TANGGAPAN ATAS ARTIKEL ARKHIMANDRIT RM. DANIEL BYANTORO
AJARAN ALKITAB MENGENAI HARI SABBAT
https://www.facebook.com/notes/komunitas-orthodox-indonesia-gregorius-palamas/ajaran-alkitab-mengenai-hari-sabbat/463163017051314
Arkhimandrit Rm. Daniel Byantoro :
Perikop di atas merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dilepaskan, sehingga ketentuan tentang hari Sabbat jelas merupakan kesatuan dengan ketentuan Tahun Sabbat. Tiga hari raya dan korban-korban yang menyertainya. Merayakan Sabbat berarti bukan hanya “Hari” Sabbat, namun juga “Tahun” Sabbat, dan beserta itu merayakan perayaan-perayaan tiga lainnya yang diserta dengan pranata korban menyertainya. Maka mengambil Sabbatnya saja, melupakan konteks kesatuan perikop sebagai yang sama-sama diberikan oleh Allah adalah merupakan pemerkosaan kebenaran. Penjelasan lebih rinci bagaimana seharusnya Sabbat itu harus dirayakan dan dalam konteks apa Sabbat itu dirayakan dapat kita lihat dalam Imamat 23.
Imamat 23:2 : “… hari-hari raya yang ditetapkan TUHAN yang harus kamu maklumkan… adalah yang berikut. Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada Sabbat…” Selanjutnya perikop pasal ini memberikan rincian dari hari-hari raya dengan tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah apa yang sudah disebut dalam Keluaran 23 di atas, hari Raya Roti tak beragi, dimana syarat pelaksanaannya sama dengan Sabbat yaitu “janganlah kamu melakukan sessuatu pekerjaan berat” (Im.23:8), yang ini menunjukkan perluasan makna Sabbat dalam kehidupan sosial keagamaan Israel. Demikian juga hari raya Pengumpulan hasil dan hari raya Buah Bungaran, dihitung dalam kaitannya dengan Sabbat (Imamat 23:11,15) dan juga dalam kaitannya untuk tidak melakukan pekerjaan berat (Im 23:25. Semuanya ini menunjukkan bahwa Sabbat itu menjadi dasar dari semua hari raya Israel dan sistim kehidupan bangsa itu. Serta Sabbat itu tidak dibatasi pada hari ketujuh secara terisolasi namun juga terkait dengan perayaan-perayaan Israel lainnya yang disertai syarat korban yang harus dipenuhi, dimana setiap perayaan hari raya itu memiliki cirri Sabbat: Tahun Sabat, Tujuh Sabat (Minggu Sabat), serta Ini Sabat (tidak bekerja).
Demikianlah Alkitab telah memberikan peraturannya sendiri bagaimana Sabbat itu harus dilaksanakan dan dalam konteks yang bagaimana itu harus dilaksanakan. Jika dalam Hukum Sepuluh hanya disebut mengenai “Hari Sabat” saja, itu disebabkan hukum sepuluh hanya menunjukkan garis pokok ketentuan hukumnya saja, sedangkan rinciannya disebut ditempat lain seperti yang telah kita bahas di atas, sama seperti menghormati bapa-ibu itu diperluas dengan menghormati semua otoritas yang ada di atas kita: pemimpin, guru, tua-tua, pemerintah dan sebagainya. Jadi sungguh tak masuk akal jika kita hanya mengambil hukum menghormati ayah-ibu lalu menolak ketetapan mentaati pemerintah sebagai perluasan makna hukum dasar tadi.
Demikian pula dengan Sabat ini. Mengambil hari Sabtunya saja, lalu mengabaikan segenap rincian ketentuannya dengan segala konteks dan kaitannya seperti yang jelaskan oleh Kitab Suci sendiri, adalah merupakan tindak sewenang-wenang terhadap nats kitab suci. Jika Sabbat harus diikuti maka semua ketentuannya harus tidak boleh diabaikan. Melakukan ini berarti kita harus menjalankan seluruh hukum Perjanjian lama tanpa pilih-pilih, yang berarti ita harus jadi Yahudi. Itulah konsekwensinya jika kita mau taat terhadap ketentuan Sabbat yang utuh, konsekwen dan sempurna.
----------------
Judeochristian:
Sebagaimana Yesus dan rasulnya tetap beribadah pada hari Sabat (Luk 4:16, Kis 13:14,27,42,44) demikianlah seharusnya umat Kristen yang memelihara ajaran lisan Yesus dan ajaran lisan dan tertulis dari rasul-rasul (2 Tes 2:15) seharusnya tetap memelihara Sabat.
Namun demikian, kita merujuk pada tulisan Rasul Paul dalam Kolose 1:15-16 sbb: “Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Mesias”. Ayat ini bukan larangan agar orang Kristen melaksanakan perayaan yang ditetapkan oleh YHWH di Sinai (Sabat) namun perihal larangan agar jemaat Mesias non Yahudi jangan membiarkan diri mereka dihakimi oleh beberapa kelompok mazhab Yahudi yang menekankan praktek legalistik dalam pelaksanaan Torah yang dipaksakan terhadap jemaat non Yahudi sebagaimana DR. David Stern menjelaskan sbb: “But here it appears that Gentile Judaizers, perhaps like those in Corinth who put themselves ‘in subjection to a legalistic perversion of the Torah (1 C 9:20b&N), have set up arbitrary rules (Shaul brings examples at v.21) about when and how to eat and drink, in order to ‘take ...captive’(v.8) their fellow Collosian” (Namun di sini nampaknya orang-orang non Yahudi yang di yahudisasi, seperti di Korintus yang meletakkan pada diri mereka dalam ketaatan kepada pelaksanaan Torah yang legalistik (1 Kor 9:20) harus membebaskan diri dari aturan-aturan dangkal (Shaul memberikan contoh pada ayat 21) mengenai kapan dan bagaimana makan dan minum agar menjadikan... tawanan, Jewish New Testament Commentary, Clarksville: JNTP 1992, P.610)
Umat Kristen tidak terikat untuk mematuhi fatwa rabinik dalam Yudaisme yang dikompilasikan dalam Talmud terkait bagaimana merayakan Sabat. Sepanjang tradisi itu bernilai (seperti penyalaan lilin, birkat Sabat, makan roti dan anggur Sabat, tidak menjadi masalah). Namun ketentuan mengikat dan membebani seperti tidak boleh berjalan sekian kilometer, tidak boleh membawa jarum dll tentu saja tidak perlu menjadi ketentuan yang mengikat.
Kita tidak bisa melepaskan Sabat hanya memfokuskan pada perluasan maknanya belaka. Makna Sabat hanya dapat dimengerti dengan baik dengan cara meletakannya dalam kedudukannya dalam pilar ibadah Perjanjian Baru dan pilar ibadah orang Kristen. Dengan kata lain, makna Sabat hanya dapat dihayati dengan cara kita beribadah pada hari Sabat.
Arkhimandrit Rm. Daniel Byantoro :
Masih berbicara masalah sikap Yesus, thesis Taurat bahwa Sabat itu dilakukan karena Allah berhenti bekerja pada hari ketujuh (Kejadian 2:2-3, Keluaran 20:11) itu ditolak oleh Yesus dan dijungkirbalikkan dengan pernyataannya: “BapakKu bekerja sampai sekarang” (Yohanes 5:17) sebagai koreksi atas pernyataan “Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan” (Kejadian 2:2-3). Pernyataan Kejadian 2:2-3 itu hanya boleh dimengerti berdasarkan ajaran Yesus, bahwa bukanlah Allah yang berhenti bekerja, namun alam semesta ini telah selesai diciptakan, Allah sendiri tak henti-hentinya sampai sekarang, memelihara, menghidupi, menopang, membimbing, mencipta manusia baru yaitu bayi-bayi dan lain-lain. Jadi memang tidak pernah ada saatnya Allah itu berhenti bekerja, dahulupun tidak, sekarangpun tidak, pada hari ketujuhpun tidak. Maka Sabat itu diperintahkan bukan karena memang betul ada perhentian pada Allah seolah-olah Dia itu manusia yang perlu istirahat. Mahasuci Allah dari sifat-sifat kelemahan seperti itu. Maka jika para pengikut faham Sabbatisme atau hari ketujuhisme ini hendak merujuk pada “perhentian” kerja Allah, harap diingat bahwa Allah tak pernah berhenti bekerja, yang berhenti adalah selesainya pekerjaan penciptaan.
---------------
Frasa, “thesis Torat” yang dikonfrontirkan dengan frasa “ditolak Yesus” memberikan kesan dan pemahaman bias yang selama ini masih diterima oleh mayoritas Kekristenan bahwa Yesus merevisi Torah, mengoreksi Torah.
Bagaimana Yesus memandang keberadaan Torah? Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, kita akan melakukan eksposisi teks dan konteks dari Matius 5:17-48. Yesus membuka dengan kalimat, “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan Torah dan Kitab Para Nabi” (Mat 5:17). Kata yang diterjemahkan dengan “meniadakan”, dalam naskah Yunani adalah kataluo. Dalam Perjanjian Baru kata kataluo digunakan sebanyak tujuh belas kali dengan pengertian : “meruntuhkan”, “membinasakan”, “membatalkan”, “melenyapkan”, “mencari penginapan” (Pdt. Hasan Sutanto, MTh. Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, Jil II, Jakarta : LAI 2003, hal 435)
DR. David Bivin dan Roy Blizard memberikan perspektif lain mengenai makna pernyataan “Aku datang bukan untuk meniadakan Torah” sebagai suatu ungkapan khas Ibrani dalam diskusi Rabinik. Ungkapan ini bermakna bahwa “seseorang telah menafsirkan secara keliru tentang Torah”. Jika ada seseorang menafsirkan Torah secara keliru, maka para rabbi yang lain akan mengatakan, “engkau membatalkan Torah”. Dalam konteks makna literal ini, maka Yesus sedang membantah kepada para pendengarnya, bahwa diri-Nya bukan datang untuk menyimpangkan atau menafsirkan secara keliru terhadap Torah dan Kitab Para Nabi (Understanding the Difficult Words of Jesus, Destiny Image Publishers, 2001, p. 114)
Kata yang digunakan untuk “menggenapi” dalam teks Yunani, adalah pleroo. Kitab Perjanjian Baru menuliskan sebanyak 86 kali dalam arti, “memenuhi”, “menggenapi”, “habis”, “lewat”, “menyatakan dengan penuh”, “memberitakan kemana-mana”, “menyelesaikan”, “melakukan” (Op.Cit., Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, hal 648)
Sebagaimana komentar sebelumnya, David Bivin dan Roy Blizard menyatakan bahwa pengertian “membatalkan” dan “menggenapi” bermakna “tafsir yang menyimpang” dan “tafsir yang tepat”. Selengkapnya, beliau menjelaskan : “Kata ‘membatalkan’ dan ‘menggenapi’, merupakan istilah teknis yang digunakan dalam diskusi rabinik. Ketika seorang bijak merasa bahwa temannya menafsirkan secara keliru bagian dari Kitab Suci, dia akan mengatakan ‘anda telah membatalkan Torah!’, singkatnya, dalam banyak kasus, temannya menunjukkan ketidaksepahaman yang keras. Bagi orang bijak, yang dimaksud dengan ‘melenyapkan Torah” maka kebalikannya, ‘menggenapi Torah’ atau menafsirkan Kitab Suci dengan tepat (Ibid., Understanding the Difficult Words of Jesus)
Pernyataan diatas diperkuat dengan frasa “kamu telah mendengar” dan “tetapi Aku berkata kepadamu”. Tanggapan Yesus terhadap tafsiran para rabbi sebelumnya terhadap Torah, ditegaskan kembali secara tepat oleh Yesus dengan penekanan kalimat, “Tetapi Aku berkata kepadamu”.
(tafsir) Torah mengatakan, janganlah membunuh karena barangsiapa yang membunuh akan mendapatkan hukuman namun Yahshua menegaskan secara tepay makna Torah bahwa yang harus dihukum bukan hanya mengenai kasus yang berat namun yang kelihatannya ringan, seperti kemarahan yang luar biasa dengan mengeluarkan umpatan kasar seperti raka yang artinya “bodoh” (Mat 5:21-22).
(tafsir) Torah mengatakan jangan berzinah. Yesus memberikan pemahaman yang tepat mengenai zinah, bahwa seseorang yang berzinah bukan semata-mata yang memiliki hubungan dengan wanita lain selain istrinya, namun memandang wanita yang bukan istrinya dan mengingininya, sudah dikategorikan perzinahan (Mat 5:27-28).
(tafsir) Torah mengijinkan suatu perceraian namun Yesus memberikan pemahaman bahwa jika bukan karena alasan yang kuat, yaitu perzinahan, maka janganlah sampai terjadi perceraian. Dengan melakukan perceraian, kita telah menjadikan diri kita dan pasangan kita sebagai seorang yang berzinah (Mat 5:31-32).
(tafsir) Torah mengajarkan agar jangan bersumpah palsu. Yesus memberikan pemahaman yang tepat bahwa hendaklah seseorang tidak bersumpah demi apapun juga, karena sumpah mengandung risiko. Tidak jarang kita melakukan dalih dalam sumpah yang kita ucapkan dihadapan Tuhan dan sesama (Mat 5:38-42).
(tafsir) Torah mengajarkan untuk mengasihi dan membenci musuh. Ayat ini sering dijadikan alasan untuk membenci dan tidak memaafkan orang-orang yang bersalah pada diri kita. Yesus memberikan pemahaman yang tepat dengan mengatakan untuk mengasihi musuh dan jangan membalas kejahatan dengan kejahatan yang setimpal (Mat 5:43-48).
Penegasan Yesus diatas membuktikan bahwa kedatangannya bukan “membatalkan Torah” (menyimpangkan makna Torah) melainkan “menggenapi Torah” (memberikan pemahaman yang benar). Hampir senada dengan ulasan David Bivin dan Roy Blizard, DR. David Stern dalam ulasannya mengenai kata “membatalkan” dan “menggenapi”, mengatakan :“Adalah tepat bahwa Yesus memelihara Torah secara sempurna dan menggenapi berbagai nubuatan dalam Kitab Para Nabi. Namun bukan ini pokok persoalannya. Yesus tidak datang untuk membuat tidak berlaku Torah namun membuat ‘maknanya menjadi penuh’ mengenai apa yang dituntut dalam Torah dan Kitab Para Nabi. Selanjutnya Dia melengkapi pemahaman kita terhadap Torah dan Kitab Para Nabi…Pasal 5 yang tersisa, menjelaskan enam kasus khusus dimana Yahshua memberikan penjelasan makna rohani secara penuh mengenai pokok-pokok dalam hukum Yahudi (Jewish New Testament Commentary, JNTP, 1992, p.25-26)
Penjelasan David Bivin dan Roy Blizard serta DR. David Stern, bukan satu-satunya penjelasan yang dapat diterima dalam memahami perkataan Yesus mengenai arti “membatalkan Torah” dan “menggenapi Torah”.