MERENUNGKAN KEMBALI KEMERDEKAAN KITA
Posted by
Indonesia, adalah
negara yang kaya dengan sumber daya alam baik di lautan maupun di daratan. Indonesia
memiliki 17.840 buah pulau dengan luas lautan 5,9 juta (75,32%). Tiap 1 km
lautan Indonesia terkandung 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium, 2000 ton lithium,
50 ton yodium, 1 ton titanium, uranium, perak serta emas. Di dasar laut
terdapat bongkahan-bongkahan berbentuk kentang yang mengandung mangan (30-50%),
besi (15%), nikel (1-3%), tembaga, kobalt, titanium, vanadium[1].
Di daratan terdapat kekayaan emas di Tembagapura Papua, timah di Bangka
Belitung, minyak bumi di Cepu, batu bara di Bukit Asam Tanjung Enim, Palembang
dll.
Negara dengan kekayaan
alam berlimpah ini telah menarik Imperialisme dan Kolonialisme Abad 16 untuk
mengeruk dan memindahkan kekayaan alam Indonesia ke negara mereka. Bermula dari
kebutuhan akan rempah-rempah seperti, pala, cengkih, cokelat, kenari dll. Lalu
berurutan bangsa-bangsa asing masuk ke Indonesia yaitu Portugis, Spanyol,
Belanda, Inggris. Setelah Turki Utsmani di bawah kepemimpinan Sultan Muhamad II
menaklukan Konstantinopel tahun 1453 maka jalur perdagangan di Laut Tengah
tertutup untuk bangsa Eropa. Melalui jalur Laut Tengah inilah bangsa Eropa
memperoleh kebutuhan rempah-rempah melalui negara Islam yang memperoleh
rempah-rempah dari kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Akibat penutupan jalur
perdagangan tersebut mengakibatkan upaya bangsa-bangsa Eropa untuk mencari
rempah-rempah secara langsung yang pada akhirnya menuntun mereka menemukan dan
memasuki wilayah Indonesia.
Tahun 1521 bangsa
Portugis berlayar dan menduduki Kepulauan Maluku yang dikenal sebagai penghasil
rempah berkualitas tinggi. Tahun yang sama bangsa Spanyol pun mencapai Kepulauan Maluku. Pertikaian
memperebutkan ’surga rempah’ antara Portugis dan Spanyol berakhir di tahun 1529
saat ditandatanganinya Perjanjian Saragosa dimana kedua negara membagi wilayah
penguasaan wilayah, dimana wilayah kekuasaan Spanyol membentang dari Mexico ke
arah barat sampai kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang
dari Brazillia ke arah timur sampai kepulauan Maluku. Perjanjian ini merupakan
kelanjutan Perjanjian Tordesilas tahun 1494 oleh inisiatif Paul Yulius II.
Tahun 1596 Belanda
menjejakkan kakinya di Indonesia bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan
kemudian pada tahun 1598 digantikan oleh Jacob van Neck. Untuk menghindari
persaingan maka dibentulkan kongsi dagang yang dikenal dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
pada tahun1602.
Tahun 1799 VOC
mengalami kebangkrutan dan Indonesia sebagai wilayah jajahan diambil alih oleh
pemerintahan Belanda yang bernama Bataafsche
Republiek (Republik Bataf). Namun sejak meletus meletus perang dengan
Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte dan Belanda berhasil ditaklukan
tahun 1807, maka Belanda dan seluruh wilayah jajahannya berganti penguasaan. Bataafsche Republiek dihapusk oleh
Kaisar Napoleon Bonaparte dan diganti menjadi Koninkrijk Holland (Kerajaan Belanda) dengan rajanya Lodewijk
Bonaparte atau Louis Bonaparte (adik Napoleon Bonaparte). Begitu juga dengan
daerah jajahannya di Hindia Belanda (Indonesia) mengalami perubahan sistem
pemerintahan. Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jendral mewakili
Koninkrijk Holland.
Saingan Perancis kala
itu adalah Inggris. Ketika Perancis berhasil ditaklukan Inggris dan Inggris
berhasil menaklukan Belanda tahun 1811, maka pemerintahan Ingris melalui
Gubernur Jendral Lord Minto mengirim Sir Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan
Gubernur di Jawa.
Namun pada tahun 1815
Inggris mengalami kekalahan perang dengan Rusia. Melalui Konvensi London maka
semua wilayah jajahan Belanda yang dikuasai Inggris dikembalikan pada Belanda.
Tahun 1816-1819, Hindia Belanda (Indonesia) dipimpin oleh dua orang Belanda
bernama Elout
Buykeys, dan Van der Capellen.
Tahun 1850, golongan
liberal di Belanda mendapatkan kemenangan di parlemen. Sejak itu paham liberal dianut
oleh pemerintah Belanda. Praktek tanam paksa yang dijalankan Belanda di
Indonesia khususnya di pulau Jawa sejak tahun 1816, banyak ditentang oleh
pengusaha-pengusaha Belanda, karena tidak sesuai denga paham liberal. Para
pengusaha Belanda berkeinginan untuk membuka perusahaan perkebunan di
Indonesia.
Namun usaha perubahan
pada tahun 1870 tersebut dikecam oleh Soekarno muda dalam artikelnya berjudul “Mencapai
Indonesia Merdeka” (1930-an). Beliau menyebutnya sebagai “imperialisme muda”
sebagaimana dikatakan, “Memang, bagi
Rakjat Indonesia perobahan sedjak tahun 1870 itu hanyalah perobahan tjara
pengambilan rezeki; bagi Rakjat Indonesia, imperialisme-tua dan
imperialisme-muda dua-dua tinggal imperialisme belaka, dua-dua tinggal pengangkutan
rezeki Indonesia keluar pagar, dua-duanya tinggal drainage. Dan drainage inipun
di dalam zaman modern-imperialisme makin membandjir!”[2].
Pemerintahan berganti. Tanggal
8 Desember 1941 Jepang menyerbu ke Asia
Tenggara dan membom Pearl Harbor pangkalan
terbesar Angkatan Laut Amerika di Pasifik. Lima jam setelah penyerangan atas Pearl Harbor itu, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachhouwer menyatakan perang terhadap
Jepang. Namun Belanda tidak mampu menahan ekspansi Jepang hingga wilayah Hindia
Belanda (Indonesia) pun berhasil dikuasai Jepang perlahan-lahan pada tahun 1942.
3 ½ tahun penguasaan Jepang atas Indonesia meninggalkan jejak kemiskinan,
kelaparan secara masif. Hal tersebut digambarkan dalam buku Daily Life in Wartime Indonesia, 1939-1949[3]
Kemerdekaan yang
berhasil direbut dan diproklamasikan Soekarno dan Hatta sebagai wakil bangsa
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 terhadap pemerintahan Jepang yang sedang
lemah akibat peledakkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, merupakan momentum
dan jembatan emas menuju kemakmuran rakyat setelah mengalami
kemerdekaan. Kita diingatkan oleh pidato
lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 ketika Soekarno berkata, “Saudara-saudara, apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33
saya telah menulis risalah yang bernama 'Mencapai Indonesia merdeka'. Maka
didalam risalah tahun'33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, polietieke
onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak bukan, ialah satu
jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan didalam kitab itu, bahwa
diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat”[4].
Faktanya, kemerdekaan
dan kekayaan alam yang berhasil dikuasai negara sebagai representasi rakyat
Indonesia, belum dapat mendatangkan kesejahteraan secara menyeluruh bagi rakyat
Indonesia.
Hari ini, bangsa
Indonesia sudah genap memasuki 69 tahun kemerdekaan. Gegap gempita berbagai
ritual dan perayaan mulai dari perayaan kenegaraan berupa upacara penaikkan
bendera hingga tepuk sorak dan tawa sukaria lomba-lomba di tiap-tiap lingkungan
rumah masyarakat kita. Namun apa yang pernah diperjuangkan Soekarno dalam
artikel-artikel yang dibuatnya sejak tahun 1920-an semakin jauh dari idealita
dan cita-cita. Beliau memberikan pernyataan profetik, “Dan
sjarat jang pertama untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme?
Sjarat jang pertama ialah: kita harus merdeka. Kita harus merdeka agar supaja
kita bisa leluasa bertjantjut-tali-wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan
imperialisme”[5].
Kapitalisme disatu sisi memang memberikan keuntungan bagi dunia karena
melaluinyalah kita dapat melihat kemajuan dan peradaban, pembangunan gedung-gedung, pengembangan
pendidikan, perkembangan teknologi dan informasi. Alm DR. J. Verkuyl
mengatakan, “Tetapi barang siapa hendak
menjusun daftar-daftar dosa kapitalisme, hendaklah djangan lupa, bahwa
sekalipun banyak tjajat dan kekurangan sistem itu, namun dia dipakai untuk
memperkembangkan kemungkinan-kemungkinan ekonomi dalam alam jang didjadikan
(Tuhan) ini”[6].
Namun kapitalisme tetap mengandung sejumlah dosa dan kelemahan. DR. J.
Verkuyl mencatat ada enam dosa Kapitalisme yaitu: (1) Terjadinya Mamonisme atau
pemberhalaan uang dan modal (2) Pemusatan kekuasaan pada pemegang modal besar
(3) Memberikan keuntungan pada orang-orang yang berkuasa dibidang ekonomi (4)
Orientasi berpusat bukan pada apa yang diproduksi melainkan mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya dari apa yang diproduksi sekalipun yang diproduksi tidak
memiliki kualitas (5) Mencari untung dengan tanpa bekerja cukup dengan
mempermainkan saham yang dimiliki pemodal besar dalam suatu perusahaan (6)
Pencemaran kerja yaitu upah buruh tidak setimpal dengan pekerjaan yang
dilakukannya[7]. Ir. Soekarno menyitir
pendapat Brailsford yang dengan sinis mengritik pernyataan bahwa Kapitalisme
mendatangkan keuntungan dengan mengatakan, “Anugerah-anugerah
pendidikan, kemadjuan dan aturan-aturan bagus jang ia bawa itu hanjalah
rontokan-rontokan sahadja dari ia punya keasjikan tjari rezeki jang
angkara-murka itu?”[8]
Kapitalisme tidak
berhasil ditundukkan. Apa yang diistilahkan Bung Karno dengan “stelsel
kapitalisme dan imperalisme” nyatanya semakin menjadi-jadi. Dalam sebuah ulasan
dikatakan, “Kita jangan cepat merasa
besar kepala, gemuruh pembangunan ekonomi Indonesia memang mengesankan,
bayangkan ketika ekonomi AS dan Eropa sedang terhuyung-huyung, ekonomi
Indonesia justru tumbuh 6,3 persen, Tak hanya itu, Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia nyaris mencapai Rp 8000 trilyun. Inflasi ditekan rendah hingga 4,3
persen. Hanya dalam delapan tahun, pendapatan perkapita telah meningkat dari
USD1.110 (2004) menjadi USD3.500 (2012), tapi sebuah ironi besar juga
menghampar di hadapan kita. Gini Rasio, yang mengukur tingkat kesenjangan
pendapatan, juga meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir: dari 0,32
(2004) menjadi 0,41 (2011).
Bersamaan
dengan itu, kekayaan atau kue ekonomi makin terkonsentrasi di tangan segelintir
orang. Tahun 2012 lalu Forbes melansir kekayaan para Taipan Indonesia.
Dikatakan, harta 40 orang terkaya mencapai Rp 850 Triliun atau setara dengan 10
persen PDB kita. Perkumpulan Prakarsa menyimpulkan, kekayaan 40 orang itu
setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin.
Sementara kekayaan 43 ribu orang terkaya di Indonesia setara akumulasi
kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang. Konsentrasi kekayaan itu juga
termasuk penguasaan tanah. Indeks Gini kepemilikan tanah juga meningkat tajam:
dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Konsentrasi kepemilikan aset juga
meningkat: 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air. Artinya,
aset nasional bangsa ini hanya dikangkangi oleh 440 ribu orang.
Model
pembangunan ekonomi sekarang juga menciptakan kesenjangan pembangunan antar
daerah. Kawasan barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) menguasai 82 persen PDB
nasional, sedangkan kawasan timur (Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara
dan Maluku) hanya menguasai 18 persen”[9].
Stelsel
kapitalisme yang ditandai oleh kepemilikkan modal besar pada sekelompok orang
semakin menjadi-jadi.
Angka kemiskinan memang
berhasil diturunkan dari 32,53 juta jiwa atau 14,15% (2009) menjadi 28,28 juta
jiwa atau 11,25%, namun kesenjangan sosial cenderung melebar. Rasio gini tahun
2009 sebesar 0,37% dan meningkat menjadi 0,41% tahun 2012[10].
Para petani tetap
merugi dan tidak kunjung mengalami peningkatan ekonomi karena impor pangan
masih tetap tinggi. “Badan Pusat
Statistik mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346% atau empat kali
lipat, selama periode 2003-2013. Laju pertumbuhan impor tersebut jauh melampaui
laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade. Faktor penyebabnya adalah menyusutnya lahan pertanian dari 5 juta
hektare menjadi 26 juta hektare selama kurun waktu 10 tahun”, demikian Editorial Media Indonesia
menuliskan[11].
Mengapa lahan pertanian semakin menyusut? Karena petani menjual lahan pertanian
dan berubah menjadi lahan industri dan perumahan yang digerakkan oleh kekuatan
pemodal besar. Petani menjual lahan pertanian dan beralih profesi menjadi
buruh, berdagang karena hasil dari pertanian tidak memberi keuntungan secara
signifikan sebagaimana dikatakan oleh Iswadi, “Kurang menariknya pendapatan yang diperoleh dari usaha padi dan
palawija telah memacu penurunan jumlah rumah tangga usaha produksi bahan
makanan pokok tersebut”[12]
Kemerdekaan hanya akan
mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, hanya jika kita tidak
semata-mata mengandalkan kekayaan sumber daya alam yang ada di laut dan daratan
belaka. Jiwa-jiwa bangsa yang telah mengalami kemerdekaan dengan mental
mengabdi bagi negeri, mental melayani kepentingan orang banyak, mental
membangun kejayaan bangsa, merekalah yang akan mampu mendatangkan kesejahteraan
dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Bagaimana akan terjadi kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat Indonesia jika para wakil rakyat dan pemimpin daerah yang
memiliki kekuasaan legitimatif terhadap sumber-sumber daya alam di darat dan di
lautan, justru melegalkan dan melestarikan mental koruptif? Sejak
diberlakukannya sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, telah
tercatat dari 504 kepala daerah, ada 304 kepala daerah tersangkut kasus korupsi[13].
Sejak tahun 2005 tercatat telah terlibat sebanyak 3.169 kasus korupsi dilakukan
oleh anggota DPRD[14].
Kitapun masih teringat hangatnya berita dimana hampir seluruh DPRD Papua
tersangkut kasus korupsi berjamaah[15].
Di sinilah kita kembali
menemukan momentum untuk melanjutkan amaran Bung Karno yang disebut dengan “Revolusi
Mental” yang kemudian menuai kontroversi akhir-akhir ini saat Joko Widodo
menuliskan artikel mengenai konsepsi revolusi mental yang kemudian dituding
sebagai karya plagiasi artikel Romo Benny[16].
Pada tanggal 17 Agustus
1962 silam, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pada Hari Proklamasi dengan
tema, “Tahun Kemenangan”. Pada saat itulah muncul pernyataan “revolusi belum
selesai” dan “revolusi mental”. Saya kutipkan pidato tersebut sbb: “Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950
satu Tahun Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun
mau menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa
kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi phisik
semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dédél-duwél,
babak-bundas.
Revolusi
kita pada waktu itu belum meliputi Revolusi Mental. Belum berpijak kepada
Manipol-USDEK! Revolusi kita pada waktu itu belum merupakan benar-benar satu
Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi
sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan.
Revolusi kita pada waktu itu boleh dikatakan semata-mata ditujukan kepada
mengusir kekuasaan Belanda dari Indonesia. Maka sesudah kekuasaan Belanda
terusir, sesudah khususnya kekuasaan politik Belanda lenyap dari bumi
Indonesia, menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tidak mempunyai pegangan
yang tertentu. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang oleh seorang fihak
Belanda dinamakan "Een Revolutie op drift". Menjadilah Revolusi kita
satu Revolusi yang tanpa arah. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang
penuh dengan dualisme. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tubuhnya
bolong-bolong dan dimasuki kompromis-kompromis dan penyeléwéngan-penyeléwéngan.
Hampir-hampir saja kemenangan 1949 itu merupakan satu Kemenangan Bohong, satu
Pyrrhus-overwinning, satu kemenangan sementara, satu kemenangan satu hari yang
merupakan satu permulaan daripada Keruntuhan Total!”[17]
Bahkan jauh sebelumnya
Pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956 Bung Karno sudah
menyinggung-nyinggung istilah “Revolusi Mental” dengan menghubungkan tiga fase
revolusi bangsa. Yudi Latif dalam artikelnya menuliskan, “Dua fase telah dilalui secara berhasil dan satu fase lagi menghadang
sebagai tantangan. Indonesia telah melewati taraf physical revolution
(1945-1949) dan taraf survival (1950-1955). Lantas ia menandaskan,
”Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan
modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material
investment, dan mental investment”[18].
Darimana proses
Revolusi Mental dimulai? Pertama,
keluarga. Keluarga harus menjadi tempat penanaman nilai-nilai tentang keadilan,
kejujuran, keberanian, kepahlawanan, kesetiakawanan, kearifan, kasih dan
pengampunan. Jika setiap rumah tangga menanamkan nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran maka akan terbentuk mental-mental yang menjauhi dan takut terhadap
korupsi. Kedua, sekolah. Sekolah
bukan hanya pabrik penghasil sumber daya bagi kepentingan pasar. Sekolah bukan
lembaga formal pencerdasan intelektual belaka melainkan menjadi salah satu soko
guru pembangunan mental menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaulat serta
kompetitif. Jika kedua institusi ini memaksimalkan tugasnya menanamkan
nilai-nilai yang membentuk mentalitas produktif dan konstruktif serta menjauhi
sikap koruptif, maka tercapailah apa yang pernah digelorakan oleh Bung Karno
dengan Tri Saktinya yaitu: Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi
serta Berkepribadian dalam kebudayaan.
Kesenjangan sosial,
kemiskinan struktural, ketidakadilan sosial yang tidak diatasi secara maksimal
hanya akan menyuburkan benih-benih perlawanan dan pemberontakkan terhadap
sistem yang terus menerus digelorakan oleh kelompok-kelompok radikal dan
fundamentalisme agama. Kelompok-kelompok ini akan memainkan isyu tersebut
menjadi kekuatan perjuangan mereka untuk merekrut banyak orang yang mengalami kesenjangan
sosial, kemiskinan struktural, serta ketidakadilan sosial. Pada akhirnya
nasionalisme dan keamanan nasional akan mengalami ancaman serius[19].
Di hari sakral ini,
dimana bangsa dan seluruh rakyat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan, marilah
kita bersama-sama merenungkan kembali makna kemerdekaan yang telah diproklamirkan
69 tahun lalu. Persoalan-persoalan serius yang masih tersisa menjadi pekerjaan
rumah bersama antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat Indonesia. Semua
orde pemerintahan yang telah bekerja dan berganti-ganti telah mengupayakan “penyempurnaan
masyarakat di seberangnya jembatan emas kemerdekaan” – meminjam istilah Bung
Karno. Marilah kita bersama menjadi generasi baru yang terus menerus merevolusi
mental dan tindakan kita untuk mencapai Indonesia sejahtera, berdaulat dan
bermartabat serta berpengaruh pada percaturan dunia internasional sebagaimana
ketika negeri ini bernama Nusantara.
Merdeka!
End Notes
[3] Kehidupan
Sehari-hari Masa Pendudukan Jepang
http://benangmerah-sejarah.blogspot.com/2010/04/kehidupan-sehari-hari-masa-pendudukan.html
http://benangmerah-sejarah.blogspot.com/2010/04/kehidupan-sehari-hari-masa-pendudukan.html
[4] Lahirnya Pantja
Sila – Pidato pertama tentang Pantja
Sila jang diucapkan pada tg 1 juni 1945 oleh Bung Karno, sekarang Presiden
Negara Republik Indonesia (dikutip dari Penerbitan Departemen Penerangan
R.I, Penerbitan Chusus No 153, Djakarta: C.V. Bwaro Niaga, 1947, hal 7
[10] Berat, Tantangan
Presiden Baru: Warisan 28 Juta Penduduk Miskin dan Ketimpangan Melebar,
Kompas, 13 Agustus 2014, hal 1
[15] Seluruh Anggota
DPR Papua Barat Terpidana
http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/155/Seluruh-Anggota-DPR-Papua-Barat-Terpidana/2014/02/11
http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/155/Seluruh-Anggota-DPR-Papua-Barat-Terpidana/2014/02/11
[16] Teguh Hindarto, Revolusi
Belum Selesai, Revolusi Mental
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/06/revolusi-belum-selesai-revolusi-mental.html
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/06/revolusi-belum-selesai-revolusi-mental.html
[17] Ari Raya, Tahun Kemenangan (Bagian I), Amanat Presiden Soekarno Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1962
http://id-raya.mywapblog.com/tahun-kemenangan-bagian-i.xhtml
[18] Yudi Latif , Keharusan
Revolusi Mental, Kompas, 12 Juni
2014
[19] Teguh Hindarto, After Osama: Fenomena ISIS dan Ancaman Keamanan Nasional Serta Ideologi Pancasila
http://hankam.kompasiana.com/2014/08/04/after-osama-fenomena-isis-dan-ancaman-keamanan-nasional-serta-ideologi-pancasila-671414.html
0 komentar:
Posting Komentar