Hantu
komunis yang dihembuskan sejak rezim Orde Baru berdiri, bukan hanya menciptakan
paranoid di masyarakat namun menciptakan sebuah stigmatisasi yang menjauhkan
pemahaman masyarakat untuk mengetahui apa dan bagaimana ideologi komunis di
Indonesia secara obyektif. Pemahaman obyektif yang dimaksudkan adalah bukan
sekedar melekatkan istilah bahaya laten komunisme yang telah melakukan
penculikan dan pembantaian tujuh jenderal pada 30 September 1965 serta berniat
melakukan makar terhadap negara namun menelaah akar kemunculan ideologi
komunisme, perkembangannya di Indonesia, tokoh dan pemikiran komunisme, peran
historis di era revolusi dan paska kemerdekaan Indonesia hingga pembubaran
ideologi komunisme di Indonesia oleh rezim Orde Baru serta dampak pelarangan
ideologi komunis dan partai komunis yang berupa konflik sosial horisontal yang
berwujud pembunuhan massal atas nama ideologi.
Istilah
komunisme hanyalah salah satu cabang pemikiran radikal dari sosialisme. Untuk
memahami istilah komunisme sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa dan
bagaimana sosialisme itu. Berbicara mengenai sosialisme dan pemikiran Karl
Marx, fakta historis mengatakan bahwa para sudah sejak masa revolusi fisik dan
paska kemerdekaan, ideologi sosialisme dan pemikiran Karl Marx diakrabi oleh
para pendiri bangsa (founding fathers) dan parta-partai nasionalis maupun
agama. Jeanne S. Mintz mengatakan, “Revolusi
Indonesia diperjuangkan di atas dasar prinsip-prinsip nasionalise yang amat
diwarnai sosialisme. Baik pemimpin maupun organisasi-organisasi sosial politik
besar di masa revolusi pada umumnya adalah kelompok sayap kiri”[1].
Hal senada dikatakan Peter Kasenda, “Sebenarnya
sejumlah pemimpin Indonesia telah bersentuhan dengan sebuah partai sosialis
yang berkembang di negeri kincir angin”[2].
Sebelum lebih jauh menelisik pengaruh ideologi sosialisme dan pemikiran Karl
Marx terhadap para pendiri bangsa (founding fathers) dan parta-partai
nasionalis maupun agama, kita akan menelaah secara singkat mengenai definisi
dan konsepsi sosialisme.
Encylopaedia
Britannica mendefinisikan sosialisme sbb: “Social
and economic doctrine that calls for public rather than private ownership or
control of property and natural resources. According to the socialist view,
individuals do not live or work in isolation but live in cooperation with one
another. Furthermore, everything that people produce is in some sense a social
product, and everyone who contributes to the production of a good is entitled
to a share in it. Society as a whole, therefore, should own or at least control
property for the benefit of all its members”[3] (Ajaran sosial dan ekonomi yang
menyerukan kepemilikan atau kontrol properti dan sumber daya alam oleh
publik tinimbang pribadi. Menurut pandangan kaum
sosialis, individu tidak tinggal
atau bekerja di ruang tertutup namun hidup dalam kerjasama antara satu sama lain. Selain itu, segala
sesuatu yang dihasilkan masyarakat memiliki arti sebagai produk sosial dan
semua orang yang memberikan kontribusi
untuk produksi barang tersebut
berhak untuk bagian di
dalamnya. Oleh karenanya, masyarakat secara keseluruhan, harus memiliki
atau setidaknya mengendalikan
properti untuk kepentingan semua anggotanya). Melengkapi definisi
di atas, kita tambahkan penjelasan Joseph A. Schumpeter sbb: “Melalui masyarakat sosialis, kami akan
membentuk pola kelembagaan yang mengatur kontrol atas sarana-sarana produksi
dan produksi itu sendiri adalah tetap dengan otoritas pusat – atau, sebagaimana
yang kami katakan sebagai masalah prinsip, urusan ekonomi masyarakat adalah
milik publik dan bukan pada ranah swasta. Sosialisme disebut sebagai
cendekiawan Proteus (dalam mitologi Yunani satu dewa profetik yang melayani
Poseidon, mampu mengubah bentuknya jika diinginkan)”[4]. Dari kedua definisi di atas kita dapat
mendeskripsikan bahwa sosialisme adalah sistem ekonomi dimana kontrol terhadap
gerak perekonomian ada di tangan publik (negara), masyarakat dibandingkan
individu (pengusaha, pemilik modal). Bahkan Schumpeter menyebutnya sebagai
cendekiawan Proteus yang melayani Poseidon yang bermakna bahwa sosialisme
bersifat melayani masyarakat.
Sebelum
Karl Marx mencetuskan istilah sosialisme ilmiah dan komunisme, rumusan dan
konsepsi tentang sosialisme itu sendiri sudah berkembang jauh sebelumnya
sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, “Cita-cita
sosialisme sudah dicetuskan jauh sebelum Marx mulai memikirkan revolusi
proletariat. Banyak dari gagasan-gagasan yang akan menjadi pokok pemikirannya
diperolehnya dari tulisan para pemikir sosialis sebelumnya”[5].
Pemikiran sosialisme sudah dimulai sejak budaya Yunani kuno khususnya pemikiran
Plato yang mengajarkan bahwa kasta filosof yang layak memimpin negara dan harus
memiliki sejumlah kriteria yang antara lain tidak mempunyai kepemilikan pribadi
dan tidak boleh berkeluarga. Selain Plato, ada Euhemeros dan Jambulos yang
mendeskripsikan “negara matahari” dimana segala sesuatu, termasuk istri adalah
milik bersama. Para filsuf Stoa mengajarkan bahwa pada zaman keemasan segala
sesuatu adalah milik bersama. Ketika muncul hak milik pribadi, terjadilah
bencana[6].
Di
zaman Renaissance (Abad XV) mulai terjadi pergeseran pemikiran mengenai
konsepsi sosialisme. Mulai banyak orang mengkhayalkan sebuah komunitas dengan
tatanan nilai bersama yang ideal dengan tujuan kemakmuran dan kesejahteraan
bersama. Motifasi dibelakang gagasan utopia tersebut tidak dilandasi latar
belakang keagamaan melainkan bersifat sosial. Hak milik pribadi dituding
sebagai cikal bakal konflik sosial, kondisi ekonomi yang buruk di kelas bawah,
sehingga cara untuk menyembuhkan semua masalah sosial tersebut adalah peniadaan
hak milik pribadi, kewajiban setiap orang untuk menkerja, penyamaan pendapatan
dan hak semua orang, pengorganisasian produksi oleh negara. Istilah utopia
berasal dari buku karya Thomas Morus atau Sir Thomas More (1478-1535) berjudul Utopia. Utopia sendiri adalah nama untuk sebuah pulau yang disinggung dalam
buku tersebut, dimana segala sesuatu dimiliki bersama dan semua orang menikmati
pendapatan yang sama dengan dan melalui bekerja. Masing-masing orang bekerja di
sebuah tanah namun bukan sebagai pemilik melainkan sebagai karyawan komunitas.
Penulis berikutnya bernama Campanella (1568-1639) yang menuliskan buku berjudul
Negara Matahari yang mengusung tata
sosial kemasyarakatan menurut cita-cita kehidupan bersama. Masih ada sejumlah
pemikir lain yang menuangkan gagasan mengenaoi kolektivisme sosial seperti
Gabriel Mably (1709-1785), William Goldwin (1756-1836) serta Morely (1755)[7]
Pandangan-pandangan
sosialis modern terbentuk antara 1789 (permulaan Revolusi Prancis) dan 1848
(Revolusi 1846) melalui dua peristiwa penting yang menjadi konteks kelahiran
sosialisme yaitu Revolusi Prancis (1789-1795) dan Revolusi Industri. Revolusi
Prancis menghasilkan warisan pemikiran mengenai kesetaraan dan kesederajaatan
sosial sementara Revolusi Industri menghasilkan struktur kesenjangan sosial
berupa munculnya proletariat industrial yaitu kaum buruh yang memperlihatkan
jurang perbedaan ekonomi yang mendalam dengan kelas orang kaya[8].
Frans
Magnis Suseno meletakkan konteks historis kemunculan kata Sosialisme pada periode 1830-an di Prancis. Baik istilah sosialisme
dan komunisme dipergunakan secara bergantian untuk menunjuk makna yang sama,
namun dalam perkembangannya istilah komunisme dipergunakan untuk aliran
sosialis yang lebih radikal yang menuntut penghapusan hak milik pribadi dan
kesamaan konsumsi[9].
Berturut-turut kemudian sejumlah nama turut mewarnai rumusan sosialisme modern
al., Babeuf yang menuliskan buku Manifesto
Kaum Plebeyi, kemudian Saint Simon yang mengusulkan istilah Politik Fisika
dimana negara harus dijalankan menurut metode fisikan dan kimia, lantas Robert
Owen yang mendirikan komunitas-komunitas dan koperasi-koperasi teladan, nama
Fourier muncul dengan gagasan organisasi perekonomian dalam komunitas harmonis
bernama Phalansterium yaitu
pemukiman-pemukiman agraris kecil mandiri yang hidup dari pertanian dan pertukangan
serta memproduksi kebutuhan mereka sendiri. Ada pula Etienne Cabet yang
menuliskan buku berjudul Voyage en Icare
(Perjalanan di Ikaria) yang mirip dengan konsepsi Utopia-nya Sir Thomas More,
ada pula nama Louis Auguste Blanqui yang merumuskan aksi boikot buruk dan
pengorganisasian pemberontakan oleh kaum buruh. Weitling pada tahun 1938
menuliskan brosur berjudul Die Menscheit,
wie sie ist und wie sie sein solte (Umat manusia, bagaimana keadaannya dan
bagaimana seharusnya keadaannya) yang bersifat agitatif ke arah pemberontakkan.
Tahun 1840 seorang bernama Proudhon menuliskan brosur berjudul Qu’est-ce la propriete (Apa itu hak
milik) yang dijawabnya sendiri: La
propriete c’est le vol (Hak milik itu hasil curian) dimana tulisan itu
menyerang mengenai konsep hak milik pribadi. Bagi Proudhon, La propriete c’est la liberte (Hak milik
itulah kebebasan). Louis Blanc menuliskan buku Oraganisation du travail
(Organisasi pekerjaan) yang mengusulkan mengenai adanya Ateliers sociaux (Bengkel-bengkel sosial) untuk menyingkirkan
adanya kompetisi di antara perusahaan-perusahaan swasta. Dan terakhir Moses
Hess yang menggerakkan sosialisme yang bercorak religius dan menekankan
revolusi sosial agar terjadi perdamaian abadi dan masyarakat tanpa kelas dengan
kepemilikan bersama[10].
Pemetaan
historis di atas menolong kita untuk menelusuri akar pemikiran sosialisme yang
dalam bentuk radikalnya menjadi komunisme yang digaungkan oleh Karl Marx dalam
buku magnum opusnya berjudul Das Capital. Sosialisme mencita-citakan
sebuah pemerintahan dan sistem ekonomi yang berkeadilan melalui proses evolusi,
sementara komunisme menempuh jalur revolusi. Setelah kita memahami apa dan
bagaimana sosialisme dan perbedaannya dengan komunisme, kita kembali kepada
penjelasan Jeanne S. Mintz mengenai corak pemikiran nasionalisme berwarna
sosialisme yang mempengaruhi pemikiran para pendiri bangsa dan
organisasi-organisasi kepartaian pada zaman itu. Menurutnya, “Filsafat yang mendominasi pada masa itu
adalah sintesa dari tiga ketegangan: Pertama, prinsip-prinsip nasionalis
revolusioner dalam tradisi yang pada tahun 1927 diprakarsai oleh PNI dan
terhimpun begitu fasihnya dalam Indonesia Menggugat! Kedua, sosialisme eklektis
yang disodorkan oleh Hatta dan Syahrir dan ketiga, sosialisme religius yang
berakar dalam ajaran Islam modern seperti yang pernah berkembang selama
bertahun-tahun sejak Serikat Islam sampai Muhammadiyah.
Penyimpangan-penyimpangan dari filsafat sosialisme ini adalah kelompok-kelompok
komunis Stalinis dan kelompok-kelompok komunis nasionalis Tan Malaka di sebelah
kiri, serta orang-orang Islam konservatif yang ortodox di sebelah kanan”[11].
Bukan hanya pemikir-pemikir individu yang menjadikan sosialisme sebagai pisau
analisis perjuangan dan perlawanan terhadap sistem kapitalisme dan imperialisme
namun sejumlah partai-partai selain partai komunis pun menggunakan ideologi
sosialisme sebagaimana dikatakan Jeanne S. Mintz, “Dari empat partai besar, kecuali satu yaitu NU, semuanya mewakili atau
mengklaim dirinya mewakili salah satu bentuk ajaran sosialis”[12].
Partai-partai yang dimaksudkan adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
mengusung pemikiran Sukarno, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
dengan para pemikir sosialis religius di dalamnya (Natsir, Roem, Syafrudin,
Sukiman), Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir, Partai Murba
(Musyawarah Rakyat Banyak) yang berasal dari Gerakan Revolusi Rakyat (GRR)
pimpinan Tan Malaka, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengalami banyak
evolusi kepemimpinan sebelum diketuai D.N. Aidit.
Mengapa
pemikiran-pemikiran Karl Marx dan gagasan sosialisme begitu memikat para
pendiri bangsa untuk dipergunakan sebagai pisau analisis dan alat perjuangan?
Sangat jelas bahwa pemikiran Karl Marx dan gagasan sosialisme berpihak pada
nasib rakyat kecil dan kelompok-kelompok strata ekonomi bawah. Kemiskinan bukan
diterima sebagai sebuah realitas deterministik melainkan disebabkan oleh sistem
dan struktur yang menyebabkan kemiskinan dan sistem itu adalah ideologi
kapitalisme yang melahirkan dan mendorong imperialisme. Rakyat yang mengalami
ketertindasan dan kemiskinan akibat imperialisme dan kapitalisme merasa
mendapatkan jawaban bahwa apa yang mereka alami melalui pisau analisis Marxis
yang membahas pertentangan kelas, eksploitasi nilai lebih oleh kaum kapitalis
serta harapan-harapan profetik mengenai masa depan dimana rakyat akan mengambil
alih kekuasaan dan melenyapkan sistem kapitalisme.
Kita
mulai dengan mengkaji pemikiran Bung Karno yang sarat dengan konsep dan rumusan
sosialisme dan analisis Marxis. Peter Kasenda mendeskripsikan kegandrungan Bung
Karno terhadap konsepsi Karl Marx dan gagasan-gagasan sosialis dengan
mengatakan, “Marxisme telah memberikan
kepada Sukarno alat yang paling sistematis dalam analisis sosial dan dalam
pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonialisme”[13].
Dalam pandangan-pandangan politik paling awal Sukarno muda sudah tampak adanya
upaya, walaupun pada waktu itu masih belum disadari, ke arah suatu sintesis
dari ketiga aliran yang mempengaruhinya – nasionalisme, islamisme dan marxisme.
Tahun 1921, Sukarno mengatakan: “Setelah
tercipta kondisi-kondisi dan setelah terbentuk parlemen kita sendiri…Sarekat
Islam hendaknya jangan menghentikan kegiatannya; ia harus bekerja untuk
memperkukuh demokrasi dan Islam di Indonesia, juga untuk menghapuskan
kapitalisme”[14].
Perlawanan dan penghapusan kapitalisme adalah gagasan yang kental berwarna
sosialisme khususnya sosialisme radikal macam komunisme yang dicetuskan Karl
Marx. Fase kedua dari kehidupan Sukarno khususnya setelah keluar dari penjara
sampai masa pembuangan (1932-1933), “pikiran-pikirannya
didominasi oleh slogan-slogan Marxis”[15],
demikian ulasan Kasenda.
Sukarno muda
Ajaran
Bung Karno mengenai Marhaen, Nasakom,
Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi merupakan konsep-konsep yang banyak
dipengaruhi oleh analisis Marxis dan kegandrungannya dengan ide kesatuan. Kita
akan membatasi mengulas istilah dan makna Marhaenisme.
Istilah Marhaenisme dan Marhaen disebut dalam pidato Sukarno
sebagai ketua PNI yang didirikan pada tahun 1927. Namun secara resmi istilah
marhaen memperoleh definisi dalam pidato pembelaan Sukarno yaitu Indonesia Menggugat, di hadapan
Pengadilan Kolonial Belanda di Bandung pada tahun 1930. Rumusan yang lebih
terperinci mengenai marhaen dan marhaenisme dijelaskan dalam artikel berjudul,
Sukarno, Marhaen dan Proletar dalam koran Pikiran
Rakyat pada tahun 1933[16].
Jika sosialis Barat khususnya komunis merumuskan konsep dan istilah proletar
sebagai struktur sosial yang di hasilkan oleh sistem kapitalisme, maka
Indonesia yang belum memasuki fase industrialis menghasilkan kelompok
masyarakat marhaen. Istilah marhaen sendiri diambil dari perjalanan inspiratif
Sukarno saat mampir di sebuah perswahan dan menanyai seorang petani. Ketika
ditanya, tanah ini milik siapa? Cangkul ini milik siapa? Serta peralatan yang
dimiliki pak tani ini milik siapa? Dan semua pertanyaan dijawab dengan “milik
saya”. Kemudian Bung Karno bertanya mengenai nama petani tersebut dan dijawab, Marhaen. Dari situlah nama itu kemudian
dipopulerkan oleh Bung Karno menjadi konsep perjuangan politiknya. Marhaen, adalah seorang petani dan
pemilik tanah serta peralatan kerjanya namun tetap miskin dan tidak terbebas
dari struktur sosial yang menindas dirinya.
Dari
kata Marhaen itulah timbul konsep Marhaenisme yang merupakan suatu paham
yang secara praktis meliputi setiap orang Indonesia yang berkehendak mengadakan
perubahan hidup kaum marhaen. Dengan adanya konsep itu, ia tidak hanya
bertindak di atas kepentingan salah satu kelompok tetapi juga kepentingan
seluruh rakyat Indonesia. Ia hendak menyatukannya di bawah pengertian Marxisme[17].
Konsepsi marhaenisme yang dipergunakan Sukarno dipergunakan untuk mendobrak
pemahaman elite Indonesia yang memandang kelompok masyarakat tradisional
sebagai bodoh, kampungan dan sejenisnya. Selain itu, konsepsi marhaenisme
merupakan bentuk proyeksi pemikiran Bung Karno yang jauh menatap masa depan.
Marhaenisme yang merupakan antitesis dari praktik-praktik imperialisme yang
dengan serakah mengeruk kekayaan alam Indonesia. Marhaenisme merupakan, “cara perjuangan untuk melawan kapitalisme
dan imperialisme, setelah ia menyadari bahwa teori-teori marxisme yang berasal
dari Eropa tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia, yang
perekonomiannyanya belum mencapai tahap kapitalis”[18].
Saat Kongres Partindo pada Juni 1933, Sukarno menjabarkan prinsip-prinsip
Marhaenisme sbb:
1. Marhaenisme, yaitu sosio nasionalisme
dan sosio demokrasi
2. Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia,
kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya
3. Partindo memakai perkataan marhaen,
bukannya proletar, karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan
marhaen. Selain itu, perkataan proletar itu juga bisa termasuk kaum tani dan
kaum melarat lain yang tidak termaktub di dalamnya
4. Karena Partindo berkeyakinan bahwa di
dalam perjuangan kaum melatar Indonesia yang lain-lain itu harus menjadi
elemen-elemennya, maka Partindo memakai perkataan marhaen itu
5. Di dalam perjuangan marhaen itu,
Partindo berkeyakinan bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar
6. Marhaenisme adalah asas yang mengendaki
susunan masyarakat dan susunan negeri yang dapat menyelamatkan Marhaen
7. Marhaenisme adalah cara perjuangan untuk
mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu. Oleh
karenanya, cara perjuangannya harus revolusioner
8. Marhaenisme adalah cara perjuangan dan
asas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme
9. Marhaenis adalah setiap orang Indonesia
yang menjalankan marhaenisme[19]
Bagaimana
dengan Bung Hatta? Dalam pernyataan singkat Wakil Presiden Moh. Hatta yang
berjudul Cita-Cita Bangsa Indonesia
(Indonesian Aims and Ideals), Hatta menyatakan bahwa rakyat Indonesia “menentang semua bentuk pemerintahan
otokratik dan fasis, ingin membangun sebuah kehidupan berbangsa serta atas
dasar kerja sama yang kokoh dan penuh dengan rasa aman bagi masyarakat. Apa
yang kami wujudkan sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah persemakmuran kerja
sama”[20].
Pernyataan di atas yang ditujukkan terhadap negara-negara asing jelas
memperlihatkan warna pemikiran sosialisme. Hatta adalah pembaca Das Capital-nya Karl Marx. Untuk menjadi
seorang ekonom yang baik, Bung Hatta pernah menganjurkan agar setidaknya harus
mampu menguasai tiga buku: The Wealth of
Nation dari Adam Smith; Das Kapital
dari Karl Marx; dan General Theory of
Employment dari J.M. Keynes. Beliau pun pernah menulis buku dengan judul Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia.
Berikut kutipan pernyataan Hatta, “Apabila
didjalankan sungguh-sungguh, tudjuan sosialisme jang terdekat akan tentjapai,
jaitu rakjat Indonesia terlepas dari kesengsaraan hidup dan tiap-tiap orang
terdjamin penghidupannia”[21].
Bung Hatta
Sebagaimana
Sukarno dan Hatta, demikian pula Syahrir yang pernah menjadi perdana menteri
merupakan tokoh pendiri Partai Sosialis
Indonesia. Jeanne S. Mintz mendeskripsikan mengenai pemikiran sosialisme
Syahrir sbb: “Namun paparan yang paling
lengkap tentang muatan sosialis dalam nasionalisme Indonesia pada masa-masa
sesudah pernyataan kemerdekaan, bisa ditemukan dalam sebuah pamflet yang
ditulis Syahrir di penghujung Oktober 1945 yang berjudul Perjoeangan Kita.
Pamflet ini adalah sebuah analisis yang mencari iklim mental dan emosional
bangsa pada minggu-minggu pertama kemerdekaan”[22].
Sjahrir
tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia
dengan sosialisme yang ada di Eropa Barat maupun sosialisme yang ditawarkan
komunis. Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan
kekhawatirannya akan komunisme totaliter membawanya pada pemikirannya tentang
sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan. Bagi
Sjahrir, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan dan penegasan bahwa
sosialisme seperti yang dipahaminya selamanya menjunjung tinggi dasar persamaan
derajat manusia[23].
Sosialisme kerakyatan adalah sosialisme yang didasarkan pada kerakyatan dalam
arti kepercayaan bahwa rakyat dan bangsa kita, pada umumnya, akan menerima
dengan keyakinannya sendiri segala kebajikan yang jelas tampak jika
dibandingkan dengan sistem kapitalisme[24].
Sutan Syahrir
Paham
sosialisme tidak hanya dianut oleh Sukarno, Hatta, Syahrir namun sebelum
mereka, kelompok-kelompok religius di organisasi Sarikat Islam pra kemerdekaan, sudah menggunakan pisau analisis
Marx sebagai alat perjuangan. Sebelum bernama Sarikat Islam, organisasi ini dikenal dengan nama Sarikat Dagang Islam (SDI) dan didirikan
oleh Haji Samanhudi, sebagai reaksi terhadap dominasi pedagang kain Tionghoa
yang tergabung dalam konkoan. Saat Haji Samanhudi berjumpa H.O.S. Tjokroaminoto
pada tahun 1911, maka muncullah gagasan merubah nama oleh Tjokroaminoto,
menjadi Sarikat Islam (SI) dengan alasan agar keanggotaan tidak dibatasi hanya
oleh kaum pedagang Islam saja. Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, SI tumbuh
menjadi organisasi massa yang disegani dan memiliki sejumlah cabang di berbagai
daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari faktor karismatik Tjokroaminoto yang
dikenal sebagai orator ulung dan dijuluki “harimau mimbar” oleh P.F. Dahler,
darimana Sukarno kelak menimba ilmu dan kemampuan orasi Tjokroaminoto. HOS.
Tjokroaminoto menulis buku yang bersifat monumental dengan judul Islam dan Sosialisme. Tjokroaminoto
menolak anggapan bahwa gagasan sosialisme bertentangan dengan agama khususnya
Islam. Dalam bukunya tersebut, Tjokroaminoto berusaha membuktikan dan
menegaskan bahwa sosialisme dapat bersandingan dengan agama sebagaimana
dikatakan, “Seperti sudah saya katakan di
atas, maka benih-benih pergerakan sosialis itu tidak saja mendapat makanannya
daripada cita-cita yang menuju barang hikmah, tetapi terutama sekali mendapat
makanannya daripada perasaan-perasaan agama yang dalam…Akan tetapi maksud saya
yang terutama sebagai ternyata daripada judul kitab ini, ialah hendak
menguraikan sosialisme yang berdasar dan bersandar kepada agama kita (Islam)
dan yang wajib kita lakukan sepanjang perintah agama Islam”[25].
Dalam tulisannya tersebut, Tjokroaminoto memberikan dalil-dalil Al Qur’an bahwa
dasar-dasar sosialisme ada dalam Islam[26]
dan Muhamad adalah nabi yang menjunjung nilai-nilai yang digemakan dalam paham
sosialisme[27].
Peran Tuhan dalam agama kembali digemakan Tjokroaminoto dibagian akhir
tulisannya, “Sosialisme akan menjadi
sempurna apabila manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri seperti hewan atau
burung-burung, tetapi untuk keperluan hubungan keterikatan dalam kehidupan
masyarakat, oleh karena segala apa saja yang ada, hanyalah berasal dan
dijadikan oleh satu Kekuatan dan Kekuasaan, yaitu Allah Yang Maha Kuasa”[28].
Pengetahuan tentang sosialisme Tjokroaminoto bukan hanya menginspirasi
pemikiran Soekarno namun juga Hamka yang pernah menjadi Ketua Majelis Ulama
Indonesia di era pemerintahan Suharto pada tahun 1975. Hamka mendeskripsikan
kenangannya tentang Tjokroaminoto demikian, “Berblangkon,
berkain dan slop, kulitnya putih kuning agak pucat, agak kurus seperti ayahnya.
Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, matanya
tajam laksana burung elang rajawali. Tjokroaminoto memberikan pelajaran dengan
berkeliling dalam kelas. Dengan asyik dia menerangkan sosialisme dari segi
Islam, berdasarkan ayat dengan menuliskan nomor-nomor ayat, berdasar hadis
dengan arti dan perawinya, sebab rupanya lidahnya sendiri tidak fasih
menyebutkan bahasa Arabnya”[29].
Rumah Tjokroaminoto menjadi pusat pergerakan dan diskusi serta dinamika
pemikiran politik serta ideologi-ideologi besar yang saling bergulat pada
zamannya. Tokoh-tokoh politik dan kelak menjadi founding father Indonesia yaitu Sukarno, Semaoen, Muso, Alimin,
Darsono, Haji Agus Salim pernah indekost
di rumah Tjokroaminoto sekaligus menjadi murid serta anggota Sarikat Islam.
Namun dikemudian hari, diantara nama-nama tersebut akan berhadap-hadapan
sebagai musuh dan lawan politik akibat perbedaan ideologi dan metodologi
perjuangan.
Semaoen
Tan Malaka
Muso
Di
saat pengaruh Sarikat Islam (SI) berkembang pesat, gagasan dan konsep
sosialisme mulai memasuki organisasi ini melalui perjumpaan dengan seorang
sosialis Belanda bernama Henk Snevliet yang datang pertama kali ke Hindia
Belanda pada 1913. Henk adalah anggota partai SDAP (Partai Buruh Sosial
Demokrat) namun dipecat karena kebergabungannya dengan SDP (Partai Sosial
Demokrat) yang kelak menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Selain pernah
bekerja sebagai wartawan koran Soerabajaasch
Handelsbald di Surabaya Snevliet bekerja di perkeretaapian dan bergabung
dengan organisasi buruh kereta api. Tahun 1914, Snevliet mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV) dengan haluan Marxis pertama di Indonesia. ISDV berhasil menarik salah
satu anggota SI muda dari Surabaya bernama Semaoen. Bonnie Triyana menyebut
Snevliet sebagai, “Dia adalah aktor
intelektual yang berada di balik radikalisme Sarekat Islam Semarang di bawah
Semaoen”[30].
Mudahnya Snevliet mendapatkan keanggotaan potensial semacam Semaoen dikarenakan
suasana zamannya yang memang tidak terlalu kaku membatasi keanggotaan
organisasi seseorang bisa satu atau dua bahkan lebih. Ruth T. Mc Vey melihat
kondisi tersebut sebagai kondisi yang menguntungkan bagi ISDV menancapkan
pengaruhnya di SI sebagaimana dikatakan, “Sebagaimana
kita lihat, kondisi unik tersebut telah memberi inspirasi kepada Komintern
dengan strategi ‘dalam blok’, dimana sejumlah anggota partai komunis memasuki
organisasi-organisasi massa sebagai anggota dan bekerja guna memperoleh kontrol
dari dalam”[31].
Dalam perkembangannya, SI mengalami guncangan dan perpecahan khususnya saat SI
Semarang semakin cenderung ke arah kiri sementara Tjokroaminoto dan Haji Agus
Salim, sekalipun mengadopsi konsep-konsep sosialisme yang dikawinkan dengan
pemahaman Islam, lebih memakai jalan tengah dan moderat.
Snevliet
H.O.S. Tjokroaminoto
Sejumlah
tokoh agama lainnya yang menggunakan pisau analisis sosialisme dan Marxisme
adalah Haji Hasan saat melakukan pemberontakan di Leles, Garut tahun 1919 yang
dikenal dengan Afdeling B. Kemudian
disusul dengan tokoh bernama Haji Misbach di Solo yang mahir Al Qur’an namun
paham teori-teori Karl Marx. Lalu nama lain yang tidak kalah pentingnya adalah
ulama Banten bernama Kyai Haji Ahmad Chatib, Ahmad Basaif, Puradisastra serta
Tubagus Alipan[32].
Nama Haji Misbach tidak banyak disebut-sebut dalam literatur sejarah di era
Orde Baru, namun tokoh yang satu ini dikenal sebagai Haji Merah. Sebelum kebergabungannya
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI Merah pada Kongres di Bandung dan
Sukabumi tanggal 3-6 Maret 1923, Misbach dikenal sebagai propagandis SI, ketua
redaksi koran Medan Moeslimin dan Islam Bergerak serta pendiri Sidik Amanat Tablegh Vatonah (SATV)
bersama Harun Rasjid. Sejak awal Haji Misbach sudah dikenal karena
radikalismenya hingga mempertemukan dengan ideologi Marxisme melalui SI Merah.
DR. Syamsul Bakri mengulas alasan kebergabungan Haji Misbach dengan PKI dan SI
Merah sbb: “Haji Misbach masuk PKI karena
CSI tidak mau menerima gagasan persesuaian antara komunisme dan Islam dan
justru memberlakukan kebijakkan disiplin partai. Menurutnya, kebijakkan
disiplin partai adalah kebijakkan yang merampas kemerdekaan anggota”[33].
Pilihan Misbach untuk bergabung dengan PKI dan SI Merah memberikan dampak dan
warna yang penting bagi pergerakan politik di Surakarta sebagaimana dikatakan
Bakri, “Pilihan Misbach terhadap PKI dan
SI Merah merupakan penggalan penting dalam konstelasi munculnya gerakan komunisme
Islam. Kemunculan Misbach sebagai propagandis PKI dan SI Merah ini sangat
mewarnai dinamika politik di Surakarta”[34].
Radikalisme Misbach yang sudah terasah sejak awal atas dasar prinsip-prinsip
keislaman saat memimpin surat kabar Islam
Bergerak dan Medan Moeslimin
serta organisasi-organisasi pergerakan, bertemu dengan gagasan sosialisme dan
komunisme melalui PKI dan SI Merah. Bakri mendeskripsikan, “Paham kiri Misbach sebenarnya sudah mengakar dalam dirinya ketika
memimpin pertemuan-pertemuan Insulinde. Ketika berpidato di pertemuan
vergadering SI pun Misbach juga sudah menyatakan bahwa komunisme tidak
bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, baru pada Maret 1923 ketika
dilaksanakan Kongres SI Merah dan PKI, Misbach resmi bergabung dengan PKI dan
SI Merah”[35].
Haji Misbach
Sebagaimana
pemetaan Jeanne S. Mintz, maka golongan terakhir yang mengadopsi sosialisme
dengan jalur yang lebih radikal adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai
mulai dari Musso, Tan Malaka, Darsono, Alimin, yang pernah menimba ilmu kala indeskost di rumah Tjokroaminoto dan
kelak meninggalkan Tjokroaminoto serta sejumlah nama lain seperti Amir
Syarifudin dan D.N. Aidit. “PKI adalah
sintesis dari gerakan buruh Indonesia dengan Marxisme-Leninisme. PKI didirikan
pada tanggal 23 Mei 1920 bukanlah sebagai sesuatu yang kebetulan, tetapi
sesuatu yang obyektif. PKI lahir dalam zaman imperialisme, sesudah di Indonesia
ada kelas buruh, sesudah di Indonesia dibentuk serikat-serikat buruh dan
dibentuk ISDV, sesudah Revolusi Sosialis Oktober Besar Rusia tahun 1917. PKI
adalah anak zaman yang lahir pada waktunya”[36],
demikian tulis Busyarie Latief.
Dari
pengkajian pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa (founding fathers) yang
dituangkan dalam pidato-pidato dan buku-buku karya mereka serta kepemimpinan
dalam organisasi kepartaian, nampaklah bahwa pemikiran Karl Marx dan
gagasan-gagasan sosialisme begitu akrab di kalangan para pemimpin dan pendiri
negeri ini entahkah dipergunakan dengan cara evolusioner (Sarikat Islam dan Partai Sosialis Indonesia) maupun revolusioner (Partai Komunis Indonesia).
Pemikiran Karl Marx dan gagasan sosialisme telah menjadi pisau analisis yang
paling ampuh untuk mengupas ketimpangan sosial yang diakibatkan sistem
kolonialisme dan dipergunakan sebagai alat perjuangan untuk melawan
imperialisme dan kapitalisme Abad XIX.
Yang
tidak kurang penting dipahami adalah konsep sosialisme Indonesia menjauhkan
dirinya dari ketergantungan konsep sosialisme yang lahir dari negeri asalnya di
Eropa dengan permasalahannya sendiri. Para pemimpin dan pemikir bangsa
menghadirkan sosialisme yang khas Indonesia. Sukarno menyebut Marhaenisme
adalah “Marxisme yang dipraktekkan atau
diterapkan di Indonesia…Barang siapa yang menyebut dirinya Marhaenis tapi tidak
mempraktekkan Marxisme di Indonesia…ia hanya seorang pseudo Marhaenis”[37]. Demikian pula Sutan Syahrir yang
mengusung konsep Sosialisme Kerakyatan mengatakan, “Ajaran-ajaran Marxis harus dianggap bukan sebagai sebuah kredo atau
obat, melainkan sebagai salah satu alat solusi pelbagai persoalan yang dihadapi
partai dalam kerangka realitas masyarakat Indonesia”[38]. Demikian pula Tjokroaminoto menegaskan
jenis dan karakter sosialismenya dengan mengatakan, “Bagi kita, orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’
lain-lainnya yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari
sosialisme yang berdasar Islam…Barang apa yang telah saya uraikan ini, adalah
saya pandang menjadi pokoknya Sosialisme yang sejati, yaitu Sosialisme cara
Islam, bukan Sosialisme ala Barat”[39]. Menjauhkan diri dari konsep dan
gagasan sosialisme dengan menakut-nakuti melalui hantu komunisme hanya
menjauhkan generasi muda dari akar historis sosialisme yang turut mewarnai
revolusi dan pembangunan republik ini. Sudah saatnya konsep dan gagasan
sosialisme dipelajari kembali dan diaktualisasikan untuk membaca
persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global Abad XXI. Sosialisme sebagaimana diajarkan Tjokroaminoto, sosialisme sebagaimana dipahami Sukarno, sosialisme sebagaimana diaktualisasikan Hatta, sosialisme sebagaimana diperjuangkan Sutan Syahrir. Sosialisme yang tidak meninggalkan nilai-nilai Ketuhanan, sosialisme yang Indonesia, sosialisme Kerakyatan.
Cat: Artikel ini sebenarnya merupakan sub
bab yang saya rencanakan sebagai bagian dari buku yang sedang saya tulis. Namun
dikarenakan beberapa isi dalam artikel ini berhubungan dengan nama tokoh Tjokroaminoto
serta organisasi Sarikat Islam yang juga
merangkul prinsip-prinsip Sosialisme yang
bertepatan dengan hadirnya film nasional berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto karya sutradara Garin Nugroho (April 2015),
maka artikel ini saya publikasikan melalui blog pribadi untuk menjadi kajian bersama.
[1] Jeanne S. Mintz, Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003, hal 111
[2] Peter Kasenda, Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar
Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, Depok: Komunitas Bambu 2014, hal 5
[3] Socialism
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/551569/socialism
[4] Joseph A.
Schumpeter, Capitalism, Socialism &
Democracy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hal 272
[5] Frans Magnis
Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2011, hal 13
[6] Ibid., hal 14
[7] Ibid., hal
16-17
[8] Ibid., hal 18
[9] Ibid., hal 19
[10] Ibid., hal
20-44
[11] Loc. Cit., Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme
Indonesia, hal 111
[12] Ibid., hal 176
[13] Peter Kasenda, Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933,
Depok: Komunitas Bambu, 2014, hal 123
[14] Ibid., hal 118
[15] Ibid., hal 122
[16] Op. Cit., Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar
Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, hal 38-39
[17] Op.Cit., Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933,
hal 56
[18] Taufik Adi
Susilo, Soekarno, Biografi Singkat
1901-1970, Yogyakarta: Garasi, 2008, hal 86-87
[19] Sukarno, Marhaen dan Proletar dalam Fikiran
Ra’yat, 1933, dimuat kembali dalam Di Bawah
Bendera Revolusi I, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal
253-256
[20] Op. Cit., Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme
Indonesia, hal 113-114
[21] Mohammad Hatta, Persoalan
Ekonomi Sosialis Indonesia, Djambatan, hal 24
[22] Op. Cit., Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme
Indonesia, hal 116
[23] Ivan Hadar, Sjahrir dan Sosialisme Indonesia
http://nasional.kompas.com/read/2009/03/03/04470498/Sjahrir.dan.Sosialisme.
[24] Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia Pembangunan Kumpulan
Tulisan Sutan Sjahrir. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional
1982, hal 78
[25] HOS.
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme,
Bandung: Sega Arsy 2010, hal 21-22
[26] Ibid., hal
37-53
[27] Ibid., hal
61-80
[28] Ibid., hal 114
[29] Hendri F.
Isnaeni, Berguru Kepada Guru Bangsa,
dalam Historia, Nomor 21 Tahun II 2015 hal 32
[30] Bonnie Triyana,
Palu Arit dan Bulan Sabit Pada Suatu
Masa, dalam Historia, Nomor 17 Th
II 2014, hal 70
[31] Ruth T. Mc Vey,
Kemunculan Komunisme Indonesia,
Depok: Komunitas Bambu 2010, hal 31
[32] Op.Cit., Palu Arit dan Bulan Sabit Pada Suatu Masa,,
hal 72-74
[33] DR. Syamsul
Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta
1914-1942, Yogyakarta: LkiS 2015, hal 118
[34] Ibid., hal 119
[35] Ibid.,
[36] Busyarie
Latief, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI
(1920-1965), Bandung: Ultimus 2014, hal 67
[37] Op. Cit., Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme
Indonesia, hal 262
[38] Ibid., hal 187
[39] Ibid., hal
36,38
0 komentar:
Posting Komentar