RSS Feed

REVOLUSI BELUM SELESAI, REVOLUSI MENTAL

Posted by Teguh Hindarto

 

Beberapa hari setelah Jokowi dan Romo Benny menuliskan artikel “Revolusi Mental”[1], muncul tanggapan dari Munir As. Dalam artikelnya di media on line Kompasiana dan membuat tudingan bahwa artikel tersebut saling kait mengait atau hasil dari plagiasi diantara keduanya sebagaimana dikatakan: “Tulisan Jokowi “Revolusi Mental” di Kompas bikin geger dan memalukan. Pasalnya, berbarengan dengan tulisan Jokowi, Tulisan dengan judul yang sama “Revolusi Mental” oleh Romo Benny Susetyo muncul di harian Sindo (Edisi 10 Mei 2014). Patut dicurigai, dua tulisan ini saling mengekor. Atau dua tulisan ini mempecundangi Koran sekelas Kompas dan Sindo. Rasanya tak mungkin Romo Menjiplak tulisan Jokowi. Yang paling mungkin Jokowi menjiplak Romo Benny. Jokowi tak pernah punya record sebagai penulis, apalagi kolumnis. Tapi sekali lagi, yang kotor tetaplah kotor. Dari paragraph awal tulisan Romo Benny, sudah terendus, bahwa tulisan Romo dan Jokowi saling memintal”[2].

Istilah “Revolusi Mental”, Siapa Memplagiat Siapa?

Benarkah keduanya saling memplagiasi satu sama lain? Atau keduanya merujuk pada sebuah satu sumber gagasan yang sama untuk kemudian direaktualisasikan dalam konteks kekinian?

Jika kita sedikit menarik ke belakang dan belajar dari sejarah, istilah “Revolusi Mental” bukanlah barang baru dan bukan karya orisinil baik Romo Benny maupun Jokowi. Kedua tokoh masyarakat dan salah satunya adalah calon presiden hanya menggemakan dan menghidupkan kembali istilah dan roh di dalam istilah yang pernah dikemukakan oleh Presiden Soekarno.

Pada tanggal 17 Agustus 1962 silam, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pada Hari Proklamasi dengan tema, “Tahun Kemenangan”. Pada saat itulah muncul pernyataan “revolusi belum selesai” dan “revolusi mental”. Saya kutipkan pidato tersebut sbb:

Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun mau menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi phisik semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dédél-duwél, babak-bundas.

Revolusi kita pada waktu itu belum meliputi Revolusi Mental. Belum berpijak kepada Manipol-USDEK! Revolusi kita pada waktu itu belum merupakan benar-benar satu Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan. Revolusi kita pada waktu itu boleh dikatakan semata-mata ditujukan kepada mengusir kekuasaan Belanda dari Indonesia. Maka sesudah kekuasaan Belanda terusir, sesudah khususnya kekuasaan politik Belanda lenyap dari bumi Indonesia, menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tidak mempunyai pegangan yang tertentu. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang oleh seorang fihak Belanda dinamakan "Een Revolutie op drift". Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tanpa arah. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang penuh dengan dualisme. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tubuhnya bolong-bolong dan dimasuki kompromis-kompromis dan penyeléwéngan-penyeléwéngan. Hampir-hampir saja kemenangan 1949 itu merupakan satu Kemenangan Bohong, satu Pyrrhus-overwinning, satu kemenangan sementara, satu kemenangan satu hari yang merupakan satu permulaan daripada Keruntuhan Total!”[3]

Dari kutipan pidato Presiden Soekarno nampaklah pada kita sekalian bahwa beliaulah penggagas ide mengenai “Revolusi Mental”. Istilah Revolusi Mental merupakan kelanjutan dari revolusi sebelumnya yaitu Revolusi Fisik dan merupakan bentuk-bentuk revolusi yang beraneka ragam untuk meneruskan perjuangan di zaman Revolusi Fisik (beliau mengistilahkan dengan, Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan).

KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DAN PENODAAN NILAI-NILAI PANCASILA

Posted by Teguh Hindarto



Pada tanggal 1 Juni 1945, dihadapan peserta sidang BPUPKI Soekarno menyampaikan pidato yang dikenal dengan lahirnya Pancasila. Bukan hanya Soekarno namun Muh Yamin pun mengemukakan rumusan mengenai dasar negara sebanyak lima perkara namun pidato dan istilah yang dikemukakan Soekarno akhirnya diterima sebagai Philosofisch grondslag. Apa itu Philosofisch grondslag itu? Soekarno mendefinisikan, “Philosofisch grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnja, djiwa, hasrat jang sedalam-dalamnja untuk diatasnja didirikan gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi”[1}

Rumusan Pancasila dalam perkembangannya mengalami perubahan urutan dan penataan istilah hingga rumusan yang berlaku saat ini, mulai dari rumusan Pancasila menurut Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), rumusan MPR 1966, hingga rumusan Populer[2].

Rumusan Pancasila yang dikenal saat ini menempatkan prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam urutan pertama sekalipun Soekarno saat merumuskan Pancasila menempatkannya pada urutan paling terakhir yaitu urutan kelima. Berbicara mengenai urutan pertama atau sila pertama dari Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menarik mendengar pidato dan penjelasan Soekarno sebagai penggali dan pencetus Pancasila. Selengkapnya beliau berkata:

Saudara-saudara, apakah prinsip kelima? Saja telah mengemukakan 4 prinsip:
  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
  3. Mufakat,-atau demokrasi
  4. Kesejahteraan sosial
Prinsip jang kelima hendaknya: Menjusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan jang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan sadja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannja sendiri. Jang Kristen menjembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, jang Islam bertuhan menurut petundjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha mendjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab jang ada padanja. Tetapi marilah kita semuanja ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Tuhannja dengan tjara yang leluasa. Segenap rakjat hendaknja ber-Tuhan setjara kebudayaan, ja’ni dengan tiada ‘egoisme-agama’, Dan hndaknja Negara Indonesia satu Negara jang bertuhan[3].

MENGUJI GUGATAN HERMENEUTIS TOKOH ISMAEL DALAM KITAB TANAKH VERSI MASORETIK

Posted by Teguh Hindarto



MENGUJI GUGATAN HERMENEUTIS TOKOH ISMAEL 
DALAM KITAB TANAKH VERSI MASORETIK

Resensi dan Tanggapan Kritis Terhadap Buku Karya Menahem Eli 
(Dosen Filologi Islam Asia Tenggara dan Studi Semitik, UNAIR)

"Ishmael Dalam Mushaf Masorah Ben Asher dan Naskah Khirbet Qumran" 

Harga Rp. 60.000 (sudah dengan ongkir). Edisi E-Book Rp. 20.000
Pemesanan: 081327274269

 
DAFTAR ISI

PENGANTAR…………………………………………………………….............................3

BAB I
Resensi dan Pandangan Umum……………………………………………...................8
 
BAB II
Apakah Agama Islam Merupakan Warisan Agama Abraham?....................13
 
BAB III
Benarkah Ishak dan Ishmael Berkedudukan Sejajar?...................................28
 

Benarkah Otentisitas Naskah Masoretik Bermasalah Dalam Melaporkan Status Ishmael 
Dibandingkan Naskah Laut Mati?.....................................................................36

BAB V
Keturunan Ishmael Berjasa Sebagai Penemu Naskah Qumran,
So What?................................................................................................................73
 
BAB VI
Mempertanyakan Logika Taman Eden Sebagai Tanah Perjanjian 

Bagi Keturunan Ishmael………………………………………………………..................92


PENGANTAR



Umat Muslim berusaha untuk meyakinkan umat Yudaisme dan Kristen jika agama Islam yang diwartakan oleh Muhamad memiliki rujukannya dalam Taurat dan Injil, maka beraneka ragam buku diterbitkan untuk meyakinkan pembaca Yudaisme dan Kristen. Buku “Muhammad in The Bible” karya Prof. Abdul Ahad Dawud (nama aslinya, David Benjamin Keldani)”[1] (2008) adalah upaya terkini untuk menebarkan keyakinan tersebut melalui kajian yang nampaknya ilmiah teologis dengan melakukan sejumlah analisis bahasa Ibrani, Aram, Arab dari seorang yang mengaku mantan petinggi gereja dan seorang intelektual Katolik ritus Kaldea


Buku dengan judul, “Israel Dalam Mushaf Masorah Ben Asher dan Naskah Khirbet Qumran[2] adalah buku yang memiliki gema yang sama namun dengan pendekatan yang lebih sofistik dan bertujuan membangun sebuah pengakuan terhadap keberadaan Ishmael sebagai keturunan Abraham yang setara dengan Ishak sebagaimana dinyatakan oleh penulisnya, “Terbitnya buku ‘Israel Dalam Mushaf Masorah Ben Asher dan Naskah Khirbet Qumran: Tafsir Rashi dan Rabi Saadia Gaon’ ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada semua komunitas lintas iman yang berada pada naungan rumpun agama-agama  Semitik, terutama kaum Kristiani agar juga mulai merefleksi diri dan menelaah ulang atas penggambaran karakter Ishmael yang selalu disalahpersepsikan. Kekeliruan pencitraan yang amat negatif terhadap karakter sosok Ishmael dalam Alkitab justru dapat memanipulasi pesan nubuatan kenabian Ishmael sebagaimana yang dikehendaki oleh nas kitab suci itu sendiri. Oleh karena itu, penerbitan buku ini dipandang penting dalam mendedah ketidaktahuan dan prasangka umat beriman akibat kesalahpahaman mengenai Ishmael, anak Abraham berdasarkan kajian filologi, linguistik dan arkeologi” (hal xxiii).


Buku ini memiliki nilai lebih dan nampak berbeda dibandingkan penulis-penulis Islam lainnya khususnya di Indonesia dikarenakan penulisnya menguasai bahasa-bahasa Semitik baik itu Ibrani, Aram, Arab dan dihampir setiap pembahasan masing-masing bab menyertakan kajian teknis berupa analisis filologis sebagaimana dia jelaskan dalam tujuan penulisan buku ini. Bukan hanya menguasai bahasa-bahasa Semitik dan menerapkan metode filologi tersebut dalam pembahasan bukunya namun yang menarik adalah akses Menahem Eli selaku penulis buku kepada karya-karya rabinik Abad Pertengahan seperti Saadia Gaon al Fayyumiy (892-942 Ms), Rabi Shlomo ben Yitzhaq – Rashi (1040-1105 Ms) dan menjadikan bahan rujukan tafsir untuk melengkapi analis teks dalam buku yang ditulisnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat latar belakang genetis penulis yang mewarisi darah Yahudi dan seorang dosen bidang Filologi Islam Asia Tenggara yang memiliki kecakapan akademis dibidang bahasa-bahasa Semitik baik Ibrani, Aram, Arab. 


Metodologi pengkajian sedemikian masih terbilang jarang dilakukan oleh para penulis Muslim khususnya di Indonesia selain disebabkan kekurangan akses kepada karya-karya Rabinik dan selain itu bias pemahaman terhadap Yahudi dan Yudaisme yang masih mendominasi dan menghegemoni pemahaman banyak penulis Muslim di Indonesia sehingga menjauhkan mereka untuk melakukan studi dan penelaahan dengan melibatkan sumber-sumber literatur Yudaisme. Setidaknya belum muncul intelektual Muslim sekelas Mohamed Hawary[3], seorang profesor kajian bahasa Ibrani dan pemikiran Yahudi di Universitas Ain Syams, Kairo yang melibatkan kajian Yahudi dan Yudaisme sebagai bagian dari kajian akademik di Indonesia.