CRACKING MISQUOTING JESUS (2)
Posted byTanggapan Atas Pemikiran Bart Ehrman
Mengenai Validitas dan Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru
Kritik Atas Pra Paham Bart Ehrman
DR. Craig Evans menggunakan istilah “titik awal yang salah” untuk menggambarkan berbagai pernyataan para teolog Kristen yang menempuh jalan berpikir liberal dan menihilkan nilai kesucian Kitab TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru. Yang dimaksudkan dengan titik awal yang salah adalah sikap berpikir tertentu terhadap Yesus dan kedudukan Kitab Suci yang telah dibentuk dalam lembaga akademis yang mengeluarkan keterlibatan sesuatu yang supranatural di dalamnya.
DR. Craig Evans memberikan contoh beberapa asumsi yang dipercayai oleh para teolog Liberal yang tidak mempercayai kesucian dan otoritas spiritual Yesus dan Kitab Suci bahwa mereka mempercayai empat hal sbb: (1) Yesus itu buta huruf (2) Yesus tidak tertarik terhadap Kitab Suci (3) Yesus tidak tertarik terhadap eskatologi (4) Yesus tidak memandang dirinya adalah Mesias Israel bahkan tidak menganggap dirinya memiliki tabiat Ketuhanan. Terhadap empat pikiran pokok yang menjadi titik awal yang salah, Craig Evans memberikan komentar sbb, “Karena dimulai dari titik awal yang salah, yang sering tidak lebih dari dugaan dan merupakan kesimpulan yang tidak didokumentasikan dan dibukukan, tidak heran jika banyak bahan dalam Injil Perjanjian Baru dipandang tidak autentik dan tidak historis”[1].
Jika Ir. Harold Lolowang, MSc., melihat bahwa pemahaman masa kecil Bart Ehrman dan keluarganya bahwa Kitab Suci hanya bagian dari liturgi sebagai titik berangkat yang salah[2], maka saya melihat bahwa sikap awal Ehrman yang mulai meragukan otoritas dan kesejarahan Kitab Perjanjian Baru yang menjadi pintu masuk baginya untuk membuat klaim-klaim keliru berikutnya. Saat Ehrman meragukan laporan Markus 2:25-26 dan menerima pengakuan Profesor Story yang mengakui kemungkinan Markus membuat kekeliruan dan membuat pernyataan demikian, “Begitu saya membuat pengakuan itu, terbukalah pikiran saya. Karena jika di dalam Markus 2 terdapat satu kesalahan kecil dan remeh, bisa jadi ada kesalahan di bagian-bagian lainnya juga”[3]. Ehrman memulai dengan dengan sebuah titik berangkat yang keliru saat dia mengalami keraguan. Titik berangkat yang keliru itu laporan Markus keliru maka bagian-bagian lain dari naskah Perjanjian Baru pasti mengandung kekeliruan yang sama.
Benarkah Markus 2:25-26 merupakan sebuah kekeliruan? Benarkah Yesus salah mengutip nama Ahimelek menjadi Abyatar anaknya? Mari kita perhatikan kutipan selengkapnya perkataan Yesus sbb, “Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Tuhan waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu -- yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam -- dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya?” Sementara 1 Samuel 21:1-6 melaporkan bahwa bukan Abyatar yang memberikan roti melainkan Ahimelek sebagaimana dikatakan, “Sampailah Daud ke Nob kepada Ahimelekh, imam itu. Dengan gemetar Ahimelekh pergi menemui Daud dan berkata kepadanya: "Mengapa engkau seorang diri dan tidak ada orang bersama-sama dengan engkau?" Jawab Daud kepada imam Ahimelekh: "Raja menugaskan sesuatu kepadaku, katanya kepadaku: Siapa pun juga tidak boleh mengetahui sesuatu dari hal yang kusuruh kepadamu dan yang kutugaskan kepadamu ini. Sebab itu orang-orangku telah kusuruh pergi ke suatu tempat. Maka sekarang, apa yang ada padamu? Berikanlah kepadaku lima roti atau apa pun yang ada." Lalu jawab imam itu kepada Daud: "Tidak ada roti biasa padaku, hanya roti kudus yang ada; asal saja orang-orangmu itu menjaga diri terhadap perempuan." Daud menjawab imam itu, katanya kepadanya: "Memang, kami tidak diperbolehkan bergaul dengan perempuan, seperti sediakala apabila aku maju berperang. Tubuh orang-orangku itu tahir, sekalipun pada perjalanan biasa, apalagi pada hari ini, masing-masing mereka tahir tubuhnya." Lalu imam itu memberikan kepadanya roti kudus itu, karena tidak ada roti di sana kecuali roti sajian; roti itu biasa diangkat orang dari hadapan YHWH, supaya pada hari roti itu diambil, ditaruh lagi roti baru”
Jika memang benar ada kekeliruan yang dilakukan penulis Injil Markus atau bahkan Yesus, mengapa kekeliruan itu begitu menyolok dan dibiarkan tertulis dalam Kitab Suci? Justru dengan Kitab Suci menuliskan bahwa nama Abyatar dan bukan Ahimelekh ini menuntun kita pada kenyataan bahwa ada persoalan yang harus dipecahkan mengapa Yesus mengatakan Abyatar dan bukan Ahimelek, daripada tergesa-gesa menyebutnya sebagai “misquoting Jesus” (kesalahan pengutipan oleh Yesus).
Persoalan Markus 2:26 bukan persoalan baru namun persoalan lama yang sudah menjadi wilayah kajian para ahli Kritik Teks (Textual Criticism). Prof. Daniel Wallace mentabulasikan pemecahan masalah terhadap isu lama dalam ilmu Kritik Teks terkait Markus 2:26 sbb:
- Kesalahan teks sehingga harus dibuang dari daftar ayat
- Penafsiran yang keliru sehingga harus diperbaiki
- Yesus yang keliru (atau Yesus sedang melakukan Midrash)
- Sumber yang dipergunakan Markus (Petrus) keliru
- Markus yang keliru[4]
Terhadap persoalan di atas, DR. Gleason L. Archer Jr dalam bukunya Encyclopedia of Bible Difficulties menjelaskan persoalan tersebut, jauh-jauh hari sebelum Bart Ehrman mempertanyakannya. Beliau menganalisis frasa Yunani epi Abiathar archieireoos bukan “waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar”
Melainkan “pada zaman imam Abyatar”. Alasan beliau, kata Yunani epi mempunyai bermacam arti dan pada konteks ayat ini bermakna masa atau zaman[5]. Yesus tidak mengatakan bahwa yang memberikan roti kepada Daud adalah Abyatar namun Yesus hendak mengatakan bahwa pada zaman imam Abyatar yang menggantikan Ahimelek, Daud pernah menerima pemberian roti kudus dari Ahimelek.
Kasus ini hampir mirip ditemui dalam Matius 27:9 dimana pengutipan nubuat Zakharia dituliskan oleh Matius dengan nama Yeremia. Ada berbagai penjelasan terhadap persoalan tersebut namun naskah Peshitta Aramaik justru tidak menyebutkan keduanya hanya dikatakan dalam bahasa Aramaik byad nabia (menurut nabi).
J. A. Alexander memberikan nasihat terkait berbagai upaya memberikan jawaban atas persoalan Markus 2:26 sbb, “It is best, however, as in all such cases, to leave the discrepancy unsolved rather than to solve it by unnatural and forced constructions. A difficulty may admit of explanation, although we may not be able to explain it, and the multitude of cases in which riddles once esteemed insoluble have since been satisfactorily settled, should encourage us to hope for like results in other cases…”[6] (Namun demikian, ini yang terbaik seperti dalam semua kasus tersebut untuk meninggalkan ketidaksesuaian yang tidak terpecahkan daripada memecahkannya dengan konstruksi yang tidak natural dan dipaksakan. Kesulitan mungkin diakui dalam menjelaskan sekalipun kita mungkin tidak mampu menjelaskannya dan banyak kasus dimana masih menjadi teka teki yang belum terpecahkan secara memuaskan, seharusnyalah mendorong kita untuk berharap mendapatkan hasil seperti pada kasus lainnya)
-----------
[1] Craig A. Evans., Merekayasa Yesus: Membongkar Pemutarbalikkan Injil oleh Ilmuwan Modern, Yogyakarta: Andi Offset 2005, hal 22
[2] Ir. Harold Lolowang, MSc., Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab: Aplogetika Terhadap Misquoting Jesus, Yogyakarta: Andi Offset 2009, hal 29
[3] Misquoting Jesus, Kesalahan Penyalinan dalam Perjanjian Baru: Kisah dibalik Siapa Yang Mengubah Alkitab Dan Apa Alasannya, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama 2006, hal xxiii
[4] Mark 2:26 and the Problem of Abiathar
http://bible.org/article/mark-226-and-problem-abiathar
[5] Op.Cit, Ir. Harold Lolowang, hal 217
[6] Op.Cit., Daniel Wallace, Mark 2:26 and the Problem of Abiathar
0 komentar:
Posting Komentar