Resensi dan Notasi Buku “Nyai dan Pergundikan
di Hindia Belanda”
Penulis: Reggie Baay
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun: 2010
Tebal: 297
Mendengar istilah
“Nyai”, tentu kita akan menghubungkan dengan istilah pasangannya
yaitu “Kyai”. Dalam benak kita sudah terasosiasi bahwa istilah “Kyai” dan
“Nyai” berkaitan dengan sebutan seorang pemimpin agama khususnya Islam terlebih
spesifik sebuah julukan yang berhubungan dengan dunia pesantren. Istilah “Kiai”
sendiri memiliki sejarah yang panjang sebelum Islam ada. Dalam sebuah artikel
diulas mengenai asal usul kata “Kiai” sbb: “Kata, Kyai atau Kiyai, disinyalir
sudah lama digunakan, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Sejak kebudayaan
china menyebar di Indonesia. Istilah ini dibentuk dari dua kata, yaitu ‘Ki’ dan
‘Yai’. ‘Ki’ adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang
sudah tua. Sedang ‘Yai’ adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia
tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali. ‘Yai’ artinya
besar, luas, atau agung. Kata ini masih digunakan di thailand, burma, kamboja.
Dan jawa kuno. Maka, jika digabung, Kiyai berarti seorang laki-laki yang
dihormati. Dalam segala kapasitas. Bukan hanya bidang ‘agama’ saja” (Asal
Mula Kata Santri, Kyai, Pesantren, Sunan, Wali Dan Guru- http://qurunkedua.blogspot.co.id/2014/04/asal-mula-kata-santri-kyai-pesantren.html).
Dalam perkembangannya, istilah
“Kiai” bermakna orang yang terpandang atau dihormati dalam masyarakat tertentu
bahkan berjabatan tertentu di era kolonial. Di era Mataram Islam, istilah
“Kiai” berkembang menjadi penamaan senjata perang yang dimiliki oleh orang-orang
kerajaan (tombak Kyai Pleret, Kyai Setan Kober milik adipati Jipang Arya
Penangsang dan keris Kyai Naga Siloeman yang dipercaya merupakan milik Pangeran
Diponegoro). Selain untuk penamaan senjata, “Kyai/Nyai” ini dipakai juga untuk
menamai alat musik (gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai
Nagawilaga milik keraton Yogyakarta). Istilah “Kiai” pun disematkan untuk nama
hewan milik para tokoh maupun milik kerajaan (kuda Kyai Gagak Rimang milik
adipati Jipang Arya Penangsang maupun Nyai Debleng Sepuh, kerbau bule milik
keraton Solo).
Selain disematkan
pada orang, senjata dan hewan, Kyai/Nyai ini disematkan sebagai penamaan roh-roh yang berkuasa di
wilayah tertentu (Kyai Sapu Jagad, sebutan untuk ‘penunggu’ gunung Merapi). Dan
akhirnya, istilah “Kiai/Nyai” mengerucut menjadi sebuah sebutan yang
berhubungan dengan jabatan dan pemahaman keagamaan dalam hal ini Islam.
Jika istilah “Kiai”
mengharuskan adanya sebutan “Nyai”, namun pada suatu masa, istilah “Nyai” pun
pernah memiliki konotasi dan stigma tertentu. Buku karya Reggie Bay dengan
judul “Nyai dan Pergundikan di Hindia
Belanda” memaparkan kajian sosio historis yang mengungkap secara deskriptif
dan sistematis bagaimana istilah “Nyai” memiliki stigma sosial tertentu di era
kolonialisme Hindia Belanda.
Dalam Bab Pertama Reggie Bay mengulas
permulaan keberadaan seorang Nyai dalam struktur sosial masyarakat Hindia
Belanda sbb: “Ketika para pegawai VOC
tiba di Nusantara sekitar 1600, dimulailah kemunculan para nyai. Perempuan
pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial tetapi juga tidur
dengannya dan pada banyak kasus, menjadi ibu dari anak-anaknya. Hal itu
bukanlah hal baru pada abad ke-17. Namun kedatangan VOC membuatnya berangsur-angsur
menjadi ciri dan sifat sebuah sistem yang cukup kekal dalam kehidupan
masyarakat Eropa di Hindia Belanda” (hal 1).
Pergundikan ala Hindia Belanda
ini bukan tidak mendapatkan reaksi keras dari petinggi VOC, salah satunya
Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4 Jan Pieterszoon Coen yang mengecam
pergundikan ini sebagai “mengarah kepada berbagai perilaku janggal, tidak
terkendali dan membahayakan kepentingan kolonial” (hal 2), sehingga Coen
mengusulkan kepada Heren van De Compagnie
(Tuan Tujuh Belas) agar mengirimkan perempuan Eropa ke Hindia Belanda.
Sayangnya para perempuan Eropa ini setiba di Hindia Belanda justru banyak
menjalani kehidupan menyimpang dan bermabuk-mabukkan dan disebut Coen “kumpulan
orang tak bertuhan” (Hal 3).
Saat Coen digantikan oleh Gubernur Jenderal Carel
Reyniersz dan Joan Maetsuyker antara 1650-1653, kebijakkan yang diterapkan Coen
dihapuskan dan mereka mendukung pergundikan di Hindia Belanda karena melihat
keuntungan ekonomis dibalik pergundikan “karena biaya pelayaran perempuan Eropa
tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah
kelahiran membuat para perempuan Pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga
mereka pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa” (hal 4).
Bahkan ketika EIC (East Indian Company) atau Serikat Dagang Hindia Timur
mengambil alih Hindia Belanda paska kebangkrutan VOC dan pemerintahan Gubernur
Jendral Herman Willem Daendels sebagai representasi kekuasaan Prancis di
Belanda dan Hindia Belanda, kondisi pergundikan di Hindia Belanda tidak dapat
ditiadakan dengan mudah. Sekalipun, “Orang
Inggris pun dibuat heran oleh banyaknya hubungan pergundikan serta kenyataan
bahwa kalangan elite pun menikah dengan perempuan asli di Asia” (hal 16),
namun “Sikap orang Inggris yang tidak
membenarkan pergundikan di Hindia Belanda serta merta menjamin lenyapnya
pergundikan di bawah pemerintahan mereka.
Warga Inggris pun terkadang hidup
secara terang-terangan dengan gundik Asia. Ketika itu bahkan terdapat kisah
pergundikan yang sangat terkenal dan menarik perhatian. Kisah tersebut menjadi
abadi karena munculnya berbagai jenis roman dan sandiwara yang diagung-agungkan
di kemudian hari, yaitu kisah antara Edward William dan Nyai Dasima” (hal
17-18). Pada akhirnya, “Sekeras apapun
usaha orang-orang Inggris untuk menghentikannya dari kehidupan masyarakat
Indies, pergundikan telah menjadi tradisi sepenuhnya di Hindia Belanda pada
awal abad ke-19” (hal 19), tulis Reggie Bay.
Pada Bab Kedua, Reggie Bay
mengulas perihal peningkatan hubungan pergundikan di Hindia Belanda pada
periode 1860-1870 sbb: “Sejak paruh kedua
abad ke-19, jumlah hubungan pergundikan di Hindia Belanda meningkat tajam.
Sampai sekitar tahun 1860, hubungan tersebut masih disembunyikan karena
biasanya terjadi antara majikan dengan budak rumah tangga. Pada 1860-an dan
1870-an telah terjadi sejumlah perubahan penting yang tidak hanya membuat
pergundikan antar-ras semakin jelas terlihat, tetapi juga lebih luas dan
memperoleh karakter baru” (hal 21).
Tahun 1860 merujuk pada keputusan penghapusan
perbudakkan di Hindia Belanda yang berdampak pada “laki-laki Eropa yang ingin hidup dalam pergundikkan terpaksa mencari
gundik di antara orang-orang bebas di Nusantara. Hubungan pergundikkan pun
hanya dapat dilakukan berdasarkan kesukarelaan perempuan Pribumi. Para
laki-laki Eropa kemudian menemukkan solusinya dalam kepengurusan rumah tangga
mereka. Para perempuan Pribumi memang mendapat bayaran untuk pekerjaan
rumahtangga yang dilakukan, namun pada praktiknya mereka juga hidup bersama
sang majikan” (hal 21).
Sementara tahun 1870 merujuk pada penetapan
Undang-Undang Agraria De Waal tanggal 9 April 1870 yang dikeluarkan menteri
penjajahan yang bernama Engelbertus de Waal yang menyebabkan peningkatan
migrasi orang-orang Eropa ke Hindia Belanda karena “tanah di Jawa dan Madura selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk
erfpacht kepada penduduk Belanda atau Hindia Belanda serta badan-badan usaha
dan perdagangan yang berkedudukan di pulau-pulau tersebut” (hal 22). Dan
periode 1870-an merupakan periode kejayaan pergundikan karena, “Disetiap lapisan sosial dapat ditemukan
pegawai rendah, juru tulis, pegawai perkebunan, pemilik toko, residen, bahkan
hakim dan anggota Raad van Indie yang hidup dengan nyai. Selebihnya
pergundikkan tidak hanya dijumpai dalam masyarakat sipil Hindia Belanda, tetapi
juga (bahkan pada skala besar) di tangsi-tangsi tentara kolonial dan pekebunan
di koloni”. (hal 23).
Pesatnya arus orang Eropa ke Hindia Belanda dan
migrasi orang-orang desa ke perkotaan di Hindia Belanda setelah tahun 1870,
menyebabkan pergundikkan tersebar luas lewat kepengurusan rumah tangga yang
dilakukan perempuan pribumi. Saluran kontak antara laki-laki Eropa dan
perempuan Pribumi yang kelak disebut Nyai dan gundik mereka “dilakukan lewat perdagangan seperti di warung,
toko kecil atau tenda jualan dimana sang laki-laki bertindak sebagai pelanggan
dan perempuan sebagai pelayan. Meskipun demikian, kebanyakan kontak terjadi
dalam kepengurusan rumah tangga” (hal 28).
Sebagaimana dikatakan dalam
bab sebelumnya bahwa pernyaian dan pergundikkan telah menyebar luas pada 1870
dalam masyarakat sipil, tangsi militer dan perkebunan, maka tiga bab
berikutnya, Reggie Baay memfokuskan dinamika dan persoalan-persoalan pernyaian
dan dampaknya dalam sistem sosial kemasyarakatan Hindia Belanda dengan lebih
mendalam. Bab Ketiga mengulas perihal pergundikkan dengan cukup panjang
lebar di dunia sipil khususnya kerumahtanggaan (hal 35-88) dan Bab
Keempat mengulas fenomena dan sebaran pernyaian di kalangan tangsi
militer (hal 89-127) serta Bab Kelima pembahasan realita
pernyaian di perkebunan-perkebunan di Jawa dan Deli (129-161).
Kita mendapatkan informasi
yang cukup lengkap pada Bab Ketiga mengenai
siapakah para Nyai baik terkait asal usul mereka, mengapa mereka memilih jalan
hidup sebagai seorang Nyai serta perlakuan apa yang mereka terima sebagai
seorang Nyai dari lelaki Eropa yang mengambil mereka sebagai gundik. Mengenai
latar belakang sosial seorang Nyai dijelaskan, “Tidak banyak yang diketahui mengenai latar belakang gadis atau
perempuan Pribumi yang menjadi gundik laki-laki Eropa. Hal yang umum diketahui
adalah bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga Pribumi miskin di
Jawa” (hal 51).
Dari latar belakang para Nyai yang berasal dari keluarga
miskin, dapat kita duga bahwa motofasi mereka untuk menjadi seorang Nyai tentu
saja adalah kebutuhan ekonomi sebagaimana dikatakan, “Hanya ada sedikit nyai yang hidup dalam pergundikkan dengan orang
Eropa atas dasar cinta…Tidak jarang cinta juga ikut memainkan peran penting
dalam hubungan ini…Bagi kebanyakan nyai bisa dikatakan bahwa hidup dalam
pergundikkan adalah cara bertahan hidup, sebuah permasalahan yang pragmatis”
(hal 53). Yang lebih memprihatinkan adalah perlakuan yang diterima para Nyai
banyak menyisakan keprihatinan dan kepedihan.
Para Nyai kerap mendapatkan
berbagai julukan yang merendahkan keberadaan mereka sebagaimana dijelaskan, “Para gundik sering disebut dengan meubel
(perabot) atau inventarisstuk (barang inventaris. Sebutan itu dapat diartikan
secara harfiah karena pada pelelangan yang dilakukan oleh orang Eropa yang akan
pindah atau kembali ke negeri asalnya, para nyai pun ikut dilelang sebagai
bagian dari inventaris mereka. Para nyai juga kerap disamakan dengan boek
(buku) atau woordenboek (kamus). Hal ini berkaitan dengan fungsi mereka sebagai
penerjemah atau pengajar bahasa Pribumi kepada majikan atau suami mereka”
(hal 59). Bukan hanya diperlakukan sebagai barang, para Nyai pun kerap menerima
perlakuan kekerasan sebagaimana dikatakan, “Di
dalam harian-harian Indies bahkan muncul cerita-cerita pendek dengan
penganiayaan terhadap para gundik Pribumi sebagai teman utamanya” (hal 61).
Jika bab-bab sebelumnya
mengulas asal usul dan sebaran pernyaian dan stigma negatif perihal pernyaian
dalam keluarga laki-laki Belanda di Hindia Belanda, maka Bab Keenam mengulas
perihal anak-anak yang dihasilkan dari pergundikan laki-laki Eropa Belanda
dengan para Nyai Pribumi di Hindia Belanda.
Dalam bagian ini diulas perihal
sejumlah kekuatiran akan dampak sosial anak-anak hasil pergundikkan yaitu “bahwa anak-anak ini dapat membahayakan
ketertiban kolonial” (hal 163). Regie Baay memotret realita anak-anak hasil
pernyaian dan pergundikkan terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama
adalah “anak-anak emas” (gouden kind). Mereka adalah anak hasil pergundikkan
dimana ayah mereka “merupakkan pengusaha
sukses, pejabat tinggi atau orang yang memiliki pekerjaan penting” (hal
164) dan mereka ini menerima sejumlah keistimewaan yaitu, “Setelah menyelesaikan pendidikkan, kebanyakkan dari anak-anak ini
kembali ke tanah kelahiran untuk meniti karier. Yang lainnya tetap tinggal di
Belanda karena menikah dengan pasangan Belanda atau karena ayah mereka, tanpa
istri Asianya, kembali menetap di Belanda” (hal 165).
Kelompok kedua adalah
anak-anak yang dikategorikan “laskar para Indo-Paupers” (het leger van
Indo-paupers). Mereka adalah, “anak-anak
yang kahir dari hubungan campur hidup dalam lapisan paling rendah masyarakat
Hindia Belanda” (hal 168). Mereka inilah yang kerap mengalami berbagai
prasangka negatif, perlakuan diskriminatif. Kondisi mereka akan diperparah
dengan adanya peraturan yang disebut Delftse prerogatief (hak prerogatif Delft)
pada 1842 dimana seseorang tidak bisa mendapatkan jabatan tinggi tanpa melewati
ujian kepegawaian di Akademi Delft dan anak-anak Indo Eropa hasil pergundikkan
sangat sulit masuk dalam akademi tersebut.
Akibat pengabaian,
diskriminasi, ketiadaan akses pendidikan justru telah menciptakan berbagai
kelompok Indo-paupers yang dipenuhi rasa dendam dan kebencian. Tingkat pengangguran
dan kemiskinan serta kejahatan diantara mereka tinggi bahkan ada gadis-gadis
Indo Eropa miskin terkadang dijual ibunya kepada orang Tionghoa kaya dan “Banyak orang Indo-Eropa yang merasa seperti
hidup di negeri kolonial tak bertuan dengan kesempatan hidup sebagai kaum
marjinal. Merekapun mencoba menemukan jalan keluar lewat praktik penyelundupan
opium, pencurian dan menenggelamkan diri di rumah judi dan pelacuran. Mereka
sampai pada sebuah proses dimana mereka ‘terperosok di pinggiran kampung’ yang
berarti merosot hingga ke level Pribumi dari fisik hingga ruang hidup” (hal
172).
Kondisi-kondisi di atas mendorong dibentuknya sebuah komisi di bawah
kepemimpinan D.F.W. van Rees, Direktur Departemen Dalam Negeri pada tahun 1902
untuk melakukan penyelidikkan penyebab “kemiskinan
di antara orang-orang Eropa di Hindia Belanda” (hal 176). Sekalipun telah
dilakukan upaya penyelidikkan dan pembentukkan komisi, “Hanya sedikit efek yang muncul dari penyelidikkan terhadap keadaan
para Indo-Eropa miskin. Pemberantasan kemiskinan yang nyata tetap menjadi
urusan pihak swasta” (hal 178).
Regie Baay menelisik adanya
berbagai upaya diskriminasi terhadap anak-anak Indo Eropa yang dianggap lebih
rendah dari Eropa asli disebabkan oleh berkembangnya Teori Hereditas di Eropa yang
dipengaruhi langsung oleh Teori Evolusi Darwin dan teori Eugenetika Francis
Galton yang merugikan keberadaan anak-anak Indo Eropa karena, “Tidak diragukan lagi teori-teori tersebut
juga mempengaruhi pencitraan kulit putih terhadap para Indo-Eropa. Gagasan pada
waktu itu adalah bahwa anak-anak berdarah campuran menyatukan sifat-sifat jelek
kedua ras dan itu menjadi alasan utama mengapa selalu terjadi sesuatu dengan
orang Indo-Eropa”(hal 180).
Berbagai roman karya orang-orang Hindia Belanda
kerap menyebarluaskan anggapan-anggapan stigmatif tersebut dalam tulisan
mereka. Bahkan kalaupun ada pemujaan terhadap kecantikkan wanita Indo-Eropa
namun bukan dalam pengertian yang positip melainkan negatif yaitu, “Karena kecantikannya, tidak jarang mereka
menjadi genit, malas dan seronok” (hal 185) sebagaimana digambarkan dalam
roman Nummer Elf karya P.A. Daum. Berbeda dengan wanita Indo-Eropa yang dipuji
karena kecantikannya sekalipun dalam konotasi negatif, maka nasib pria Indo
Eropa sama sekali tidak memiliki satupun keuntungan dari pencitraan mereka
karena, “Mereka dinilai sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, malas, bodoh,
apatis dan memiliki kecenderungan kepada fatalisme” (hal 185) sebagaimana
terekam dalam roman berjudul Jan Fusilier karya S. Frankes. Akibat
pendiskriminasian ini menimbulkan dorongan untuk memperoleh emansipasi di
kalangan Indo Eropa.
Terhitung akhir 1880-an muncul organisasi Indo Eropa
bernama Soeria Sumirat. Lalu tahun 1898 didirikan Indische Bond serta Insulinde
pada tahun 1907 yang didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker yang kemudian pada
tahun 1912 mengubah namanya menjadi Indische Partij. Kemudian tahun 1919 muncul
Indo-Europeesch Verbond (IEV) yang lebih moderat dibandikan Indische Partij
yang lebih radikal (hal 187-191).
Seiring dengan diterapkannya
Politik Etis (1901) di Hindia Belanda, terjadi proses Hindianisasi yaitu “Jabatan-jabatan yang sejak dulu disediakan
khusus bagi orang Eropa dan para Indo-Eropa dalam jumah besar (terutama di
pemerintahan Hindia Belanda dan bagian administrasi dim perusahaan-perusahaan
swasta) semakin diisi oleh orang Indonesia yang bayarannya lebih murah.
Berdasarkan prinsip-prinsip politik etis dan setelah dilancarkannya protes dari
pihak Indo-Eropa, diberlakukan persamaan tugas warga sipil pada 1913. Peraturan
ini menetapkan bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama bagi orang Eropa,
Indo-Eropa dan Indonesia” (hal 192-193).
Pada Bab Ketujuh, Regie Baay
menjelaskan gambaran-gambaran lain di luar gambaran-gambaran arus utama yang
kerap mendiskreditkan dan melekatkan stigma negatif terhadap Nyai khususnya
melalui surat kabar dan kesusastraan kolonial. Sejumlah penulis roman sekalipun
memberikan penilaian negatif dalam karyanya namun pada kesempatan lain penulis
tersebut memuji kesetiaan seorang Nyai seperti terungkap dalam karya J.A.
Uilkens dalam Indische Typen, lalu
P.A. Daum dalam karyanya Aboe Bakar,
lalu penulis perempuan Eropa bernama Marie Frank dalam Een Natuurlijk Kind en Andere Nederlandsch-Indische Verhalen serta
Annie Foore dalam karyanya De Van Sons.
Bukan
hanya penulis Eropa namun penulis Indo Eropa pun memperlihatkan pandangan
terhadap para Nyai dengan jelas dan tegas seperti Victor Ido yang meletakkan
seorang Nyai bukan lagi seorang pembantu namun memainkan peran utama. Lalu ada
H. Kommer dengan judul Tjerita Nji Paina
dalam bahasa Melayu. Dan yang paling terkenal adalah kisah Nyai Dasima yang muncul dalam versi bahasa Belanda karya
A.Th.Manusama pada tahun 1926. Sebelumnya cerita ini muncul pada tahun 1896
dengan judul Tjerita Nyai Dasima yang
ditulis oleh seorang Indo-Eropa bernama Gisbert Francis pada tahun 1896.
Akhirnya kesusatraan menjelang akhir kolonial yang merekam kisah Nyai adalah
karya J. Kleian yang berjudul Nyai Mirdja.
Sastra paska kolonial yang mengisahkan kembali kehidupan Nyai dituliskan oleh
Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia
yang mengisahkan mengenai Nyai Ontosoroh gundik Herman Mellema (hal 199-210).
Reggie Bay mengakhiri semua
penelusuran perihal keberadaan Nyai dan pergundikan Hindia Belanda pada Bab
Delapan, dimana dengan datangnya Jepang ke Indonesia dan mengalahkan
Belanda, “telah menciptakan perbedaan
yang tajam antara orang-orang Belanda berdarah murni, Pribumi dan berdarah
campuran” (hal 223). Para Nyai dan keturunanya mengalami apa yang disebut “konflik kesetiaan yang fundamental”
(hal 224) karena mereka harus memutuskan menjadi seorang Pribumi atau menjadi
warga negara Eropa. Pada akhirnya, para Nyai ada yang mengambil pilihan menjadi
bagian dari orang Eropa dan ada yang mengambil pilihan untuk tetap menjadi
Pribumi.
Gema Kisah Nyai Melalui Peran Nyai Ontosoroh
Dalam Novel Bumi Manusia
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan bagian pertama
dari Tetralogi Pulau Buru-nya. Keempat
buku tersebut adalah (disertai tahun penerbitan dan pelarangan; semuanya
diterbitkan Hasta Mitra) meliputi: Bumi
Manusia (1980; 1981), Anak Semua
Bangsa (1981; 1981), Jejak Langkah
(1985; 1985), Rumah Kaca (1988; 1988).
Novel ini mengisahkan tokoh utamanya yang bernama Minke seorang anak bupati di
wilayah Jawa Tengah yang sekaligus siswa sekolah HBS (Hogere Burgerschool disingkat HBS adalah pendidikan menengah umum
pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi).
Selain sebagai siswa HBS, Minke kerap
membuat cerita-cerita pendek yang dimuat di Koran S.N.v/d D dengan nama samaran Max Tollenar.
Pertemanannya dengan Robert Shurhoof yang mengantarkan Minke mengenal seorang
gadis bernama Annelies dan kakaknya bernama Robert Melema putri seorang Belanda
bernama Mellema dan gundiknya bernama Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh sendiri
sebermula bernama Sanikem. Dikarenakan dipercayakan mengelola Boerderij Buitenzorg di Wonokromo dan masyarakat pribumi Jawa
tidak bisa mengeja dengan baik nama perusahaan tersebut, jadilah nama Ontosoroh
untuk menamai Sang Nyai.
Kisah asmara Minke dan Annelies penuh dengan liku yaitu canda dan duka
bersamaan. Bukan hanya dikarenakan perbedaan status sosial diantara keduanya
yang terbentang lebar namun juga status Annelies sendiri yang tidak memiliki
kejelasan secara yuridis, apakah sebagai anak seorang Pribumi atau anak seorang
Eropa. Keterbelahan status dan masa depan Annelies menggambarkan kondisi
kejiwaan dan status hukum anak-anak Indo-Eropa di masa kolonialisme.
Novel ini bukan hanya menceritakan kisah asmara yang pelik diantara dua
sejoli yang berbeda status sosial dan ras namun juga mengisahkan ketegaran dan
keberanian serta kecerdasan seorang Nyai bernama Ontosoroh yang telah melewati
masa-masa sulit dalam kehidupan masa mudanya hingga dia memiliki seorang anak
bernama Annelies dan Robert Surhof. Seperti telah dijelaskan dalam buku Regie
Baay bahwa potret seorang Nyai begitu buruk dalam sistem sosial masyarakat dan
kesusastraan kolonial namun melalui novel-nya, Pramoedya Ananta Toer melakukan
konstruksi baru dengan menempatkan aspek yang lebih positip dalam tokoh Nyai
Ontosoroh. Beberapa sifat dan karakteristik positip tokoh Nyai Ontosoroh dapat
kita lihat al.,
1.
Nyai Yang Pandai Mengelola Perusahaan
Dalam sebuah percakapan dengan Annelies, tokoh Minke bertanya: “Apa
pekerjaanmu sesungguhnya?” “Semua, kecuali pekerjaan kantor. Mama sendiri yang
lakukan itu”. Jadi Nyai Ontosoroh melakukan pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor
macam apa yang dia bisa “Administrasi?” tanyaku mencoba-coba. “Semua. Buku.
Dagang, surat-menyurat, bank…” (Bumi Manusia, 2011:45)
2.
Nyai Yang Gemar Membaca dan Mempelajari
Situasi
Saat Minke mengundang Magda
Peters guru sastranya di HBS yang penasaran bagaimana seorang Nyai yang sudah
menjadi ibu mertua Minke adalah seorang yang dapat belajar secara otodidak,
dalam sebuah percakapan: “Bagus sekali
ruangan ini, bersih dan tenang”, Magda menebarkan pandang pada jendela-jendela
kaca yang membabarkan pemandangan pedalaman. “Indah sekali!”. Kemudian ia
langsung pergi ke meja dan mengambil bundel majalah tersebut. Bertanya tanpa
melihat pada siapapun, “Siapa yang membaca Indische Gids ini?” “Bacaan
pengantar tidur, Juffrouw”. “Pengantar tidur!” Ia membelalak pada Nyai. “Dokter
menganjurkan banyak membaca sebelum tidur”. “Nyai sulit tidur?” “Ya”. “Sudah
lama itu Nyai tanggungkan?” “Lebih lima tahun Juffrow”. “Dan Nyai tidak sakit
karenanya?” Mama menggeleng, tersenyum. “Lantas apa hendak Nyai cari dalam
majalah ini?” “Hanya supaya bisa tidur?” “Bacaan apa lagi pengantar tidur
Nyai?” tanyanya seperti memaksa. “Apa saja yang terpegang Juffrow. Tak ada
pilihan”. Magda Peter mengedip cepat lagi. “Apa yang Nyai lebih suka di antara
semuanya?” “Yang aku dapat mengerti Juffrow”. “Apa Nyai tahu tentang assosiasi
Snouck Hurgronje? “Maaf”, Nyai mengambil majalah itu dari tangan guruku,
mencari-cari halaman tertentu, kemudian menunjukkan pada Magda Peters” (Bumi Manusia, 2011:343-344).
Pada halaman
yang sama digambarkan mengenai koleksi perpustakaan Nyai Ontosoroh, “Magda
Peters sekarang memriksa buku-buku dalam lemari. Sebagian besar bundel majalah
yang dijilid indah. Seakan ia hendak memeriksa isi kepala Nyai. Ternyata ia
tidak begitu tertarik: peternakkan, pertanian, perdagangan, kehutanan dan
kayu-kayuan. Kemudian: bundel berbagai majalah wanita dan majalah umum dari
Hindia, Nederland dan Jerman. Sebagian terbesar pustaka itu disapu saja dengan
pandangnya. Kemudian balik lagi pada deretan bundel majalah kolonial, dan
berhenti lama pada deretan sastra dunia dalam terjemahan Belanda” (Bumi
Manusia, 2011:344).
3. Nyai Yang Berani Menentang Sistem Hukum
Kolonial Yang Diskriminatif
Dalam sebuah persidangan yang mencekam dan mendebarkan perihal status
Annelies yang akan dibawa ke Belanda yang kelak akan memisahkan hubungan Nyai
Ontosoroh dan Annelies, dengan tegas dan berani Nyai Ontosoroh melakukan
perlawanan di sidang pengadilan sbb: “Dengan suara lantang dalam Belanda
tiada cela – di bawah larangan hakim yang memaksanya menggunakan Jawa, serta
ketukan palu – laksana air bah lepas dari cengkeraman taufan ia bicara: Tuan
hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai
membongkar keadaan rumahtanggaku…(ketokkan palu, diperingatkan agar menjawab
langsung). Aku, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mellema,
mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem
hanya seorang gundik. Dari kegundikkanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat
hubunganku dengan mendiang Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa
hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena Tuan Minke
Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua golongan orangtua golongan Indo?
Antara aku dan Tuan Mellema ada ikatan perbudakkan yang tidak pernah digugat
oleh hukum. Tanpa ikatan itupun anak-anakku lahir, dan tak ada seorangpun yang
berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini.
Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa
boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, menmgapa kalau Pribumi
jadi ejekkan, justru karena cinta tulus?” (Bumi Manusia, 2011:426).
Pramoedya bukan hanya melakukan konstruksi ulang tokoh Nyai yang lebih
terpelajar dan berwibawa, namun tidak lupa memberikan gambaran mengenai perfomance
seorang Nyai melalui kecantikkan dan pakaian yang indah dan berwibawa
sebagaimana disajikan dalam penggalan kisah berikut: “Dan segera kemudian
muncul seorang wanita Pribumi, berkain, berkebaya putih dihiasi renda-renda
mahal, mungkin bikinan Naarden seperti diajarkan di E.L.S. dulu. Ia mengenakan
kasut beledu hitam bersulam perak. Permunculannya begitu mengesani karena
dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan dan riasnya
yang terlalu sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat. Dan yang
mengagetkan aku adalah, ‘Belandanya yang baik, dengan tekanan sekolah yang
benar…Ia berjalan menghampiri aku dengan sederhananya. Dan inilah rupanya Nyai
Ontosoroh yang banyak dibicarakan orang, buah bibir penduduk Wonokromo dan
Surabaya, Nyai penguasa Borderij Buitenzorg” (Bumi Manusia, 2011:32-33)
Pramoedya Ananta Toer pun memotret asal usul seorang Nyai melalui tokoh
Nyai Ontosoroh yang menggambarkan kondisi yang berlaku di zaman itu bagaimana
seorang Nyai adalah seorang anak yang dijual oleh keluarganya. Ini dapat kita
simak dalam narasi berikut: “Begitulah, Ann, upacara sederhana bagaimana
seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo. Yang
dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaanku
dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual
anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun” (Bumi Manusia, 2011:123).
Upaya konstruksi ulang terhadap tokoh Nyai melalui Nyai Ontosoroh yang
digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya sebenarnya bukan barang baru
dan telah dikerjakan terlebih dahulu baik oleh penulis Indo-Eropa sebagaimana
dijelaskan Regie Baay, “Penggambaran nyai yang diberikan oleh Pramoedya
Ananta Toer mirip dengan yang ada dalam terbitan bahasa Melayu karya
penulis-penulis Indo-Eropa seperti Kommer, Wiggers dan Francis. Mungkin
Pramoedya Ananta Toer memang memperoleh inspirasi dari mereka.Apakah hanya
kebetulan saja bahwa salah seorang tokoh dalam Aarde der Mensen membaca buku
Njai Dasima karya Francis? Apakah sebuah kebetulan bahwa cara yang digunakkan
Nyai Ontosoroh ketika hendak menentukan nasib sendiri, mengingatkan kita kepada
Nyai Isah dari karya Wiggers? Akhirnya, apakah sebuah kebetulan juga bahwa
tokoh utama Minke dalam Kind van Alle Volken menulis cerita tentang seorang
nyai yang membiarkan dirinya tertular acar agar bisa terlepas dari nasibnya,
seperti Nyai Paina dalam ceritan Kommer?” (Nyai dan Pergundikan di
Hindia Belanda, 2010: 209-210).
Bahkan dua puluh tahunan sebelum Pramoedya
Ananta Toer menerbitkan Bumi Manusia-nya, S.M. Ardan, seorang sastrawan dan
kritikus film menolak citra serba negatif mengenai sosok Dasima dalam roman Tjerita Nyai Dasima karya G.Francis pada
tahun 1896. Pada tahun 1960, Ardan membuat versi baru Tjerita Njai Dasima yang dipublikasikan sebagai cerita bersambung
berjudul Njai Dasima dalam koran
Warta Berita, September-Oktober 1960. Menurut J.J. Rizal dalam pengantar buku
Nyai Dasima mengatakan, “Tokoh Nyai
Dasima diidealisasi oleh Ardan sebagai perempuan korban struktur sosial
kolonial yang ingin mengembalikkan posisi dirinya, mempertahankan jati diri dan
harga diri dengan memberontak terhadap kunkungan cara hidup pernyaian bentukkan
tuan putih. Nyai Dasima oleh Ardan diberi keberanian dan kekuatan untuk
mengungkapkan hal itu, seperti yang tercermin dalam kata-katanya:…” (Nyai
Dasima,2013:xii)
Buku karya Regie Baay ini layak mendapatkan apresiasi
yang tinggi. Melalui kajian dan ulasan yang disampaikan dalam buku ini, kita
mendapatkan beberapa pelajaran penting: Pertama, Pernyaian sebagai model pergundikkan khas Hindia Belanda di era
kolonialisme merupakan realitas historis yang turut membentuk dan melahirkan
orang-orang berdarah Indo-Eropa di Indonesia sebagiamana dikatakan, “Dapat kita katakan, nyai adalah nenek
moyang orang-orang Indo-Eropa” (hal 163).
Realita ini bukan untuk ditangisi
apalagi disembunyikan melainkan menjadi sebuah pelajaran penting bahwa
penindasan kerap menimbulkan kerugian pada pihak yang lemah, dalam hal ini
perempuan sehingga mereka kerap diobyektifikasi hanya menjadi sebuah barang
yang dapat diperlakukan sesuka pemilik barang. Kedua, sudah selayaknya
kisah para Nyai diberikan tempat dalam sejarah bangsa sebagaimana diharapkan
Regie Baay, “Sudah saatnya nyai mendapat
tempat yang merupakan haknya di dalam keluarga Indies dan di dalam sejarah, sebelum
semua terlambat dan tidak ada seorangpun yang mengingatnya lagi” (hal 226).
Pengisahan baru seorang Nyai Ontosorah dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah
penghormatan sekaligus perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat
kolonial mengenai citra seorang Nyai. Seorang Nyai, bukan hanya sekedar barang
namun bisa menjadi seorang manajer yang handal dan cerdas serta tegas dalam
menghadapi situasi yang tidak menguntungkan di era kolonial.
Akan lebih menarik kisah Nyai dan pergundikan di Hindia
Belanda ini jika dituangkan dalam layar lebar dengan bingkai kisah semacam Nyai
Ontosoroh dan Annelies yang terlibat cinta berliku dengan seorang pribumi
bernama Minke. Semoga!
Resensi
ini diposting di link berikut:
http://www.kompasiana.com/shem_tov75/nyai-dan-pergundikan-sebuah-realitas-sosial-di-era-kolonialisme_56095d487793738a07b804e9
Teguh
Hindarto
Peminat
Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial
0 komentar:
Posting Komentar