Tanggapan Terhadap DR. Ioanes Rahmat
Ioanes Rakhmat dalam artikelnya berjudul Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus yang dimuat KOMPAS pada 5 April 2007 berusaha mengekspos dan memberikan relavansi teologis terhadap penemuan yang di duga merupakan makam Yesus di Talpiot (sebelah selatan Kota Lama Yerusalem) Temuan dan komentar-komentar berkaitan dengan temuan ini semakin meramaiakan kegandrungan orang pada hal-hal yang sensasional yang yang berkaitan dengan historitas Yesus. Sebelumnya telah beredar buku-buku provokatif dan sensasional seperti “The Da Vinci Code” dan “The Gospel of Judas”.
Dari beberapa artikel yang ditulis Ioanes Rakhmat, ada tiga pemikiran dasar yang dapat disimpulkan.
Pertama, Kebangkitan Yesus dari kematian adalah metafor belaka dan bukan realita yang sebenarnya, sebagaimana di katakan, “Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi, maka kebangkian dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah obyektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis PB (Perjanjian Baru, red) sendiri pasti memahami keduannya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi”[1]
Kedua, bahasa penulisan Kitab Suci adalah bahasa iman dan bukan bahasa ilmiah historis, sebagaimana tersirat dari pernyataan, “Yang ditemukan dalam Alkitab bukanlah mukjizat-mukjizat tetapi kisah-kisah tentang mukjizat…kisa-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah dengan mengajukan antara lain pertanyaan berikut: dalam konteks sosial kultural historis dan religius apa kisah itu ditulis; faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah itu; untuk kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah pararel yang dapat ditemukan dlam dunia Greko Romawi; apa tujuan penulisan kisah tentang mukjizat dalam konteks luas dunia Greko-Romawi;….”[2]
Ketiga, dukungan positip terhadap penelitian penemuan makam Talpiot sebagaimana dia nyatakan, “Usaha membuktikan makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth sama sekali bukanlah usaha demirakulisasi, melainkan usaha bidang kajian prosopographis untuk menemukan kecocokkan sejarah antara bukti material arkeologis dan keterangan-keterangan di dalam teks-teks kuno;…jangan mereka dikecam atas nama teologi Kristen apapun ”[3]
Pemikiran bahwa kebangkitan Yesus dari kematian adalah metafor, sebenarnya bukan konsekwensi logis dari hasil temuan makam Talpiot, yang apabila di kemudian hari ternyata terbukti benar sebagai makam keluarga Yesus, sebagaimana dugaan Ioanes Rakhmat. Jauh sebelumnya, cara berpikir yang menyatakan bahwa kebangkitan adalah metafor belaka, merupakan kerangka berpikir sarjana Liberal yang tidak memberi ruang bagi aspek metefisik dalam melakukan pendekatan terhadap teks-teks Kitab Suci. Jauh-jauh hari,penggagas “Teori Demythologisasi”, yaitu Rudolph Bultman pernah menyatakan pemikirannya mengenai hakikat kebangkitan sbb, “Namun bagaimana dengan kebangkitan Mesias? Bukankah ini sepenuhnya mitos? Dalam beberapa kasus, kebangkitan bukanlah peristiwa historis yang harus dimengerti secara demikian. Dapatkah berbicara mengenai kebangkitan Mesias dengan sesuatu yang selain hanya merupakan ekspresi rangkaian dari peristiwa salib?
Dapatkah mengatakan sesuatu selain Yesus mati dikayu salib, bukan sebagai kematian manusia belaka namun sebagai penghakiman Tuhan yang membebaskan dunia, penghakiman sebagaimana perampok yang kehilangan kekuatannya? Tidakkah lebih tepat kebenaran ini diekspresikan dengan pernyataan bahwa seseorang yang disalibkan tidak mati melainkan telah bangkit? Kenyataannya, salib dan kebangkitan adalah satu kesatuan seperti peristiwa kosmis, sebagaimana digambarkan oleh Rasul Paul, “Yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita” (Rm 4:25)… Salib dan kebangkitan adalah suatu kesatuan dalam mana secara bersamaan mereka adalah satu peristiwa kosmis melalui mana dunia dihakimi dan kemungkinan kehidupan yang sejati diciptakan. Namun demikian kebangkitan tidak dapat dipandang sebagai muzizat yang sebenarnya yang mana seseorang merasa aman sehingga meyakinkan orang yang meragukan bahwa salib sesungguhnya adalah memiliki peristiwa kosmis eskatologis…Tentu saja tidak ditolak bahwa kebangkitan Yesus terkadang dipandang oleh Perjanjian Baru sebagai muzizat yang sebenarnya…namun tidak diragukan bahwa perumusan kemudian dari Paul tetap tidak dapat diketahui…Para saksi yang dianggap menjadi saksi bagi Injil Pau, bukanlah fakta mengenai kebangkitan “[4]
Dari kutipan di atas, sangat tidak dapat disangkal bahwa proses berpikir Ioanes Rakhmat berangkat dari pendekatan liberal yang menampik aspek metafisik sebagai bagian dari sejarah penulisan dalam Kitab Suci.
Persoalannya adalah, sejauh manakah validitas pernyataan Ioanes Rakhmat yang mengusung teolog-teolog liberal terdahulu yang menyatakan bahwa kebangkitan adalah metafora? Untuk menjawab hal ini, tentu saja sangat bergantung pada metodologi kita dalam menafsirkan teks-teks dalam Kitab Suci. Rasul Paul mengatakan dalam 1 Korintus 15: 3-8 sbb, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Mesias telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefa dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya”.
Dari kutipan ayat di atas kita mendapati empat kata penting, dalam teks Greek, yaitu apethanen (telah mati), etaphe (telah dikuburkan), egegertai (telah bangkit) dan kata oupthe (menampakkan diri) sebanyak dua kali. Jika kata apethanen (telah mati), etaphe (telah dikuburkan) serta oupthe (menampakkan diri) bersifat riil, lalu apa alasannya mengatakan bahwa kataegegertai [telah bangkit] harus dimaknai sebagai metafor?
Penolakkan fakta bahwa kebangkitan dari kematian adalah realitas historis, lebih didorong oleh sisa-sisa pemikiran teolog liberal Abad XIX yang menolak bahwa fenomena metafisik sebagai hal empirik. Meminjam istilah Deshi Ramadhani, demirakulisasi ”[5]
Yang menarik pada kasus Lazarus yang mati kemudian dibangkitkan dari kematian oleh Yesus, justru Yesus menggunakan bahasa metafor yang kemudian diberi penjelasan oleh penulis Injil Yohanes. Hal ini nampak dari pernyataan dalam Yohanes 11:11 dan 13 sbb, “Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu Ia berkata kepada mereka: "Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya….Tetapi maksud Yesus ialah tertidur dalam arti mati, sedangkan sangka mereka Yesus berkata tentang tertidur dalam arti biasa. Namun ketika Dia membangkitkan Lazarus dari kematian, Dia benar-benar membangkitkan Lazarus dari kematian”
Tidak ada komentar dari penulis Kitab Yohanes bahwa kebangkitan yang dialami Lazarus adalah metafor. Dengan penjelasan di atas, kita mendapati kenyataan bahwa penulis Kitab Injil dapat membedakan mana ungkapan yang metafor dan mana yang literal.
Dengan analogi ini, bagaimana mungkin Rasul Paul memahami kebangkitan Yesus dari kematian sebagai peristiwa metaforis tinimbang historis? Jika memang kebangkitan adalah ungkapan metafor, mengapa di tidak memberikan penjelasan pada pembacanya, sebagaimana layaknya yang dilakukan penulis Injil Yohanes? Kisah penampakkan kepada ratusan orang yang ditemui Yesus paska kebangkutan-Nya mematahkan asumsi bahwa kebangkitan-Nya hanyalah bersifat rohani.
Jika kebangkitan adalah metafor, bagaimana kita menjelaskan kejadian yang di laporkan dalam Lukas 24:1-53? Dalam Lukas 24:12 dikatakan, “Sungguhpun demikian Petrus bangun, lalu cepat-cepat pergi ke kubur itu. Ketika ia menjenguk ke dalam, ia melihat hanya kain kapan saja. Lalu ia pergi, dan ia bertanya dalam hatinya apa yang kiranya telah terjadi.”. Ioanes Rakhmat memberikan penjelasan mengenai ayat ini, “Dari kubur ini, kau keluarga Yesus kemudian memindahkan mayat Yesus ke makam yang permanen yang disediakan para pengikut pergerakan mesianik Yesus yang kini berpusat di Yerusalem. Telah dipindahkannya mayat Yesus ke kubur lain inilah yang menyebabkan kubur pertama itu kosong. Ketika waktunya telahtiba (satu tahun kemudian) tulang belulang Yesus dimasukkan ke dalam osuarium ”[6]. Penjelasan ini dipaksakan dan melemahkan laporan Kitab Suci bahwa Petrus terheran-heran melihat kubur kosong dengan kain kafan terlipat rapih. Jika memang benar mayat telah dipindahkan, siapa yang memindahkan? Tidak mungkin para murid karena para prajurit Romawi menjaga semalaman. Tidak mungkin prajurit Romawi, karena mereka tidak memiliki kepentingan apa-apa. Jika memang ada pemindahan oleh para murid-murid Yesus, seharusnya Petrus mengetahui. Lukas 24:15-16 melaporkan, “Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia”. Bagaimana menjelaskan pertemuan dan percakapan Yesus paska kebangkitan-Nya dengan murid-murid-Nya, jika ini hanya metafor belaka? Ketidakmampuan mereka mengidentifikasi siapa yang berbicara dengan mereka dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi mata rohani mereka.
Lukas 24:30-31 melaporkan, “Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka.”. Bagaimana kita menjelaskan bahwa Yesus bangkit secara metafor, padahal Dia sangat nyata mengambil dan memecah roti serta makan bersama para murid-Nya?
Dari ayat ini kita melihat bahwa Dia memiliki tubuh kebangkitan, terbukti Dia kemudian tidak terlihat (Greek: aphantos) saat para murid menyadari kehadiran-Nya. Lukas 24:36-40 melaporkan, “Dan sementara mereka bercakap-cakap tentang hal-hal itu, Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata kepada mereka: "Damai sejahtera bagi kamu!" Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat roh”
Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan di dalam hati kamu? Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena roh tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku." Sambil berkata demikian, Ia memperlihatkan tangan dan kaki-Nya kepada mereka.”. Jika kebangkitan adalah metafor, bagaimana menjelaskan tuntutan Yesus sendiri ketika Dia meminta para murid-Nya untuk memeriksa lubang di tangan dan kaki-Nya, untuk menampik bahwa diri-Nya bukan roh (Greek: pnemua) karena roh tidak memiliki tulang dan daging?
Dari kajian teks di atas, nampak bahwa pernyataan Ioanes Rakhmat bahwa kebangkitan adalah metafor, tidak memiliki dukungan secara biblikal teologis. Ioanes Rakhmat telah memiliki pra paham yang dipengaruhi pemikiran-pemikiran sejenis Rudolph Bultman, dalam membaca fenomena metafisik dalam Kitab Suci. Penemuan kontroversial makam Talpiot yang belum final hasilnya hanya menjadi trigger (pemicu) untuk memopulerkan gagasan kebangkitan Yesus yang bersifat metafor.
Mengenai anggapan bahwa bahasa Kitab Suci adalah bahasa iman, memang tidak disangkal bahwa Kitab Suci ditulis dengan bahasa iman. Kitab Suci sendiri adalah Firman Tuhan yang tertulis. Siapa yang menulis? Manusia. Berarti ada sifat-sifat kemanusiaan dalam penulisan.
Sifat-sifat kemanusiaan antara lain subyektifitas dan kelemahan teknis penulisan. Persoalannya, adalah sejauh mana kita mendefinisikan arti “subyektifitas” dan “kelemahan teknis penulisan” tersebut. Jika penulis Kitab Kejadian menggunakan istilah “benda-benda penerang” (Ibr:maorot) untuk istilah modern bagi matahari, bulan serta bintang, apakah itu dapat dikategorikan sebuah kesalahan? Jika penulis Kitab Matus melaporkan bahwa Yesus memberi makan 5000 orang, apakah dapat dikatakan keliru karena tidak mungkin mengumpulkan orang sebanyak itu dalam satu hari, karena akan menimbulkan kecurigaan prajurit Romawi? Mengapa kita tidak mempertimbangkan KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) atau semacam “Tabligh Akbar” yang dapat dilaksanakan dengan peserta yang dapat hadir di atas 5000 orang? Yesus tidak sedang mengkotbai orang sebanyak 5000 orang melainkan sedang melakukan mukjizat pada orang sebanyak itu untuk membuktikan karya kemesiasan-Nya. Tidak dipungkiri kita melihat aspek-aspek kemanusiaan dalam penulisan Kitab Suci, sebagaimana nampak dalam surat Rasul Paul yang terkadang menampakkan sikap emosionalnya. Sementara kelemahan-kelemahan teknis dapat ditemukan dalam penyalinan teks yang dilakukan secara manual, mengingat pada waktu itu belum ada mesin cetak seperti sekarang ini. Namun hasil penelitian para ahli membuktikan bahwa kekeliruan penyalinan tidak berpengaruh pada keutuhan pesan dalam Kitab Suci tersebut, sekalipun diperbandingkan dengan teks-teks yang berbeda tahun.
Tidak dikarenakan Kitab Suci dituliskan dengan bahasa iman, lalu kita mengecilkan dan tidak mempercayai begitu saja apa yang diutarakan oleh penulis Kitab Suci. Ketika mereka menuliskan peristiwa-peristiwa adikodrati yang lazim disebut mukjizat (Ibr:niflaot), tidak berarti mereka melebih-lebihkan secara subyektif. Mereka hanya melaporkan apa adanya apa yang ditulis. Tidak adil jika kita melakukan kritik teks penulisan Kitab Suci dengan standard dan tuntutan metodologi modern. Yang diperlukan bagi kita adalah mencari penjelasan-penjelasan yang masuk akan terhadap sejumlah kesulitan yang ditemui dalam teks, entah dalam bentuk kisah mukjizat, perumpamaan, pengajaran, amsal, dll. Daripada menyudutkan sejumlah pernyataan pelik dan kontradiktif dalam Kitab Suci sebagai sebuah kesalahan berdasarkan tuntutan metodologi modern. Ioanes Rakhmat berusaha membedakan “mukjizat” dengan “kisah tentang mukjizat”, seolah keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Tidak ada mukjizat yang nyata diterima oleh pendengarnya jika tidak dihidupkan melalui kisah yang diucapkan atau dituliskan. Mengenai apakah dalam penyampaian lisan atau tertulis ada sesuatu yang dilebih-lebihkan atau hanya bermaksud mengungkapkan gagasan metafor, adalah suatu pra duga yang tidak sehat yang ditujukan pada Kitab Suci. Mengapa Kitab Suci (lebih tepatnya penulis Kitab Suci) diposisikan sebagai tersangka bahwa terdakwa berdasarkan metodologi penelitian kesejarahan modern?
Mengenai ketertarikan Ioanes Rakhmat dalam mengapresiasi penemuan makam Talpiot, sah-sah saja. Kita pun tidak perlu terlalu apriopri dengan penemuan dan hasil penelitian makam Talpiot. Kita pun sedang menantikan hasil penelitian tersebut. Apakah akan merugikan iman Kristen atau sebaliknya, meneguhkannya? Bukankah Mesias pernah berkata, “Jawab-Nya: Aku berkata kepadamu: Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak." [Yokh 19:40]. Buktt- bukti arkeologi akan meneguhkan apa yang dipercayai. Sebaliknya, dia pun dapat menelanjangi Aapa yang dipercayai secara salah. Namun karena kita meyakini bahwa Kitab Suci adalah Firman Tuhan yang tertulis, maka ada, meminjam istilah Daniel Lukas Lukito, suatu “theological commitment”[7] bahwa Kitab Suci memberikan informasi yang benar, meskipun tidak dengan presisi yang sesuai dengan tuntutan metodologi penulisan sejarah modern. Maka ketika kita mendapati fakta bahwa temuan-temuan arkeologi atau naskah-naskah memiliki ketidakcocokkan dengan iformasi yang disajikan Kitab Suci, bukan justru Kitab Suci yang dipersalahkan atau dikorbankan, melainkan diselidiki mengapa sampai ada perbedaan yang membuat tidak match.
Yang terjadi dalam simpulan yang dilakukan Ioanes Rakhmat justru sebaliknya, ketika ilmu pengetahuan memberikan suatu simpulan empiris yang bertolak belakang dengan presisi Kitab Suci, maka presisi Kitab Suci harus dikoreksi atau dipandang dari sudut pandang yang berbeda dari sebelumnya. Kegigihan memberikan penghormatan terhadap penyelidikan makam “yang diduga” milik keluarga Yesus di Talpiot, belum menjamin adanya suatu kejujuran ilmiah di dalamnya. Bisa jadi ada asumsi-asumsi tertentu yang mendorong Ioanes Rakhmat yang sangat bersemangat mempublikasikan hasil penelitian tersebut ke ranah publik Kristiani khususnya. Kita perlu, meminjam istilah Ulil Abshar Abadala yaitu, “membongkar asumsi-asumsi tersembunyi” tersebut [8], apakah demi kejujuran ilmiah atau sekedar mencari pembenaran atas praduga liberalisme terhadap teks-teks Kitab Suci?
[1] KOMPAS, 5 April 2007
[2] KOMPAS, 31 Mei 2007
[3] Ibid.,
[4] New Testament And Mythology, Fortress Press, 1984, p.36-37
[5] Historisasi Makam Kosong Yesus, KOMPAS, 5 Mei 2007
[6] KOMPAS, 5 April 2007
[7] Otoritas Alkitab: INERANSI , dalam Sahabat Gembala, Oktober 1993, hal 9
[8] Membakar Rumah Tuhan, Bandung: PT. Rosda Karya, 1999, hal 14
0 komentar:
Posting Komentar