RSS Feed

JIWA PROKLAMASI YANG TEREDUKSI

Posted by Teguh Hindarto





Refleksi 70 Tahun Indonesia Merdeka (2)


Setiap tahun perayaan kemerdekaan Indonesia, hampir seluruh lapisan masyarakat kita tidak pernah melewatkannya baik melalui ritual simbolik formal berupa upacara peringatan kemerdekaan yang diselenggarakan negara maupun lembaga pemerintahan di daerah-daerah serta institusi pendidikan maupun ritual non formal berupa perlombaan-perlombaan untuk memeriahkan perayaan kemerdekaan dan kelahiran sebuah nation bernama Indonesia yang telah mengalami keterjajahan ratusan tahun sebelumnya mulai sejak VOC, Hindia Belanda hingga Jepang.

Namun jika saya memperhatikan, di wilayah di mana saya tinggal, entahkah di alami pula di wilayah lain, yaitu sebuah gejala yang saya namakan “jiwa proklamasi yang tereduksi”. Mengapa demikian? Bayangkan saja bagaimana perayaan hari kemerdekaan tidak bisa dibedakan lagi dengan perayaan hari-hari keagamaan, mulai dari musik iringan yang jauh dari nilai-nilai nasionalisme melainkan primordialisme berbasis keagamaan. Belum lagi sejumlah lomba-lomba yang diselenggarakan tidak ada bedanya dengan lomba-lomba di saat menjelang hari raya agama tertentu. Kesan yang diciptakan bahwa kemerdekaan yang telah diperoleh dan dirayakan adalah milik golongan dan agama tertentu belaka dan golongan dan kelompok masyarakat lainnya adalah penonton dan obyek pelengkap.


Kegelisahan yang sama terekam dalam artikel Max Lane yang berjudul, 17 Agustus vs 1 Oktober sbb, “Tetapi semakin sering saya berkunjung ke Indonesia semakin saya terkesan oleh sebuah hal yang, buat orang yang baru kenal Indonesia pada waktu itu, sangat mengecewakan. Kegiatan-kegiatan dan suasana menjelang dan pada hari kemerdekaan tak ada apa-apanya. Ada sebuah pidato oleh presiden Suharto di televisi yang kurang diperhatikan masyarakat. Ada lomba-lomba buat anak-anak di kampung. Ada pawai-pawai yang sangat formal. Tidak ada gaung sama sekali dari kehebatan revolusioner periode 1900-1949. Tak ada penghayatan perjuangan panjang di semua bidang yang menciptakan Indonesia sendiri. Ide-ide yang merupakan asal-usul adanya Indonesia sendiri – kemerdekaan, keadilan, perjuangan, rakyat, pergerakan, kedaulatan, sekali lagi kemerdekaan – tidak hadir sama sekali. Serba formal, dangkal dan penuh kelupaan. Sama garingnya dengan peringatan hari nasional Australia yang memperingati deklarasi non-revolusioner perkumpulan orang-orang elit putih Australia tahun 1901. Indonesia memiliki warisan politik dan budaya revolusioner, tetapi dilupakan”(historia.id).

Bukankah seharusnya lomba-lomba yang diselenggarakan untuk memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia menggemakan jiwa dari proklamasi itu sendiri yang terdiri dari akumulasi nilai-nilai yang disebut Max Lane, “kemerdekaan, keadilan, perjuangan, rakyat, pergerakan, kedaulatan”? Namun nilai-nilai itu “tidak hadir sama sekali” dan telah tereduksi oleh kecenderungan primordialisme dan perasaan paling memerdekakan negeri ini oleh satu golongan atau kelompok tertentu dan mengecilkan sumbangsih golongan atau kelompok lain yang pada zamannya bersatu padu atas dasar penderitaan yang sama untuk mengalami kemerdekaan dan hidup dalam nation yang baru.

Bukankah akan lebih menarik dan menumbuhkan jiwa proklamasi yang terdiri dari nilai-nilai mengenai kemerdekaan, keadilan, perjuangan, pergerakan rakyat, revolusi jika saat lomba-lomba jelang perayaan kemerdekaan Indonesia diisi dengan lomba membaca teks pidato bung Karno saat merumuskan Pancasila atau saat mengucapkan pledoi Indonesia Menggugat? Bukankah jiwa proklamasi yang dinamis dan dialektis tersebut akan tertanam dalam sanubari generasi muda dengan melombakan lagu-lagu mars perjuangan atau menyanyikan lagu keroncong perjuangan yang menjadi konteks historis di mana revolusi itu terjadi? Bukankah akan lebih patriotik jika saat jelang pelaksanaan renungan kemerdekaan disertakan dengan drama pendek yang mengisahkan heroisme pemikiran dan perjuangan fisik saat terbentuknya nation bernama Indonesia? 

Bisa jadi, jiwa proklamasi yang tereduksi dikarenakan keberhasilan sistem politik yang berusaha melakukan De-sukarnoisasi dengan melepaskan ajaran dan pikiran Sukarno dan para pemimpin bangsa sejamannya saat meletakkan fundasi sebuah nation baru bernama Indonesia. Bisa jadi, jiwa proklamasi yang tereduksi adalah buah keberhasilan para pengusung ideologi anti Pancasila dan Nasionalisme Indonesia yang terus menerus dengan gencar menyuarakan dan mempublikasikan opini-opininya sehingga menggoyahkan kesadaran historis mengapa bangsa ini terbentuk dan dengan kekuatan apa negara ini dibentuk dan dipersatukan.

Marilah kita kembali kepada jiwa Proklamasi kemerdekaan yang merupakan akumulasi nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, perjuangan, rakyat, pergerakan, kedaulatan. Kita hidupkan terus menerus peristiwa maha dahsyat yang melatarbelakangi terbentuknya nation bernama Indonesia dalam pidato-pidato penghantar renungan malam kemerdekaan, dalam setiap lomba-lomba dan perayaan kemenangan, sehingga generasi masa kini tidak mengalami keterputusan rantai semangat perjuangan pendirian bangsanya dan tetap terhubung dengan sejarah masa lalunya yang penuh energi untuk membebaskan negerinya dari ketertindasan. Merdeka!


Teguh Hindarto

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

0 komentar:

Posting Komentar