RSS Feed

AKHIR SEBUAH IRONI SEKOLAH BERLABEL RSBI

Posted by Teguh Hindarto




Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan bahwa sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) sebagai inkonstitusional alias tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945[1].

Keberadaan sekolah berlabel RSBI didasarkan pada elemen aturan hukum yaitu UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 50 ayat 3, PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional, Renstra 2010-2014. Melalui uji materil yang dilakukan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) yang dipimpin Mahfud M.D. maka ketiga elemen dasar hukum di atas, khususnya UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 50 ayat 3, ditiadakan kekuatan hukumnya. Dasar pembubaran sekolah bertatus RSBI didasarkan pada beberapa hal berikut, Pertama, bertentangan dengan UUD 1945 karena undang-undang menjamin bahwa pendidikan adalah hak seluruh masyarakat dan bukan sebuah keistimewaan tertentu. Kedua, terjadinya kesenjangan antara sekolah reguler dengan sekolah berstatus RSBI baik dibidang pembiayaan serta perlakuan terhadap sekolah dan siswa di dalamnya. Ketiga, sekolah berlabel RSBI berhak menarik pungutan lebih besar pada peserta didik dan peserta didik harus membayar biaya lebih besar dibanding dengan peserta didik yang bersekolah di sekolah reguler[2].

Setidaknya, dengan keputusan MK di atas akan berdampak pada ditutupnya sekitar 1300-an sekolah-sekolah berstatus RSBI. Tahun 2007 tercatat ada 419 sekolah berlabel RSBI. Tahun 2009 tercatat ada 323 sekolah dan tahun 2011 tercatat ada 1.305 sekolah[3].

Ironi Eksistensi RSBI

Keberadaan sekolah berlabel RSBI sendiri sudah banyak melahirkan sejumlah ironi dan kontradiksi. Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV bertajuk Mencerdaskan Tanpa Diskriminasi, mengungkapkan sejumlah malpraktek dalam sekolah-sekolah berlabel RSBI al., kompetensi guru yang tidak memadai dalam bahasa Inggris saat penyampaian mata pelajaran Fisika menimbulkan kebingungan dan ketidakmengertian di kalangan peserta didik, baik terhadap makna bahasa Inggris yang tidak memadai saat dikomunikasikan, apalagi dengan mata pelajaran yang disajikan. Ada lagi laporan dari Medan yang melaporkan bahwa masih ditemuinya guru-guru dari sekolah berlabel RSBI yang kerap tidak masuk sekolah serta ada pula yang melaporkan mengenai kebiasaan guru yang hanya menyuruh murid untuk mengerjakan soal-soal kemudian ditinggal pergi. Jika ada pertanyaan dari murid-murid justru diminta untuk mencari jawabannya pada teman-teman yang mengerti. Usman Kamsong sebagai nara sumber dalam Bedah Editorial Media Indonesia meringkaskan dengan kalimat, “Praktiknya tidak sesuai dengan tujuan mulianya”.

Beberapa waktu lalu keberadaan RSBI telah disoroti tajam oleh sejumlah pakar pendidikan. Mohamad Ali, MPd., seorang praktisi pendidikan dan penulis buku, Menyemai Sekolah Bertaraf Internasional, mengatakan bahwa program RSBI dinilai gagal total. Beliau menjelaskan, “Padahal sudah delapan tahun program tersebut diadakan oleh pemerintah. Tapi berdasarkan evaluasi Kemdiknas hingga akhir 2011, tak ada satupun RSBI yang layak menjadi SBI. Itu bisa dibilang RSBI gagal total[4]. Salah satu penyebab kegagalan RSBI menurut Mohamad Ali antara lain adanya mekanisme seleksi yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dan bukan oleh sekolah. Tindakan pemerintah tersebut dinilai merupakan wujud tidak adanya kepercayaan baik dari pemerintah kepada sekolah maupun dari sekolah kepada hasil seleksi. Pemerintah dinilai mencengkram sekolah berstatus RSBI[5].

Ironi yang menyolok adalah ketika Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011 melaporkan nilai rata-rata siswa kelas VIII hanya 386 dan menempati urutan ke 38 dari 42 negara. Di bawah Indonesia ada Suriah, Maroko, Oman dan Ghana. Negara tetangga seperti Malaysia, Singgapura dan Thailand ada di atas Indonesia. Singgapura bahkan ada diperingkat kedua dengan nilai rata-rata 611. Bukan hanya Matematika, hasil Sains tidak kalah mengecewakan. Indonesia berada diurutan ke 40 dari 42 negara dengan nilai rata-rata 406. Di bawah Indonesia ada Maroko dan Ghana. Yang mencengangkan, nilai matematika dan sains kelas VIII Indonesia bahkan berada di bawah Palestina yang negaranya didera konflik berkepanjangan[6].


Jika keberadaan RSBI telah memberikan kontribusi besar untuk mencetak generasi unggul, setidaknya kemampuan anak-anak sekolah yang turut berjuang dalam berbagai event internasional mengalami peningkatan peringkat dan tidak akan berada di bawah Palestina yang dilanda konflik berkepanjangan. Keberadaan sejumlah anak-anak sekolah asal Indonesia yang memenangkan Olympiade Fisika beberapa waktu lalu belum kuat mendongkrak citra dan kompetensi anak-anak kita dalam percaturan persaingan Internasional. Tentu saja peran RSBI yang berjumlah 1300-an dipertanyakan eksistensi dan kualifikasi serta kontribusinya dalam percaturan internasional.

Akar Kemunculan RSBI

Darimanakah asal usul gagasan RSBI? Ada dua persoalan yang melatarbelakangi gagasan RSBI. Pertama, respon pemerintah terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Laporan PERC (Political and Economic Risk Consultant) 2002 menempatkan kualitas pendidikan Indonesia pada urutan 12 dari 12 negara. Analisis TIMSS-R (The Third International Mathematics and Science Study-Repeat) 1999 melaporkan bahwa prestasi IPA dan Matematika siswa SLTP kita berada oada urutan 33 dan 35 dari 38 negara di lima benua yaitu Asia, Australia, Afrika, Amerika, Eropa.

Sebelum pemerintah merespon dalam bentuk produk hukum yang berlaku secara nasional, sekolah-sekolah di Indonesia berusaha melakukan respon dengan membuat sekolah-sekolah unggulan. Prof. Suyanto, Ph.D mengulas, “Banyak sekolah getol menciptakan kelas-kelas unggulan dengan cara melakukan pengelompokkan siswa menurut kemampuan akademiknya. Dari program ini, siswa dikelompokkan ke berbagai kelas menjadi kelas superbaik, amat baik, baik, sedang, kurang, sampai ke kelas gombal[7]. Dan Prof. Suyanto, Ph.D. telah lama mengingatkan dan mengritik dampak negatif klasifikasi demikian dengan mengatakan, “Praktek pengelompokkan siswa seperti iyu harus segera diakhiri, karena secara psikologis menimbulkan stigmatisasi pada diri siswa yang ada di kelas jelek (kelas gombal). Dampak selanjutnya, mereka akan memiliki budaya inferior. Dipihak lain, pengelompokkan juga akan menimbulkan sikap arogansi, elitisme dan ekslusivisme pada siswa yang kebetulan ada di kelas superbaik[8]. Dalam perkembangannya, Pemerintah kemudian merumuskan sebuah produk sekolah yang diharuskan memenuhi sejumlah kualifikasi international melalui UU Siskidnas No 20/2003 Pasal 50 ayat 3, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional


Kedua, bentuk perimbangan pemerintah terhadap keberadaan sekolah swasta yang menerapkan model sekolah unggulan. Tahun 1980-an muncul SMA Taruna Nusantara di Magelang yang mengkhususkan lulusannya untuk menjadi pemimpin bangsa dengan keharuskan masuk sekolah bukan hanya mendasarkan pada NEM (Nilai Ebtanas Murni). Tahun 1990-an muncul Sekolah Pelita Harapan di Lippo Karawaci Tanggerang dan Sekolah Global di Jakarta. Para pengajarnya bukan hanya dari dalam negeri melainkan dari luar negeri. Bahasa pengantar pelajaran dalam bahasa Inggris. Uang sekolahnya sangat tinggi. Fasilitas belajar dan bermain serta berekreasi yang sinergis. Darmaningtas memberikan analisisnya, “Kehadiran lembaga pendidikan seperti Pelita Harapan yang diselenggarakan oleh swasta itu seakan memicu sikap pemerintah untuk turut mengembangkan pendidikan yang dikelolanya agar mampu melahirkan bibit-bibit unggulan dalam pendidikan. Untuk itu kemudian dilahirkanlah konsep sekolah unggulan[9]. Keberadaan sekolah-sekolah unggulan digawangi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djodjonegoro dalam rangka peningkatan mutu SMS agar mencapai standar tertentu[10]. Sejak itulah bertebaran sekolah-sekolah unggulan yang kemudian mengerucut pada tahun 2000-an menjadi sekolah RSBI.

Menakar Manfaat Keberadaan RSBI

Pertama, dari aspek kognitif (penalaran) berupa pemahaman dan keluasan pengetahuan, keberadaan RSBI tentu memberikan kontribusi yang tidak bisa diabaikan. Dengan sejumlah fasilitas penunjang di kelas seperti ruangan ber-AC, penggunaan multimedia sebagai sarana belajar dan mengajar, laboratorium yang lengkap, bahasa Inggris sebagai pengantar dll. Dengan model pembelajaran yang menekankan aspek kognitif dan rasional, sangat membantu mengeluarkan peserta didik dalam mewarisi alam pikir Mistis yang masih mendominasi dalam pemikiran dan praktik hidup keseharian masyarakat kita. Namun dari aspek afektif (perasaan), berbagai program pendidikan dalam RSBI belum menyentuh aspek-aspek menyeluruh kemanusiaan yang bukan hanya mahluk rasional dan pembelajar melainkan juga mahluk sosial.

Bagaimana kepekaan sosial akan terbentuk jika sekolah-sekolah berlabel RSBI mengelompokkan sejumlah siswa secara homogen berdasarkan kemampuan kognitifnya belaka? Orang-orang yang tergolong pandai hanya berkumpul dengan orang pandai. Bagaimana kepekaan sosial akan terbentuk jika sekolah-sekolah berlabel RSBI mengelompokkan sejumlah siswa secara homogen berdasarkan status sosial belaka? Orang-orang yang berkemampuan ekonomi cukup tinggi berkumpul dan berinteraksi dengan sesamanya yang berkelas sosial sama.

Keragaman keheterogenan dalam kelas (kemampuan kognitif dan status sosial) justru menimbulkan interaksi yang dapat menciptakan saling mengerti dan saling menolong. Sebagaimana pendapat Prof. Suyanto, “Dengan pembagian kelas secara heterogen dan acak, siswa akan belajar memahami perbedaan satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupannya. Dari segi akademik, siswa yang cepat belajar dapat dikondisikan agar bersedia dan terdorong membantu siswa lain yang lamban belajar. Dari sini akan muncul kebiasaan tolong-menolong sesama siswa. Dalam konteks tolong menolong itu akan berkembang budaya saling percaya setelah mereka memiliki sikap toleransi satu sama lain....Jika sejak awal siswa kita dikotak-kotakkan sesuai kemampuan akademiknya, niscaya sikap dan budaya positip seperti empati, toleransi, demokratis, mau mengakui keunggulan orang lain, mau menerima kelemahan orang lain seperti apa adanya, mau melihat dan hidup dalam keberbedaan kultural dan sebagainya tidak akan dapat dikembangkan seiring dengan proses pembelajaran itu sendiri di sekolah[11].

Apalagi saat ini dunia pendidikan masih dibingungkan dengan rencana pemerintah untuk melakukan perubahan dalam Kurikulum 2013 dimana akan ada pengitegrasian beberapa mata pelajaran seperti IPA dan IPS. Salah satu alasan pemangkasan dan pengintegrasian tersebut adalah mengurangi beban pelajaran pada peserta didik sebagaimana diungkapkan Wakil Presiden Boediono tahun lalu[12].

Oleh karenanya beberapa guru dan pemerhati pendidikan mulai memberikan masukkan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan di dunia pendidikan untuk juga memperhatikan keberadaan kurikulum dalam menciptakan siswa yang bukan saja pandai dan terdidik secara kognitif melainkan memiliki kepekaan sosial dan tanggap terhadap berbagai perubahan.

Ada yang mengusulkan pendidikan karakter seharusnya mendapatkan porsi yang berimbang dalam kurikulum sekolah. Pendidikan karakter bisa dimasukkan dalam mata pelajaran Agama. Dahulu ada mata pelajaran Budi Pekerti. Pendidikan karakter bukan hanya sekedar bersifat informatif dan kognitif melainkan bersifat praktis dan aplikatif dalam kegiatan nyata.Haidar Bagir mengatakan, “Pentingnya pengorientasian pendidikan karakter dan nilai moral kepada ranah afektif dan psikomotorik menuntut pelibatan secara praktis dan langsung peserta didik ke dalam berbagai kegiatan. Misalnya, kegiatan penyantunan anggota masyarakat yang membutuhkan uliuran tangan mereka, aktivitas kongkret pelestarian lingkungan, dialog-dialog dan kegiatan bersama dengan berbagai unsur masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda serta berbagai kegiatan lain yang melatih pengembangan semangat cinta kasih dan pengorbanan[13].

Bahkan ada yang mengusulkan pemangkasan sejumlah mata pelajaran karena dinilai tidak memiliki tujuan dan relevansi yang jelas seperti pelajaran Penjaskes serta Kesenian dan memasukkannya bukan dalam mata pelajaran wajib melainkan ekstrakulikuler[14].

Kedua, dari aspek pembiayaan peserta didik. Masih terlihat di sejumlah sekolah berlabel RSBI pembelanjaan anggaran keuangan yang tinggi yang dipungut dari peserta didik belum mendapatkan penyaluran yang efektif dan produktif. Pembiayaan tinggi yang dipungut dari orang tua murid terkadang hanya diwujudkan pada bentuk-bentuk pembangunan fisik belaka berupa pembangunan gedung sekolah, pembangunan pagar. Belum terlihat bangunan sekolah atau pagar mengalami kerusakan berarti, kemudian dirobohkan dan diperbarui baik dari bentuk dan warnanya. Akan lebih baik jika pembiayaan peserta didik yang tinggi tersebut dipergunakan untuk kebutuhan pengembangan keilmuan yang bermanfaat untuk peserta didik.

Haruskah RSBI Bubar?

Konsekwensi logis keputusan Mahkamah Konstitusi tentu saja pembubaran sekolah berstatus RSBI. Keputusan MK adalah keputusan hukum dan mengikat. Namun bukan berarti seketika itu juga keberadaan RSBI harus dibubarkan. Perlu ada periode transisi untuk mengembalikan dari status RSBI menjadi sekolah reguler. Setidaknya menunggu hingga pergantian tahun ajaran.

Patut diwaspadai bahwa jangan sampai pembubaran RSBI menimbulkan post power sindrome yang menyebabkan masih eksisnya sekolah-sekolah yang memberlakukan ketentuan RSBI dengan jubah baru. Pendidikan adalah hak seluruh masyarakat. Pemilahan pendidikan untuk golongan pandai dan berstatus sosial tinggi yang difasilitasi negara melalui program RSBI, tentu saja mengkhianati amaran konstitusi khususnya pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Amaran Pasal 31 UUD 1945 sangat jelas bahwa pendidikan tidak memilah-milah status ekonomi dan kemampuan seseorang. Negara wajib mendukung pendidikan warga negaranya sebagaimana tertuang selengkapnya sbb:

  1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia[15].
Pola-pola pendidikan semacam RSBI sebaiknya dikerjakan oleh sektor swasta dimana ada kebebasan bagi mereka yang memiliki status sosial tinggi dan memiliki potensi kecerdasan anak untuk mengembangkan dirinya secara khusus. Sementara sekolah yang dibiayai oleh pemerintah tetap mengerjakan tugasnya untuk melakukan pencerdasan secara umum bagi golongan apapun. Persoalan kualitas kecerdasan siswa sekolah-sekolah di bawah pembiayaan pemerintah, perlu dipikirkan dalam bentuk strategi kurukulum dan pemaksimalan dedikasi dan kompetensi serta kreatifitas guru dalam mencerdaskan semua peserta didik.

Kiranya ironi eksistensi RSBI berakhir di sini dan tidak terulang kembali sehingga seluruh masyarakat Indonesia khususnya peserta didik berhak untuk mendapatkan kecerdasan sekalipun kecerdasan mereka di bawah rata-rata dan status sosial ekonomi mereka bukan dari kalangan berkelas.




[1] RSBI Inkonstitusional, Kompas, 9 Januari 2013, hal 1

[2] RSBI Dibubarkan, Suara Merdeka, 9 Januari 2013, hal 1

[3] Op.Cit., RSBI Inkonstitusional
[4] Program RSBI Dinilai Gagal Total, Suara Merdeka, 3 Juli 2012, hal 9

[5] Ibid.,
[6] Elin Driana, Gawat Darurat Pendidikan, 14 Desember 2012, hal 6

[7] Prof. Suyanto, Ph.D., Kelas Unggulan yang Sesat dalam Sistem Sekolah Kita, Kompas, 29 April 2002

[8] Ibid.,

[9] Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press 2004, hal 209

[10] Ibid., hal 200
[11] Op.Cit., Kelas Unggulan yang Sesat dalam Sistem Sekolah Kita,

[12] Kompas, 29 Agustus 2012

[13] Haidar Bagir, Problematika Pendidikan Karakter, Kompas 9 Januari 2012, hal 6

[14] Mohammad Abduhzen, Kerancuan Kurikulum 2013, Kompas 12 Desember 2012, hal 6
[15] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

0 komentar:

Posting Komentar