SEBUAH UPAYA DE-MITOLOGISASI
Mengapa saya menggunakan istilah “mitos yang berkembang di dunia akademik”? Karena berbagai pernyataan para teolog banyak didasarkan pada asumsi yang mengatasnamakan “keilmiahan”, “obyektifitas”, namun sebenarnya memiliki sejumlah kecacataan metodologis.
Kecacatan metodologis yang dimaksud karena dipengaruhi Teologi Liberal dalammemahami status pengilhaman Kitab Suci. Anggapan-anggapaan tadi diturunkan dan dipercayai serta dilembagakan dalam berbagai literatur serta dipercaya sebagai otoritas yang sudah definit. Jika pada seminar di Auditorium Duta Wacana, Yogyakarta (20 Oktober 2004), saya mengusulkan Re-definisi terhadap penggunaan nama Allah. Maka saat ini saya menghimbau bahwa kita harus berani melakukan proses De-Mitologisasi terhadap pemahaman yang keliru diseputar nama Yahweh dan Allah (Seminar di Universitas Kristen Indonesia, 20 November 2004).
Beberapa mitos akademik yang populer diseputar nama Yahweh dan Allah adalah, sbb:
Mitos 1, Nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan. Setelah masa pembuangan dari babilon, nama Yahweh dilarang diucapkan secara lisan. Pada tahun 70 Ms, sekte Farisi melarang penggunaan nama Yahweh. Menurut halakha, nama itu “tersembunyi” [b.Pes 50a], “tetap dirahasiakan” (b.Kidd.71ª)[1]
Mitos 2, Nama Yahweh tidak dapat diucapkan. DR. Daud Soesilo mengatakan, “namun tak seorangpun yang tahu bagaimana melafalkannya…setelah masa pembuangan Israel di Babilonia(538 sM), ucapan nama YHWH yang sesungguhnya tidak diketahui lagi”[2]. Demikian pula DR. Tom Yakob, “…Bagaimana keempat huruf itu (YHWH) diucapkan atau apa huruf hidupnya, tidak ada orang yang tahu”[3]
Mitos 3, Penggunaan nama Yahweh berarti kembali pada pola Perjanjian Lama. Samin Sitohang memberikan ulasan, “Jika umat kristen mempertahanan YHWH sebagai nama Sang Pencipta yang kekal dan bukan YHWH-Menyelamatkan maka kita sedang kembali ke dalam alam Perjanjian Lama”[4]
Mitos 4, Oleh kehendak Roh Kudus, nama Yahweh telah diganti menjadi Kurios. DR. Josias Lengkong,MTh., menyatakan dalam makalahnya, “Roh Kudus Yang maha Bijaksana telah menuntun dan menetapkan bahwa dalam kepentingan misi dunia dan dalam kaitan dengan penyebaran Injil secara global, maka bukan bahasa Ibrani lagi yang dipakai untuk menjadi naskah asli Perjanjian Baru, melainkan bahasa Yunani. Dengan demikian para penulis Perjanjian Baru diilhami (diberi inspirasi) untuk menerjemahkan nama Yahweh dengan Kyrios; kemudia El dan Elohim dengan Theos”[5]
Mitos 4, Nama Yahweh berasal dari adopsi nama dewa di luar Israel. Ada yang beranggapan bahwa nama Yahweh berasal dari suku Keni, ada yang mengganggap dari Mesir dan ada yang mengganggap sebagai pahlawan Ilahi dari Kanaan[6]
Mitos 5, Istilah El merupakan nama dewa Kanaan yang diadopsi Israel. I.J. Satyabudi menjelaskan, “Kata El ini memiliki asal-usul kata dari nama diri Ilahi suku bangsa Kanaan”[7]
Mitos 6, Nama Allah cognate dengan istilah El, Eloah, Elohim. Bambang Noorsena mengatakan, “Kata Allah berasal dari akar kata Ibrani El, Eloah dan Elohim”[8]
Nama Allah berasal dari kontraksi Al dan Ilah. Kembali Bambang Noorsena menegaskan, “Nama Allah merupakan gabungan dari Al dan Ilah. Al adalah definit article (the) dan Ilah (God)adalah istilah lain bagi Tuhan (God). Allah artinya, “Tuhan itu”[9]
Demitologisasi Pemahaman
Diseputar Nama Yahweh dan Allah
Bagi saya, upaya De-mitologisasi, bukan hanya memberikan “interpretasi baru” sebagaimana tesis Bultman, melainkan meminjam istilah Ulil Abshar Abdala – “membongkar asumsi-asumsi tersembunyi”[10] – dibalik setiap mitos-mitos akademik yang mengelilingi nama Yahweh dan Allah. Asumsi umum yang berlaku dalam mitos-mitos akademik tersebut adalah, “Tuhan tidak mempunyai nama”. Nama Tuhan yang beragam adalah penamaan yang dilakukan manusia terhadap Realitas Absolut yang dijumpainya dalam kehidupan religiusnya.
Asumsi demikian tidak memiliki landasan scriptural yang kokoh. Exegesa Keluaran Pasal 3:13-15, meruntuhkan asumsi apapun yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak punya nama. Kitab Kejadian sampai Wahyu, selalu menghubungkan perbuatan ajaib Tuhan atas umat-Nya, melalui nama-Nya. Berikut tanggapan penulis terhadap beberapa mitos akademis yang telah dipaparkan sebelumnya.
Mengatakaan bahwa nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan, merupakan mis-interpretsi terhadap Keluaran 20:7 yang memerintahkan, “lo tisha et shem Yahweh la shawe”. Ayat ini tidak memaksudkan bahwa kita tidak boleh sama sekali memanggil nama Yahweh, melainkan berhati-hati dan menggunakan nama itu bukan untuk melegalisasi perilaku yang jahat. Firman Tuhan menegaskan, “ho du la Yahweh yiqru bishemo” artinya, “Bersyukurlah kepada Yahweh, panggilah nama-Nya” (1 Taw 16:8). Umat-umat Tuhan dalam zaman pra Mesias, memanggil secara langsung nama Yahweh dalam doa seperti Elia (1 Taw 18:36), Daud (2 Sam 22:2), Salomo (1 Raj 3:7), dll. Bahkan Kitab Suci Perjanjian Baru Semitik yang lebih tua dari naskah Yunani seperti Shem Tov, Du Tillet, Ccrawford dan Munster, yang dikompilasi oleh DR. James Trimm dalam the hebraic Root version New Testament, menuliskan nama diri Yahweh sebanyak 210 kali dibeberapa ayat[11]
Tidak masuk akal jika nama Yahweh tidak dapat diucapkan. Jika setiap huruf dalam bahasa Ibrani yang tertulis dalam kitab Suci dapat diucapkan dan dituliskan, mengapa nama Yahweh tidak bisa diucapkan. Kitab Kejadian 1:1 tertulis, “brsht br lhm t h shmym w t h rts”, orang Yahudi dan para ahli bahasa akan langsung mengucapkan, “bersehit bara Elohim et ha shamaym we et ha arets”. Namun mengapa dalam Keluaran 3:15, YHWH lh vtkm” menjadi “Adonai Elohe Avotekem?” Justru varian penyebutan nama YHWH menjadi “Iabe”, “Iaove”, “Ian”, “Yau”, “Jehovah”, “Yahuweh”, “Yahweh”, memberikan indikasi pada kita bahwa nama YHWH dapat diucapkan, dapat dibunyikan dan perlu diselidiki dengan mendalam akurasi pelafalannya. Seruan “Halelu-Yah”, memberikan indikasi kuat bahwa pelafalannya adalah Yahweh.
Menyimpulkan bahwa menggunakan dan memanggil nama Yahweh adalah kembali ke alam Perjanjian Lama, menyiratkan “asumsi tersembunyi” bahwa Torah bersifat sementara. Jika Torah bersifat sementara fungsinya, maka segala apapun yang berhubungan dengan Perjanjian Lama adalah sementara dan akan digantikan oleh Perjanjian Baru. Namun Yahshua menegaskan makna kedatanganNya, yaitu bukan untuk meniadakan Torah, melainkan untuk memenuhkan arti Torah (Mat 5:17-20). Pengaruh Marcionisme yang mempertentangkan eksistensi Torah dan Perjanjian Baru, berpengaruh pula terhadap penggunaan nama Yahweh. Jika nama itu akan menjadi nama satu-satu-Nya di bumi (Zak 14:9), dimana tertera di dahi pengikut Putra-Nya (Why 14:1), bagaimana mungkin kita menyimpulkan bahwa nama Yahweh adalah sebuah masa lalu yang harus ditinggalkan?
Menyimpulkan bahwa Roh Kudus mengilhami para murid untuk mengganti nama Yahweh menjadi Kurios, adalah pemahaman yang over simplicity. Bagaimana mungkin Roh Kudus yang adalah Roh Yahweh sendiri (Yoh 15:26) yang mengilhami para nabi bernubuat bahwa segala bangsa akan sujud dan memanggil nama Yahweh (Mzm 22:29-32), serentak mengilhami untuk mengganti menjadi Kurios? Bagaimana mungkin Tuhan inkonsisten dengan perintah-Nya? Perubahan nama Yahweh menjadi Kurios, bukan merupakan pengilhaman Roh Kudus namun pengaruh tradisi Yudaisme paska babilon yang melarang penggunaan nama Yahweh secara langsung. Tradisi Yudaisme ini diperluas dengan menerjemahkan TaNaKh dalam bahasa Yunani dengan menerjemahkan Adonai menjadiKurios. Naskah Perjanjian Baru berbahasa Yunani merujuk kebiasaan ini, sehingga nama Yahweh diganti Kurios dalam Perjanjian Baru. Namun naskah semitik Perjanjian Baru tetap melestarikan nama Yahweh sebanyak 210 kali dan tersebar diseluruh ayat Perjanjian baru. DR. james Trimm telah menerbitkan The Hebraic Root Version New Testament, pada tahun 2001, yaitu penerjemahan naskah Ibrani-Aramaik Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris.
Anggapan bahwa nama Yahweh merupakan nama dewa di luar Israel yang diadopsi oleh Israel, merupakan “mitos akademik” yang telah mengakar kuat karena pengaruh teori “Hipotesa Dokumenter” dari Jean Astruc, J.G. Eichorn, K.H. Graff, Wellhausen[12]. teori-teori diatas menyediakan jalan bagi asumsi yang lebih jauh, bahwa nama Yahweh adalah dewa impor. Bagaimana mungkin Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta mengikat perjanjian dengan Israel untuk memberitakan perbuatan-Nya yang ajaib serta mengutus Mesias bagi Israel dan dunia, adalah Tuhan yang meminjam nama dewa bangsa lain? Sungguh memalukan dan tidak masuk akal! Yang Maha Kuasa telah mengidentifikasi nama diri-Nya sebagai Yahweh (Kel 3:15, Yes 42:8), Tuhan yang tidak memiliki persamaan dengan yang lainnya (Yes 45:21), Tuhan yang mengatasi segala yang dipertuhan (Ul 10:17). Bagaimana mungkin bahwa nama pribadi-Nya adalah nama hasil adopsi? Teori diatas memiliki asumsi tersembunyi yang dilandasi teori-teori liberalistik terhadap Kitab Suci. Arkeologi belum membuktikan bahwa ada patung dewa Yahweh yang disembah bangsa di luar Israel.
Istilah El, merupakan istilah bersama di dunia semitik kuno dengan bermacam variannya seperti Ilah (Arab), Ilum dan Ilanu (Akkadian), Elah [Aram]. El, bukanlah nama dewa tertentu, meskipun bangsa Kanaan kuno memahami El sebagai kepala Pantheon yang memiliki putra Baal. Telah terjadi pemahaman bersama di dunia semitik kuno dan terjadi proses sinkretisme terhadap El, secara sporadis dibeberapa wilayah yang cenderung paganistik. Meminjam istilah Prof. Raviy Siregar, “tidak ada paradigma keilmuan yang memastikan bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah karena terjadi saling pengaruh atau karena plagiat”[13]. Asumsi tersembunyi dibalik argumentasi bahwa El adalah nama dewa Kanaan yang diadopsi Israel, adalah pengaruh teori “evolusi agama” yang dikenakan dalam sejarah Israel.
Jika benar bahwa Allah adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa pada kasus “Al” dan “Ilmu”, tidak menjadi “Almu?” Atau “Al” dan “Ilham”, tidak menjadi “Alham?” Pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah bentukan dari “Al” dan “Ilah” adalah salah satu dari sekian banyak teori mengenai akar kata Allah yang masih debatable. Jadi bukan satu-satunya harga mati. Allah adalah bentuk tunggal (mufrad). Ini memberikan indikasi nama diri. Sementara “Ilah”, dapat dibuat jamak menjadi “Alihah”. Sebagaimana dalam terminologi Ibrani, istilah “Eloah” dapat dibuat jamak menjadi “Elohim”. Setiap nama diri, selalu berbentuk tunggal, al., Yahweh, Yahshua, Yokhanan, Adam, Abraham, dll. Demikian dengan nama Allah, tidak ada bentuk jamak dari Allah[14]
Kesimpulan
Mitos-mitos yang berkembang dalam dunia akademik teologi, dipengaruhi oleh asumsi tertentu. Upaya de-mitologisasi, bukan hanya membuang mitos-mitos tersebut atau memberikan interpretasi baru terhadap realitas yang telah diteliti, namun juga membongkar asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik setiap teori-teori yang mengatasnamakan akademik dan ilmiah. Argumentasi yang dikemukakan untuk melemahkan relevansi penggunaan nama Yahweh dimasa kini, tidak lebih hanya mitos-mitos akademik saja.
Karenanya, perlu dilakukan De-mitologisasi dan Re-definisi secara sinergis serta terpadu., dengan melibatkan kuasa Roh Kudus, pengkajian teologi yang mendalam, pengkajian gramatikal yang akurat serta penguasaan perkembangan sejarah dan arkeologi kontemporer. Darimana dan siapa yang harus memulai strategi De-mitologisasi dan Re-definisi? Siapapun yang telah mengalami pencerahan terhadap kebenaran nama suci ini. Tulisan ini merupakan salah satu upaya dalam memberikan landasan epistemologis dan teologis, sehingga setiap orang dapat memperoleh rambu-rambu untuk mengambil keputusan serta pencerahan.
---------------
[1] DR. J. Trimm, Nazarenes & the Name of YHWH
[2] Seminar Alkitab: Satu Alkitab Beragam Terjemahan, 2004, hal 1
[3] UBS Asia Pasific Translation Services, hal 2
[4] Siapakah Nama Sang Pencipta? Bandung: kalam Hidup 2003, hal 62
[5] Kontroversi Diseputar Nama Allah: Seminar di Hotel Indonesia, 25 Agustus 2000
[6] Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 126-127
[7] Kontroversi Nama Allah, Jakarta, Wacana Press, 2004, hal 79
[8] Menjawab Hujatan Para Penentang Allah, BAHANA, November 2000, hal 14
[9] Mengenai Kata Allah, Malang, IFSCS, 2001, hal 9
[10] Membakar Rumah Tuhan, Bandung PT. Rosda Karya, 1999, hal 14
[11] Teguh Hindarto, Bahasa Tuhan, Yogyakarta, ANDI Offset, 2004, hal 46-47
[12] J.D. Douglas, Ensiklopedi Masa Kini, Jil I, Yayasan Bina Kasih, OMF, 1994, hal 230-232
[13] Sufisme: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal 31-21
[14] Teguh Hindarto, STh., Kritik & Jawab Terhadap Efraim Bambang Noorsena, SH., BAHANA, No 09, 2001, hal 13
1 komentar:
Waah, terima kasih banyak, pak. Beberapa hari yang lalu saya pernah membicarakan perihal EL dan ALLAH dengan seorang teman di FB.
http://m.facebook.com/story.php?story_fbid=377867812271862&id=100001459406566&_ft_=fbid.327463040662475
Ooh, iya pak, ini ada penjelasan dari Bambang Noorsena mengenai ALLAH.
http://www.sarapanpagi.org/dari-kata-allah-hingga-lam-yalid-wa-lam-yulad-vt740.html
Posting Komentar