INTRODUKSI
Rasul Paul adalah tokoh rasul yang kontroversial dan hampir sebagian besar surat-suratnya menjadi fundasi bagi ajaran Gereja Kristen paska kebangkitan Yesus dari kewafatan. DR. C. Groenen OFM mengatakan, “Dari semua tokoh yang tampil dalam Perjanjian Baru dan berperan pada umat Kristen semula Pauluslah yang terbaik kita kenal (menurut ukuran ilmu sejarah). Tokoh itu sebenarnya dikenal dengan lebih baik daripada Yesus sendiri. Selebihnya dalam sejarah Kekristenan selanjutnya Pauluslah yang paling berpengaruh disamping Yesus, paling tidak pada Kekristenan barat sesudah reformasi. Dan baik pengetahuan kita tentang Paulus maupun pengaruhnya berasal dari surat-suratnya yang disimpan oleh umat Kristen sampai dengan hari ini”[1]. Sekalipun saya tidak sepenuhnya dapat menerima pendapat Groenen, namun dari aspek pengaruh dan peletak fundasi teologi Kristen, nampak peran besar rasul Paul melalui sejumlah surat yang disebarluaskan untuk membangun keimanan jemaat Mesias sehingga akhirnya masuk dalam daftar kanon Kitab Perjanjian Baru.
Kita akan melihat sejumlah latar belakang yang berpengaruh dalam seluruh tulisannya, khususnya latar belakang kebangsaan dan pendidikannnya.
Kebangsaan Rasul Paul
Bahwa Paul adalah seorang Yahudi, sungguh amat jelas. Dia menunjuk bahwa dirinya sebagai “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani” (Fil 3:5 dalam naskah Greek New Testament ditulis Ebraios ek Ebraioun dan dalam naskah Peshitta Aramaik ditulis, Ebraiya bar Ebraiya dan dalam Hebrew New Testament ditulis, Ivri ben Ivri. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan dengan Ibrani asli) Sebuah frase yang telah dipahami dalam banyak cara. Beberapa orang menduga bahwa Paul menekankan garis darah asli, yang bermakna bahwa baik ibunya dan ayahnya memiliki garis keturunan yang dapat dilacak. Yang lain mengidentifikasikan Paul sebagai seseorang yang menampakkan semangat terhadap Torah.
Apakah sesungguhnya yang dimaksud oleh Paul, ketika dia menyebut dirinya sebagai “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani?” marilah kita melihat lebih dekat mengenai susunan data diri singkat Paul dalam Filipi 3:5, untuk melihat petunjuk yang memungkinkan membuka pemahaman tentangnya. Pertama-tama kita melihat bahwa frase “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, merupakan kata terakhir dalam daftar dari empat kata yang berkaitan sbb: “Disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Yishrael, suku Benyamin, orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”
J.B. Lightfoot mencatat secara menarik, bahwa daftar tersebut merupakan susunan mendaki[2]. Dengan mengatakan, “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, pada bagian akhir, berfungsi sebagai kesimpulan yang menarik perhatian kepada susunan daftar secara keseluruhan. Komponen yang satu dengan yang lain dihubungkan kepada komponen yang terdahulu. Fakta bahwa telah disunatkan pada hari kedelapan, menunjukkan bahwa orang tuanya adalah orang yang mentaati perintah Torah, namun tidak menutup kemungkinan bahwa mereka adalah seorang yang mengikut agama Yudaisme, semenjak kaum proselit (orang non Yahudi yang mengikut agama Yudaisme) juga menyunatkan anak-anak mereka. Kemudian Paul menambahkan, “dari Bangsa Yishrael”, yang mana dia hendak menegaskan garis keturunan dari orang tua asli, bukan seorang proselit. Meskipun dari kaum Yishrael, dapat saja mereka berasal dari suku yang tidak taat, sehingga Paul menyatakan diri sebagai, “dari suku Benyamin”. Meskipun mereka yang garis keturunannya tidak tertuduh dan diterima dari suku yang ternama, namun terkadang tergoda oleh pengaruh Helenis (cat. penerjemah: faham Yunanisasi disegala bidang, baik kebudayaan, kehidupan sosial, politik dan keagamaan) di lingkungan tempat tinggal mereka, kemudian meniru baik bahasa maupun kebiasaan dari kebudayaan orang-orang Yunani Romawi. Dengan Paul menjelaskan sebagai “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, dia menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang mempertahankan bahasa dan kebudayaan Ibrani, salah seorang yang tidak menerima pengaruh Helenis pada saat itu[3].
Dengan demikian, patut diduga bahwa frasa “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, digunakan oleh Paul untuk mengidentifikasikan dirinya dan keluarganya sebagai seorang yang bergaya hidup Yahudi dengan taat, seseorang yang tetap mempertahankan bahasa Ibrani atau Aramaik sebagai bahasa ibu, dimana Torah memainkan peranan penting dalam iman dan kehidupan secara umum[4].
Pendidikan Rasul Paul
Di dalam Kisah Rasul 22:3 ditegaskan bahwa rasul Paul, “dibesarkan di kota ini”, yaitu di Yerusalem dan “telah dididik di bawah kaki Gamaliel”. Kalimat ini menunjukkan ekspresi umum di Israel kuno bagi para murid “yang duduk di bawah kaki” Sang Guru, sebuah frase yang menggambarkan baik pelajaran yang diterima secara realita badani namun juga berhubungan dengan sikap hormat terhadap guru yang mengajar. Kita baca dalam misnah Avot 1:4 sbb: “Yose ben Yoezer berkata: Biarlah rumahmu menjadi rumah pertemuan bagi kaum bijaksana dan merendahkan dirinya untuk ditutupi oleh debu kakinya dan minum dalam kata-kata dengan rasa haus”
Gambaran ditutupi oleh debu kaki kaum bijaksana, menggambarkan seseorang yang duduk di lantai sementara mereka yang mengajar, duduk di kursi. Ketika Paul menunjukan bahwa dia “telah dididik di bawah kaki Gamaliel”, dia sedang mempergunakan istilah umum bagi hubungan di antara pengajar dan pelajar di dalam komunitas Yahudi pada Abad I Ms[5].
Apa yang menjadi makna sesungguhnya, ketika Paul menyatakan dirinya telah “dibesarkan di kota ini”, yaitu Yerusalem? Kata kerja yang diterjemahkan dengan “dibesarkan” (ανατεθραμμενος, anatrepomenos), dapat bermakna “pertumbuhan” baik secara fisik maupun kerohanian. Dalam Injil, kata-kata tersebut menggambarkan anak yang sedang tumbuh52 dan kata itu nampaknya masuk akal dipergunakan dalam menerangkan proses kedewasaan Paul. Demikianlah menurut perkataan Paul, bahwa dirinya tidak bertumbuh dewasa di Tarsus, meskipun kota ini adalah tempat kelahirannya. Sebaliknya, dia bertumbuh dewasa di Yerusalem, dididik oleh Gamaliel yang terkemuka.
Berapa lama kita perkirakan ketika Paul memutuskan tinggal di Yerusalem? Berdasarkan Misnah Avot 5:21, pembacaan Kitab Suci dimulai pada usia lima tahun, sementara pada usia sepuluh tahun dipersiapkan untuk mempelajari Torah Lisan (Misnah)[6].
James L. Crenshaw, dalam buku Education in Ancient Israel mengatakan bahwa pendidikan Paul sebagai anak muda dimulai dengan pelajaran alef-bet dalam bahasa Ibrani, menggunakan Torah sebagai yang utama, baik untuk huruf maupun membaca. Dia juga nampaknya telah diawali dengan Shema dan kemudian berkembang untuk memahami liturgi, yaitu doa-doa yang kemudian dikenal dengan sebutan Shemonei Esrei (Delapan Belas Berkat), bersama pula dengan berkat-berkat yang diucapkan saat makan[7]
Dia akan menghafal doa-doa ini sebagaimana bagian-bagian lain dari Torah, belajar membaca dan menuliskan huruf Ibrani dan Aramaik. Jika dia belajar di ruang kelas, maka patut diduga tidak akan lebih dari 25 siswa. Entahkah di ruangan kelas atau pada kaki pengajarnya, Sha’ul muda telah mempelajari keahlian dasar yang diperlukan untuk membaca dan mempelajari Torah dan mengikuti jenjang pendidikan berikutnya, yaitu Torah Lisan. Torah Lisan, sebelum ditetapkan sebagai Misnah, termasuk dunianya para kaum bijaksana. Untuk mempelajari Torah Lisan, diperlukan seorang pembimbing, seseorang yang dipercaya sebagai Khakam “orang bijak” atau kaum bijaksana dan kita mengetahui bahwa bagi Paul, orang tersebut adalah Gamaliel.[8]
Nama Gamaliel telah dikenal dengan baik dalam sejarah kaum bijaksana Yahudi. Kakeknya bernama Hillel, adalah pemimpin Sanhendrin bersama saingannya yaitu Shammai. Hillel dan Shamai merupakan Zugot atau ‘pasangan” yang melengkapi kepemimpinan ganda yang diperlukan oleh Sanhendrin. Setelah Shammai dan Hillel, Sanhedrin hanya dipimpin oleh kaum bijaksana secara tunggal yang disebut dengan Nasi (pemimpin). Ketika Hillel wafat, kedudukan Nasi Sanhedrin dilimpahkan epada Simeon, anaknya.
Tim Hegg dalam buku The Letter Writer mengulas beberapa pengaruh besar Gamaliel terhadap rasul Paul sbb: Pertama, Gamaliel dikenal karena sikap lunaknya terhadap beberapa hukum dalam rangka menyediakan hak-hak rakyat yang kurang beruntung. Contoh, dikarenakan zaman itu merupakan suatu keadaan yang tidak menyenagkan bagi kaum Yahudi, dan laki-laki dikarenakan kehilangan nyawanya oleh pedang orang-orang Romawi, maka jumlah para janda di kalangan Yahudi bertambah dengan cepat. Gamaliel menetapkan bahwa perceraian yang sah bagi kaum wanita yang suaminya dianggap hilang di medan perang, hanya memerlukan satu saksi saja, daripada dua saksi sebagaimana yang ditetapkan secara tradisional (Misnah Yevamot 16:7). Dengan perubahan ini, maka “birokrasi” telah dikurangi bagi kaum janda untuk menikah lagi dan menerima perlindungan dari suami barunya.
Dengan nada yang sama, Gamaliel memperbanyak jarak yang dapat di tempuh pada hari Sabat dan mengijinkan kebebasan yang luas bagi para bidan dan para pelayan publik lainnya dalam melaksanakan kewajibannya pada hari Sabat (Mishnah Shekalim 3.6). Dia juga memperkenalkan aturan-aturan lain mengenai perceraian yang bertujuan meringankan beban hukum dan melindungi kaum yang lemah dan tidak terpelajar(Berakhot Ketubot 10b). Salah satu contoh, dia menetapkan persetujuannya terhadap seorang wanita yang mengakui keperawanannya meskipun suaminya mempertanyakan pernyataan istrinya. Di atas semuanya, ketetapan Sanhedrinnya ditandai dengan keringanan secara umum dari beban halakhah untuk melindungi kebutuhan nyata komunitasnya.
Kedua, Talmud menyimpan tiga “surat rasuli” yang dikirim Gamaliel kepada “saudara kita di Galilea Atas dan di Galilea Bawah”, dan “saudara kita di Selatan Atas dan di Selatan Bawah” dan “saudara kita di pembuangan Babilon, di pembuangan Media dan di tempat pembuangan Bangsa Israel lainnya”. “Surat-surat rasuli” tersebut ditujukan kepada Yohanan, yang duduk di kalangan kaum Bijaksana, yang berlokasi di Bukit Bait Suci (Berakhot Sanhedrin 11b; Tosefta, San 2:6;y. Sanhedrin 1:2, 18 d) dan terdiri dari peringatan-peringatan mengenai waktu untuk mengumpulkan persepuluhan dan informasi mengenai lompatan tahun. Metode surat-surat di atas menjelaskan mengapa Paul mengadopsi “surat-surat rasuli” tersebut, sebagai rasul Yesus.
Ketiga, dalam Kitab Para rasul, kita mendapatkan gambaran mengenai Gamaliel sebagai seorang yang toleran terhadap para pengikut Yesus. Ketika Lukas melaporkan bagi kita mengenai keputusan Sanhedrin mengenai pelarangan pewartaan kepada publik mengenai Kemesiasan Yesus, dia juga terlibat dalam peristiwa di mana Petrus dan rasul-rasul ditangkap dan dibawa ke hadapan sidang. Ketika kelompok tersebut hendak dibinasakan, Gamaliel melarang dengan mengatakan: “Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Tuhan kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Tuhan." Dan nasihat tersebut diikuti semua orang (Kis Ras 5:38-39).
Keempat, sebuah catatan penting mengenai siswa-siswa Rabban Gamaliel, tercatat dalam Talmud. Setelah mendiskusikan mengenai alasan mengapa seorang ayah melarang anaknya untuk megajarkan bahasa Yunani, pertanyaan yang berkaitan disampaikan sbb: “Apakah filsafat Yunani di larang? Sesungguhnya Rabi Yahudah menyatakan bahwa Samuel berkata atas nama Rabban Simeon ben Gamaliel, mengenai makna yang dituliskan ini: Apakah mataku merusak jiwaku apakah disebabkan oleh karena anak-anak perempuan di kotaku? Ada ribuan murid-murid di rumah ayahku; lima ratus orang belajar Torah dan lima ratus orang belajar kebijaksanaan Yunani dan di sini masih tersisa hanya aku dan anak dari saudara ayahku di Asia! Itu berbeda dengan rumah tangga Rabban Gamaliel dikarenakan mereka berhubungan dengan dengan pemerintahan” (Berakhot Sotah 49b)
Jika frasa “rumah tangga Rabban Gamaliel” menunjuk kepada rumah tangga Gamaliel, yang lebih tua yaitu guru dari rasul Paul, maka kita memperoleh petunjuk mengenai Paul yang nampak begitu menguasai filsafat Yunani. Meskipun ada pernyataan argumen yang mengecilkan pelajaran Yunani dan filsafat Yunani, namun patut diketahui bahwa mereka yang bekerja pada pemerintahan Romawi diperlukan kelancaran dalam bahasa Yunani dan diperlukan untuk memahami untuk mengerti pandangan dunia kebudayaan Yunani. Paul terindikasi sebagai orang yang terdidil dalam tulisan-tulisan Filsafat Yunani.
Sebagai contoh, dalam Kisah Rasul 17, ketika Paul terlibat pembicaraan dengan para ahli filsafat di Arepagus, ini adalah bukti bahwa dia sangat menyadari filsafat Stoa dan Epikuros bahkan dia juga mengutip ahli filsafat lokal bernama Aratus (Kisa 17:28). Dalam suratnya kepad Titus (1:12) dia mengutip ahli Filsafat Kreta bernama Epimenides dan sekali lagi dalam 1 Korintus 15:33, dia mengutip filsuf Meander seorang penulis Athena mengenai filsafat dan etik.
Banyak orang menduga bahwa Paul mengembangkan pengetahuan filsafat dan kebudayaan Yunani, disebabkan dia telah mempelajarinya di kota Tarsus yang terkenal sebagai universitas yang baik dalam hal itu. Tarsus juga termasuk pusat kehidupan intelektual selama Abad 1 Ms. Menurut seorang ahli geographi bernama Strabo: “…orang Tarsus pada Abad 1 Ms adalah siswa-siswa yang tekun dalam hal filsafat, seni yang bebas dan keseluruhan ensiklopedia mengenai pelajaran; sungguh tepat bahwa derajatnya melampaui baik Athena dan Alexandria sebagai pusat kebudayaan dan belajar…”[9]
Tim Hegg melanjutkan penjelasannya, “Jika laporan mengenai Rabban gamaliel yang mengajar siswa-siswanya pelajaran bahasa dan filsafat Yunani dapat dipercayai, maka ada kemungkinan bahwa Paul telah belajar tulisan-tulisan Yunani di bawah pengawasan pembimbingnya! Bahwa Gamaliel adalah seorang Nasi (pemimpin) Sanhedrin, sesungguhnya menempatkan dia dalam kondisi kerja dengan pemerintahan Romawi dan itu memerlukan bagi dia dan siswa-siswanya, memiliki pengetahuan dan bahasa Yunani.[10]. Sejauh mana akurasi data bahwa rasul Paul sangat paham dan mempelajari filsafat Yunani, masih menjadi perdebatan. Kiranya data yang disampaikan Tim Hegg di atas dapat memberikan sedikit alternatif jawaban dan gambaran walaupun belum seutuhnya.
Melihat status pendidikan rasul Paul di atas, maka kita bisa mengukur bahwa rasul Paul sangat terdidik dalam penguasaan bahasa Ibrani/Aramaik dan Torah serta berbagai keilmuan lainnya. Tidak mengherankan bahwa beliau cukup produktif membuat dan mengirimkan berbagai surat penggembalaan kepada jemaat-jemaat yang dia dirikan.
Surat-suratnya dalam dan terkadang tidak mudah dimengerti. Rasul Petrus memberikan peringatan sbb: "...seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain" (2 Petrus 3:15-16).
Oleh karena itu kita akan mengupas secara singkat dua persoalan yang kerap dituduhkan kepada rasul Paul yaitu sebagai “pendusta” dan “perombak Torah”. Benarkah kedua tuduhan tersebut? Kita akan mengkajinya satu persatu.
BENARKAH RASUL PAUL PENDUSTA?
Kajian Terhadap 2 Korintus 12:16 dan Filipi 1:18 serta Roma 3:7
Mengenai 2 Korintus 12:16
Kita harus baca secara utuh dari ayat 14 sbb: “Sesungguhnya sekarang sudah untuk ketiga kalinya aku siap untuk mengunjungi kamu, dan aku tidak akan merupakan suatu beban bagi kamu. Sebab bukan hartamu yang kucari, melainkan kamu sendiri. Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk anak-anaknya. Karena itu aku suka mengorbankan milikku, bahkan mengorbankan diriku untuk kamu. Jadi jika aku sangat mengasihi kamu, masakan aku semakin kurang dikasihi? Baiklah, aku sendiri tidak merupakan suatu beban bagi kamu, tetapi--kamu katakan--dalam kelicikanku aku telah menjerat kamu dengan tipu daya”