Ulasan
Film dan Catatan Kritis Film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”
Di
era teknologi informasi dan kebangkitan film Indonesia, salah satu metode untuk
menarik minat siswa didik dalam menyukai dan menghargai sejarah bangsanya
adalah dengan menonton film-film bertemakan sejarah bangsa dan tokoh-tokoh yang
turut membentuk warna dan dasar negara republik yang beragam etnis dan budaya
serta agama ini. Dengan menonton film, kebekuan dan kemonotonan bentuk-bentuk
komunikasi dalam menyampaikan mata pelajaran sejarah dapat diminimalisir.
Menonton film sejarah merupakan dinamisasi metodologi penyampaian materi
sejarah. Sayangnya, belum banyak guru-guru yang memanfaatkan hadirnya film-film
bertemakan sejarah untuk ditonton bersama dan didiskusikan keesokkan harinya
usai film tersebut dinikmati.
Film
karya sutradara Garin Nugroho dengan judul, Guru
Bangsa: Tjokroaminoto (2015) adalah salah satu film yang layak untuk
ditonton oleh banyak kalangan, khususnya para pendidik, guru sejarah dan siswa
didik, setelah sebelumnya sineas-sineas muda Indonesia melahirkan film-film
bertemakan tokoh sejarah seperti,Gie
(Riri Reza, 2005) dan Soekarno: Indonesia
Merdeka (Hanung Bramantyo, 2014)[1].
Garin Nugroho pernah menggarap tema film yang sama (sejarah) sebelumnya melalui
tokoh Katolik nasionalis bernama Soegija
(2005).
Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto, berlangsung
selama tiga jam yang cukup menyita perhatian. Kisah dimulai dalam beberapa fase
standar dimulai dari fase kelahiran Tjokroaminoto (Reza Rahardian) pada tanggal
16 Agustus 1883 yang merupakan keturunan Wedana Kleco bernama Raden Mas Tjokro
Amiseno, di Madiun. Sebagaimana kebiasan tokoh-tokoh historis yang melegenda,
kelahirannya dihubungkan dengan meletusnya Gunung Krakatau – seagaimana
kelahiran Soekarno dihubungkan dengan meletusnya Gunung Kelud. Lalu fase
berikutnya bergerak saat Tjokroaminoto telah bertumbuh dewasa dan memiliki
seorang istri bernama Soeharsikin (Puteri Ayunda) dan memulai karir pertamanya sebagai
pangreh pradja di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi namun pada
tahun 1907, ia keluar dari pekerjaannya sehingga menimbulkan kemurkaan sang
ayah mertua. Kisah bergeser ke tahun 1912 dimana Tjokroaminoto mendirikan organisasi
baru bernama Sarekat Islam (SI)
didirikan untuk menggantikan Sarekat
Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Samanhudi pada tahun 1905. Organisasi
Sarekat Dagang Islam (SDI) pada
awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis
oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk
menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat
bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Semenjak Tjokroaminoto
mendirikan Sarikat Islam, kegiatan
organisasi bukan hanya menitik beratkan persoalan ekonomi melainkan sosial dan
politik. Fase berikutnya dari aktifitas Tjokroaminoto yang dipotret dalam film
ini adalah kesuksesan Cokroaminoto memimpin pergerakkan Sarikat Islam melalui vergadering
SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. dan Kongres resmi perdana SI pada
25 Maret 1913 di Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua
CSI mendampingi Hadji Samanhoedi. Terekam dalam adegan film aktifitas
jurnalisme SI melalui penerbitan koran Oetoesan
Hindia bersama Hasan Ali Surati (Alex Komang), seorang keturunan India,
yang memegang keuangan surat kabar tersebut. Selain akifitas jurnalisme,
berbagai aktifitas pendirian cabang-cabang SI di berbagai daerah serta
pidato-pidato politik Cokroaminoto yang memukau ditampilkan serta tindakan
keberpihakkannya terhadap kaum kromo (rakyat jelata). Aktifitas dan sepak
terjang Tjokroaminoto menimbulkan sejumlah gelar baik yang ditampilkan dalam
film ini (Jang Oetama) maupun yang
tidak ditampilkan dalam film ini (Singa
Podium dan Raja Jawa Tanpa Mahkota).