Ulasan
Film dan Catatan Kritis Film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”
Di
era teknologi informasi dan kebangkitan film Indonesia, salah satu metode untuk
menarik minat siswa didik dalam menyukai dan menghargai sejarah bangsanya
adalah dengan menonton film-film bertemakan sejarah bangsa dan tokoh-tokoh yang
turut membentuk warna dan dasar negara republik yang beragam etnis dan budaya
serta agama ini. Dengan menonton film, kebekuan dan kemonotonan bentuk-bentuk
komunikasi dalam menyampaikan mata pelajaran sejarah dapat diminimalisir.
Menonton film sejarah merupakan dinamisasi metodologi penyampaian materi
sejarah. Sayangnya, belum banyak guru-guru yang memanfaatkan hadirnya film-film
bertemakan sejarah untuk ditonton bersama dan didiskusikan keesokkan harinya
usai film tersebut dinikmati.
Film
karya sutradara Garin Nugroho dengan judul, Guru
Bangsa: Tjokroaminoto (2015) adalah salah satu film yang layak untuk
ditonton oleh banyak kalangan, khususnya para pendidik, guru sejarah dan siswa
didik, setelah sebelumnya sineas-sineas muda Indonesia melahirkan film-film
bertemakan tokoh sejarah seperti,Gie
(Riri Reza, 2005) dan Soekarno: Indonesia
Merdeka (Hanung Bramantyo, 2014)[1].
Garin Nugroho pernah menggarap tema film yang sama (sejarah) sebelumnya melalui
tokoh Katolik nasionalis bernama Soegija
(2005).
Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto, berlangsung
selama tiga jam yang cukup menyita perhatian. Kisah dimulai dalam beberapa fase
standar dimulai dari fase kelahiran Tjokroaminoto (Reza Rahardian) pada tanggal
16 Agustus 1883 yang merupakan keturunan Wedana Kleco bernama Raden Mas Tjokro
Amiseno, di Madiun. Sebagaimana kebiasan tokoh-tokoh historis yang melegenda,
kelahirannya dihubungkan dengan meletusnya Gunung Krakatau – seagaimana
kelahiran Soekarno dihubungkan dengan meletusnya Gunung Kelud. Lalu fase
berikutnya bergerak saat Tjokroaminoto telah bertumbuh dewasa dan memiliki
seorang istri bernama Soeharsikin (Puteri Ayunda) dan memulai karir pertamanya sebagai
pangreh pradja di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi namun pada
tahun 1907, ia keluar dari pekerjaannya sehingga menimbulkan kemurkaan sang
ayah mertua. Kisah bergeser ke tahun 1912 dimana Tjokroaminoto mendirikan organisasi
baru bernama Sarekat Islam (SI)
didirikan untuk menggantikan Sarekat
Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Samanhudi pada tahun 1905. Organisasi
Sarekat Dagang Islam (SDI) pada
awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis
oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk
menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat
bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Semenjak Tjokroaminoto
mendirikan Sarikat Islam, kegiatan
organisasi bukan hanya menitik beratkan persoalan ekonomi melainkan sosial dan
politik. Fase berikutnya dari aktifitas Tjokroaminoto yang dipotret dalam film
ini adalah kesuksesan Cokroaminoto memimpin pergerakkan Sarikat Islam melalui vergadering
SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. dan Kongres resmi perdana SI pada
25 Maret 1913 di Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua
CSI mendampingi Hadji Samanhoedi. Terekam dalam adegan film aktifitas
jurnalisme SI melalui penerbitan koran Oetoesan
Hindia bersama Hasan Ali Surati (Alex Komang), seorang keturunan India,
yang memegang keuangan surat kabar tersebut. Selain akifitas jurnalisme,
berbagai aktifitas pendirian cabang-cabang SI di berbagai daerah serta
pidato-pidato politik Cokroaminoto yang memukau ditampilkan serta tindakan
keberpihakkannya terhadap kaum kromo (rakyat jelata). Aktifitas dan sepak
terjang Tjokroaminoto menimbulkan sejumlah gelar baik yang ditampilkan dalam
film ini (Jang Oetama) maupun yang
tidak ditampilkan dalam film ini (Singa
Podium dan Raja Jawa Tanpa Mahkota).
Perubahan
orientasi SI dari organisasi yang bergerak dibidang ekonomi menjadi sosial dan
politik, dipengaruhi oleh situasi sosial politik yang berkembang saat itu,
dimana pemerintahan Hindia Belanda menerapkan Politik Etis. Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu
pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab
moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap
politik tanam paksa. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik
tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah
Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap
bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral
tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi: (1) Irigasi, membangun dan memperbaiki
pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian (2) Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk
bertransmigrasi (3) Edukasi yakni
memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh
Cokroaminoto untuk menggalakkan pendidikan, koperasi serta seruan-seruan
politik yang kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda melalui organisasi Sarikat
Islamnya. Dalam film ini dipotret pula murid-murid binaan Cokroaminoto yang
kerap terlibat diskusi di rumah kediamannya di Surabaya yang sekaligus menjadi
tempat kost-kostan yang kelak akan menjadi tokoh-tokoh pemimpin kemerdekaan
yang pada suatu ketika akan berhadap-hadapan satu sama lain dalam perbedaan
pandangan politik. Mereka adalah yaitu Semaoen (Tahta Ginting), Muso (Ade
Firman Hakim), Soekarno (Deva Mahenra), Kartosuwiryo dan Tan Malaka (tidak ada
dalam film tersebut), Darsono, Alimin. Tokoh Soekarno muda dengan nama Kusno
yang kerap meniru pidato-pidato Cokroaminoto ditampilkan dalam film ini sebagai
penggalan peristiwa yang kelak kemudian hari akan mempengaruhi pemikiran dan
gaya pidato Sukarno yang oleh sejarawan Ahhar Gonggong disebut sebagai
“modifikasi tokoh Cokroaminoto” dalam program Mata Najwa, 8 April 2015 lalu.
Garin
Nugroho selaku sutradara film, memotret pula perselisihan di tubuh SI dan
diantara para murid-muridnya dimana diantara murid-muridnya yaitu Semaoen
(Tahta Ginting), Muso (Ade Firman Hakim), Alimin, Darsono mulai merapat dengan
H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914 (Pada Kongres ISDV di
Semarang Mei 1920, nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai
dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi
diubah, kali ini adalah menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Perselisihan inilah yang kelak memunculkan SI
Putih dan SI Merah. SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto,
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo) berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta.
Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota
Semarang. Sedangkan Tjokroaminoto berada sebagai penengah di antara kedua kubu
tersebut.
Konflik
Tionghoa dan Pribumi direkam pula oleh Garin dengan mengedepankan perang
Cokroaminoto untuk meredam konflik dan kesalahpahaman serta mengalihkan
perhatian pada musuh yang sebenarnya yaitu kolonialisme Hindia Belanda yang
harus diperangi bersama.
Fase-fase
sulit dalam kehidupan Tjokroaminoto ditampilkan ke permukaan saat harus
menjalani pemenjaraan akibat suara kritis dan aktifitas politiknya melalui
surat kabar SI bernama Oetoesan Hindia,
yang menyebabkannya meringkunk di penjara Kalisosok tahun 1921. Pemenjaraan
sebagai konsekwensi logis konsistensi terhadap ideologi dan garis perjuangan
tokoh-tokoh pergerakkan kerap dimunculkan sebagai sebuah harga yang harus
dibayar terhadap konsistensi sikapnya, sebagaimana terjadi dalam tokoh Tjokroaminoto
dan juga Soekarno.
Epilog
sendu pada detik-detik tayangan berakhir dengan adegan dimana saat Tjokroaminoto
menyampaikan pidatonya pada para pendukungnya, istrinya yang setia bernama
Suharsikin menghembuskan nafas yang terakhir, tanpa sepengetahuan dirinya.
Beberapa
catatan dan ulasan akan saya sampaikan melalui film yang menarik minat dan
memikat gelora nasionalisme ini. Pertama,
mengenai kata Hijrah yang kerap
muncul dalam beberapa adegan, mulai dari fase pencarian jatidiri sebelum
mendirikan Sarikat Islam hingga saat Sarikat Islam telah berkembang luas dan
terancam perpecahan. Hijrah dalam
konteks kalimat yang keluar dari mulut Tjokroaminoto bukan sekedar merujuk pada
sebuah peristiwa historis yang dialami nabinya bernama Muhamad, saat hijrah
(berpindah) dari Mekkah menuju Yastrib yang terletak 320 km utara Mekkah, pada
tahun 622 Ms untuk menghindari pembunuhan, namun Hijrah dalam adegan dan
kata-kata Tjokroaminoto bermakna filosofis sebagai sebuah perjalanan dan
pencarian jiwa yang hasrat untuk melakukan perubahan yang terus menerus dan
tanpa tahu kapan akan berakhir. Kata Hijrah muncul
dalam adegan dimana Tjokroaminoto duduk di kursi kayu sambil tercenung dengan
latar belakang pelataran panggung Komedi Istamboel tahun 1920-an dan didekatnya ada Agus Salim
(Ibnu Jamil). “Sudah sampai di mana
hijrah kita Gus?” Perlahan Tjokroaminoto mengucapkan kalimat tersebut pada Agus Salim yang kemudian menjawab: “Sebagian kawan-kawan sudah tertangkap,
sebagian sudah ikut SI Merah”. Bahkan saat di penjara Kalisosok,
Tjokroaminoto menuliskan besar-besar istilah Hijrah di atas tembok ruang
penjaranya sehingga mengesalkan petugas sipir penjara. Hijrah, menjadi sebuah
kata yang dinamis dan aktual sebagai sebuah konsep mengenai perjalanan
spiritual dan perjuangan seorang pemimpin dalam membebaskan bangsanya dari
belenggu ketertindasan dan kebodohan akibat sistem kolonialisme.
Kedua,
Garin Nugroho menunjukkan kelasnya saat mengemas sosok dan ketokohan
Tjokroaminoto dan keluarga dekatnya serta murid-muridnya bukan dengan gaya
tutur yang datar dan kaku serta tanpa ekspresi kealamiahan yang menempatkan
sang tokoh menjadi pribadi sempurna tanpa cacat. Dalam adegan-adegan ini
ditampilkan drama gerak dan lagu dengan iringan lagu-lagu stambul[2]
antara Tjokroaminoto, Suharsikin, Oetari (anak tertuanya) lalu diikuti oleh
Kusno alias Sukarno muda. Konsep ini memecahkan kekakuan sebuah narasi tokoh
historis dalam sebuah adegan film, sehingga alih-alih mendistorsi dan
menimbulkan pertanyaan apakah Tjokroaminoto melakukan hal-hal tersebut,
sebaliknya adegan ini memberikan warna baru yang menyegarkan dan menggairahkan
untuk melihat sosok Tjokroaminoto dari perspekif kontemporer. Beberapa kali
lagu-lagu berirama Stambul ditampilkan dalam adegan film ini seperti lagu Terang Bulan dalam pertunjukkan opera
yang ditonton oleh Tjokroaminoto. Jika menggunakan terminologi sosiolog Erfing Gofman
dalam analisis dramaturgisnya bahwa kehidupan sosial manusia meliputi penampilan
panggung depan (front region) dan panggung belakang (back region)[3] maka
dalam konteks narasi Garin Nugroho, hendak menunjukkan panggung belakang kehidupan
sosok historis Tjokroaminoto yang bersahaja dan egaliter dengan keluarga secara
apa adanya dengan kemasan yang lebih didramatisir serta didinamisir dengan wujud
gerak dan lagu.
Bahkan
lagu dolanan anak-anak yang sangat dikenal dengan sarat makna dengan judul Ilir-Ilir, karangan Sunan Kalijaga,
dinyanyikan dengan gaya berbeda yaitu model Acapela
serta isi syair dan interpretasinya yang didinamisir sehingga lebih aktual. Isi
syair lagu tradisional Ilir-Ilir dan artinya kurang lebih demikian: Lir-ilir, lir-ilir, tandure wes sumilir/ tak
ijo royo-royo, tak sengguh kemanten anyar/ cah angon, cah angon, penekno
blimbing kuwi/ Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro/ Dodotiro, dodotiro,
kumitir bedah ing pinggir/ Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore/
Mumpung pandhang rembulane, mumpung jembar kalangane/ Yo surako surak hiyo
- Sayup-sayup bangun dari tidur, pohon
sudah mulai bersemi/ Demikian hijau bagai gairah pengantin baru/Penggembala,
tolong panjatlah pohon blimbing itu/Walaupun licin dan susah tetap panjatlah
untuk mencuci pakaian/Pakaian yang koyak sisihkanlah/Jahitlah, benahilah untuk
menghadap nanti sore/Selagi masih terang rembulan nya, selagi masih banyak
waktu luang/Mari bersorak-sorak, ayo. Namun kali ini isi syair mengalami
dinamisasi isi dan interpretasinya menjadi sbb: Lir ilir, lir ilir. Tandure wis sumilir (Bangun, bangunlah (dari
keterpurukan). Saatnya telah tiba)/Tak ijo royo-royo tak sengguh kemanten anyar
(Panji Islam mulai berkembang, menarik hati semua orang)/Cah angon, cah angon
penekno blimbing kuwi (Wahai para pemuda, amalkan Islam dengan benar)/ Lunyu-lunyu
penekno kanggo mbasuh dodo iro (Meski berat perjuangan, tetaplah terus berbuat
(amal), untuk menyucikan jiwamu)/Dodotiro, dodotiro kumitir bedahing pinggir
(Saat pakaian (akhlakmu) terkoyak)/Domdomona jlumatono kanggo sebo mengko sore
(Perbaikilah, sempurnakanlah (Islammu), demi masa depan (akhirat)/Mumpung gede
rembulane, mumpung jembar kalangane (Senyampang usiamu masih muda, selagi masih
ada kesempatan)/Yo sorak ooooo, sorak hiyooo (Hingga kita temui kebahagiaan).
Ketiga,
Yang tidak kalah menariknya adalah pertanyaan seorang gadis muda penjual koran
berdarah campuran Belanda dan seorang Bali dari kasta Paria bernama Stela (Chelsea
Islan) saat bertanya pada Tjokroaminoto dan mendesak agar Tjokroaminoto
memberikan jawaban saat dia bertanya: “Siapakah
aku?” Pertanyaan ini muncul dikarenakan Stela menyadari kondisi zamannya
dimana orang-orang yang disebut pribumi adalah para penduduk asli yang dinamai
oleh pemerintahan kolonial dengan sebutan Hindia Timur yang kelak berubah
menjadi Indonesia. Namun dirinya merasa berada di wilayah abu-abu yang tidak
jelas apakah pribumi atau non pribumi, karena ayahnya adalah seorang Belanda
dan ibunya adalah seorang Bali dari kasta yang rendah. Dan istilah yang akrab
di telinga orang-orang yang hidup di Abad XIX kala itu untuk menyebut istri
simpanan, istri tidak sah adalah Nyai.
Dengan menelusuri peta sosiologis dan kultur masyarakat di masa kolonialisme
kita dapat melacak sejumlah istilah-istilah yang dipenuhi makna-makna
stigmatif. Istilah Nyai yang bersifat
negatif terekam dalam karangan G. Francis, seorang Inggris yang tinggal di
Hindia Belanda dan pemimpin redaktur tiga harian yaitu: Pengadilan, Bintang Betawi, Pantjaran Warta, dalam judul bukunya Tjerita Njai Dasima (1896). Namun
seorang penulis dan sastrawan bernama S. Ardan merekonstruksi kembali kisah
yang menurutnya sarat dengan muatan pencitraan kolonialis terhadap orang Betawi
“yang memiliki sifat-sifat penghasut,
haus harta, irasional, berpikiran sempit, pencuriga, perusuh dan sebagainya
yang jelek-jelek”[4]
yang kemudian menulis ulang dalam cerita pendek dengan rekonstruksi baru
karakter-karakter tokoh yang terlibat. Cerpennya dimuat di Koran Warta Berita antara periode
September-Oktober 1960. Gema rekonstruksi kisah ketokohan dan rekonstruksi
karakter seorang Nyai, muncul kembali dimunculkan oleh penulis novel Pramoedya
Ananta Toer dengan judul Bumi Manusia
pada tahun 1980 melalui tokoh bernama Nyai Ontosoroh[5]
yang memiliki anak bernama Anneliese yang mencintai seorang anak bupati bernama
Minke. Melalui film ini, Garin menyelipkan kegalauan dan kegelisahan anak-anak
yang lahir dari seorang yang distigmatisasi negatif dengan sebutan Nyai pada zaman itu.
Keempat,
mengenai nisbah antara keislaman dan sosialisme Tjokroaminoto. Sekalipun tidak
ada sensor terhadap lagu-lagu komunis berjudul Internasionale yang dinyanyikan Semaoen dkk dalam adegan di atas
sebuah kereta api yang melaju, namun sayangnya dalam tayangan film ini, sosok
Tjokroaminoto yang merangkul ideologi Sosialisme dan Islam sebagai pisau
analisis persoalan ketimpangan sosial di masyarakat dan alat perjuangan untuk
melawan ketidakadilan sosial, kurang kuat digemakan. Padahal, kita ketahui
bahwa beliau menulis buku yang terkenal pada zamannya yaitu Islam dan Sosialisme.
Tjokroaminoto
menolak anggapan bahwa gagasan sosialisme bertentangan dengan agama khususnya
Islam. Dalam bukunya tersebut, Tjokroaminoto berusaha membuktikan dan menegaskan
bahwa sosialisme dapat bersandingan dengan agama sebagaimana dikatakan, “Seperti sudah saya katakan di atas, maka
benih-benih pergerakan sosialis itu tidak saja mendapat makanannya daripada
cita-cita yang menuju barang hikmah, tetapi terutama sekali mendapat makanannya
daripada perasaan-perasaan agama yang dalam…Akan tetapi maksud saya yang
terutama sebagai ternyata daripada judul kitab ini, ialah hendak menguraikan
sosialisme yang berdasar dan bersandar kepada agama kita (Islam) dan yang wajib
kita lakukan sepanjang perintah agama Islam”[6].
Dalam tulisannya tersebut, Tjokroaminoto memberikan dalil-dalil Al Qur’an bahwa
dasar-dasar sosialisme ada dalam Islam[7]
dan Muhamad adalah nabi yang menjunjung nilai-nilai yang digemakan dalam paham
sosialisme[8].
Peran Tuhan dalam agama kembali digemakan Tjokroaminoto dibagian akhir
tulisannya, “Sosialisme akan menjadi
sempurna apabila manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri seperti hewan atau
burung-burung, tetapi untuk keperluan hubungan keterikatan dalam kehidupan
masyarakat, oleh karena segala apa saja yang ada, hanyalah berasal dan
dijadikan oleh satu Kekuatan dan Kekuasaan, yaitu Allah Yang Maha Kuasa”[9].
Pengetahuan
tentang sosialisme Tjokroaminoto bukan hanya menginspirasi pemikiran Soekarno
namun juga Hamka yang pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia di era
pemerintahan Suharto pada tahun 1975. Hamka mendeskripsikan kenangannya tentang
Tjokroaminoto demikian, “Berblangkon,
berkain dan slop, kulitnya putih kuning agak pucat, agak kurus seperti ayahnya.
Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, matanya
tajam laksana burung elang rajawali. Tjokroaminoto memberikan pelajaran dengan
berkeliling dalam kelas. Dengan asyik dia menerangkan sosialisme dari segi
Islam, berdasarkan ayat dengan menuliskan nomor-nomor ayat, berdasar hadis
dengan arti dan perawinya, sebab rupanya lidahnya sendiri tidak fasih
menyebutkan bahasa Arabnya”[10]
Jeanne
S. Mintz dalam bukunya Muhammad, Marx, Marhaen: Akar
Sosialisme Indonesia mengatakan,
“Revolusi Indonesia diperjuangkan di atas
dasar prinsip-prinsip nasionalise yang amat diwarnai sosialisme. Baik pemimpin
maupun organisasi-organisasi sosial politik besar di masa revolusi pada umumnya
adalah kelompok sayap kiri”[11].
Paska Tjokroaminoto, pemikiran-pemikiran beliau tentang sosialisme diteruskan
dan dikembangkan oleh Sukarno dan para tokoh pergerakkan yang kelak menjadi
para pendiri bangsa, baik Hatta, Syahrir, Tan Malaka dll sebagaimana
digambarkan Jeanne S. Mintz: “Filsafat
yang mendominasi pada masa itu adalah sintesa dari tiga ketegangan: Pertama,
prinsip-prinsip nasionalis revolusioner dalam tradisi yang pada tahun 1927
diprakarsai oleh PNI dan terhimpun begitu fasihnya dalam Indonesia Menggugat!
Kedua, sosialisme eklektis yang disodorkan oleh Hatta dan Syahrir dan ketiga,
sosialisme religius yang berakar dalam ajaran Islam modern seperti yang pernah
berkembang selama bertahun-tahun sejak Serikat Islam sampai Muhammadiyah.
Penyimpangan-penyimpangan dari filsafat sosialisme ini adalah kelompok-kelompok
komunis Stalinis dan kelompok-kelompok komunis nasionalis Tan Malaka di sebelah
kiri, serta orang-orang Islam konservatif yang ortodox di sebelah kanan”[12].
Bukan hanya pemikir-pemikir individu yang menjadikan sosialisme sebagai pisau
analisis perjuangan dan perlawanan terhadap sistem kapitalisme dan imperialisme
namun sejumlah partai-partai selain partai komunis pun menggunakan ideologi
sosialisme sebagaimana dikatakan Jeanne S. Mintz, “Dari empat partai besar, kecuali satu yaitu NU, semuanya mewakili atau
mengklaim dirinya mewakili salah satu bentuk ajaran sosialis”[13].
Pemikiran Karl Marx dan gagasan-gagasan
sosialisme begitu akrab di kalangan para pemimpin dan pendiri negeri ini
entahkah dipergunakan dengan cara evolusioner
(Sarikat Islam dan Partai Sosialis Indonesia) maupun revolusioner (Partai Komunis Indonesia). Pemikiran Karl Marx dan
gagasan sosialisme telah menjadi pisau analisis yang paling ampuh untuk
mengupas ketimpangan sosial yang diakibatkan sistem kolonialisme dan
dipergunakan sebagai alat perjuangan untuk melawan imperialisme dan kapitalisme
Abad XIX[14].
Dengan memahami pemetaan ideologis yang saling bertemu pada zaman itu dan
bagaimana Tjokroaminoto mengawinkan ideologi sosialisme khususnya dengan Islam,
maka kita dapat memahami arti pernyataan Tjokroaminoto dalam penggalan adegan
tersebut, “Semua pikiran itu benar. Mau
islami, komunis, sosialis itu semua benar. Yang salah jika tangan telah
digunakan untuk kekerasan”. Beliau menggunakan pisau analisis sosialisme
namun tidak menyetujui tindakan kekerasan sebagaimana dilakukan murid-muridnya
seperti Semaoen, Darsono, Alimin, Muso yang kerap melakukan pemogokkan buruh
dan penyerangan-penyerangan serta radikalisasi petani serta buruh. Sekalipun
ideologis sosialis Tjokroaminoto kurang kuat digemakkan namun dalam penggalan
kalimat-kalimat sebagaimana ucapan Tjokroaminoto di atas dan beberapa penggalan
kalimat lainnya, kita dapat melihat keberpihakkan dan sintesa cerdas dan
hati-hati antara ideologi Sosialisme dan Islam yang dilakukan oleh
Tjokroaminoto. Garin Nugroho pun menangkap suasana
zaman itu yang dituangkan dalam filmnya, sebagaimana dia katakan: “Pada waktu itu, ideologi-ideologi datang
bersamaan. Kemudian Tjokro menafsir dengan sederhana bahwa Islam-sosialis
adalah sama rasa sama rata dengan Tuhan, Islam-komunis juga adalah sama rata
sama rasa tidak ber-Tuhan. Tapi kata ber-Tuhan atau tidak, Tjokro tidak
menganggapnya bahaya sama sekali. Itu adalah kehormatan dan hak hidup pada
semua orang. Makanya dia tidak mengerdilkan orang lain. Dia menghidupkan
keterbukaan dia kepada banyak orang”[15].
Catatan
akhir, hendaknya kita memperhatikan petikan-petikan kalimat yang kerap
diucapkan Tjokroaminoto yang memantulkan kebernasan fikiran dan visionaritas
dirinya sebagai seorang pemimpin zamannya dan kalimat-kalimat tersebut telah
menginspirasi para murid-muridnya menerjemahkan sesuai dengan kecerdasan dan
kemampuan mereka masing-masing yang sekalipun kelak akan bersebrangan dan
saling berhadapan satu sama lain dalam pertarungan politik kebangsaan. Beberapa
kalimat yang mengesankan tekanan yang kuat yang menjadi bagian dari karakter
dirinya tersebut antara lain: “Setinggi-tinggi
ilmu, semurni-murni tauhid , sepintar-pintar siasat” dan “Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar,
menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator".
Teguh
Hindarto, Penikmat Film.
[1] Teguh Hindarto,
Soekarno: Indonesia Merdeka (Ulasan Film
dan Catatan Kritis)
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/01/soekarno-indonesia-merdeka-ulasan-film.html
[2] Mengenai
lagu-lagu Stambul, lihat artikel: Musik
Keroncong
https://suaranada.wordpress.com/2010/08/18/musik-keroncong/
[4] J.J. Rizal, Membaca Dua Dasima dalam pengantar buku
S.M., Ardan, Nyai Dasima, Jakarta:
Masup 2013, hal vii
[5] Pramoedya
Ananta Toer, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera
Dipantara 2011
[6] HOS.
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme,
Bandung: Sega Arsy 2010, hal 21-22
[7] Ibid., hal
37-53
[8] Ibid., hal
61-80
[9] Ibid., hal 114
[10] Hendri F.
Isnaeni, Berguru Kepada Guru Bangsa,
dalam Historia, Nomor 21 Tahun II 2015 hal 32
[11] Jeanne S.
Mintz, Muhammad, Marx, Marhaen: Akar
Sosialisme Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003, hal 111
[12] Loc. Cit., Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme
Indonesia, hal 111
[13] Ibid., hal 176
[14] Teguh Hindarto,
Pengaruh Pemikiran Karl Marx dan Ideologi
Sosialisme Terhadap Para Pendiri Bangsa dan Partai-Partai Politik
http://teguhhindarto.blogspot.com/2015/04/pengaruh-pemikiran-karl-marx-dan.html
[15] Tak Ada Sensor dalam Film Guru Bangsa:
Tjokroaminoto
http://www.muvila.com/movies/watch-out/tak-ada-sensor-dalam-film-guru-bangsa-tjokroaminoto-1504093.html
0 komentar:
Posting Komentar