RSS Feed

DIBALIK TEROR DAN PENEMBAKKAN POLISI: UPAYA DELEGITIMASI EKSISTENSI NEGARA

Posted by Teguh Hindarto




Sepanjang 2013 telah terjadi teror penembakkan misterius yang memakan korban pada pihak aparat. Berikut sejumlah korban penembakkan tersebut:

  1. Serangan di Pos Polisi Tasikmalaya, Senin 13 Mei 2013. Pos polisi dilempar bom rakitan. Satu polisi terluka. Sementara, 1 teroris ditembak mati dan 1 lainnya ditangkap
  2. Briptu Ratijo, anggota Pos Polisi Bunut Polsek Sragi, ditembak orang tak dikenal di Simpang Tanggul, Desa Bunut, Kecamatan Seragi, Lampung Selatan, Kamis (4/7/2013) pukul 18.30. Ratijo ditembak setelah melakukan pengejaran terhadap sekelompok orang mencurigakan dari Desa Belanga, Kecamatan Sragi, menuju Desa Bunut.
  3. Bripka Didik Puguh, anggota Polsek Kota Kediri ditembak dua orang bandit saat berada di perempatan Ngronggo, Kota Kediri, Bripka Didik Puguh, anggota Polsek Kota Kediri ditembak dua orang bandit saat berada di perempatan Ngronggo, Kota Kediri.
  4. Aipda Patah Saktiyono (53 tahun), ditembak orang tak dikenal pada Sabtu (27/7/2013). Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 04.30 di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan. Setelah ditembak, Patah masih berusaha mengendarai kendaraannya 200 meter sampai di sebuah masjid. Dia lalu ditolong orang-orang yang berada di sekitar itu.
  5. Aiptu Dwiatno, anggota satuan Pembinaan Masyarakat (Binmas) Polsek Metro Cilandak, ditembak di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (7/8/2013). Korban tewas di tempat.
  6. Bripka Maulana dan Aipda Kus Hendratma, ditembak di  Jalan Graha Raya Pondok Aren,Tangerang, Jumat (16/8/2013) pukul 21.30. Keduanya tewas dengan luka tembak di kepala.
  7. Bripka Sukardi ditembak dan tewas di lokasi kejadian di depan gedung KPK, Selasa (10/9/2013) pukul 22.20 WIB. Bripka Sukardi ditembak dengan tiga tembakan yang mengenai dada dan perut
  8. Briptu Ruslan Kusuma ditembak orang tidak dikenal di Perumahan Bhakti ABRI, Depok sesaat setelah mencuci motornya. Motor korban Kawasai Ninja 250 cc diambil penembak
  9. Peledakkan bom low explosive terjadi di Polsek Genuk, Jalan Raya Kaligawe, Semarang pada hari Senin lalu (16/9)


Sepanjang Tahun 2012, kepolisian pun kerap mendapatkan teror al.,

  1. Penyerangan Mapolsek Hamparan Perak pada Rabu 22 September 2010, dini hari. Penyerangan dilakukan oleh kelompok teroris menggunakan senjata api. Akibat kejadian, tiga polisi tewas diterjang peluru yang dilepaskan oleh kawanan teroris.
  2. Terjadi serangan bom bunuh diri di Mapolres Cirebon, Jawa Barat, Jumat 15 April 2011. Pelakunya adalah Muhammad Syarif Astana Gharif. Pelaku meledakkan bom di Masjid Adzikra yang berada di dalam Kompleks Mapolres Cirebon. Bom diledakkan saat Salat Jumat akan dimulai. Syarif tewas mengenaskan dengan isi perut terburai. Sementara sejumlah orang yang ikut Salat Jumat di dalam masjid itu terluka.
  3. Serangan di Pos pengamanan Lebaran, Gemblengan, Solo Jumat 17 Agustus 2012. Pos Pam ditembaki oleh orang tak dikenal. Akibatnya, 2 polisi mengalami luka tembak.
  4. Serangan di Pos pengamanan Gladak, Solo, 18 Agustus 2012. Pos Polisi Gladak dilempari granat oleh orang tak dikenal.
  5. Serangan di Pos Polisi Singosaren, Solo, Jawa Tengah. Bripka Dwi Data Subekti yang sedang bertugas tewas tertembak. Densus 88 pun berhasil menembak mati 2 terduga teroris yang diduga melakukan rentetan serangan pos polisi di Solo.


Untuk kasus teror penembakkan aparat kepolisian, sampai hari ini polisi belum berhasil mengungkap motif dan melakukan penanggkapan terhadap para pelaku teror, meskipun beberapa foto diduga pelaku teror penembakkan telah diberitakan melalui media televisi dan media cetak.

Siapa Dalang dan Apa Motif Penembakkan?

Apakah motif sebenarnya dibalik teror dan penembakkan terhadap aparat kepolisian? Belum ada kata sepakat mengenai motif sebenarnya pelaku teror tersebut. Semua masih menduga-duga. Setidaknya ada beberapa teori dan dugaan motif dibalik teror dan penempakkan tersebut. Pertama, balas dendam dan serangan balik yang dilakukan oleh teroris. Kedua, balas dendam oleh pelaku kriminal. Ketiga, balas dendam oleh pihak-pihak yang dirugikan kepentingannya (koruptor, mafia narkoba). Keempat, tindakan kriminal biasa. Kelima, persaingan bisnis jasa pengamanan antara kepolisian dan militer.

Jika motif dan pelaku penembakkan hanyalah alasan kriminal biasa, tidak mungkin dilakukan dengan sebuah pola yang luar biasa. Jika motif dan pelaku penembakkan adalah balas dendam oleh pihak-pihak yang dirugikan kepentingannya, seharusnya mereka menyasar KPK. Jika motif dan pelaku penembakkan adalah balas dendam pelaku kriminal, darimana dan atas alasan apa mereka telah melakukan kegiatan teror dengan melibatkan penggunaan alat peledak dan dilakukan secara terserak sejak tahun 2012? Motif persaingan bisnis jasa pengamanan antara kepolisian dan militer pun bisa dibilang lemah mengingat peristiwa sepanjang tahun 2012 tidak memberikan indikasi terararh yang signifikan atas  dugaan tersebut.

Motif dan pelaku yang paling kuat diduga sebagai otak tindakan teror dan penembakkan terhadap polisi adalah kelompok teroris dengan motif balas dendam. Maklum saja sejak 13 tahun sudah 840 teroris ditangkap dan 60 mati ditembak, sebagaimana pernah diungkapkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai[1]. Pengamat terorisme, yang juga direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones mengatakan,"Aksi penembakan polisi baru-baru ini mungkin tak sekadar bermotif aksi balas dendam, atau qisas tapi bisa juga lebih dari itu.  Aksi penembakan beruntun para polisi, misalnya, mengingatkan orang pada model “gerilya kotaGaya serangan itu pernah dipakai oleh kelompok teror Carlos Marighella di Brasil, beberapa dekade lalu "[2]. Apa bukti dan petunjuk yang mengarah kepada dugaan pelaku utama adalah kelompok teroris. Pertama, akses kemudahan senjata dan bahan peledak. Kedua, jenis peluruh kaliber 9,9 meter yang biasa dipakai pistol jenis FN. Ketiga, modus operandi yang sama dari pelaku kejahatan yaitu penembakkan yang efisien dan peledakkan bom.

Pergeseran Strategi dan Modus Operandi

Sejak tahun 2012, kelompok teroris melakukan perubahan strategi penyerangan dan target operasi. Jika sebelumnya adalah obyek-obyek vital negara dan simbol-simbol ekonomi serta tempat hiburan negara Barat, maka target serangan saat ini adalah markas-markas kepolisian dan akhirnya aparat kepolisian secara personal.

Prayitno Ramelan menguraikan analisisnya mengenai pergeseran target penyerangan sbb: “Dari beberapa serangan teror baik pengeboman maupun penembakan, yang terbaca, target serangan telah mengalami beberapa perubahan. Dari semua serangan, ada yang mereka hindari, yaitu target publik/masyarakat. Tempat berkumpulnya masyarakat (mall misalnya) mereka hindari, itulah faktanya. Mereka selama ini hanya menyerang target spesifik, seperti bom Bali, disimpulkan  targetnya orang asing (AS, Australia dan lainnya), JW Marriott juga target simbol AS, Kedubes Australia jelas khas. Kemudian Pengeboman masjid Polres Cirebon adalah targetnya polisi, Gereja Bethel Solo adalah khas gereja, beberapa pos polisi dan anggota yang mereka bunuh  jelas target spesifik polisi”[3]



Dampak Penembakkan Terhadap Kepolisian dan Masyarakat

Serangan sistemik dan sporadik ini memberikan sinyalemen kepada kita bahwa kelompok teroris berada dimana-mana dengan kemampuan yang terlatih. Apa pesan yang hendak disampaikan oleh kelompok teroris ini?Pertama, menurunkan mental penegak hukum agar tidak melakukan penindakan terhadap kelompok teroris.Kedua, serangan balasan atas tindakan masif yang dilakukan oleh Densus 88. Karena kelompok teroris tidak mudah mendapatkan anggota Densus 88, maka mereka mengalihkan pada aparat yang mudah ditemui di lapangan yaitu aparat kepolisian. Kita masih ingat ancaman dan tantangan yang ditujukan pelaku teroris bernama Santoso terhadap Densus 88 oleh pelaku teroris beberapa bulan lalu yang diunggah di jejaring media sosial, You Tube[4]. Ketiga, menciptakan rasa takut diantara masyarakat. Jika anggota kepolisian dengan mudah dicari dan dibunuh dimana saja, bagaimana dengan masyarakat?

Sinyalemen kepanikkan dan keresahan aparat kepolisian terbaca saat Kapolri memerintahkan agar anggota kepolisian tidak mengenakan seragam jika pulang dinas dan saat berdinas menggenakan pakaian seragam agar dilengkapi rompi anti peluru.

Efektifitas strategi kelompok teroris ini dianalisis oleh Prayitno Ramelan sbb: “Jadi kelompok teroris ini menghindari  konflik langsung dengan masyarakat, menghindari dijadikan musuh bersama oleh masyarakat. Wilayah medan tempur mereka hanya dengan polisi. Entah karena dendam ataupun memang dirancang, mereka menyasar polisi, menurunkan kredibilitasnya dan kini lebih menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi, itulah yang bisa  disimpulkan. Gangguan keamanan terjadi, tetapi mereka masih bisa bersembunyi di ruang masyarakat. Kalau polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat sendiri sudah khawatir terhadap keamanan dirinya, bagaimana dengan keamanan masyarakat?”[5]. Senada dengan analisis di atas, Ferry Santoso dalam ulasannya mendeskripsikan, “Jika serangan teroris berupa merampok dan membunuh terus dilakukan, dalam jangka panjang muncul  rasa takut masyarakat yang semakin luas. Kepercayaan masyarakat terhadap negara sebagai pelidung rakyat pun melamah. Negara menjadi terdelegitimasi”[6]

Komentar dan Penilaian Yang Melemahkan Moral Aparat dan Membesarkan Mental Teroris

Sejumlah tekanan dan kritik ditujukan kepada Densus 88 al., bertindak berlebihan dan sewenang-wenang dalam menangani teroris. Pernyataan mengejutkan dan sangat disayangkan dilontarkan oleh Musni Umar (Sosiolog) pada acara diskusi Jakarta Lawyer’s Club, 17 September 2013 saat mengatakan, “Penembakkan polisi adalah hukum karma. Inilah akibat yang dilakukan Densus terhadap pelaku teroris”[7]. Ketua MUI K.H. Amidhan memberikan pernyataan saat konferensi pers hasil rapat kerja nasional MUI di TWIN Plaza Hotel, “Melihat sebagian penangganan terorisme oleh Densus 88 sangat berlebihan, arogansi kekuasaan dan tidak jarang bertentangan dengan prinsip-prinsip penegakkan hukum. Densus 88 terkadang langsung melakukan tembak mati terhadap terduga teroris yang tidak melakukan perlawanan”[8]

Komentar-komentar di atas tidak bisa dibaca sebagai wujud keprihatinan dan kritik internal belaka terhadap kinerja aparat kepolosian khususnya Densus 88. Pernyataan-pernyataan di atas sungguh sangat melemahkan mental dan moral aparat penegak keamanan yang mengambil risiko kehilangan nyawanya saat melakukan penumpasan terhadap aksi-aksi terorisme. Tentu ada pelanggaran-pelanggaran di lapangan oleh petugas. Namun kecaman-kecaman belaka terhadap aktivitas Densus 88 justru menjadikan angin segar bagi kelompok teroris untuk membangun citra sebagai kelompok yang terdzolimi dan mempersempit gerak langkah Densus 88. Apalagi kecaman seperti dilontarkan Musni Umar ditengah keprihatinan penembakkan sejumlah polisi yang sedang bertugas, sungguh tidak membangun.

Kita tidak boleh melupakan bahwa terorisme adalah aksi kejahatan luar biasa yang menuntut penindakan yang luar biasa pula. Apa jadinya nasib aparat kita jika pelaku terorisme yang terlatih dan bersenjata mematikan (senapan dan bahan peledak) dihadapi dengan cara-cara biasa? Semua langkah-langkah Densus 88 tentu sudah memiliki payung hukum berupa undang-undang. Isyu HAM tidak tepat dipakai dalam proses penindakkan terhadap pelaku terorisme. Isyu HAM bisa menjadi alat pukul baru yang melemahkan kinerja aparat keamanan, dalam hal ini Densus 88 untuk menindak tegas pelaku terorisme.

Sinergi Kepolisian dan Militer

Penanganan aksi terorisme transnasional dan jejaring lokalnya di Indonesia tidak bisa hanya menjadi tugas dan tanggung jawab kepolisian khususnya Densus 88. Jaringan teroris semakin komplek dan mereka terus menerus melakukan multiplikasi sel dan jaringan. Pelaku-pelaku muda dan remaja yang tertangkap dan tewas ditembak aparat atau kedapatan tewas karena bom bunuh diri, memberikan indikasi bahwa sel-sel generasi muda sedang menjadi target dan mereka dengan mudahnya direkrut dengan iming-iming pahala dan surga.

Aparat kepolisian sudah saatnya melakukan kerjasama sinergis dengan institusi militer khususnya dalam informasi intelejen agar mendapatkan informasi yang komprehensif. Kekuatan teroris saat ini bukan hanya berbasis di gunung-gunung terpencil. Mereka sudah menyebar di kota dan desa secara sporadis. Masih segar dalam ingatan kita peristiwa penumpasan aksi terorisme sepanjang tanggal 7-8 Mei 2013 lalu di Margaasih (Bandung), Batang (Semarang) serta Kutowinangun (Kebumen) menyentak kesadaran kita bersama bahwa terorisme telah melebarkan sayap sampai ke daerah-daerah. Jika 2007 lalu, Polda Jateng merilis berita ada 10 wilayah di Jateng menjadi daerah perekrutan teroris[9], nampaknya wilayah perekrutan dan wilayah sebar aksi terorisme sudah menyebar baik di Sumut, Aceh, Lampung, Jabar, Jateng, Sulteng, Kaltim, NTB[10]. Sebaran aksi terorisme yang semakin meluas ini menuntut metodologi baru dalam penanganan dan melibatkan kekuatan institusi selain kepolisian.

Awal pemerintahan Orde Baru kerap melibatkan kekuatan militer untuk melakukan penumpasan-penumpasan gerakan separatis dan pengacau keamanan bahkan untuk mengurangi angka kriminalitas yang tinggi yang kerap dihubungkan dengan aksi-aksi premanisme. Tindakan sinergi kepolisian dan militer terbukti efektif meredam sejumlah aksi-aksi separatisme dan tindakan kriminalitas, sekalipun sejumlah analis melihat tindakan pelibatan militer dalam tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan kepolisian sebagai pengerdilan tugas dan peran kepolisian karena kepolisian di bawah struktur ABRI[11]. Bukan tidak mungkin wacana demikian perlu digelindingkan kembali di masyarakat demi terciptanya kondisi keamanan yang kondusif. Apalah artinya isyu HAM dikedepankan jika isyu HAM justru melemahkan kekuatan penjaga negara dan keamanan masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan keresahan dan kondisi tidak aman di masyarakat?

Membangun Kesadaran Masyarakat Menjadikan Terorisme Sebagai Musuh Bersama

Aktifitas terorisme mencederai nilai-nilai agama, merusak kohesi sosial, menciptakan ketakutan, dan yang lebih berbahaya adalah menimbulkan kegelisahan ekonomi (economic unrest) karena orang takut berinvestasi di sebuah wilayah yang dilanda terorisme. Dengan menyadarkan pada fakta-fakta tersebut di atas, diharapkan masyarakat menjadi sadar akan bahaya terorisme, bukan hanya bagi kelompok tertentu yang disasar kelompok teroris (kepentingan Barat dan sekutunya sebagai lawan) namun bagi masyarakat secara keseluruhan. Bukankah berbagai tragedi peledakkan bom seperti di J.W. Marriot dan Ritz Carlton di Jakarta serta tempat wisata di Bali beberapa tahun lalu bukan hanya memakan korban yang menjadi target teroris namun juga masyarakat Indonesia yang tidak ada hubungannya dengan sasaran kebencian mereka[12].

Pemerintah sendiri kurang gencar melakukan siaran publik melalui iklan-iklan televisi dan media cetak yang bersifat himbauan dan pencegahan agar masyarakat terhindar dari bahaya indoktrinasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang berniat melakukan makar terhadap negara dengan mengatasnamakan agama yang bermuara pada tindakan terorisme. Selayaknya pemerintah lebih gencar melakukan social marketing untuk melakukan pencegahan terhadap aksi terorisme dan menanamkan pengertian bahwa terorisme adalah musuh bersama.

Kiranya pemerintah dan aparat kepolisian dapat menumpas kegiatan dan aksi sistemik kelompok teroris yang bertujuan mendelegitimasi eksistensi dan otoritas negara melalui berbagai modus dan strategi, mulai dari teror bom, konflik SARA, teror kepada orang asing bahkan yang saat ini mengarah kepada aparat kepolisian.



END NOTES

[1] Prayitno Ramelan, Perseteruan Polisi dan Teroris Semakin Meruncing
http://ramalanintelijen.net/?p=7204


[2] Nanung Rain, Pesan Dalam Teror Penembakkan Polisi
http://braindonesia.blogspot.com/2013/08/pesan-dalam-teror-penembakan-polisi.html


[3] Prayitno Ramelan, Efek Taktis dan Strategis Dari Aksis Teror Terhadap Polisi
http://ramalanintelijen.net/?p=7223


[4] http://www.youtube.com/watch?v=Cj2woSSloQ4


[5] Ibid.,


[6] Ferry Santoso, Eksistensi Negara Dipertaruhkan, Kompas, 22 september 2010, hal 5


[7] Jakarta Lawyer’s Club, TV One, 17 September 2013

[8] MUI Tuding Densus Berlebihan, Kebumen Ekspres, 16 September 2013, hal 2


[9] 10 Daerah Jadi Sasaran Teroris, Koran Sindo, 14 November 2007


[10] Op.Cit., Eksistensi Negara Dipertaruhkan


[11] Polri Dalam Pusaran Sejarah Politik Kekuasaan (Bagian 2)
http://polmas.wordpress.com/author/polmas/page/7/

[12] Teguh Hindarto, Terorisme: Problem Ideologis

0 komentar:

Posting Komentar