Dalam kajian Sosiologi
Kesehatan dikenal sebuah penelitian mengenai dua karakteristik dua buah negara
bagian di Amerika Serikat yaitu Utah dan Nevada oleh Victor Fuch dalam karyanya,
“A Tale of Two States” dan Frederic
Welinsky dalam karya yang berjudul, “The
Sociology of Health: Principles, Proffesions and Issues”.
Penelitian mereka
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang sama mengenai persamaan dan perbedaan
kedua negara bagian tersebut. Persamaan yang muncul di negara bagian tersebut
adalah mengenai pendapatan per kapita, prosentase penduduk yang tinggal di
wilayah kota, jumlah dokter per 100.000 penduduk, rata-rata tingkat pendidikan
formal penduduk, struktur usia penduduk, komposisi ras, perbandingan laki-laki
dan perempuan, lingkungan fisik negara.
Adapun perbedaan yang
disimpulkan dalam kedua penelitian tersebut memberikan sejumlah fakta mengenai
perbedaan harapan hidup, mortalitas (angka kematian), konsumsi alkohol, rokok.
Angka mortalitas penduduk dari berbagai golongan usia berkisar 16% dan 54%
untuk laki-laki dan 6% dan 69% untuk perempuan. Angka mortalitas karena faktor
sirosis hati dan kanker saluran nafas antara tahun 1966-1968 berkisar 111% dan
590% untuk laki-laki dan 205% dan 443% untuk perempuan.
Apa yang menjadi akar
perbedaan yang menyolok di kedua negara tersebut sebagaimana hasil kesimpulan
kedua penelitian tersebut? Pertama,
Mayoritas penduduk Utah memeluk agama Mormon yang melarang pemeluknya untuk
mengonsumsi minuman keras, sementara penduduk Nevada yang beragama Kristen
angka minuman keras dan merokok sangat tinggi. Kedua, perbedaan mobilitas geografis. Penduduk Utah lebih stabil
dan mayoritas lahir di Utah sementara penduduk Nevada adalah kaum migran yang
lahir di luar Nevada. Ketiga,
perbedaan kestabilan rumah tangga. Kestabilan rumah tangga di Utah lebih tinggi
daripada di Nevada. Di Nevada lebih banyak orang berstatus lajang, duda,
bercerai yang cukup tinggi.
Fakta yang mengejutkan
adalah perbedaan gaya hidup antara Mormon dan mayoritas Kekristenan di kedua
negara tersebut. Sebagaimana diketahui oleh mayoritas Kristen, Mormonism yang
didirikan oleh Joseph Smith kerap dikategorikan heretic (bidat) dan dianggap
bukan bagian dari Kristen[1],
sekalipun mereka menghubungkan diri mereka sebagai orang Kristen. Sekte ini
didirikan pada tahun 1820 dan saat ini lebih dikenal dengan nama “Gereja Yesus
Kristus Orang Kudus Zaman Akhir”. Kitab Suci mereka selain Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru ada “Book of Mormon”[2]
dan tulisan karya Joseph Smith “the
Doctrine and Covenant” serta “Pearl
of Great Price” sebagai pegangan umat Mormon. Jumlah mereka di Amerika
sekitar 40% dan di seluruh dunia sekitar 30%[3].
Bagaimana mungkin
komunitas yang dikategorikan bidat (heretic) justru menampilkan gaya hidup yang
sehat dan lebih patuh pada nilai-nilai yang tertulis dalam Kitab Suci?
Bagaimana mungkin umat Kristiani yang mengklaim sebagai umat yang telah
mengalami penebusan dari kutuk dosa serta mendapatkan jaminan hidup kekal
sebagai kebanggaan, justru memiliki gaya hidup yang lebih buruk dari komunitas
yang dituding sebagai bidat?
Hasil penelitian
tersebut semakin mengokohkan tudingan bahwa kristianitas khususnya Western Christianity (kristen barat) lekat
dengan kehidupan permisif alias serba boleh dan serba bebas. Sudah menjadi
rahasia umum gereja dan kekristenan di barat kerap dituding sebagai pengekspor
gaya hidup bebas. Ada legalisasi pernikahan sesama jenis, ada legalisasi
kehidupan suami istri sebelum melakukan pernikahan, kebiasaan mengonsumsi
alkohol dan sejumlah tudingan negatif lainnya. Namun demikian bukan berarti
semua gereja dan umat Kristen di barat menjalankan gaya hidup permisif. Masih
banyak kantong-kantong Kristiani yang menjalankan kesalehan dan gaya hidup yang
berpusat pada Kitab Torah dan Kitab Perjanjian Baru. Sejumlah kajian yang
berisikan keprihatinan terhadap dekadensi moral yang merusak Western Christian pun dikeluhkan oleh
sejumlah organisasi Kristen di barat[4].
Jika kita menghayati
arti dan makna sebutan Kristen yang berasal dari kata Yunani Christianos yang bersumber dari kata
Ibrani Mashiakh yang mana julukan itu
dihubungkan dengan gelar Yesus sebagai Mesias (Mashiakh – Christos), maka orang-orang Kristen sudah seharusnya menjadikan
Yesus sebagai pusat dan teladan kehidupan moral dan religius mereka. 1
Petrus 2:21 mengatakan, “Sebab untuk
itulah kamu dipanggil, karena Mesias pun telah menderita untuk kamu dan telah
meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya”. Ayat
tersebut dengan jelas mengatakan bahwa Yesus telah meninggalkan sebuah teladan
atau contoh yaitu perkataan, pikiran, ajaran, perilaku, gaya hidup Yesus selama
berkarya di Yerusalem sebelum beliau naik ke sorga paska kebangkitannya dari
kematian. Teladan dan contoh itu selayaknya kita ikuti jejaknya sehingga kita
memiliki perilaku yang seturut dengan Yesus Juruslamat kita. Alih-alih umat
Kristen meneladan Yesus dan mengikuti jejaknya, kita justru melihat hal yang
berkebalikan khususnya di kalangan Wester
Christianity. Akibatnya, ajaran Yesus mendapatkan hujatan dan dilekatkan
dengan berbagai perilaku serba bebas dan serbab boleh. Para rasul telah
mengingatkan sebelumnya, “Banyak orang
akan mengikuti cara hidup mereka yang dikuasai hawa nafsu, dan karena mereka
Jalan Kebenaran akan dihujat” (2 Ptr 2:2).
Jika penelitian
terhadap negara bagian Utah dan Nevada menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan
kadar kesehatan mereka disebabkan negara yang satu menganut agama Mormon dan
yang satu menganut Kristianitas, maka menjadi persoalan penting bagi kita untuk
mengulas mengapa Kekristenan menghasilkan budaya pemisif alias serba boleh
sehingga merusak kesehatan bahkan merusak keimanan? Jawabannya adalah karena gereja
dan kekristenan melepaskan Torah sebagai sumber pedoman moral dan gaya hidup.
Yesus yang dituliskan
dalam Kitab Injil yang dijadikan sumber teladan untuk kita ikuti jejaknya,
tidak pernah melepaskan dirinya dari bingkai Torah baik dalam ajaran dan
perilaku kehidupannya sehari-hari. Hal itu dikarenakan Yesus telah bersabda, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang
untuk meniadakan Torah atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat 5:17). Bahkan Yesus
menegaskan, “Karena itu siapa yang
meniadakan salah satu perintah Torah sekalipun yang paling kecil, dan
mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling
rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan
segala perintah-perintah Torah, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam
Kerajaan Sorga” (Mat 5:19).
Namun sabda Yesus ini
tidak bergaung dalam mimbar gereja dan tidak pula terlihat dalam gaya hidup
umat Kristen tertentu. Sebaliknya kita melihat sejumlah kotbah dan ajaran yang
meletakkan dan mendudukkan Torah sebagai “kuk”, “lambang perhambaan”,
“pelayanan kematian”, “lawan dari Kasih Karunia”.
Seseorang mengutip
pendapat Pastor Joseph Prince menjadi status yang dibagikan di laman facebook
yang menyatakan demikian: “Yeshua
HaMasiakh telah MEMBEBASKAN semua orang percaya dari Perjanjian Torah yang
menghakimi. Namun, ada orang-orang percaya yang memilih untuk terus hidup
dibawah penghakiman daripada menerima KASIH KARUNIA yang telah DIBELI oleh
DARAH Yeshua HaMasiakh.Daripada mempercayai kebaikan Tuhan yang tidak layak
mereka terima melalui Yeshua HaMasiakh, mereka justru telah memilih untuk
mempercayai KEMAMPUAN mereka untuk MEMATUHI TORAH. Singkatnya, mereka telah
memilih PELAYANAN KEMATIAN. (Destined to Reign, Ps Joseph Prince, Hal 115)”.
Pernyataan di atas memperlihatkan pemahaman distortif mayoritas Kristen
terhadap Torah yang diposisikan sebagai inferior bahkan dikontradiksikan dengan
“Kasih Karunia” dan memposisikan “Kasih Karunia” lebih tinggi dari Torah.
Beberapa
hari lalu saya pun menerima sebuah pesan singkat di hand phone saya yang
menuliskan pernyataan sbb: “Kekristenan
tidak boleh lagi menjadikan sepuluh perintah Tuhan menjadi identitas orang
Kristen. Mereka pasti berfikir bahwa Kekristenan tidak lain hanyalah aturan
hukum dan regulasi tentang apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang
seharusnya tidak dilakukan. Mereka pasti membayangkan Tuhan adalah seseorang
yang marah kepada mereka. Mereka tidak tahu bahwa Kekristenan sebenarnya adalah
sebuah hubungan yang intim dengan Tuhan yang penuh kasih. Seandainya mereka
tahu, pasti mereka akan menggedor pintu-pintu gereja setiap hari minggu untuk
masuk dan mendengar Yesus dan kasih karunianya. Ini harus dikotbahkan, Amen”,
demikian isi pesan singkat tersebut.
Tidak keliru jika David Stern dari Messianic
Judaism membuat kesimpulan dalam bukunya, ”In
short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of
Christian Theology” (singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama
sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen)[5]. Pernyataan ini
menyiratkan bahwa Teologi Kristen menempatkan kajian tentang Torah, secara
tidak berimbang dibandingkan dengan topik lainnya seperti Tuhan,
Keselamatan/Anugrah, Dosa, dll.
Demikian pula Ariel dan Devorah Berkowitz menegaskan, “If there is one area of misguided theological thinking for believers,
it is study of Torah. In fact, most evangelical Bible colleges and seminaries
do not even have an area of study called Torah”[6] (jika ada satu wilayah
yang dipahami secara teologis oleh orang beriman, yaitu studi tentang Torah. Faktanya,
kebanyakan sekolah dan seminari Kitab Suci yang bercorak Injili tidak memiliki
sebuah wilayah yang disebut dengan studi tentang Torah).
Pernyataan-pernyataan yang saya kutipkan di atas membuktikan
kebenaran kesimpulan David Stern dan Ariel Berkowitz bahwa kekristenan
memandang salah makna dan fungsi Torah hanya sebatas regulasi (aturan) belaka.
Celakanya, mayoritas kekristenan menganggap kehadiran Yesus untuk membebaskan
umatnya dari belenggu Torah. Yang benar adalah Yesus datang untuk membebaskan umatnya
dari belengu dan kuasa dosa yaitu maut, sebagaimana dikatakan: “Karena kita tahu, bahwa Mesias, sesudah Dia
bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas
Dia. Sebab kematian-Nya adalah kematian
terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah
kehidupan bagi Tuhan. Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu
telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Tuhan dalam Mesias Yesus. Sebab
itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu
jangan lagi menuruti keinginannya”.
Makna kebebasan ini pun banyak disalahpahami oleh mayoritas
kekristenan sebagai kebebasan dari regulasi (aturan) dalam Torah. Tidak
mengherankan bahwa aturan berkaitan dengan hewan yang dikategorikan “tahor”
(clean – bersih) dan “tameh” (unclean – kotor) dalam Imamat 11 diabaikan dengan
alasan “apa yang sudah dihalalkan janganlah diharamkan” berdasarkan Kisah Rasul
10:15. Bukan saja masalah makanan “tahor dan tameh” (LAI menerjemahkannya dengan
“halal” dan “haram”) bahkan larangan makan darah (Im 3:17; 7:26) pun diabaikan.
Dan masih banyak aturan, larangan yang dilanggar atas nama pengorbanan Yesus
yang telah membebaskan umatnya dari “belenggu Torah”.
Sebelum melakukan kajian yang lebih mendalam, saya akan menanggapi
secara singkat kedua pernyataan yang mewakili pemahaman mayoritas Kristen
tersebut.
Jika Torah adalah “kuk”, “lambang perhambaan”, “pelayanan kematian”,
“lawan dari Kasih Karunia”, lalu mengapa kita diperintahkan “merenungkan Torah
siang dan malam” agar beroleh kebahagiaan? (Mzm 1:1-3) Jika Torah mendatangkan
keburukkan, lalu mengapa Daud menuliskan bahwa Torah mendatangkan kepandaian
dan kecerdasan? (Mzm 119:98-100) Bahkan Torah mendatangkan ketentraman? (Mzm
119:165).
Dalam
buku saya berjudul, “Reformasi Yosia:
Upaya Meredefinisi Pemahaman Distortif Terhadap Torah”, saya menganalisis
bahwa baik orang Yahudi khususnya penganut Yudaisme di zaman Yesus dan umat
Kristen paska Yesus dan paska rasuli, jatuh pada tafsir dan kesimpulan yang
keliru terhadap Torah. Jika orang Yahudi dan penganut Yudaisme di zaman Yesus
menjadikan Torah sebagai alat untuk mendapatkan keselamatan sehingga mereka
terjebak pada praktek legalisme, maka umat Kristen terjatuh pada kesalahan
menafsirkan sabda Yesus dan tulisan rasul Paul sehingga menduga mereka
mengajarkan sikap antinomisme[7]. Ariel Berkowitz menegaskan kenyataan
tersebut sbb, “Christian
misunderstanding of the Torah is a complex issue. It stems from a gross
misinterpretation of several biblical passages, mostly in the writing of Sha’ul
of Tarsus. But this contemporary misinterpretation is bolstered by
approximately 1800 years of anti Jewish rhetoric from some of the Church’s so
called finest exegetes the Church Father”[8] (Kesalahpahaman
orang-orang Kristen terhadap Torah merupakan persoalan yang rumit.
Kesalahpahaman ini berakar pada lusinan kesalahan tafsir dari beberapa ayat
Kitab Suci, khususnya tulisan-tulisan Rasul Paul dari Tarsus. Namun kesalahan
penafsiran zaman ini didukung oleh kotbah-kotbah anti Yahudi selama 1800 tahun
dari beberapa gereja yang menyebut dengan kotbah terbaik para Bapa Gereja).
Dalam buku di atas saya telah mengulas panjang labar
kesalahan-kesalahan penafsiran dan kekurangakuratan terjemahan yang bermuara
pada kesimpulan dan dogma yang salah mengenai Torah dan aspek-aspeknya. Dan
dalam buku “Imanku, Ibadahku, Gaya
Hidupku”[9]
serta “Jejak Kaki Sang Rabi”[10]
saya telah mengulas secara panjang lebar berbagai isyu yang kerap disalahpahami
oleh mayoritas Kristen al., sabat, sunat, halal dan haram, larangan minum
darah, dll.
Jika kita pengikut Yesus, maka kita harus meneladan Yesus. Teladan
Yesus menjadi petunjuk untuk kita ikuti. Yesus yang diberitakan oleh Kitab
Perjanjian Baru bukanlah Yesus yang meniadakan Torah, bukan Yesus yang
meniadakan Sabat, bukan Yesus yang melanggar hukum soal makanan dalam Imamat
11, bukan Yesus yang membebaskan kita dari kuasa dosa untuk hidup serba bebas
dan serba boleh. Yesus dalam Kitab Perjanjian Baru bukan hanya Yesus sebagai
Mesias, Anak Tuhan melainkan Guru Torah dan pelaku Torah yang sempurna
(Mat 5:18).
Dalam Kitab Injil, berulang
kali Yesus disapa Rabi. Julukan dalam bahasa Ibrani “Rabi” muncul tujuh belas kali (Mat 23:7,8, Mrk 9:5, Yoh 3:2) dan “Rabuni” sebanyak dua kali (Mrk 10:51,
Yoh 20:16) serta dalam bahasa Yunani
bentuk Nominatif “Didaskalos” sebanyak lima belas kali
(Mat 17:24, Mrk 14:14, Luk 22:1, Yoh
13:13) dan bentuk Vokatif (kata seru) “Didaskale”
sebanyak 31 kali (Mat 8:19, Mat 12:38, Mrk 9:17, Luk 3:12, Yoh 8:4). Dalam
kultur dan latar belakang Yudaisme, seorang rabbi adalah guru Torah. Yesus pun
adalah guru Torah. Sebagai guru Torah, Yesus tentu saja mengajarkan Torah.
Namun cara Yesus mengajar Torah berbeda dengan para rabi lainnya (Mrk 1:22).
Yesus mengajarkan Torah bukan sebagai jalan beroleh keselamatan dan hidup
kekal. Torah adalah pedoman moral dan gaya hidup orang beriman sebagai orang
yang telah menerima Kasih Karunia Tuhan YHWH Sang Bapa Surgawi (Mat 5:19-20)[11].
Yesus meluruskan pemahaman orang Yahudi pada zamannya yang terjebak pada dosa
kemunafikan dan legalistik sehingga menggeser fungsi dan kedudukan Torah
sebagai pedoman perilaku dan pedoman tata peribadatan menjadi alat keselamatan.
Demikian pula dilakukan oleh Rasul Paul dalam surat-suratnya untuk meluruskan
kesalahpahaman terhadap fungsi dan kedudukan Torah[12].
Bagaimana kita masih
berani mengklaim sebagai pengikut Yesus sementara kita masih berada dalam
pemahaman sebagaimana pernyataan Pastor Joseph Prince yang membenturkan Torah
dan Kasih Karunia sebagaimana dituliskan dalam bukunya “Destine to Reign”? Saya akan menanggapi sedikit beberapa
pernyataan dalam buku tersebut al.,
Joseph
Prince:
“Anda lihat, Torah
menuntut KESEMPURNAAN, tetapi TIDAK AKAN MELAKUKAN APA PUN UNTUK MENOLONG. Dan,
seperti yang diperlihatkan dalam kasus orang yang sedang kehilangan rambutnya,
manusia tidak memiliki kemampuan sendiri, betapa kerasnya ia berusaha untuk
memenuhi tuntunan TORAH, dan dengan demikian terkutuk karena melanggar TORAH.
Sebaliknya, KASIH KARUNIA MEMBERIKAN Kesempurnaan dan Melakukan apa Segala
Sesuatu untuk manusia melalui YESHUA HAMASIAKH dan apa yang perlu dilakukan
manusia hanyalah PERCAYA. Menurut Anda, mana yang ,lebih mulia? Pelayanan
kematian yang MENUNTUT atau Pelayanan KASIH KARUNIA yang MEMBERIKAN? (Destined to Reign, Ps Joseph
Prince, Hal 117)
Tanggapan:
Pemahaman
yang mengontradiksikan TORAH dan KASIH KARUNIA adalah hasil KONSTRUKSI SOSIAL
(social contruction) dari mazhab-mazhab mainstream dalam kekristenan yang
mengabaikan tafsir dan analisis teks berdasarkan bahasa sumber penulisan Kitab
Perjanjian baru serta kultur Yahudi dan Yudaisme para tokoh, percakapan yang
dituliskan di dalamnya.
Terjemahan
Yohanes 1:17 adalah contoh hasil terjemahan dan tafsir yang mengonstruksi cara
orang Kristen dalam memahami relasi Torah dan Kasih Karunia menjadi
kontradiktif.
Terjemahan,
Torah datang melalui Musa TETAPI Kasih Karunia datang melalui Yesus menjadikan
Torah dan Kasih Karunia berada pada hubungan kontradiktif dan face to face.
Padahal
kata Yunani yang dipergunakan dalam Yohanes 1:17 bukan ALLA ( tetapi) melainkan
KAI (dan) yang mengindikasikan kesejajaran.
Baik
Torah dan Kasih Karunia datang dari sumber yang sama yaitu Tuhan YHWH namun
media penyampaiannya berbeda. Yang satu melalui Musa dan yang satu melalui Yesus.
Pernyataan
Joseph Prince hanyalah pantulan pemahaman yang dia anut sebagai hasil
konstruksi sosial sebelumnya. Bagi saya, itu pemahaman 20 tahun lalu.
Saatnya kita berani melakukan rekonstruksi baru
terhadap dogma yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran.
Mazhab-mazhab
mainstream kristen khususnya "western christianity" yang pro
"capitalism system" yang direfleksikan melalui "prosperity
gospel" telah mereduksi kata PERCAYA/IMAN sebagai sesuatu yang terlepas
dari PERILAKU dan KETAATAN pada perintah.
Yesus
bersabda: " Barangsiapa mengasihi Aku, dia akan melakukan
perintah-perintahku" ( Yoh 14:21). Perintah dalam bahasa Ibrani adalah MITSWAH yang merujuk
pada perintah-perintah dalam Torah. Jadi
bagaimana mungkin seseorang yang percaya pada Yahshua (Yeshua) melepaskan
dirinya dari Torah?
Mereka
tidak bisa membedakan antara Torah (nomos) dan Legalisme (hupo nomos/erga
nomos). Yesus
dan rasul Paul melawan pemahaman yang salah terhadap Torah yaitu Legalisme dan
bukan melawan Torah
Joseph Prince:
“Sementara beberapa
generasi, gereja telah MEMPERCAYAI bahwa dengan mengkhotbahkan Sepuluh Perintah
Tuhankita menghasilkan KEKUDUSAN. Jika kita melihat dosa bertambah, kita mulai
berkhotbah lebih banyak tentang HUKUM TORAH. Namun, Firman Tuhan mengatakan
bahwa "KUASA DOSA ADALAH HUKUM TORAH (1 Kor 1:56 " Sengat maut ialah
dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat") Firman Tuhan juga mengatakan
"SEBAB KAMU TIDAK AKAN DIKUASAI LAGI OLEH DOSA. KARENA KAMU TIDAK BERADA
DI BAWAH HUKUM TORAH, TETAPI DI BAWAH KASIH KARUNIA". Jadi, kuasa bagi
Gereja untuk mengalahkan dosa sebenarnya ditemukan dalam KASIH KARUNIA dan
bukan dalam menegakkan HUKUM TORAH. Memberitakan lebih banyak tentang TORAH
untuk MELAWAN DOSA sama seperti MENAMBAHKAN kayu bakar ke dalam api!”(Destined to Reign, Ps Joseph Prince, Hal 118)
Tanggapan:
Pernyataan
Prince kembali memantulkan konsepsi usang dan keliru mengenai Torah dan
relevansinya bagi orang-orang yang telah menerima keselamatan dan kehidupan
kekal di dalam Yesus Sang Mesias.
Kita
harus ingat, Rasul Paul menuliskan bahwa dengan mengajarkan keselamatan melalui
iman bukan berarti membatalkan Torah (Roma 3:31)
Arti
"kuasa dosa adalah Torah" bukan bermakna Torah adalah dosa. Rasul
Paul berkata bahwa melalui Torah seseorang menjadi tahu apa itu dosa (Roma 7:7,
Roma 3:20). Di
dalam Torah ada larangan dan pengetahuan mengenai mana yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Pengetahuan terhadap dosa dimulai dr Torah.
Maka jika seseorang hanya menyandarkan keselamatan dan kehidupan kekal denga UPAYA SENDIRI mematuhi Torah, maka mereka akan binasa karena Torah bukan Juruslamat.
Maka jika seseorang hanya menyandarkan keselamatan dan kehidupan kekal denga UPAYA SENDIRI mematuhi Torah, maka mereka akan binasa karena Torah bukan Juruslamat.
Untuk
selamat, kita memerlukan iman kepada YHWH dan Juruslamat yaitu Sang Firman yang
menjadi manusia (Rm 1:17, Yoh 1:14,18). Manusia yg sudah selamat harus menjaga
keselamatan dan mengikut teladan Yesus sesuai petunjuk Torah karena Torah
mengatur ibadah dan hubungan sosial.
Jika
Torah adalah dosa, bagaimana mungkin rasul Paul berkata bahwa Torah adalah
suci, benar, baik?(Roma 7:12) bahkan bersifat rohani (Roma 7:14)?
Jika Torah adalah dosa, mengapa dikatakan kita akan
mengalami bahagia jika membaca dan merenungkannya? (Mazmur 1:1-2)
Marilah kita
mengembalikan kewibawaan ajaran Yesus Sang Mesias sebagai Guru Torah dan pelaku
Torah yang sempurna. Sebagaimana Yesus telah meninggalkan teladan dan contoh pemikiran,
ajaran, ucapan, perilaku, gaya hidup sebagaimana terekam dalam Kitab Injil,
maka hendaklah kita mengikuti jejak beliau. Jika kita menjadikan Torah –
sebagaimana Yesus mengajarkan dan melakukan Torah - sebagai pedoman moral dan
gaya hidup Kristiani, maka Kekristenan memiliki ajaran yang lengkap karena
Torah mengatur banyak aspek baik aspek ibadah kepada Tuhan maupun aspek sosial
kemanusiaan (membela kepentingan orang miskin[13],
melayani janda dan anak yatim[14],
pembagian harta, tsedaqah[15],
aturan mengenai menstruasi, masalah pertanahan, aturan terkait dagang, aturan
terkait peperangan, kesehatan[16],
suap[17],
korupsi[18]
, praktek riba[19]
dll).
End Notes
[1] Is Mormonism
Christian? a Cult? a Heresy?
http://www.catholic-convert.com/blog/2011/10/11/is-mormonism-christian-a-cult-a-heresy/
http://www.catholic-convert.com/blog/2011/10/11/is-mormonism-christian-a-cult-a-heresy/
[4] Bandingkan artikel-artikel berikut:
David Treybig, America's Moral Downturn: What Lies Ahead?
http://www.ucg.org/christian-living/americas-moral-downturn-what-lies-ahead/
Noel Hornor, Society's Slide Into Sexual Immorality
http://www.ucg.org/christian-living/societys-slide-sexual-immorality/
Ray Cotton, The Morality of the West
http://www.leaderu.com/orgs/probe/docs/morality.html
[7] Teguh Hindarto,
Reformasi Yosia: Upaya Meredefinisi
Pemahaman Distortif Terhadap Torah
https://www.academia.edu/8147316/REFORMASI_YOSIA_UPAYA_MEREDEFINISI_PEMAHAMAN_DISTORTIF_TERHADAP_TORAH
https://www.academia.edu/8147316/REFORMASI_YOSIA_UPAYA_MEREDEFINISI_PEMAHAMAN_DISTORTIF_TERHADAP_TORAH
[8] Op.Cit, Torah Rediscovered, p. 101-102
[9] Teguh Hindarto,
Imanku,
Ibadahku, Gaya Hidupku
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/03/buku-baru-imanku-ibadahku-gaya-hidupku.html
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/03/buku-baru-imanku-ibadahku-gaya-hidupku.html
[10] Teguh Hindarto,
Jejak Kaki Sang
Rabi
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/02/buku-baru-jejak-kaki-sang-rabi.html
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/02/buku-baru-jejak-kaki-sang-rabi.html
[11] Teguh Hindarto, Yesus dan Torah
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/yesus-torah-kajian-kitab-matius-517-48.html
[12] Teguh Hindarto, Benarkah Rasul Paul Pendusta dan Membatalkan Torah?
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/03/benarkah-rasul-paul-pendusta-dan.html
[13] Teguh Hindarto, Ekonomi Torah Untuk Kaum Evyon (miskin)
http://bet-midrash.blogspot.com/2012/03/ekonomi-torah-untuk-kaum-evyon-miskin.html
[14] Teguh Hindarto, Pelayanan Terhadap Para Janda dan Anak Yatim
http://bet-midrash.blogspot.com/2011/09/pelayanan-terhadap-para-janda-dan-anak.html
[15] Teguh Hindarto, Memberikan Tsedaqah
http://bet-midrash.blogspot.com/2011/09/memberikan-tsedaqah.html
[16] Teguh Hindarto, Torah Sebagai Sumber Kesehatan Jasmani dan Rohani
http://bet-midrash.blogspot.com/2012/12/torah-sebagai-sumber-kesehatan-jasmani.html
[17] Teguh Hindarto, Suap Membutakan Mata Orang Bijaksana
http://bet-midrash.blogspot.com/2013/02/suap-membuta-buta-orang-bijaksana.html
[18] Teguh Hindarto, Korupsi: Mendapatkan Rezeki Tidak Kosher
http://bet-midrash.blogspot.com/2013/02/korupsi-mendapatkan-rezeki-tidak-kosher.html
[19] Teguh Hindarto, Apakah Praktek Riba Duiperbolehkan?
http://bet-midrash.blogspot.com/2011/11/apakah-praktek-riba-diperbolehkan.html
0 komentar:
Posting Komentar