Notasi dan Resensi
Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965”
Nama Penulis:
Wijaya Herlambang
Penerbit:
Marjin Kiri
Tahun:
2013
Tebal:
333 halaman
Buku karya Wijaya Herlambang
mengisi kekosongan dan melengkapi kajian peristiwa 1965 yang selama ini
berfokus pada pertarungan politik yang kompleks dengan berusaha mengungkap
siapa dalang dibalik peristiwa Gerakan 30 September mulai dari kekuatan militer
yang dikomandoi oleh Suharto hingga keterlibatan intelejen CIA sebagaimana
diuraikan dalam buku-buku karya Ben Anderson, Ruth McVey, Frederick Bunnel
(1966), W.F. Wertheim (1970), Harold Crouch (1978), Peter Dale Scott (1985),
John Roosa (2006), Hele Louise Hunter (2007). Beberapa buku lainnya seperti
karya Hermawan Sulistyo (2004) dan Robert Cribb (1990) serta Freek Colombjn
(2002) mengungkap kekerasan fisik dan pembantaian massal yang dialami oleh
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Sebagaimana dikatakan Wijaya
Herlambang dalam Bab I yang
berisikan pendahuluan bukunya yang cukup panjang lebar, “Dengan demikian, walaupun buku ini tidak bermaksud menyajikan
informasi baru tentang peristiwa seputar 1965, namun ada perspektif baru yang
hendak dibangun dengan cara menyoroti nexus antara pertarungan kebudayaan dan
politik yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa 1965 pada saat komunisme
mulai disingkirkan” (hal 25). Sebagaimana diakui Wijaya bahwa kajian dalam
buku ini bahwa penulis-penulis sebelumnya telah mengkaji keterkaitan antara
kebudayaan dan politik sehingga melahirkan kekerasan kebudayaan terhadap
anggota dan keluarga Partai Komunis Indonesia seperti kajian Tony Day dan Maya
Liem (2010), Keith Foulcher (1990), Anna Greta Nilson Hoadley (2001) serta
Katharine McGregor (2007) namun ada yang membedakan dengan kajian yang ditulis
Wijaya yaitu, “…buku ini, justru membahas
bagaimana produk-produk kebudayaan, termasuk sastra, digunakan untuk
melegitimasi kekerasan tersebut” (hal 28). Pernyataan di atas menegaskan
apa yang sebelumnya dikatakan Herlambang, “Melalui
produk-produk budaya seperti ideologi negara (Pancasila), museum, monumen,
hari-hari peringatan, penatara, buku-buku pegangan siswa dan terutama film dan
karya sastra, muatan ideologis narasi utama Orde Baru ditransformasi ke dalam
bentuk-bentuk seni…Dengan demikian menjadi penting untuk dimengerti bahwa
pembentukkan dan bertahannya ideologi anti-komunis merupakan hasil dari
kombinasi agresi ideologis antara kekuatan politik dan kekuatan kebudayaan
untuk melawan kaum komunis” (hal 10-11).
Jika Erich Fromm dalam bukunya Akar Kekerasan (2008) lebih mengulas
alasan-alasan sosiologis dan psikologis terjadinya kekerasan dalam kehidupan
sosial kemanusiaan, maka Bab II buku
karya Wijaya Herlambang berusaha menyajikan bentuk-bentuk kekerasan melalui
karya Johan Galtung mengenai Cultural
Violence yang didefinisikan, “Dengan
‘kekerasan budaya’, maksud kami adalah aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang
simbolis dari keberadaan kita – seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni,
pengetahuan empiris dan pengetahuan formal (logika, matematika) – yang dapat
digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan
struktural” (hal 35). Teori lainnya yang digunakan Wijaya selain Johan
Galtung adalah Louis Althusser dimana “kekerasan
budaya didefinisikan sebagai penggunaan aparatus-aparatus negara yang dipakai
sebagai instrumen propaganda untuk menanamkan ideologi kelas yang dominan
(negara) yang disebutnya dengan istilah Aparatus Ideologis Negara (Ideological
State Aparatuses atau ISA)” (hal 42-43). Kekerasan budaya sendiri tidak
akan dimengerti tanpa melibatkan pengetahuan mengenai kekerasan linguistik atau
penggunaan bahasa yang memberikan citraan tertentu terhadap sebuah realitas
yang dapat dimanipulasi. Wijaya mendefinisikan kekerasan lingusitik dengan merujuk
pada teori yang dianut kelompok strkturalis dan formalis sebagai “penggunaan bahasa sedemikian rupa sehingga
tercipta sebuah kualitas tertentu atas teks yang berbeda dari pengertian normal
atas bahasa yang dipergunakan untuk menggambarkan realitas dalam percakapan
sehari-hari. Dengan kata lain, kekerasan linguistik adalah proses transformasi
dari bahasa sehari-hari menjadi konstruksi linguistik yang mengasingkan
realitas di mana istilah ‘sastra’ menjadi dimengerti”(hal 47). Wijaya
menambahkan basis bagi teori-teori kekerasan linguistik dimana berfungsi
menjadi perantara terjadinya kekerasan kebudayaan dengan mengutip pendapat
William Gay dan Ellen Gorsevski yang “menghubungkan
terminologi ‘kekerasan linguistik’ secara langsung antara struktur bahasa dan
kapasitas ideologisnya…Bahkan, Gay secara langsung menyebut bahwa terminologi
‘kekerasan linguistik’ adalah bagian dari teori kekerasan budaya yang diajukkan
Galtung; bahasa memiliki kemampuan untuk dignakan sebagai instrumen tindak
kekerasan” (hal 49-50). Wijaya menambahkan basis teori tentang hubungan
antara kekerasan budaya dengan ideologi dengan menggunakan pendekatan sastra
Marxis sebagaimana dikatakan, “Hal
penting yang ditunjukkan oleh banyak pemikir sastra Marxis adalah bahwa sastra
bukanlah semata-mata bentuk ekspresi estetik, seperti yang dipercaya baik oleh
kaum strukturalis maupun formalis namun sastra juga merupakan bentuk praktik
sosial…Dalam konteks inilah para kritikus Marxis menolak untuk melihat realitas
secara fragmentaris. Hal ini disebabkan karena melihat hubungan-hubungan
ekonomi (struktur) sebagai penentudari hubungan-hubungan sosial yang pada
gilirannya menentukan super-struktur, gagasan, pemikiran, sastra dan seni yang
melaluinya sejarah dapat terus berkembang” (hal 53). Wijaya pun melibatkan
pendekatan paska strukturalis atau posmodernis untuk menjelaskan mengenai
realitas ideologis dibalik ekspresi-ekspresi kebudayaan yang melahirkan
kekerasan budaya, sekalipun pendekatan posmodernis telah mengritik pendekatan
Marxis sebagaimana dikatakan, “Dengan
demikian, saya menganggap baik pendekatan Marxis maupun pandangan posmodernis
sama pentingnya bagi studi ini, terutama untuk mengamati bagaimana teks-teks
sastra dapat dimanipulasi untuk menyampaikan pandangan ideologis tertentu.
Pandangan posmodernis berguna untuk memahami bahwa pengaburan dalam pembagian
oposisi biner seringkali dimanipulasi oleh pemegang kekuasaan. Konsep
pengaburan dalam pembagian oposisi biner inilah, khususnya antara fakta dan
fiksi, yang memungkinkan para pemegang kekuasaan mengklaim bahwa teks sastra
adalah dokumen sosial atau sebaliknya: fakta seringkali diklaim sebagai fiksi”
(hal 57).
Pada Bab III Wijaya secara panjang lebar menguraikan relasi antara
ideologi Liberalisme dan Anti Komunisme yang dibangun oleh Amerika Serikat di
Indonesia melalui kerja-kerja intelejen seperti CIA yang membentuk lembaga CCF
(Congress for Cultural Freedom) dan menyelusup melalui faksi militer dan
sejumlah partai di Indonesia seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia), Masyumi
dan peran intelektual serta seniman Indonesia anti-komunis. Mengenai aktifitas
dan peran CCF serta keterkaitannya dengan CIA dijelaskan, “Salah satu organisasi yang sangat berpengaruh, yang dibentuk oleh
pemerintah AS untuk mempromosikan liberalisme sebagai ujung tombak upaya
melawan komunisme di bidang kebudayaan adalah Congress for Cultural Freedom.
CCF dibentuk di Berlin oleh CIA pada tahun 1950 dan digerakkan oleh agen CIA,
Michael Josselson. Misi utama CCF adalah untuk melepaskan tautan kaum
intelektual dan seniman di seluruh dunia dari komunisme, yang dikendalikan oleh
unit khusus CIA yang dikenal dengan nama OPC ( Office of Policy Coordination/Kantor
Koordinasi Kebijakkan) yang dikpalai Frank Wisner di bawah komando direktur CIA
Allen Dulles”(hal 65-66). Dengan lihai Wijaya menelisik jaringan kerja CIA
melalui CCF baik saat pemerintahan Sukarno masih berkuasa maupun saat
pemerintahan Sukarno terguling dan digantikan Suharto. Di era Sukarno CCF
menggandeng tokoh intelektual dan kebudayaan yang berafiliasi dengan PSI dan
Masyumi untuk melakukan perlawanan terhadap ideologi kiri yang juga digemakan
kelompok kesenian LEKRA. Sejumlah nama seperti Mochtar Lubis pemimpin redaksi Indonesia Raya (1949-1974). Sebelum
Indonesia Raya muncul jurnal kebudayaan Konfrontasi dimana para redakturnya
berafiliasi dengan PSI dan jaringan Barat seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Beb
Vujk, Hazil Tanzil (hal 69-70).
Bab
IV lebih
mengulas sejumlah karya sastra (cerpen) yang muncul diantara periode 1966-1970)
dimana “sebagian besar cerpen-cerpen ini
bercerita tentang tragedi yang dialami anggota keluarga para simpatisan komunis
atau tentang para aktivis anti-komunis yang bersimpati kepada kerabat kaum
komunis” (hal 103). Sekalipun kisah-kisah tersebut menggambarkan keunggulan
ideologi Liberalis Humanis yang diusung Barat seperti kebebasan, kemanusiaan
melalui penggambaran tokoh-tokoh yang menolong dan membela korban-korban
kekerasan sebagai reaksi anti-komunis, “Namun
demikian, seperti diuraikan John Roosa, cerita-cerita ini menyembunyikan
pesan-pesan subliminal dan memanipulasi persepsi pembaca mengenai peristiwa
kekerasan terhadap kaum komunis 1965-1966. Roosa mengajukan argumen bahwa
walaupun kelihatannya karya-karya ini cukup menunjukkan simpati terhadap
korban, namun sebenarnya justru merupakan afirmasi terhadap peristiwa kekerasan
itu. Hal ini karena para penulis mencitrakan diri mereka sendiri sebagai kaum
humanis yang berupaya untuk mengekspos peristiwa kekerasan itu di dalam
cerita-cerita mereka, namun pada saat yang sama, mereka meletakkan ‘tragedi’
dari peristiwa itu bukan pada korbannya, namun pada para pelaku kekerasan,
berdasarkan konflik psikologis di dalam pikiran pelaku ketika mereka melakukan
perbuatan itu” (hal 119).
Bab
V mengkaji
mengenai peran sejarawan Universitas Indonesia yang dekat dengan militer
Indonesia dan Amerika yaitu Nugroho Notosusanto. Melalui tangan dingin Nugroho
Notosusantolah lahir sejumlah karya tulis yang akan menjadi sumber utama narasi
Orde Baru dalam melembagakan ideologi anti-komunismenya. Tulisan pertama
Nugroho Notosusanto berjudul 40 Hari
Kegagalan G30S. Dalam tulisan pertamanya ini, Dia juga menarik perbedaa
tegas antara dalang dan wayang. Dia berpendapat bahwa PKI adalah dalang dan
para perwira militer yang melakukan percobaan kup adalah wayang” (hal 155).
Tulisan Nugroho Notosusanto mendapatkan kritik dari tiga orang sarjana Amerika,
Ruth McVey, Ben Anderson dan Frederick Bunnel dari Universitas Cornell. Kajian
mereka diberi judul A Preliminary
Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia yang lebih dikenal dengan
istilah Cornell Paper. Melalui artikel Joseph Kraft di Washington Post, naskah
rahasia ini akhirnya tercium oleh CIA dan pemerintahan Indonesia. Melalui Guy
Pauker sang agen CIA untuk Indonesia maka dipanggilah Jenderal Suwarto,
direktur Seskoad yang juga mertua Nugroho Notosusanto untuk membuat versi
tandingan yang lebih lengkap dan ditulis dalam bahasa Inggris. Akhirnya Nugroho
Notosusanto berhasil merampungkan risetnya dan dibukukan dengan judul, The Coup Attempt of the September 30th
Movement (hal 154-158). Tidak
sedikit sarjana ahli yang berpandangan bahwa penjelasan Nugroho Notosusanto
tidak meyakinkan. Selain dikarenakan lemahnya bukti-bukti yang dihadirkan saat
masih berlangsungnya Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) juga adanya
penyiksaan dan tekanan saat interogasi. Sandaran analisis buku Nugroho memang
lebih banyak mengandalkan hasil interogasi dalam sidang Mahmilub. Bahkan CIA
pun yang memiliki pandangan yang selaras dengan pemerintahan Suhartopun meragukan
sejumlah analisis Nugroho (hal 162). Melalui buku karya Nugroho Notosusanto
narasi sejarah Orde Baru dibangun dan “Sesudah
terbitnya ‘The Coup Attempt of the September 30th Movement ‘ pada
167, Nugroho pun melanjutkan penyebaran ideologi anti-komunis melalui
produk-produk kebudayaan seperti museum, monumen, diorama dan film yang
dipijakkan pada argumennya sendiri. Salah satu produk kebudayaan paling
berpengaruh yang digunakan oleh Nugroho atas nama pemerintah Orde Baru adalah
film Pengkhianatan G30S/PKI (1981) yang disutradarai oleh Arifin C.Noer. Film
ini nantinya juga dinovelkan oleh Arswenso Atmowiloto pada 1986” (hal 163).
Sebagaimana telah diulas pada Bab
V mengenai buku karya Nugroho Notosusanto yang menjadi narasi utama sejarah
versi Orde Baru yang juga menjadi sandaran data bagi pembuatan film karya
Arifin C. Noer dan novel karya Arswendo Atmowiloto maka pada Bab VI Wijaya Herlambang memfokuskan
bagaimana proses pembuatan film dan novel serta analisis ideologis
anti-komunisme dan sejumlah bias sejarah dalam produk kebudayaan tersebut.
Wijaya Herlambang menguraikan sejumlah kasus dimana tokoh dan plot peristiwa
sengaja dipotret secara tendensius untuk menimbulkan kesan jahat dan kejam.
Aidit digambarkan sebagai perokok dalam film meskipun pengakuan Murad Aidit,
adik Aidit bahwasanya kakanya bukan perokok (hal 191), suasana rapat Biro
Khusus PKI yang digambarkan dalam film, novel dengan kondisi remang-reman
sebagai simbol kegiatan konspiratif (hal 192), perlakuan mesum, jorok dan
amoral kelompok milisi rakyat yang terlibat membunuh para jenderal di lubang
buaya (hal 193), penggambaran tokoh Sakirman (kakak Jenderal S. Parman) yang
diposisikan sebagai bagian dari rapat gelap PKI padahal menurut pengakuan
S.Parman pada tahun 1965 kepada perwira militer AS justru posisi Sakirman
adalah mata-mata militer yang menginfiltasi rapat-rapat PKI (hal 196). Menurut
Wijaya, “Baik film maupun novel
Pengkhianatan G30S/PKI telah sukses mempersembahkan sebuah proses legitimasi,
baik atas kekerasan terhadap orang-orang yang dituduh komunis maupun atas
naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Sebagian besar dari proses legitimasi ini
direkayasa melalui alur cerita, dialog dan bahasa dalam rentetan adegan dan
struktur narasi” (hal 214).
Kajian Wijaya pada Bab VII semakin menarik dan masuk lebih
dalam menelisik peran dan jaringan lembaga-lembaga kebudayaan kontemporer paska
1965 yang mulai mengalami pergeseran dari membentuk dan mendukung rezim Orde Baru
menjadi jaringan intelektual dan kebudayaan yang mengritisi dan pada akhirnya
menjatuhkan rezim otoriter tersebut. Munculnya kritik terhadap rezim Orde Baru
baik melalui gerakan intelektual dan mahasiswa serta pergerakan buruh tidak
terlepas dari sikap represif pemerintah demi menjaga stabilitas politik (hal
218). Wijaya pun memotret perseteruan tokoh-tokoh penandatangan Manifes Kebudayaan (1963) yang dibentuk
untuk melakukan perlawananan terhadap kebudayaan kiri, antara Taufik Ismail
pemimpin redaksi Horison dan Goenawan
Muhamad pemimpin redaksi Tempo yang
menyebabkan mereka berpisah dan melakukan aktifitasnya masing-masing (hal
230-231). Ketika Majalah Tempo
dibredel pemerintahan Suharto, Goenawan Mohamad telah mendirikan ISAI (Institut
Studi Arus Informasi) tahun 1995 dan dimulailah fase dimana Goenawan Mohamad
dan rekan-rekannya memberikan ruang baru untuk membaca persoalan di seputar
1965. Buku pertama yang diterbitkan ISAI adalah Bayang-Bayang PKI dimana
melalui buku ini, “Walaupun mengungkap
keterlibatan beberapa anggota PKI dalam percobaan kup 1965, buku ini juga
mempertanyakan dengan tajam keterlibatan orang-orang Orde Baru dalam peristiwa
itu” (hal 231). Jika Goenawan Mohamad menempuh jalan baru dengan
mendekontruksi narasi Orde Baru mengenai komunisme maka Taufik Ismail melakukan
pendekatan pada pemerintah dan menghasilkan buku dengan judul, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif
LEKRA/PKI dimana melalui buku ini“yang
bermaksud meneguhkan kembali propaganda Orde Baru mengenai bahaya laten
komunisme” (hal 233). Hampir separuh bab ini mengulas peran kebudayaan dan
politik serta jaringan Goenawan Mohamad yang sekalipun mulai membela eksistensi
kelompok kiri namun tidak urung menuai kritik baik kalangan sastrawan seperti
Taufik Ismail maupun dari kalangan kiri dengan tudingan pelembagaan ideologi
Liberalisme baik di bidang agama, sosial dan politik. Wijaya memotret kemampuan
jaringan yang dibangun Goenawan Mohamad dengan mengatakan, “Sementara itu, Goenawan Mohamad makin memantap imperium kebudayaannya
sendiri yang di dalamnya terkumpul beberapa institusi yang telah ia bangun
sebelumnya. Selain jurnal Kalam (1994), AJI (1994) dan ISAI (1995), Goenawan juga
mendirikan Galeri Lontar (1996), Teater Utan Kayu (1997), Radio 68H (1999),
Majalah Pantau (1999) dan Jaringan Islam Liberal atau JIL (2001) yang walaupun
secara struktural tidak beroperasi di bawah satu manajemen, namun semuanya
digabung dalam satu payung yang bernama Komunitas Utan Kayu (KUK). Pada
gilirannya KUK pun menjadi rezim kekuasaan baru di bidang kebudayaan,
intelektual dan jaringan filantropi” (hal 237). Wijaya Herlambang sendiri
memiliki penilaian terkait pergeseran pemahaman Goenawan Mohamad yang mulai
menaruh simpati dan memberi ruang bagi aktivis kiri dan mantan tapol untuk
mengaktualisasikan diri mereka melalui jaringan yang dibangun Goenawan dengan
mengatakan, “Dengan kata lain, dengan
mengakomodasi kepentingan para mantan tahanan politik dan mencitrakan diri
sebagai ‘kiri’, KUK berusaha mengaburkan jaringan yang mereka bangun dengan
para pendonor asing, khususnya AS. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pertanyaan berikut: bagaimana mungkin KUK yang ‘kiri’ itu menjadi agen
terpenting dari liberalisme Barat? Hal ini hanya mungkin bila kita melihat KUK
sebagai kelompok faux-leftist dan jika kita kembali kepada argumen Chomksy
tentang ‘ilusi-ilusi’ dari konsep kebebasan” (hal 253). Wijaya Herlambang
pun memberikan kritik terhadap serangan-serangan yang dilakukan lawan Goenawan
Mohammad seperti Saut Situmorang dan Wowok Hesti Prabowo pemimpin buletin
Boemiputra yang kerap mengekspos konspirasi liberal aktifitas kebudayaan KUK
dengan mengatakan, “Namun yang luput dari
usaha mereka mendekonstruksi budaya anti-komunis Orde Baru adalah bahwa tidak
pernah ada karya sastra yang ditulis oleh para aktivis kebudayaan ini untuk
mendobrak narasi utama Orde Baru. Salah satu dari sedikit karya sastra yang
secara fundamental mendekonstruksi narasi resmi itu ternyata justru datang dari
luar kelompok-kelompok kebudayaan tersebut. Karya itu berjudul September
(2006), ditulis oleh Noorca M. Massardi yang sangat sensitif dalam melihat
bagaimana sejarah Orde Baru, yang dibangun melalui berbagai produk kebudayaan,
khususnya film dan novel Pengkhianatan G30S/PKI, merupakan sesuatu yang penuh
dengan fitnah dan kekerasan” (hal 263).
Bab VIII karya Wijaya Herlambang
dicurahkan sepenuhnya dalam mengulas karya sastra berupa novel yang diterbitkan
tahun 2006 berjudul September karya
Moorca M. Massardi. Di masa Orde Baru telah bermunculan karya sastra yang
bertema 1965 seperti Mencoba Menjadi Tidak Menyerah (1980) karya Yudhistira ANM
Massardi, saudara kembar Noorca lalu Ronggeng
Dukuh Paruk (1980) karya Ahmad Tohari. Paska Orde Baru pun telah
bermunculan karya sastra sejenis dengan judul, Layang-Layang Itu Tidak Lagi Mengepak Tinggi (1999) karya Martin
Aleida, Tapol (2002) karya Ngarto
Februana, The Forgotten Massacre:
Persahabatan dan Cinta di Tengah Tragedi G30S PKI (2009) karya Peer Holm
Jorgensen (hal 205-206). Namun menurut Wijaya, “…walaupun karya-karya ini mengungkapkan akibat langsung dan
konsekwensi peristiwa 1965 yng dialami oleh tokoh-tokoh ceritanya, karya-karya
itu sendiri bukanlah gambaran dari peristiwa 1965 yang sebenarnya. Semua karya
tersebut, dengan caranya masing-masing, mengritisi peran brutal militer dalam
menghabisi komunis atau yang dituduh komunis. Sebaliknya karya Noorca adalah
‘rekonstruksi’ dari peristiwa percobaan kup 1965 itu sendiri. Ia tidak menggambarkan
akibat dari brutalitas militer, tetapi justru mengontruksikan sebuah versi
alternatif dari peristiwa di seputar kup 1965” (hal 265-266).
Peter L. Berger dalam bukunya The Social Contruction of Reality
(diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Tafsir
Sosial Atas Kenyataan) mengulas perihal peranan dialektika eksternalisasi
dan obyektifikasi serta internalisasi dalam pembentukan struktur sosial
masyarakat. Masyarakat bukan hanya kenyataan sosial (social reality) melainkan
produk sosial (social contruction). Masyarakat di bawah pemerintahan rezim Orde
Baru pun mewakili produk sosial tertentu hasil konstruksi rezim Orde Baru lalui
aparatus ideologis maupun aparatus represifnya (meminjam istilah Althuser) yang
menjadikan ideologi anti-komunisme dan liberalisme humanisme sebagai narasi
utama sejarah. Melalui buku karya Wijaya Herlambang, kita mendapatkan sebuah
contoh kongkrit bagaimana sejarah dan kebudayaan dikontruksikan sejak tahun
1965 oleh sebuah rezim melalui agen intelektual dan agen kebudayaan sehingga
membentuk kenyataan sosial hari ini. Realitas sosial hari ini tidak terlepas
dari konstruksi sosial di masa lalu. Untuk memahami realitas sosial masa kini
diperlukan pemahaman mengenai konstruksi sosial di masa lalu. Jika realitas
sosial masa kini tidak terlepas dari konstruksi sosial masa lalu, konsekwensi
logisnya kitapun bisa melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi untuk membentuk
realitas sosial yang baru. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar