RSS Feed

TELADAN DAN JEJAK YESUS SEBAGAI SUMBER GAYA HIDUP KRISTIANI

Posted by Teguh Hindarto




Dalam kajian Sosiologi Kesehatan dikenal sebuah penelitian mengenai dua karakteristik dua buah negara bagian di Amerika Serikat yaitu Utah dan Nevada oleh Victor Fuch dalam karyanya, “A Tale of Two States” dan Frederic Welinsky dalam karya yang berjudul, “The Sociology of Health: Principles, Proffesions and Issues”.

Penelitian mereka menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang sama mengenai persamaan dan perbedaan kedua negara bagian tersebut. Persamaan yang muncul di negara bagian tersebut adalah mengenai pendapatan per kapita, prosentase penduduk yang tinggal di wilayah kota, jumlah dokter per 100.000 penduduk, rata-rata tingkat pendidikan formal penduduk, struktur usia penduduk, komposisi ras, perbandingan laki-laki dan perempuan, lingkungan fisik negara.

Adapun perbedaan yang disimpulkan dalam kedua penelitian tersebut memberikan sejumlah fakta mengenai perbedaan harapan hidup, mortalitas (angka kematian), konsumsi alkohol, rokok. Angka mortalitas penduduk dari berbagai golongan usia berkisar 16% dan 54% untuk laki-laki dan 6% dan 69% untuk perempuan. Angka mortalitas karena faktor sirosis hati dan kanker saluran nafas antara tahun 1966-1968 berkisar 111% dan 590% untuk laki-laki dan 205% dan 443% untuk perempuan.

Apa yang menjadi akar perbedaan yang menyolok di kedua negara tersebut sebagaimana hasil kesimpulan kedua penelitian tersebut? Pertama, Mayoritas penduduk Utah memeluk agama Mormon yang melarang pemeluknya untuk mengonsumsi minuman keras, sementara penduduk Nevada yang beragama Kristen angka minuman keras dan merokok sangat tinggi. Kedua, perbedaan mobilitas geografis. Penduduk Utah lebih stabil dan mayoritas lahir di Utah sementara penduduk Nevada adalah kaum migran yang lahir di luar Nevada. Ketiga, perbedaan kestabilan rumah tangga. Kestabilan rumah tangga di Utah lebih tinggi daripada di Nevada. Di Nevada lebih banyak orang berstatus lajang, duda, bercerai yang cukup tinggi.


Fakta yang mengejutkan adalah perbedaan gaya hidup antara Mormon dan mayoritas Kekristenan di kedua negara tersebut. Sebagaimana diketahui oleh mayoritas Kristen, Mormonism yang didirikan oleh Joseph Smith kerap dikategorikan heretic (bidat) dan dianggap bukan bagian dari Kristen[1], sekalipun mereka menghubungkan diri mereka sebagai orang Kristen. Sekte ini didirikan pada tahun 1820 dan saat ini lebih dikenal dengan nama “Gereja Yesus Kristus Orang Kudus Zaman Akhir”. Kitab Suci mereka selain Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada “Book of Mormon[2] dan tulisan karya Joseph Smith “the Doctrine and Covenant” serta “Pearl of Great Price” sebagai pegangan umat Mormon. Jumlah mereka di Amerika sekitar 40% dan di seluruh dunia sekitar 30%[3].

Bagaimana mungkin komunitas yang dikategorikan bidat (heretic) justru menampilkan gaya hidup yang sehat dan lebih patuh pada nilai-nilai yang tertulis dalam Kitab Suci? Bagaimana mungkin umat Kristiani yang mengklaim sebagai umat yang telah mengalami penebusan dari kutuk dosa serta mendapatkan jaminan hidup kekal sebagai kebanggaan, justru memiliki gaya hidup yang lebih buruk dari komunitas yang dituding sebagai bidat?

Hasil penelitian tersebut semakin mengokohkan tudingan bahwa kristianitas khususnya Western Christianity (kristen barat) lekat dengan kehidupan permisif alias serba boleh dan serba bebas. Sudah menjadi rahasia umum gereja dan kekristenan di barat kerap dituding sebagai pengekspor gaya hidup bebas. Ada legalisasi pernikahan sesama jenis, ada legalisasi kehidupan suami istri sebelum melakukan pernikahan, kebiasaan mengonsumsi alkohol dan sejumlah tudingan negatif lainnya. Namun demikian bukan berarti semua gereja dan umat Kristen di barat menjalankan gaya hidup permisif. Masih banyak kantong-kantong Kristiani yang menjalankan kesalehan dan gaya hidup yang berpusat pada Kitab Torah dan Kitab Perjanjian Baru. Sejumlah kajian yang berisikan keprihatinan terhadap dekadensi moral yang merusak Western Christian pun dikeluhkan oleh sejumlah organisasi Kristen di barat[4].

Jika kita menghayati arti dan makna sebutan Kristen yang berasal dari kata Yunani Christianos yang bersumber dari kata Ibrani Mashiakh yang mana julukan itu dihubungkan dengan gelar Yesus sebagai Mesias (Mashiakh – Christos), maka orang-orang Kristen sudah seharusnya menjadikan Yesus sebagai pusat dan teladan kehidupan moral dan religius mereka. 1 Petrus 2:21 mengatakan, “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Mesias pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya”. Ayat tersebut dengan jelas mengatakan bahwa Yesus telah meninggalkan sebuah teladan atau contoh yaitu perkataan, pikiran, ajaran, perilaku, gaya hidup Yesus selama berkarya di Yerusalem sebelum beliau naik ke sorga paska kebangkitannya dari kematian. Teladan dan contoh itu selayaknya kita ikuti jejaknya sehingga kita memiliki perilaku yang seturut dengan Yesus Juruslamat kita. Alih-alih umat Kristen meneladan Yesus dan mengikuti jejaknya, kita justru melihat hal yang berkebalikan khususnya di kalangan Wester Christianity. Akibatnya, ajaran Yesus mendapatkan hujatan dan dilekatkan dengan berbagai perilaku serba bebas dan serbab boleh. Para rasul telah mengingatkan sebelumnya, “Banyak orang akan mengikuti cara hidup mereka yang dikuasai hawa nafsu, dan karena mereka Jalan Kebenaran akan dihujat” (2 Ptr 2:2).

Jika penelitian terhadap negara bagian Utah dan Nevada menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan kadar kesehatan mereka disebabkan negara yang satu menganut agama Mormon dan yang satu menganut Kristianitas, maka menjadi persoalan penting bagi kita untuk mengulas mengapa Kekristenan menghasilkan budaya pemisif alias serba boleh sehingga merusak kesehatan bahkan merusak keimanan? Jawabannya adalah karena gereja dan kekristenan melepaskan Torah sebagai sumber pedoman moral dan gaya hidup.

Yesus yang dituliskan dalam Kitab Injil yang dijadikan sumber teladan untuk kita ikuti jejaknya, tidak pernah melepaskan dirinya dari bingkai Torah baik dalam ajaran dan perilaku kehidupannya sehari-hari. Hal itu dikarenakan Yesus telah bersabda, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan Torah atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat 5:17). Bahkan Yesus menegaskan, “Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah Torah sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah Torah, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:19).

Namun sabda Yesus ini tidak bergaung dalam mimbar gereja dan tidak pula terlihat dalam gaya hidup umat Kristen tertentu. Sebaliknya kita melihat sejumlah kotbah dan ajaran yang meletakkan dan mendudukkan Torah sebagai “kuk”, “lambang perhambaan”, “pelayanan kematian”, “lawan dari Kasih Karunia”.

Seseorang mengutip pendapat Pastor Joseph Prince menjadi status yang dibagikan di laman facebook yang menyatakan demikian: “Yeshua HaMasiakh telah MEMBEBASKAN semua orang percaya dari Perjanjian Torah yang menghakimi. Namun, ada orang-orang percaya yang memilih untuk terus hidup dibawah penghakiman daripada menerima KASIH KARUNIA yang telah DIBELI oleh DARAH Yeshua HaMasiakh.Daripada mempercayai kebaikan Tuhan yang tidak layak mereka terima melalui Yeshua HaMasiakh, mereka justru telah memilih untuk mempercayai KEMAMPUAN mereka untuk MEMATUHI TORAH. Singkatnya, mereka telah memilih PELAYANAN KEMATIAN. (Destined to Reign, Ps Joseph Prince, Hal 115)”. Pernyataan di atas memperlihatkan pemahaman distortif mayoritas Kristen terhadap Torah yang diposisikan sebagai inferior bahkan dikontradiksikan dengan “Kasih Karunia” dan memposisikan “Kasih Karunia” lebih tinggi dari Torah.

Beberapa hari lalu saya pun menerima sebuah pesan singkat di hand phone saya yang menuliskan pernyataan sbb: “Kekristenan tidak boleh lagi menjadikan sepuluh perintah Tuhan menjadi identitas orang Kristen. Mereka pasti berfikir bahwa Kekristenan tidak lain hanyalah aturan hukum dan regulasi tentang apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang seharusnya tidak dilakukan. Mereka pasti membayangkan Tuhan adalah seseorang yang marah kepada mereka. Mereka tidak tahu bahwa Kekristenan sebenarnya adalah sebuah hubungan yang intim dengan Tuhan yang penuh kasih. Seandainya mereka tahu, pasti mereka akan menggedor pintu-pintu gereja setiap hari minggu untuk masuk dan mendengar Yesus dan kasih karunianya. Ini harus dikotbahkan, Amen”, demikian isi pesan singkat tersebut.

Tidak keliru jika David Stern dari Messianic Judaism membuat kesimpulan dalam bukunya, ”In short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of Christian Theology” (singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen)[5]. Pernyataan ini menyiratkan bahwa Teologi Kristen menempatkan kajian tentang Torah, secara tidak berimbang dibandingkan dengan topik lainnya seperti Tuhan, Keselamatan/Anugrah, Dosa, dll. Demikian pula Ariel dan Devorah Berkowitz menegaskan, “If there is one area of misguided theological thinking for believers, it is study of Torah. In fact, most evangelical Bible colleges and seminaries do not even have an area of study called Torah[6] (jika ada satu wilayah yang dipahami secara teologis oleh orang beriman, yaitu studi tentang Torah. Faktanya, kebanyakan sekolah dan seminari Kitab Suci yang bercorak Injili tidak memiliki sebuah wilayah yang disebut dengan studi tentang Torah).

Pernyataan-pernyataan yang saya kutipkan di atas membuktikan kebenaran kesimpulan David Stern dan Ariel Berkowitz bahwa kekristenan memandang salah makna dan fungsi Torah hanya sebatas regulasi (aturan) belaka. Celakanya, mayoritas kekristenan menganggap kehadiran Yesus untuk membebaskan umatnya dari belenggu Torah. Yang benar adalah Yesus datang untuk membebaskan umatnya dari belengu dan kuasa dosa yaitu maut, sebagaimana dikatakan: “Karena kita tahu, bahwa Mesias, sesudah Dia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia. Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Tuhan. Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Tuhan dalam Mesias Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya”.

Makna kebebasan ini pun banyak disalahpahami oleh mayoritas kekristenan sebagai kebebasan dari regulasi (aturan) dalam Torah. Tidak mengherankan bahwa aturan berkaitan dengan hewan yang dikategorikan “tahor” (clean – bersih) dan “tameh” (unclean – kotor) dalam Imamat 11 diabaikan dengan alasan “apa yang sudah dihalalkan janganlah diharamkan” berdasarkan Kisah Rasul 10:15. Bukan saja masalah makanan “tahor dan tameh” (LAI menerjemahkannya dengan “halal” dan “haram”) bahkan larangan makan darah (Im 3:17; 7:26) pun diabaikan. Dan masih banyak aturan, larangan yang dilanggar atas nama pengorbanan Yesus yang telah membebaskan umatnya dari “belenggu Torah”.

Sebelum melakukan kajian yang lebih mendalam, saya akan menanggapi secara singkat kedua pernyataan yang mewakili pemahaman mayoritas Kristen tersebut.

Jika Torah adalah “kuk”, “lambang perhambaan”, “pelayanan kematian”, “lawan dari Kasih Karunia”, lalu mengapa kita diperintahkan “merenungkan Torah siang dan malam” agar beroleh kebahagiaan? (Mzm 1:1-3) Jika Torah mendatangkan keburukkan, lalu mengapa Daud menuliskan bahwa Torah mendatangkan kepandaian dan kecerdasan? (Mzm 119:98-100) Bahkan Torah mendatangkan ketentraman? (Mzm 119:165).

Dalam buku saya berjudul, “Reformasi Yosia: Upaya Meredefinisi Pemahaman Distortif Terhadap Torah”, saya menganalisis bahwa baik orang Yahudi khususnya penganut Yudaisme di zaman Yesus dan umat Kristen paska Yesus dan paska rasuli, jatuh pada tafsir dan kesimpulan yang keliru terhadap Torah. Jika orang Yahudi dan penganut Yudaisme di zaman Yesus menjadikan Torah sebagai alat untuk mendapatkan keselamatan sehingga mereka terjebak pada praktek legalisme, maka umat Kristen terjatuh pada kesalahan menafsirkan sabda Yesus dan tulisan rasul Paul sehingga menduga mereka mengajarkan sikap antinomisme[7]. Ariel Berkowitz menegaskan kenyataan tersebut sbb, “Christian misunderstanding of the Torah is a complex issue. It stems from a gross misinterpretation of several biblical passages, mostly in the writing of Sha’ul of Tarsus. But this contemporary misinterpretation is bolstered by approximately 1800 years of anti Jewish rhetoric from some of the Church’s so called finest exegetes the Church Father[8] (Kesalahpahaman orang-orang Kristen terhadap Torah merupakan persoalan yang rumit. Kesalahpahaman ini berakar pada lusinan kesalahan tafsir dari beberapa ayat Kitab Suci, khususnya tulisan-tulisan Rasul Paul dari Tarsus. Namun kesalahan penafsiran zaman ini didukung oleh kotbah-kotbah anti Yahudi selama 1800 tahun dari beberapa gereja yang menyebut dengan kotbah terbaik para Bapa Gereja).

Dalam buku di atas saya telah mengulas panjang labar kesalahan-kesalahan penafsiran dan kekurangakuratan terjemahan yang bermuara pada kesimpulan dan dogma yang salah mengenai Torah dan aspek-aspeknya. Dan dalam buku “Imanku, Ibadahku, Gaya Hidupku”[9] serta “Jejak Kaki Sang Rabi”[10] saya telah mengulas secara panjang lebar berbagai isyu yang kerap disalahpahami oleh mayoritas Kristen al., sabat, sunat, halal dan haram, larangan minum darah, dll.

Jika kita pengikut Yesus, maka kita harus meneladan Yesus. Teladan Yesus menjadi petunjuk untuk kita ikuti. Yesus yang diberitakan oleh Kitab Perjanjian Baru bukanlah Yesus yang meniadakan Torah, bukan Yesus yang meniadakan Sabat, bukan Yesus yang melanggar hukum soal makanan dalam Imamat 11, bukan Yesus yang membebaskan kita dari kuasa dosa untuk hidup serba bebas dan serba boleh. Yesus dalam Kitab Perjanjian Baru bukan hanya Yesus sebagai Mesias, Anak Tuhan  melainkan Guru Torah dan pelaku Torah yang sempurna (Mat 5:18).


Dalam Kitab Injil, berulang kali Yesus disapa Rabi. Julukan dalam bahasa Ibrani “Rabi” muncul tujuh belas kali (Mat 23:7,8, Mrk 9:5, Yoh 3:2) dan “Rabuni” sebanyak dua kali (Mrk 10:51, Yoh 20:16) serta dalam bahasa Yunani  bentuk Nominatif  “Didaskalos” sebanyak lima belas kali (Mat 17:24, Mrk 14:14, Luk  22:1, Yoh 13:13) dan bentuk Vokatif (kata seru) “Didaskale” sebanyak 31 kali (Mat 8:19, Mat 12:38, Mrk 9:17, Luk 3:12, Yoh 8:4). Dalam kultur dan latar belakang Yudaisme, seorang rabbi adalah guru Torah. Yesus pun adalah guru Torah. Sebagai guru Torah, Yesus tentu saja mengajarkan Torah. Namun cara Yesus mengajar Torah berbeda dengan para rabi lainnya (Mrk 1:22). Yesus mengajarkan Torah bukan sebagai jalan beroleh keselamatan dan hidup kekal. Torah adalah pedoman moral dan gaya hidup orang beriman sebagai orang yang telah menerima Kasih Karunia Tuhan YHWH Sang Bapa Surgawi (Mat 5:19-20)[11]. Yesus meluruskan pemahaman orang Yahudi pada zamannya yang terjebak pada dosa kemunafikan dan legalistik sehingga menggeser fungsi dan kedudukan Torah sebagai pedoman perilaku dan pedoman tata peribadatan menjadi alat keselamatan. Demikian pula dilakukan oleh Rasul Paul dalam surat-suratnya untuk meluruskan kesalahpahaman terhadap fungsi dan kedudukan Torah[12].

Bagaimana kita masih berani mengklaim sebagai pengikut Yesus sementara kita masih berada dalam pemahaman sebagaimana pernyataan Pastor Joseph Prince yang membenturkan Torah dan Kasih Karunia sebagaimana dituliskan dalam bukunya “Destine to Reign”? Saya akan menanggapi sedikit beberapa pernyataan dalam buku tersebut al.,

Joseph Prince:

“Anda lihat, Torah menuntut KESEMPURNAAN, tetapi TIDAK AKAN MELAKUKAN APA PUN UNTUK MENOLONG. Dan, seperti yang diperlihatkan dalam kasus orang yang sedang kehilangan rambutnya, manusia tidak memiliki kemampuan sendiri, betapa kerasnya ia berusaha untuk memenuhi tuntunan TORAH, dan dengan demikian terkutuk karena melanggar TORAH. Sebaliknya, KASIH KARUNIA MEMBERIKAN Kesempurnaan dan Melakukan apa Segala Sesuatu untuk manusia melalui YESHUA HAMASIAKH dan apa yang perlu dilakukan manusia hanyalah PERCAYA. Menurut Anda, mana yang ,lebih mulia? Pelayanan kematian yang MENUNTUT atau Pelayanan KASIH KARUNIA yang MEMBERIKAN? (Destined to Reign, Ps Joseph Prince, Hal 117)

Tanggapan:

Pemahaman yang mengontradiksikan TORAH dan KASIH KARUNIA adalah hasil KONSTRUKSI SOSIAL (social contruction) dari mazhab-mazhab mainstream dalam kekristenan yang mengabaikan tafsir dan analisis teks berdasarkan bahasa sumber penulisan Kitab Perjanjian baru serta kultur Yahudi dan Yudaisme para tokoh, percakapan yang dituliskan di dalamnya.

Terjemahan Yohanes 1:17 adalah contoh hasil terjemahan dan tafsir yang mengonstruksi cara orang Kristen dalam memahami relasi Torah dan Kasih Karunia menjadi kontradiktif.

Terjemahan, Torah datang melalui Musa TETAPI Kasih Karunia datang melalui Yesus menjadikan Torah dan Kasih Karunia berada pada hubungan kontradiktif dan face to face.

Padahal kata Yunani yang dipergunakan dalam Yohanes 1:17 bukan ALLA ( tetapi) melainkan KAI (dan) yang mengindikasikan kesejajaran.

Baik Torah dan Kasih Karunia datang dari sumber yang sama yaitu Tuhan YHWH namun media penyampaiannya berbeda. Yang satu melalui Musa dan yang satu melalui Yesus.

Pernyataan Joseph Prince hanyalah pantulan pemahaman yang dia anut sebagai hasil konstruksi sosial sebelumnya. Bagi saya, itu pemahaman 20 tahun lalu. Saatnya kita berani melakukan rekonstruksi baru terhadap dogma yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran.

Mazhab-mazhab mainstream kristen khususnya "western christianity" yang pro "capitalism system" yang direfleksikan melalui "prosperity gospel" telah mereduksi kata PERCAYA/IMAN sebagai sesuatu yang terlepas dari PERILAKU dan KETAATAN pada perintah.

Yesus bersabda: " Barangsiapa mengasihi Aku, dia akan melakukan perintah-perintahku" ( Yoh 14:21). Perintah dalam bahasa Ibrani adalah MITSWAH yang merujuk pada perintah-perintah dalam Torah. Jadi bagaimana mungkin seseorang yang percaya pada Yahshua (Yeshua) melepaskan dirinya dari Torah?

Mereka tidak bisa membedakan antara Torah (nomos) dan Legalisme (hupo nomos/erga nomos). Yesus dan rasul Paul melawan pemahaman yang salah terhadap Torah yaitu Legalisme dan bukan melawan Torah

Joseph Prince:

“Sementara beberapa generasi, gereja telah MEMPERCAYAI bahwa dengan mengkhotbahkan Sepuluh Perintah Tuhankita menghasilkan KEKUDUSAN. Jika kita melihat dosa bertambah, kita mulai berkhotbah lebih banyak tentang HUKUM TORAH. Namun, Firman Tuhan mengatakan bahwa "KUASA DOSA ADALAH HUKUM TORAH (1 Kor 1:56 " Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat") Firman Tuhan juga mengatakan "SEBAB KAMU TIDAK AKAN DIKUASAI LAGI OLEH DOSA. KARENA KAMU TIDAK BERADA DI BAWAH HUKUM TORAH, TETAPI DI BAWAH KASIH KARUNIA". Jadi, kuasa bagi Gereja untuk mengalahkan dosa sebenarnya ditemukan dalam KASIH KARUNIA dan bukan dalam menegakkan HUKUM TORAH. Memberitakan lebih banyak tentang TORAH untuk MELAWAN DOSA sama seperti MENAMBAHKAN kayu bakar ke dalam api!”(Destined to Reign, Ps Joseph Prince, Hal 118)

Tanggapan:

Pernyataan Prince kembali memantulkan konsepsi usang dan keliru mengenai Torah dan relevansinya bagi orang-orang yang telah menerima keselamatan dan kehidupan kekal di dalam Yesus Sang Mesias.

Kita harus ingat, Rasul Paul menuliskan bahwa dengan mengajarkan keselamatan melalui iman bukan berarti membatalkan Torah (Roma 3:31)
Arti "kuasa dosa adalah Torah" bukan bermakna Torah adalah dosa. Rasul Paul berkata bahwa melalui Torah seseorang menjadi tahu apa itu dosa (Roma 7:7, Roma 3:20). Di dalam Torah ada larangan dan pengetahuan mengenai mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pengetahuan terhadap dosa dimulai dr Torah.

Maka jika seseorang hanya menyandarkan keselamatan dan kehidupan kekal denga UPAYA SENDIRI mematuhi Torah, maka mereka akan binasa karena Torah bukan Juruslamat.

Untuk selamat, kita memerlukan iman kepada YHWH dan Juruslamat yaitu Sang Firman yang menjadi manusia (Rm 1:17, Yoh 1:14,18). Manusia yg sudah selamat harus menjaga keselamatan dan mengikut teladan Yesus sesuai petunjuk Torah karena Torah mengatur ibadah dan hubungan sosial.

Jika Torah adalah dosa, bagaimana mungkin rasul Paul berkata bahwa Torah adalah suci, benar, baik?(Roma 7:12) bahkan bersifat rohani (Roma 7:14)? Jika Torah adalah dosa, mengapa dikatakan kita akan mengalami bahagia jika membaca dan merenungkannya? (Mazmur 1:1-2)

Marilah kita mengembalikan kewibawaan ajaran Yesus Sang Mesias sebagai Guru Torah dan pelaku Torah yang sempurna. Sebagaimana Yesus telah meninggalkan teladan dan contoh pemikiran, ajaran, ucapan, perilaku, gaya hidup sebagaimana terekam dalam Kitab Injil, maka hendaklah kita mengikuti jejak beliau. Jika kita menjadikan Torah – sebagaimana Yesus mengajarkan dan melakukan Torah - sebagai pedoman moral dan gaya hidup Kristiani, maka Kekristenan memiliki ajaran yang lengkap karena Torah mengatur banyak aspek baik aspek ibadah kepada Tuhan maupun aspek sosial kemanusiaan (membela kepentingan orang miskin[13], melayani janda dan anak yatim[14], pembagian harta, tsedaqah[15], aturan mengenai menstruasi, masalah pertanahan, aturan terkait dagang, aturan terkait peperangan, kesehatan[16], suap[17], korupsi[18] , praktek riba[19] dll).


End Notes

[3] Mormons
http://en.wikipedia.org/wiki/Mormons

[4] Bandingkan artikel-artikel berikut:

David Treybig, America's Moral Downturn: What Lies Ahead?
http://www.ucg.org/christian-living/americas-moral-downturn-what-lies-ahead/

Noel Hornor, Society's Slide Into Sexual Immorality
http://www.ucg.org/christian-living/societys-slide-sexual-immorality/

Ray Cotton, The Morality of the West
http://www.leaderu.com/orgs/probe/docs/morality.html

[5] David Stern, Messianic Jewish Manifesto, Jewish New Testament Publications, 1991, p.126

[6] Ariel Berkowitz, Torah Rediscovered, Hampton: Shoreshim Publishing, Inc, 1996, p.1

[7] Teguh Hindarto, Reformasi Yosia: Upaya Meredefinisi Pemahaman Distortif Terhadap Torah
https://www.academia.edu/8147316/REFORMASI_YOSIA_UPAYA_MEREDEFINISI_PEMAHAMAN_DISTORTIF_TERHADAP_TORAH

[8] Op.Cit, Torah Rediscovered, p. 101-102

[9] Teguh Hindarto, Imanku, Ibadahku, Gaya Hidupku
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/03/buku-baru-imanku-ibadahku-gaya-hidupku.html

[10] Teguh Hindarto, Jejak Kaki Sang Rabi
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/02/buku-baru-jejak-kaki-sang-rabi.html

[11] Teguh Hindarto, Yesus dan Torah
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/yesus-torah-kajian-kitab-matius-517-48.html

[12] Teguh Hindarto, Benarkah Rasul Paul Pendusta dan Membatalkan Torah?
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/03/benarkah-rasul-paul-pendusta-dan.html

[13] Teguh Hindarto, Ekonomi Torah Untuk Kaum Evyon (miskin)
http://bet-midrash.blogspot.com/2012/03/ekonomi-torah-untuk-kaum-evyon-miskin.html

[14] Teguh Hindarto, Pelayanan Terhadap Para Janda dan Anak Yatim
http://bet-midrash.blogspot.com/2011/09/pelayanan-terhadap-para-janda-dan-anak.html

[15] Teguh Hindarto, Memberikan Tsedaqah
http://bet-midrash.blogspot.com/2011/09/memberikan-tsedaqah.html

[16] Teguh Hindarto, Torah Sebagai Sumber Kesehatan Jasmani dan Rohani
http://bet-midrash.blogspot.com/2012/12/torah-sebagai-sumber-kesehatan-jasmani.html

[17] Teguh Hindarto, Suap Membutakan Mata Orang Bijaksana
http://bet-midrash.blogspot.com/2013/02/suap-membuta-buta-orang-bijaksana.html

[18] Teguh Hindarto, Korupsi: Mendapatkan Rezeki Tidak Kosher
http://bet-midrash.blogspot.com/2013/02/korupsi-mendapatkan-rezeki-tidak-kosher.html

[19] Teguh Hindarto, Apakah Praktek Riba Duiperbolehkan?
http://bet-midrash.blogspot.com/2011/11/apakah-praktek-riba-diperbolehkan.html

0 komentar:

Posting Komentar