Tanggal 30 September 1965 pk 03.00 di bawah komando Letkol Untung Samsuri, Komandan Batalyon I
Resimen Cakrabirawa (pasukan kawal presiden) akan dilaksanakan
penculikan tujuh pimpinan TNI Angkatan Darat yang disebut-sebut sebagai
Dewan Jenderal. Ketujuh perwira Angkatan Darat tersebut adalah Jenderal
Nasution (Menko Hankam/KSAB), Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen
Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen A. Sukendro,
Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, Brigjen D.I. Panjaitan. Dari kedelapan
jenderal hanya tujuh yang dipastikan ada di Jakarta dan Brigjen A.
Sukendro sedang berada di RRC.
Operasi penculikan Dewan Jendral
dinamai "Operasi Takari" yang terdiri dari tiga kesatuan pasukan yaitu
Pasukan Pasopati, Pasukan Bimasakti, Pasukan Gatotkaca. Pasukan Pasopati
dipimpin oleh Letkol Dul Arief dari Resimen Cakrabirawa dengan tugas
menculik ketujuh jendral dalam keadaan hidup atau mati. Pasukan
Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi Prawirohardjo dari Brigif-1
Jayasakti/Jakarta dengan tugas menguasai Jakarta Raya dan sarana vital
seperti Radio Republik Indonesia (RRI). Pasukan Gatotkaca dipimpin oleh
Mayor Gatot Sukrisno yang akan menggunakan kawasan Lubang Buaya sebagai
basis kekuatan sekaligus tempat menampung tujuh jenderal yang mereka
sebut Dewan Jenderal. Sebagai lawan dari Dewan Jenderal, pasukan
penculik ini menamakan dirinya Dewan Revolusi.
Selebihnya kita
semua mengetahui apa yang selanjutnya terjadi sebagaimana digambarkan
dalam film berjudul G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer pada tahun 1980-an.
Kesadisan dan kekerasan yang dipertontonkan dalam aksi penculikkan yang
berujung pembantaian ketujuh jenderal Angkatan Darat yang memilukan hati
dan mengharu biru perasaan kebangsan kita. Film ini rutin menghiasi
layar kaca satu-satunya televisi di Indonesia kala itu yaitu TVRI
(Televisi Republik Indonesia) sejak tahun 1987 hingga 1997.
Aksi
petualangan pasukan penculik berakhir Tanggal 1-5 Oktober 1965 dimulai
dengan penguasaan kembali Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat
Telekomunikasi oleh kesatuan RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo,
pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri.
Dilanjutkan Tanggal 2 Oktober penguasaan Bandara Halim Perdana Kusuma
oleh kesatuan RPKAD. Berlanjut Tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD
yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang
Buaya dan dalam beberapa jam kemudian menindaklanjuti informasi proses
eksekusi para jenderal di sekitar Lubang Buaya, maka pasukan RPKAD
berhasil menemukan mayat ketujuh jenderal tersebut yang ditanam dalam
satu lubang dengan kedalaman 12 meter bergaris tengah 3/4 meter.
Pengangkatan jenasah dilakukan tanggal 4 Oktober dan tanggal 5 Oktober
dilaksanakan penguburan jenasah para tujuh jenderal yang kemudian
disebut Pahlawan Revolusi.
Sebelum Reformasi, tafsir tunggal
dalang peristiwa penculikkan tujuh jenderal adalah Partai Komunis
Indonesia yang hendak menggulingkan pemerintahan yang sah melalui
kudeta. Bahkan lebih jauh dalam buku berjudul Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G30S-PKI Dan Peran Bung Karno, karya jurnalis Soegiarso
Soerojo disebutkan keterlibatan Presiden Soekarno dikarenakan mengetahui
dan merestui aksi penculikkan tersebut (1988:259-268).
Paska
runtuhnya Orde Baru (ORBA) mulai berkembang berbagai tafsir dan analisis
berkaitan siapa dan motif apa dibalik peristiwa malam jahanam 30
September 1965 lalu.
Dalam buku berjudul Kudeta 1 Oktober 1965:
Sebuah Analisis Awal (Cornell Paper) karya Benedict R.O’G. Anderson
dan Ruth T. McVey (Syarikat, 2001) disebutkan bahwa peristiwa G-30-S
sebagai pemberontakan para perwira muda –khususnya dari Divisi
Diponegoro– terhadap kepemimpinan Angkatan Darat yang korup dan
kebarat-baratan, serta dianggap akan menyabot kebijakan politik dari
Presiden Sukarno.
Dalam buku Militer Dan Politik Di Indonesia karya Harold Crouch (Sinar Harapan, 1999) dijelaskan bahwa peristiwa
G-30-S lahir dari pertemuan kepentingan antara perwira progresif dengan
suatu klik terbatas dalam kepemimpinan PKI untuk melawan pimpinan AD
karena mengkhawatirkan kemungkinan pengambilalihan kekuasaan oleh AD
jika Sukarno wafat (Presiden Sukarno mengalami sakit serius pada awal
Agustus 1965).
Dalam buku Apakah Soekarno Terlibat Peristiwa G30S?
Karya Kerstin Beise (Ombak, 2004) dijelaskan bahwa G-30-S disebut
sebagai gerakan kontra-revolusi yang didalangi PKI, kemudian seiring
dengan diadakannya pengadilan militer, mulai tersiar indikasi bahwa
presiden telah mengetahui sebelumnya mengenai rencana penculikan dan
pembunuhan terhadap sejumlah jenderal. Munculnya isu keterlibatan Bung
Karno baru gencar pada pertengahan kedua tahun 1966 ketika ia bersikeras
menolak keinginan AD untuk melarang komunisme. Akhirnya setelah Bung
Karno bersedia mundur dari kekuasaan, barulah Suharto menyatakan bahwa
keterlibatan mantan presiden itu “belum dapat dibuktikan”.
Dalam
buku Titik Silang Kekuasaan Tahun 1966 karya Rum Aly (Kata Hasta
Pustaka, 2006) disebutkan bahwa peristiwa G-30-S sebagai suatu insiden
kompleks yang tidak dapat ditentukan dalangnya, karena masing-masing
kekuatan memiliki kontribusi dalam mendorong terjadinya peristiwa.
Presiden Sukarno memiliki kepentingan menggeser pimpinan AD yang tak
loyal, tetapi ia tidak memiliki kendali atas gerakan yang berkembang
jauh di luar keinginannya. G-30-S sendiri adalah konspirasi antara
Untung sebagai pimpinan prajurit loyalis Sukarno dengan Sjam yang
mengemban misi dari ketua PKI Aidit untuk “memukul terlebih dahulu”
kepemimpinan AD.
Buku dengan judul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September Dan Kudeta Suharto karya John Roosa (ISSI/Hasta
Mitra, 2008) menjelaskan bahwa gerakan G-30-S menyatakan diri ingin
melindungi Sukarno, tetapi juga ingin mendongkelnya, adanya banyak
pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan, serta sejumlah ‘human
error’ dalam operasi militer tersebut.
Adapun buku berjudul
Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Dan Konspirasi G-30-S 1965 (Hasta
Mitra 2002) membeberkan sejumlah dokumen yang membuktikan keterlibatan
CIA dan pemerintahan Amerika Serikat untuk memukul pengaruh komunisme
dan keberpihakkan Soekarno terhadap PKI.
Tujuan pemetaan opini
dan analisis paska Orde Baru mengenai peristiwa malam jahanam 30
September 1965 bukan untuk mengaburkan dan mengecilkan keterlibatan
Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan
tersebut namun untuk membaca sebuah peristiwa historis dari banyak aspek
dan perspektif. Ada banyak pihak yang terlibat baik secara langsung dan
tidak langsung bagi terciptanya kondisi-kondisi yang berujung pada
peristiwa G-30-S. Peristiwa ini hanyalah sebuah puncak dari kontestasi
dan rivalitas yang sudah terjadi tahun-tahun sebelumnya baik di kalangan
militer dan partai komunis serta kekuatan-kekuatan lain baik di dalam
maupun di luar negeri. Wacana "siapa mengudeta siapa" menjadi semakin
beragam dan berkembang dari banyak perspektif.
Tafsir dan
analisis historis Paska ORBA pun memberikan ruang bagi pelurusan
berita-berita yang jauh dari kenyataan seperti isyu penyiletan organ
tubuh para jenderal yang dieksekusi di malam jahanam tersebut. Hasil
otopsi kedokteran.
Tafsir dan analisis Paska ORBA pun memberikan
ruang dan wawasan baru bahwa korban-korban jiwa bukan hanya dialami oleh
golongan yang anti dengan PKI namun juga golongan yang berafiliasi
dengan PKI. Bahkan lebih menakutkan membaca fakta dan data tindakan
balas dendam terhadap PKI dan semua yang berafiliasi dengan partai
tersebut. Dilaporkan hampir tiap hari ditemukan mayat di Bengawan Solo
yang tidak satupun orang berani mengurusnya dan sejumlah peristiwa
horrible lainnya sepanjang Tahun 1965-1966.
Tafsir dan analisis
Paska ORBA pun memberikan ruang dan wawasan baru bahwa para pendiri
bangsa seperti Soekarno dan Hatta serta Syahrir sudah akrab dengan
konsepsi Sosialisme. Dalam buku karya Peter Kasenda dengan judul
Sukarno, Marxisme Dan Leninisme (Komunitas Bambu 2014) diulas jejak
interaksi pemikiran Soekarno dengan konsepsi Karl Marx dan menjadikannya
pisau analisis persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan.
Untuk
menjadi seorang ekonom yang baik, Bung Hatta pernah menganjurkan agar
setidaknya harus mampu menguasai tiga buku: The Wealth of Nation dari
Adam Smith; Das Kapital dari Karl Marx; dan General Theory of Employment
dari J.M. Keynes. Beliau pun pernah menulis buku dengan judul Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Djambatan).
Peringatan 30 September
(penculikan tujuh jendral Angkatan Darat oleh Dewan Revolusi dimana PKI
dibelakang mereka) dan dilanjutkan 1 Oktober (Hari Kesaktian Pancasila)
kiranya menjadi momentum bersama bukan untuk membangun sebuah kesadaran
paranoid akan bahaya laten Komunisme belaka namun sebagai momentum untuk
berdamai dengan menutup buku masa lalu sebagaimana dikatakan Peter
Kasenda dalam buku Sukarno, Marxisme Dan Leninisme sbb: "Tanpa beban
masa lalu, seluruh bangsa bisa membangun atau membangun kembali hubungan
yang tidak dibayangi oleh konflik-konlik dan kebencian hari kemarin.
Ini suatu kondisi dimana terjadi rasa saling percaya, baik secara
horizontal maupun vertikal; suatu kondisi semua pihak percaya bahwa tak
seorangpun akan mengusik koeksistensi damai yang dicapai. Ini juga suatu
kondisi dimana semua pihak sepakat untuk menutup 'buku masa lalu'. Di
atas buku masa lalu yang tertutup inilah, masa kini dibingkai kembali
dan masa depan direncanakan bersama" (2014:242).
Marilah kita
bersama menjadikan dua tanggal keramat ini menjadi momentum bersama
untuk menegaskan kolektifitas kita sebagai nation untuk berikrar
menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Falsafah Bangsa dan bukan
ideologi lainnya dan yang menampung semua keragaman dengan tujuan
membangun Indonesia yang bermartabat dan berpengaruh di dalam pergaulan
Internasional.
Jika Pancasila adalah kita dan kita adalah
Pancasila (artinya kitalah yang memantulkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara), maka kitalah yang seharusnya menjaga
kesaktiannya tetap bercahaya dan mematahkan semua upaya-upaya kudeta
untuk menggantikan haluan negara kita.
0 komentar:
Posting Komentar