengan Yahudi, karya Muhsin Anbataani (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Yahudi Menggenggam Dunia,
karya William G. Carr (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993), Adapun buku karya non terjemahan al., Jejak Freemason & Zionis Di
Indonesia, karya Herry Nurdi (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2005).
Kali ini, nama Yahudi dan berbagai labeling yang melekat pada dirinya dikemas
dalam sebuah kisah fiksi berlatar belakang sejarah dengan judul, Anak
Betawi Diburu Intel Yahudi.
Bisa jadi novel karya Ridwan Saidi mengilhami novel berikutnya yang diterbitkan
tahun 2011 yaitu The Jacatra Secret: Misteri Satanic Symbols di Jakarta garapan
Rizki Ridyasmara (http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/05/resensi-jacatra-secret-misteri-satanic.html)
Latar
belakang pengisahan kehidupan para tokoh dalam novel karya Ridwan Saidi ini berkisar
di era Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin (Presiden Sukarno) hingga
lahirnya Orde Baru (Presiden Suharto). Dengan apik dan kemasan cerita yang
menarik, Ridwan Saidi mengangkat sejumlah percakapan dengan menggunakan
istilah-istilah yang familiar di telinga orang yang hidup pada zaman itu dan
beberapa bagian masih bertahan sampai zaman ini, baik istilah dalam bahasa
Belanda maupun bahasa Betawi. Sebut saja beberapa istilah Belanda seperti zetterij (penata huruf), inleiding (pendahuluan), beleid (kebijaksanaan).
Ada pula
istilah-istilah Betawi seperti lancongin
(mengunjungi), serepin (menjajagi), gerecek (ramah). Bukan hanya sekedar
kata dan istilah namun ada pula sejumlah idiom atau ungkapan khas Betawi
seperti enggak angin nangis (tanpa
sebab), tempayan nyamperin gayung
(yang diperlukan mendatangi yang memerlukan), sungsang sumbel (kerja keras). Pastinya yang tidak kalah mewarnai
kosa kata dalam alur percakapan adalah penggunaan bahasa Arab sebagai latar
belakang religius keislaman para tokoh yang terlibat di dalamnya. Dan
keseluruhan istilah itu diberi penjelasan berupa catatan kaki, sehingga
memudahkan pembaca untuk dengan cepat mengerti arti dan maknanya.
Pembaca
pun seakan di bawa ke alam tempo dulu dengan munculnya nama-nama jalan di
Jakarta dan nama-nama kampung yang sebagiannya telah berubah nama dan fungsinya
saat ini. Sebut saja nama Kampung Asem
Reges, tempat kisah ini bermula yang merupakan kampung historis dengan nama
Pasar Asem pada Tahun 1851. Lalu STM di Vrimetselaarijweg
yang berubah menjadi Jalan Budi Utomo dan ada pula Kantor Dinas Pengukuran
Tanah di Gang Ketapang yang saat ini berubah menjadi Hotel Gajah Mada.
Ridwan
Saidi pun menggarap dengan apik berbagai peristiwa dan latar belakang budaya
dan sosiologis di Betawi pada tahun 50-an khususnya saat pernikahan Su’eb
dengan Zainabun, anak Mat Sani, (hal 85-87), sehingga pembaca non Betawi dapat
larut dan berinteraksi dengan kebudayaan Betawi terkait prosesi pernikahan.
Novel
ini membagi keseluruhan kisah dalam tiga bab saja. Bab Pertama dengan judul, Halimun Malam. Bab Kedua dengan judul, Anak Semata Wayang. Bab Ketiga, dengan
judul TFTS-X3. Bab Pertama,
mengisahkan keluarga Mat Sani atau yang nama lengkapnya Muhammad Sani bin
Abdurazzaq, dengan istri bernama Musalmah serta tiga anak mereka yang bernama
Satiri, Muhammad Zen serta Zainabun. Selain bekerja sebagai seorang karyawan di
Groningen Kolff, Mat Sani juga merupakan aktifis partai politik Islam. Dan
karena aktifitas politiknyalah yang kelak menghantarkan nyawanya kepada Sang
Khaliq saat terjadi perkelahian akibat dendam dari lawan-lawan politik Mat Sani
yang berhaluan Komunis.
Judul Halimun Malam menunjuk pada dua kejadian. Pertama, saat malam dimana Mat Sani
hendak dibunuh oleh lawan politiknya sebagaimana dikisahkan, “Anak tanggung tadi berlari di kegelapan
ketika Mat Sani meninggalkan rumah Ujang. Malam benar-benar gelap gulita di
Rawa Puter. Angin dingin datang menggigit berbarengan dengan turunya halimun
malam” (hal 50). Kedua, sebuah
lagu yang dinyanyikan biduan S. Efendi saat menghibur anak perempuan Mat Sani
yang bernama Zaenab yang kelak kemudian hari dinikahi oleh Su’eb seorang sopir
taksi. Dan lagu itu tentu saja menghubungkan Musalmah kepada almarhum suaminya,
Mat Sani sebagaimana dikisahkan, “Tak
henti-hentinya Jenab mengerling wajah ibunya tatkala Efendi menyenandungkan lagu
berirama Melayu asli itu. Ia tahu betul bahwa itu adalah lagu favorit almarhum
ayahnya. Musalmah menghindar dari pandangan putrinya. Ia memandandang lantai,
tangannya memutar-mutar gelas teh. Jenab masih duduk di bangku SR waktu ayahnya
di kamar sesekali menyanyikan lagu terseut. Ingin sekali Musalmah mengiringi
kalimat demi kalimat syair lagu yang indah itu dengan tetesair mata, tetapi
bagaimana mungkin di tengah pesta begini. Ia hanya berharap semoga perkawinan
ini akan membebaskan Jenan dari pelukan halimun malam masa lalu, seraya fajar
kebahagiaan cerlang cemerlang bersinar di dalam kehidupannya” (hal 95).
Bab
Kedua, mengisahkan kehidupan Su’eb dan Zainab beserta janda Mat Sani yaitu
Musalmah yang kemudian dikaruniai momongan satu-satunya yang diberi nama Abdul
Gafur dengan nama panggilannya Doel. Penulis novel ini memberikan identifikasi
karakter Doel sebagai seorang anak yang sehat, gesit dan pandai bercakap-cakap
(hal 111). Bagian kedua ini dipenuhi dengan kisah kanak-kanak Doel yang nakal,
ingin tahu, kritis, sensitif dengan isyu keagamaan – khususnya soal Palestina
dan Yahudi. Dikisahkan saat Doel berumur 13 tahun dan bersekolah di Madrasah
Tsanawiyah Nurul Ulumj, dia sudah terlibat secara emosional dan ikut melakukan
demonstrasi saat mana Masjidil Aqsa mengalami pembakaran oleh pemerintahan
Israel. “Usai shalat Jum’at, anak-anak
menghambur ke jalan. Ramai-ramai mereka menuju halaman kantor Yayasan Syiar
Islam yang merupakan tempat berlangsungnya apel akbar. Semua anak-anak telah
mengikat kepalanya dengan kain hijau. Doel paling menonjol diantara anak-anak
kelas satu karena badanya yang tinggi besar melebihi tinggi rata-rata anak akil
baligh. Sambil berjalan, tak henti-hentinya Doel mengepalkan tinju sambil
berteriak, ‘Allah Akbar!’ dan ‘Hancurkan Zionisme!” (hal 129).
Ketika Doel
beranjak naik ke tingkatan SMA, dia banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan di lingkungan rumahnya dan menjadi ketua perkumpulan Remanis, kependekkan dari Remaja Masjid
An Ni’mah Al Islamiyah (hal 142) serta terlibat dalam kegiatan Debating Club yaitu perkumpulan remaja
sekolah untuk mendalami bahasa Inggris lewat forum-forum perdebatan (hal 145).
Di SMA lah Doel mulai mengenal sejumlah nama teman-temannya dengan latar
belakang sosial ekonomi yang beragam, Ayub, Alan, Ratih, Asrul, Ismoyo, Wati
dll. Dalam kegiatan Debating Club inilah Doel kelak akan bertemu dengan Anneke
(hal 151), anak seorang Belanda keturunan Yahudi bernama Leuwwen Baruch
Harsteen yang juga aktivis Theosofi pengikut DR. Blavatsky sekaligus agen Mossad
atau Intel Israel.
Bab
Ketiga merupakan klimaks kisah kehidupan Doel. Perkawanannya dengan Anneke
menjadi titik awal datangnya berbagai masalah dan kisah petualangan mendebarkan
di kemudian hari. Suatu hari, Anneke hendak memberikan hadiah ulang tahun bagi
Doel yaitu sebuah kalkulator namun sayangnya kalkulator yang disiapkan Anneke
tertukar dengan milik ayahnya, karena mereknya sama. Suatu ketika saat Doel
hendak menghadapi ujian bahasa Arab dan persiapan melanjutkan kuliah ke Mesir
atas referensi Ustadz Anis yang memiliki banyak kolega di Mesir dan Palestina,
Doel memain-mainkan kalkulator barunya. Namun kalkulator tersebut tidak
sebagaimana kalkulator umumnya. Kalkulator itu hanya mengeluarkan kode SS dan Sas Steren (hal 2004).
Dengan alasan
hendak menukarnya dengan kalkulator yang lebih baik, Ustadz Anis yang curiga
dengan keberadaan kalkulator tersebut berangkat ke Amman, Yordania. Di sana dia
bertemu dengan para simpatisan perjuangan Palestina dan mendapati kenyataan
bahwa kalkulator tersebut ternyata menyimpan sejumlah data rahasia Mossad
sebagaimana petikan percakapan, “Banyak
sekali informasi tersimpan di kalkulator ini. Di sini tersimpan data jaringan
mossad di Asia Tenggara. Ahli sandi kita juga berhasil membaca kode-kode
rencana operasi Mossad di Asia Tenggara. Data yang ada di sini klasifikasinya
A, kata Abu Salameh sambil memegang-megang kalkulator Anneke” (hal 210).
Dan dari bocoran mata-mata pejuang Palestina yang ditemui Ustadz Anis di Amman
terkuaklah satu rencana pembunuhan terhadap Doel dengan kode TFTSX3. X3
bermakna target pembunuhan yang jenazahnya harus dilenyapkan. Mengapa Doel?
Karena agen Mossad beranggapan bahwa Doel membawa kalkulator berisikan
data-data penting dan rahasia Mossad di Asia Tenggara, maka Doel harus
dibinasakan.
Ustadz
Anis berkoordinasi dengan para pejuang Palestina untuk dapat mencegah Doel
pergi ke Mesir karena di Mesir banyak orang Yahudi dan tentu saja ada agen
Mossad. Namun sayangnya Doel sudah keburu berangkat ke Mesir dengan menggunakan
pesawat. Pejuang Palestina pimpinan Abu Salameh mengutus seorang perempuan
bernama Shamira Farhanneh di Bandara Abu Dhabi sampai Mesir untuk mengawal dan
menjemput Doel. Sayangnya saat tiba di Mesir, ada salah satu rombongan
penjemput yang mendahului menjemput Doel yaitu Gabriella Harsteen, kakak
Anneke. Sayangnya Doel belum mengetahui sampai hari itu bahwa dirinya menjadi
incaran Mossad dan ayah temannya yaitu Anneke adalah agen Mossad. Gabriella
bersama seorang agen bernama Shaul membawa kabur Doel dan hendak membunuhnya setelah
memaksa Doel untuk menunjukkan dimana keberadaan kalkulator pemberian Anneke
yang tertukar tersebut.
Di
bab ketiga ini kisah berlanjut dengan berbagai petualangan Doel
berpindah-pindah tangan setelah penyelamatan oleh pejuang Palestina kemudian
jatuh kembali ke tangan Mossad. Kisah berakhir saat Doel berhasil dibebaskan
dari rumah seorang dukun Yahudi bernama Aba Kohin. Rumah Aba Kohin kerap
dijadikan tempat sementara target operasi Mossad untuk di bunuh di luar Israel.
Para pejuang Palestina berhasil membebaskan Doel dengan sebuah siasat jitu
bersinergi dengan kecerdikkan Doel (hal 267). Doel menerima bingkisan dari
pejuang Palestina yang di wakili kedua bersaudara, Nawal dan Shareen yaitu
replika Masjidil Aqsa dan Doel kembali pulang ke Indonesia untuk kemudian akan
di sekolahkan di Malaysia oleh Ustadz Anis.
Narasi
dalam novel ini nampaknya mewakili gelora sang penulis yang berlatar belakang
sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (1974-1976). Idealisme Islam dan isyu
pendudukan Israel terhadap Palestina sangat mewarnai halaman demi halaman dalam
novel ini. Sang Penulis nampaknya ingin menggugah kesadaran para pembacanya,
khususnya umat Muslim untuk menyatukan suara dan tekad serta perjuangan untuk
terlibat bersama rakyat Palestina, merebut Al Aqsa dari penetrasi Yahudi,
sebagaimana petikan percakapan diakhir narasi, “Doel berjalan menuju lemari pajangan. Ia buka pintu lemari, lalu
replika Al Aqsa ia letakkan dibalik kaca bening. Keluarga Su’eb memandang
replika itu. ‘Sayang, ya. Al Aqsa masih dikuasai Yahudi’, Jenab berkata lirih.
‘Mesti kita rebut, Mak’ kata Doel bersemangat. Suara azan maghrib masih bergema
dari Masjid An Ni’mah” (hal 291). Bahkan bisa dikatakan dengan istilah,
“mengobarkan permusuhan abadi terhadap Yahudi”.
Sayangnya,
deskripsi Ridwan Saidi mengenai eksistensi Yahudi, berdirinya negara Israel,
aktifitas Mossad, merupakan produk dan warisan berfikir zamannya yang
memberikan stigma dan labeling serba negatif. Keseluruhan deskripsi dalam
narasi ini mengenai Yahudi, tidak menyisakan karakter yang positif mengenai
orang-orang Yahudi, baik tokoh Leuwwen Baruch Harsteen (galak dan arogan),
Gabriella Harsteen (melakukan tugas sang ayah), Aba Kohin (jorok dan suka
menganiaya) serta para agen Mossad (pembunuh berdarah dingin dan banyak
melakukan aktifitas konspirasi).
Bahkan
pengaruh Teori Konspirasi bergema dalam halaman-halaman narasi Ridwan Saidi
saat menggambarkan aktivitas Israel melalui Mossad sbb: “Markas Mossad di Tel Aviv meningkatkan kesibukkannya. Mossad aktif
memantau perkembangan situasi internasional yang tidak menguntungkan Israel. Di
tanah Palestina yang diduduki Israel, terjadi peningkatan perlawanan erhadap
tentara Zionis. Rakyat Palestina merasa tergugah oleh Perang Ramadhan. Sikap
anti Zionis Israel merebak dimana-mana. Kabinet Israel menugaskan Mossad untuk
membangun perencanaan yang bersifat komprehensif dengan tujuan mencari ruang
gerak agar Israel tidak terkepung oleh opini anti Yahudi yang merebak di dunia.
Jewish Syndicate yang mempunyai jaringan bisnis, perdagangan, dan perbankan di
dunia diminta membiayai operasi Mossad. Rencana Operasi meliputi beberapa
tahap: (1) Minimal mengurangi, maksimal mengeliminasi opini publik yang
bersifat mengutuk Israel sebagai Yahudi, Israel sebagai Zionis, dan Israel
sebagai Imperialis. Untuk itu harus dilancarkan operasi ilmiah “agama dan
perdamaian”. Harus diciptakan opini bahwa Yahudi adalah agama yang mencintai
perdamaian seperti halnya Islam dan Kristen. Harus dapat dikembangkan dan
ditingkatkan stereotype bahwa Yahudi adalah ras yang melahirkan orang-orang
brilian….” (hal 136-137).
Apa
efek deskripsi di atas? Terbentuknya opini sistemik dalam nalar dan alam bawah
sadar bahwa Yahudi adalah musuh kemanusiaan yang selalu menggunakan berbagai
strategi baik dengan menggunakan pendekatan akademik maupun pendekatan sosial
serta kekuatan senjata. Berbagai gambaran dan deskripsi mengenai Yahudi di atas
lebih mencerminkan sikap-sikap Anti Semitik.
Antisemit diartikan sebagai, “is
discrimination, hostility or prejudice directed at Jews. While the term's etymology may imply that antisemitism is directed against all Semitic peoples, it is in practice used exclusively to
refer to hostility towards Jews as a religious, racial, or ethnic group”
(diskriminasi, permusuhan atau prasangka yang ditujukkan terhadap orang-orang
Yahudi. Sementara istilah secara etimologi mengindikasikan bahwa Antisemitisme
ditujukan pada semua masyarakat yang bercorak Semitik seperti Arab, namun
secara praktis dan kenyataan sehari-hari istilah ini digunakan secara eksklusif
untuk menunjuk pada permusuhan terhadap orang-orang Yahudi baik secara
keagamaan, rasial maupun kelompok suku, http://en.wikipedia.org/wiki/Antisemitism).
Ketika kita berbicara secara positip mengenai Israel, ada rasa
sungkan dan kuatir bahwa kita dianggap sebagai kaki tangan Zionisme. Bahkan
ketika Lutfie Assaukanie seorang dosen di Universitas Paramadina memberikan
komentar jujur dan positip dari hasil kunjungannya ke Israel dalam salah satu
artikelnya yang berjudul Catatan Perjalanan ke Israel yang
dimuat dalam website Islamlib.com, beberapa tahun lalu sempat menuai kritik
tajam dari sesama Muslim. Jika kita searching google saat ini, Islamlib.com
sudah tidak memuat artikel kontroversial tersebut namun sejumlah artikel
sanggahan dan kecaman mengalir deras ditujukan pada Lutfie Assaukanie.
Bangsa Israel khususnya Yahudi menjadi sasaran kebencian banyak
bangsa. Di Abad-abad pertengahan bangsa Yahudi harus terbuang dari Spanyol.
Pada Tgl 31 Maret 1492 Raja Ferdinand dan Ratu Isabela menandatangani Perintah
Pengusiran (Edict of Expulsion) untuk membersihkan komunitas Yahudi dari
Spanyol. Mereka diberi dua pilihan: dibaptis dan menjadi Kristen atau
dideportasi. Banyak yang mencintai Spanyol dan akhirnya memilih dibaptis dan
menjadi Kristen. Namun sebanyak 80.000 orang Yahudi lainnya memilih menyebrang
ke Portugal dan 50.000 lainnya memilih menyebrang ke dunia Islam khususnya di
pemerintahan Khalifah Utsmaniah (Karen Armstrong, Berperang
Demi Tuhan, Serambi & Mizan 2000, hal 4)
Pada zaman Hitler, Yahudi mengalami pogrom atau pemusnahan massal.
Stephane Downing menggambarkan tindakan Hitler sbb: “Pada tahun-tahun awal pasca perang, bangsa Jerman menanggung inflasi
tak terkontrol dan pengangguran besar-besaran. Partai Buruh Sosialis Nasional
(Nazi) hanya satu dari kelompok rasis yang bermunculan di tengah-tengah
ketidakmenentuan ini. Akan tetapi Hitler segera menjadi agitator anti Yahudi
yang paling efekstif. Agenda anti semitnya dipaparkan dalam bukunya Mein Kampf
(Perjuanganku) dan setelah dia berkuasa penuh pada 1930 agenda itu menjadi
kebijakan resmi. Meski bertentangan dengan Kristianitas, Hitler memakainya
dalam pesan anti-semitnya. Sebagai contoh, dalam Mein Kampf dia menulis:
‘Jika... bangsa Yahudi menjadi pemenang atas bangsa-bangsa sedunia, mahkotanya
akan menjadi karangan bunga kematian untuk kemanusiaan. Dan planet ini akan
sepertiyang terjadi ribuan tahun yang lalu, berputar sebagai eter tanpa
manusia. Oleh karenanya hari ini saya percaya bahwa saya sedang bertindak
menurut kehendak Pencipta: dengan membela diri melawan bangsa Yahudi, saya
sedang bertarung demi ciptaan Tuhan’. Pesan ini menggabungkan rasisme dan ajaran
agama, sehingga diterima rakyat Jerman yang nasionalismenya sering dikaitkan
dengan nilai-nilai Kristianitas. Banyak yang melihat bangsa Yahudi sebagai
oposisi dari segala sesuatu yang baik dalam bangsa mereka” (Benarkah
Nazi Membantai Yahudi? Yogyakarta:
Narasi 2007, Hal 18-19).
Dalam lingkungan
Kekristenan, berbagai stigma dan labeling negatif yang dilekatkan kepada Yahudi
telah berkembang seiring Kekristenan melepaskan diri dari akar budaya Semitik
Yudaiknya pada Abad II Ms. Hal tersebut nampak dalam sejumlah pernyataan para
Bapa Gereja (Chruch Father). Kita simak beberapa kutipan pernyataan para Bapa
Gereja sbb: Pertama, Ignatius, Bishop Antiokhia (98-117 Ms)
dalam karyanya “Surat untuk orang-orang Magnesia” sbb: “Jika kita tetap melakukan agama Yudaisme, maka kita mengakui bahwa kita
tidak menerima kasih karunia Tuhan…adalah keliru untuk mengatakan mengenai Yesus
Sang Mesias dan hidup seperti orang Yahudi. Bagi Kekristenan, tidak mempercayai
dalam Yudaisme melainkan Yudaisme percaya dalam Kekristenan”.
Kedua, Surat Barnabas (130 M-138 Ms), Ps IV Ay 6-7 sbb, “Hindarilah dirimu dan janganlah seperti
beberapa orang yang mendorongmu berbuat dosa dan berkata bahwa perjanjian yang
mereka warisi sebagaimana yang kita (orang Kristen) warisi, namun sebenarnya
mereka kehilangan sepenuhnya warisan itu setelah Musa menerimanya”. Ketiga, Agustinus (354-430 Ms) dalam karyanya, “Conffesions”, 12.14, menuliskan:
“Betapa aku benci terhadap musuh-musuh
dari Kitab Sucimu! Betapa aku menyarankan padamu untuk membunuh mereka
(orang-orang Yahudi) dengan pedang bermata dua, sehingga tidak satupun dari
mereka akan melawan perkataanmu! Sungguh menyenangkan menginginkan kematian
mereka dan kehidupan bagimu!” (Anti
Semitsm of The Church Father,
www.yashanet.com/library/fathers.com).
Bagaimana dengan Luther pendiri Protestantisme dan penganjur
Reformasi Gereja? Dalam bukunya berjudul, On The Jews and Their Lies (1543)
Luther menuliskan sbb: “Apa yang harus
kita lakukan sebagai orang Kristen terhadap ras Yahudi terkutuk dan telah ditolak
Tuhan itu? Karena mereka tinggal ditengah-tengah kita dan kita mengetahui
mengenai kebohongan dan hujatan serta kutukan mereka, maka kita tidak dapat
mentolerir mereka jika kita tidak menghendaki untuk berbagi kebohongan dan
hujatan serta kutukan mereka…Biarlah aku memberikan nasihat bijak kepadamu sbb:
(!)Bakarlah sinagog mereka dan apapun yang tidak bisa dibakar, tutuplah atau
taburilah dengan kotoran sehingga tidak ada seorangpun mmpu melihat abu atau
batunya. Dan hal ini seharusnya dikerjakan untuk kemuliaan Tuhan dan
Kekristenan sehingga Tuhan boleh melihat bahwa kita adalah orang-orang Kristen
dan kita tidak memberikan tolernsi secara sengaja terhadap kebohongan, kutukan
dan hujatan terhadap Putra Tuhan dan orang-orang Kristen (2) Rumah-rumah mereka
harus dihancurkan…(3) Mereka harus membuang buku-buku doa dan talmud yang
mencerminkan penyembahan berhala, kebohongan dan kutukan…(4) Para rabi dilarang
untuk mengajar siapapun dengan ancaman hukuman mati…(5) Paspor dan bepergian
dengan hak istimewa dilarang…" (http://www.jrbooksonline.com/PDF_Books/JewsAndTheirLies.pdf).
Beberapa ayat dalam Al Qur’an pun sarat dengan ayat-ayat yang
kerap ditafsirkan sebagai bentuk kewaspadaan, perlawanan, permusuhan terhadap
keberadaan Yahudi.
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang
yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang
yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani." Yang demikian
itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menymbongkan diri” (Qs 5:82)
“Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu” (Qs 2:120)
“Sesungguhnya orang-orang
yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka
Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”
(Qs 96:6)
Demikian pula dalam Hadits-hadits diceritakan berbagai sifat dan
karakter Yahudi dan perlawanan Muslim terhadap mereka serta ajakan Muhamad agar
mereka masuk Islam.
Dalam Hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim dikisahkan sbb: “Tidak akan terjadi hari kiamat sebelum kaum
Muslimin memerangi orang-orang Yahudi. Kemudian kaum Muslimin membunuh mereka
sampai orang Yahudi bersembunyi dibelakang batu atau pohon. Maka batu atau
pohon itu berkata: Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ini dibelakangku ada
Yahudi,kemarilah lalu bunuhlah. Kecuali pohon Gharqad (sebuah pohon berduri
yang dikenal di kalangan bangsa Yahui), sesunguhnya Gharqad adalah salah satu
pohon bangsa Yahudi”
“Dari Abu Hurairah, dia
berkata: Ketika kami di dalam masjid, tatkala Rasullah keluar kepada kami,
sambil bersabda: Pergilah kepada orang-orang Yahudi. Maka kamipun keluar
bersama beliau, sampai kami mendatangi tempat pengajian (milik seorang pembesar
Yahudi). Kemudian Nabi berdiri dan menyeru mereka: Wahai orang-orang Yahudi
masuklah ke dalam agama Islam, niscaya kamu akan selamat...”
Seorang penulis Islam bernama Ahmad Faiz Asifuddin dalam
artikelnya berjudul Yahudi Musuh Bebuyutan Umat Islam Sampai Mereka Musnah
mengatakan demikian, “Rasanya, musuh
terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini, salah satunya memang bangsa Yahudi.
Bahkan sepertinya, bangsa Yahudi dengan berbagai organisasi yang dimilikinya
dari yang terselubung sampai yang terang-terangan, adalah yang mengotaki segala
permusuhan seluruh komponen dunia terhadap Islam dan umat Islam" (Majalah As
Sunnah, Edisi 08/V/1422 H- 2001 M, hal 19). Selanjutnya
penulis tersebut mengatakan, “Belumkah kaum Muslimin menyadari bahwa
pertarungan kita dengan kaum Yahudi adalah pertarungan aqidah, pertarungan
budaya, pertarungan peradaban, pertarungan eksistensi dan pertarungan
identitas?...Sesungguhnya penyelesaian (satu-satunya) yang bangsa Yahudi
sendiri sudah memahaminya adalah (penyelesaian) jihad yang sesuai persyaratan
dalam rangka menjunjung tinggi Kalimat Allah” (Ibid., hal 20)
Paska berdirinya Negara Israel (1948), berbagai
kegiatan Anti Semit meluas di dunia Arab dan kalangan Muslim berbagai negara.
Berbagai buku dan kajian menghubungkan eksistensi Yahudi dengan sejumlah
konspirasi (persekongkolan) untuk menguasai dunia melalui Protokol Sion,
bank-bank Yahudi, Freemasonry dll (http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_conspiracy_theories).
Tepatkah kebencian terhadap Yahudi tersebut? Apakah
Yahudi adalah simbolisasi berbagai perilaku buruk sebuah umat dan ras tertentu?
Sebuah labeling dan stigmatisasi dibentuk dan dikonstruksi oleh masyarakat.
Labeling dan stigmatisasi yang dikonstruksi oleh masyarakat disebarluaskan
melalui media tulis, cetak, elektronik. Apa yang distigmatisasi dan diberi
labeling negatif oleh kelompok masyarakat tertentu, belum tentu menunjukkan
esensi keberadaan dirinya.
Bagi Kekristenan, membenci berbagai hal yang
berbau Yahudi, berarti membenci Mesias (Kristus), karena Mesias adalah orang
Yahudi , sebagaimana dikatakan, “Sebab telah diketahui
semua orang, bahwa Tuan kita berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu
Musa tidak pernah mengatakan suatu apapun tentang imam-imam” (Ibr 7:14). Siapakah
orang Yahudi itu? “Sebab mereka adalah orang Israel,
mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan
perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji. Mereka
adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya
sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Tuhan yang harus
dipuji sampai selama-lamanya. Amin” (Rom 9:4-5).
Hans Ucko menggambarkan sikap-sikap
Kekristenan terhadap kenyataan bahwa Mesias adalah Yahudi sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan
Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau
Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen
lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut
dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat
hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan
membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan Yudaisme
di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang
Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan sebentuk rasa sulit
bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan
dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui
akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu” (Akar Bersama: Belajar tentang
Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999, hal 5).
Al Quran pun tidak membuat generalisasi stigmatif
dan labeling negatif karena dalam bagian lain dikatakan mengenai Yahudi sbb:
“Hai
Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan
(ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat” (Qs 2:47)
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab
itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan, mereka menyuruh kepada yang maa´ruf, dan mencegah dari yang munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk
orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka
sekali-kali mereka tidak dihalangi (menenerima pahala)nya; dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertakwa“ (Qs 3:113-115)
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi
hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum
Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka
sungguh-sungguh bukan orang yang beriman” (Qs 5:43)
Meskipun kita tidak melibatkan dalam
sikap-sikap yang penuh kebencian terhadap Yahudi, namun bukan berarti kita
menyetujui berbagai aktifitas atau tindakan Yahudi sebagai negara yang dapat
saja terjatuh dalam berbagai kebijakkan yang keliru dalam panggung politik
dunia, khususnya dalam hal menangani konflik dengan Palestina.
Hans Ucko
mengingatkan sbb: “Disaat tentara Israel
membom rumah-rumah orang Palestina dan menutup kegiatan di sekolah-sekolah anak
Palestina itu, ada saja orang Kristen (yang terlibat dalam dialog
Yahudi-Kristen) mengatakan tanpa pertimbangan apapun bahwa negara Israel adalah
tanda kemurahan Tuhan kepada umatNya. Dan tidak ada sedikitpun disinggung soal
hak asasi manusia. Namun, sebagaimana kita ketahui, etika dan janji Tuhan mesti
selalu dijalankan beriringan. Bisa saja banyak orang Kristen yang ragu untuk
mengkritik negara Israel, karena sikap itu seolah menghidupkan kembali sejarah
yang buruk yang ditempuh antara orang Kristen dan Yahudi dimasa lalu. Ketakutan
itupun bisa muncul karena keengganan mereka dicap sebagai anti-semitisme.Namun,
apakah memang mengkritik kebijakan negara Israel akan selalu berarti bersikap
anti Semitisme? Kami yakin bahwa kritik terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintahan Israel tidak dengan sendirinya menjadi sikap anti Yahudi. Demi
mencari keadilan, kritik yang berkelanjutan perlu dilancarkan terhadap
negara-negara dan gerakan-gerakan politik, yang tentu saja tidak harus berarti
mencemarkan penduduknya dan lebih lagi persekutuan iman yang ada di negeri itu.
Pernyataan-pernyataan yang menyangkut tindakan negara Israel bukanlah pernyataan
yang diarahkan kepada umat Yahudi atau Yudaisme, karena pernayataan itu menjadi
bagian resmi dari perdebatan dalam masyarakat dunia. Sikap-sikap kritis yang
sama pun akan muncul dari dalam atau dari luar, terhadap negara-negara dan
gerakan-gerakan politik yang mengklaim nilai-nili kekristenan sebagai dasarnya”
(Op.Cit., hal 15).
Terlepas dari carut marut persoalan politik
antara Negara Israel dan Negara Palestina, biarlah nurani kemanusiaan kita
meletakkan dengan kejujuran bahwa Yahudi - sebagaimana ras dari bangsa lainnya
– bukan simbolisasi dan representasi berbagai tindakan zalim dan penuh
konspiratif. Definisi-definisi ini dikonstruksi oleh masyarakat tertentu dengan
kepentingan tertentu demi tercapainya tujuan tertentu. Kita menghargai
eksistensi Yahudi sebagai yang melahirkan para nabi, darimana agama-agama
Abrahamik menikmati sumber mata airnya. Kita pisahkan persoalan politik dengan
persoalan keagamaan. Bisa jadi, secara politis kita mengecam berbagai
tindakan-tindakan Israel yang dinilai merugikan Palestina demikian sebaliknya.
Namun secara spiritual, agama-agama Abrahamik – baik Kristen dan Islam – berdiri
di atas fundasi eksistensi agama sebelumnya, Yahudi dan Yudaisme. Inilah yang membuat
kita dapat mengambil tindakan terhadap Israel secara politis, bukan didasarkan generalisasi
stigmatis dan labeling negatif melainkan berdasarkan obyektifitas.
1 komentar:
sangat menarik
Posting Komentar