RSS Feed

PELEMBAGAAN KEKERASAN BUDAYA MELALUI SASTRA DAN FILM

Posted by Teguh Hindarto





Notasi dan Resensi Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965”

Nama Penulis:

Wijaya Herlambang

Penerbit:

Marjin Kiri

Tahun:

2013

Tebal:

333 halaman


Buku karya Wijaya Herlambang mengisi kekosongan dan melengkapi kajian peristiwa 1965 yang selama ini berfokus pada pertarungan politik yang kompleks dengan berusaha mengungkap siapa dalang dibalik peristiwa Gerakan 30 September mulai dari kekuatan militer yang dikomandoi oleh Suharto hingga keterlibatan intelejen CIA sebagaimana diuraikan dalam buku-buku karya Ben Anderson, Ruth McVey, Frederick Bunnel (1966), W.F. Wertheim (1970), Harold Crouch (1978), Peter Dale Scott (1985), John Roosa (2006), Hele Louise Hunter (2007). Beberapa buku lainnya seperti karya Hermawan Sulistyo (2004) dan Robert Cribb (1990) serta Freek Colombjn (2002) mengungkap kekerasan fisik dan pembantaian massal yang dialami oleh anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Sebagaimana dikatakan Wijaya Herlambang dalam Bab I yang berisikan pendahuluan bukunya yang cukup panjang lebar, “Dengan demikian, walaupun buku ini tidak bermaksud menyajikan informasi baru tentang peristiwa seputar 1965, namun ada perspektif baru yang hendak dibangun dengan cara menyoroti nexus antara pertarungan kebudayaan dan politik yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa 1965 pada saat komunisme mulai disingkirkan” (hal 25). Sebagaimana diakui Wijaya bahwa kajian dalam buku ini bahwa penulis-penulis sebelumnya telah mengkaji keterkaitan antara kebudayaan dan politik sehingga melahirkan kekerasan kebudayaan terhadap anggota dan keluarga Partai Komunis Indonesia seperti kajian Tony Day dan Maya Liem (2010), Keith Foulcher (1990), Anna Greta Nilson Hoadley (2001) serta Katharine McGregor (2007) namun ada yang membedakan dengan kajian yang ditulis Wijaya yaitu, “…buku ini, justru membahas bagaimana produk-produk kebudayaan, termasuk sastra, digunakan untuk melegitimasi kekerasan tersebut” (hal 28). Pernyataan di atas menegaskan apa yang sebelumnya dikatakan Herlambang, “Melalui produk-produk budaya seperti ideologi negara (Pancasila), museum, monumen, hari-hari peringatan, penatara, buku-buku pegangan siswa dan terutama film dan karya sastra, muatan ideologis narasi utama Orde Baru ditransformasi ke dalam bentuk-bentuk seni…Dengan demikian menjadi penting untuk dimengerti bahwa pembentukkan dan bertahannya ideologi anti-komunis merupakan hasil dari kombinasi agresi ideologis antara kekuatan politik dan kekuatan kebudayaan untuk melawan kaum komunis” (hal 10-11).


Jika Erich Fromm dalam bukunya Akar Kekerasan (2008) lebih mengulas alasan-alasan sosiologis dan psikologis terjadinya kekerasan dalam kehidupan sosial kemanusiaan, maka Bab II buku karya Wijaya Herlambang berusaha menyajikan bentuk-bentuk kekerasan melalui karya Johan Galtung mengenai Cultural Violence yang didefinisikan, “Dengan ‘kekerasan budaya’, maksud kami adalah aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang simbolis dari keberadaan kita – seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, pengetahuan empiris dan pengetahuan formal (logika, matematika) – yang dapat digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural” (hal 35). Teori lainnya yang digunakan Wijaya selain Johan Galtung adalah Louis Althusser dimana “kekerasan budaya didefinisikan sebagai penggunaan aparatus-aparatus negara yang dipakai sebagai instrumen propaganda untuk menanamkan ideologi kelas yang dominan (negara) yang disebutnya dengan istilah Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Aparatuses atau ISA)” (hal 42-43). Kekerasan budaya sendiri tidak akan dimengerti tanpa melibatkan pengetahuan mengenai kekerasan linguistik atau penggunaan bahasa yang memberikan citraan tertentu terhadap sebuah realitas yang dapat dimanipulasi. Wijaya mendefinisikan kekerasan lingusitik dengan merujuk pada teori yang dianut kelompok strkturalis dan formalis sebagai “penggunaan bahasa sedemikian rupa sehingga tercipta sebuah kualitas tertentu atas teks yang berbeda dari pengertian normal atas bahasa yang dipergunakan untuk menggambarkan realitas dalam percakapan sehari-hari. Dengan kata lain, kekerasan linguistik adalah proses transformasi dari bahasa sehari-hari menjadi konstruksi linguistik yang mengasingkan realitas di mana istilah ‘sastra’ menjadi dimengerti”(hal 47). Wijaya menambahkan basis bagi teori-teori kekerasan linguistik dimana berfungsi menjadi perantara terjadinya kekerasan kebudayaan dengan mengutip pendapat William Gay dan Ellen Gorsevski yang “menghubungkan terminologi ‘kekerasan linguistik’ secara langsung antara struktur bahasa dan kapasitas ideologisnya…Bahkan, Gay secara langsung menyebut bahwa terminologi ‘kekerasan linguistik’ adalah bagian dari teori kekerasan budaya yang diajukkan Galtung; bahasa memiliki kemampuan untuk dignakan sebagai instrumen tindak kekerasan” (hal 49-50). Wijaya menambahkan basis teori tentang hubungan antara kekerasan budaya dengan ideologi dengan menggunakan pendekatan sastra Marxis sebagaimana dikatakan, “Hal penting yang ditunjukkan oleh banyak pemikir sastra Marxis adalah bahwa sastra bukanlah semata-mata bentuk ekspresi estetik, seperti yang dipercaya baik oleh kaum strukturalis maupun formalis namun sastra juga merupakan bentuk praktik sosial…Dalam konteks inilah para kritikus Marxis menolak untuk melihat realitas secara fragmentaris. Hal ini disebabkan karena melihat hubungan-hubungan ekonomi (struktur) sebagai penentudari hubungan-hubungan sosial yang pada gilirannya menentukan super-struktur, gagasan, pemikiran, sastra dan seni yang melaluinya sejarah dapat terus berkembang” (hal 53). Wijaya pun melibatkan pendekatan paska strukturalis atau posmodernis untuk menjelaskan mengenai realitas ideologis dibalik ekspresi-ekspresi kebudayaan yang melahirkan kekerasan budaya, sekalipun pendekatan posmodernis telah mengritik pendekatan Marxis sebagaimana dikatakan, “Dengan demikian, saya menganggap baik pendekatan Marxis maupun pandangan posmodernis sama pentingnya bagi studi ini, terutama untuk mengamati bagaimana teks-teks sastra dapat dimanipulasi untuk menyampaikan pandangan ideologis tertentu. Pandangan posmodernis berguna untuk memahami bahwa pengaburan dalam pembagian oposisi biner seringkali dimanipulasi oleh pemegang kekuasaan. Konsep pengaburan dalam pembagian oposisi biner inilah, khususnya antara fakta dan fiksi, yang memungkinkan para pemegang kekuasaan mengklaim bahwa teks sastra adalah dokumen sosial atau sebaliknya: fakta seringkali diklaim sebagai fiksi” (hal 57).

Pada Bab III Wijaya secara panjang lebar menguraikan relasi antara ideologi Liberalisme dan Anti Komunisme yang dibangun oleh Amerika Serikat di Indonesia melalui kerja-kerja intelejen seperti CIA yang membentuk lembaga CCF (Congress for Cultural Freedom) dan menyelusup melalui faksi militer dan sejumlah partai di Indonesia seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia), Masyumi dan peran intelektual serta seniman Indonesia anti-komunis. Mengenai aktifitas dan peran CCF serta keterkaitannya dengan CIA dijelaskan, “Salah satu organisasi yang sangat berpengaruh, yang dibentuk oleh pemerintah AS untuk mempromosikan liberalisme sebagai ujung tombak upaya melawan komunisme di bidang kebudayaan adalah Congress for Cultural Freedom. CCF dibentuk di Berlin oleh CIA pada tahun 1950 dan digerakkan oleh agen CIA, Michael Josselson. Misi utama CCF adalah untuk melepaskan tautan kaum intelektual dan seniman di seluruh dunia dari komunisme, yang dikendalikan oleh unit khusus CIA yang dikenal dengan nama OPC ( Office of Policy Coordination/Kantor Koordinasi Kebijakkan) yang dikpalai Frank Wisner di bawah komando direktur CIA Allen Dulles”(hal 65-66). Dengan lihai Wijaya menelisik jaringan kerja CIA melalui CCF baik saat pemerintahan Sukarno masih berkuasa maupun saat pemerintahan Sukarno terguling dan digantikan Suharto. Di era Sukarno CCF menggandeng tokoh intelektual dan kebudayaan yang berafiliasi dengan PSI dan Masyumi untuk melakukan perlawanan terhadap ideologi kiri yang juga digemakan kelompok kesenian LEKRA. Sejumlah nama seperti Mochtar Lubis pemimpin redaksi Indonesia Raya (1949-1974). Sebelum Indonesia Raya muncul jurnal kebudayaan Konfrontasi dimana para redakturnya berafiliasi dengan PSI dan jaringan Barat seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Beb Vujk, Hazil Tanzil (hal 69-70).

Bab IV lebih mengulas sejumlah karya sastra (cerpen) yang muncul diantara periode 1966-1970) dimana “sebagian besar cerpen-cerpen ini bercerita tentang tragedi yang dialami anggota keluarga para simpatisan komunis atau tentang para aktivis anti-komunis yang bersimpati kepada kerabat kaum komunis” (hal 103). Sekalipun kisah-kisah tersebut menggambarkan keunggulan ideologi Liberalis Humanis yang diusung Barat seperti kebebasan, kemanusiaan melalui penggambaran tokoh-tokoh yang menolong dan membela korban-korban kekerasan sebagai reaksi anti-komunis, “Namun demikian, seperti diuraikan John Roosa, cerita-cerita ini menyembunyikan pesan-pesan subliminal dan memanipulasi persepsi pembaca mengenai peristiwa kekerasan terhadap kaum komunis 1965-1966. Roosa mengajukan argumen bahwa walaupun kelihatannya karya-karya ini cukup menunjukkan simpati terhadap korban, namun sebenarnya justru merupakan afirmasi terhadap peristiwa kekerasan itu. Hal ini karena para penulis mencitrakan diri mereka sendiri sebagai kaum humanis yang berupaya untuk mengekspos peristiwa kekerasan itu di dalam cerita-cerita mereka, namun pada saat yang sama, mereka meletakkan ‘tragedi’ dari peristiwa itu bukan pada korbannya, namun pada para pelaku kekerasan, berdasarkan konflik psikologis di dalam pikiran pelaku ketika mereka melakukan perbuatan itu” (hal 119).

Bab V mengkaji mengenai peran sejarawan Universitas Indonesia yang dekat dengan militer Indonesia dan Amerika yaitu Nugroho Notosusanto. Melalui tangan dingin Nugroho Notosusantolah lahir sejumlah karya tulis yang akan menjadi sumber utama narasi Orde Baru dalam melembagakan ideologi anti-komunismenya. Tulisan pertama Nugroho Notosusanto berjudul 40 Hari Kegagalan G30S. Dalam tulisan pertamanya ini, Dia juga menarik perbedaa tegas antara dalang dan wayang. Dia berpendapat bahwa PKI adalah dalang dan para perwira militer yang melakukan percobaan kup adalah wayang” (hal 155). Tulisan Nugroho Notosusanto mendapatkan kritik dari tiga orang sarjana Amerika, Ruth McVey, Ben Anderson dan Frederick Bunnel dari Universitas Cornell. Kajian mereka diberi judul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah Cornell Paper. Melalui artikel Joseph Kraft di Washington Post, naskah rahasia ini akhirnya tercium oleh CIA dan pemerintahan Indonesia. Melalui Guy Pauker sang agen CIA untuk Indonesia maka dipanggilah Jenderal Suwarto, direktur Seskoad yang juga mertua Nugroho Notosusanto untuk membuat versi tandingan yang lebih lengkap dan ditulis dalam bahasa Inggris. Akhirnya Nugroho Notosusanto berhasil merampungkan risetnya dan dibukukan dengan judul, The Coup Attempt of the September 30th Movement  (hal 154-158). Tidak sedikit sarjana ahli yang berpandangan bahwa penjelasan Nugroho Notosusanto tidak meyakinkan. Selain dikarenakan lemahnya bukti-bukti yang dihadirkan saat masih berlangsungnya Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) juga adanya penyiksaan dan tekanan saat interogasi. Sandaran analisis buku Nugroho memang lebih banyak mengandalkan hasil interogasi dalam sidang Mahmilub. Bahkan CIA pun yang memiliki pandangan yang selaras dengan pemerintahan Suhartopun meragukan sejumlah analisis Nugroho (hal 162). Melalui buku karya Nugroho Notosusanto narasi sejarah Orde Baru dibangun dan “Sesudah terbitnya ‘The Coup Attempt of the September 30th Movement ‘ pada 167, Nugroho pun melanjutkan penyebaran ideologi anti-komunis melalui produk-produk kebudayaan seperti museum, monumen, diorama dan film yang dipijakkan pada argumennya sendiri. Salah satu produk kebudayaan paling berpengaruh yang digunakan oleh Nugroho atas nama pemerintah Orde Baru adalah film Pengkhianatan G30S/PKI (1981) yang disutradarai oleh Arifin C.Noer. Film ini nantinya juga dinovelkan oleh Arswenso Atmowiloto pada 1986” (hal 163).

Sebagaimana telah diulas pada Bab V mengenai buku karya Nugroho Notosusanto yang menjadi narasi utama sejarah versi Orde Baru yang juga menjadi sandaran data bagi pembuatan film karya Arifin C. Noer dan novel karya Arswendo Atmowiloto maka pada Bab VI Wijaya Herlambang memfokuskan bagaimana proses pembuatan film dan novel serta analisis ideologis anti-komunisme dan sejumlah bias sejarah dalam produk kebudayaan tersebut. Wijaya Herlambang menguraikan sejumlah kasus dimana tokoh dan plot peristiwa sengaja dipotret secara tendensius untuk menimbulkan kesan jahat dan kejam. Aidit digambarkan sebagai perokok dalam film meskipun pengakuan Murad Aidit, adik Aidit bahwasanya kakanya bukan perokok (hal 191), suasana rapat Biro Khusus PKI yang digambarkan dalam film, novel dengan kondisi remang-reman sebagai simbol kegiatan konspiratif (hal 192), perlakuan mesum, jorok dan amoral kelompok milisi rakyat yang terlibat membunuh para jenderal di lubang buaya (hal 193), penggambaran tokoh Sakirman (kakak Jenderal S. Parman) yang diposisikan sebagai bagian dari rapat gelap PKI padahal menurut pengakuan S.Parman pada tahun 1965 kepada perwira militer AS justru posisi Sakirman adalah mata-mata militer yang menginfiltasi rapat-rapat PKI (hal 196). Menurut Wijaya, “Baik film maupun novel Pengkhianatan G30S/PKI telah sukses mempersembahkan sebuah proses legitimasi, baik atas kekerasan terhadap orang-orang yang dituduh komunis maupun atas naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Sebagian besar dari proses legitimasi ini direkayasa melalui alur cerita, dialog dan bahasa dalam rentetan adegan dan struktur narasi” (hal 214).

Kajian Wijaya pada Bab VII semakin menarik dan masuk lebih dalam menelisik peran dan jaringan lembaga-lembaga kebudayaan kontemporer paska 1965 yang mulai mengalami pergeseran dari membentuk dan mendukung rezim Orde Baru menjadi jaringan intelektual dan kebudayaan yang mengritisi dan pada akhirnya menjatuhkan rezim otoriter tersebut. Munculnya kritik terhadap rezim Orde Baru baik melalui gerakan intelektual dan mahasiswa serta pergerakan buruh tidak terlepas dari sikap represif pemerintah demi menjaga stabilitas politik (hal 218). Wijaya pun memotret perseteruan tokoh-tokoh penandatangan Manifes Kebudayaan (1963) yang dibentuk untuk melakukan perlawananan terhadap kebudayaan kiri, antara Taufik Ismail pemimpin redaksi Horison dan Goenawan Muhamad pemimpin redaksi Tempo yang menyebabkan mereka berpisah dan melakukan aktifitasnya masing-masing (hal 230-231). Ketika Majalah Tempo dibredel pemerintahan Suharto, Goenawan Mohamad telah mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) tahun 1995 dan dimulailah fase dimana Goenawan Mohamad dan rekan-rekannya memberikan ruang baru untuk membaca persoalan di seputar 1965. Buku pertama yang diterbitkan ISAI adalah Bayang-Bayang PKI dimana melalui buku ini, “Walaupun mengungkap keterlibatan beberapa anggota PKI dalam percobaan kup 1965, buku ini juga mempertanyakan dengan tajam keterlibatan orang-orang Orde Baru dalam peristiwa itu” (hal 231). Jika Goenawan Mohamad menempuh jalan baru dengan mendekontruksi narasi Orde Baru mengenai komunisme maka Taufik Ismail melakukan pendekatan pada pemerintah dan menghasilkan buku dengan judul, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif LEKRA/PKI dimana melalui buku ini“yang bermaksud meneguhkan kembali propaganda Orde Baru mengenai bahaya laten komunisme” (hal 233). Hampir separuh bab ini mengulas peran kebudayaan dan politik serta jaringan Goenawan Mohamad yang sekalipun mulai membela eksistensi kelompok kiri namun tidak urung menuai kritik baik kalangan sastrawan seperti Taufik Ismail maupun dari kalangan kiri dengan tudingan pelembagaan ideologi Liberalisme baik di bidang agama, sosial dan politik. Wijaya memotret kemampuan jaringan yang dibangun Goenawan Mohamad dengan mengatakan, “Sementara itu, Goenawan Mohamad makin memantap imperium kebudayaannya sendiri yang di dalamnya terkumpul beberapa institusi yang telah ia bangun sebelumnya. Selain jurnal Kalam (1994), AJI (1994) dan ISAI (1995), Goenawan juga mendirikan Galeri Lontar (1996), Teater Utan Kayu (1997), Radio 68H (1999), Majalah Pantau (1999) dan Jaringan Islam Liberal atau JIL (2001) yang walaupun secara struktural tidak beroperasi di bawah satu manajemen, namun semuanya digabung dalam satu payung yang bernama Komunitas Utan Kayu (KUK). Pada gilirannya KUK pun menjadi rezim kekuasaan baru di bidang kebudayaan, intelektual dan jaringan filantropi” (hal 237). Wijaya Herlambang sendiri memiliki penilaian terkait pergeseran pemahaman Goenawan Mohamad yang mulai menaruh simpati dan memberi ruang bagi aktivis kiri dan mantan tapol untuk mengaktualisasikan diri mereka melalui jaringan yang dibangun Goenawan dengan mengatakan, “Dengan kata lain, dengan mengakomodasi kepentingan para mantan tahanan politik dan mencitrakan diri sebagai ‘kiri’, KUK berusaha mengaburkan jaringan yang mereka bangun dengan para pendonor asing, khususnya AS. Hal ini dilakukan untuk menghindari pertanyaan berikut: bagaimana mungkin KUK yang ‘kiri’ itu menjadi agen terpenting dari liberalisme Barat? Hal ini hanya mungkin bila kita melihat KUK sebagai kelompok faux-leftist dan jika kita kembali kepada argumen Chomksy tentang ‘ilusi-ilusi’ dari konsep kebebasan” (hal 253). Wijaya Herlambang pun memberikan kritik terhadap serangan-serangan yang dilakukan lawan Goenawan Mohammad seperti Saut Situmorang dan Wowok Hesti Prabowo pemimpin buletin Boemiputra yang kerap mengekspos konspirasi liberal aktifitas kebudayaan KUK dengan mengatakan, “Namun yang luput dari usaha mereka mendekonstruksi budaya anti-komunis Orde Baru adalah bahwa tidak pernah ada karya sastra yang ditulis oleh para aktivis kebudayaan ini untuk mendobrak narasi utama Orde Baru. Salah satu dari sedikit karya sastra yang secara fundamental mendekonstruksi narasi resmi itu ternyata justru datang dari luar kelompok-kelompok kebudayaan tersebut. Karya itu berjudul September (2006), ditulis oleh Noorca M. Massardi yang sangat sensitif dalam melihat bagaimana sejarah Orde Baru, yang dibangun melalui berbagai produk kebudayaan, khususnya film dan novel Pengkhianatan G30S/PKI, merupakan sesuatu yang penuh dengan fitnah dan kekerasan” (hal 263).

Bab VIII karya Wijaya Herlambang dicurahkan sepenuhnya dalam mengulas karya sastra berupa novel yang diterbitkan tahun 2006 berjudul September karya Moorca M. Massardi. Di masa Orde Baru telah bermunculan karya sastra yang bertema 1965 seperti Mencoba Menjadi Tidak Menyerah (1980) karya Yudhistira ANM Massardi, saudara kembar Noorca lalu Ronggeng Dukuh Paruk (1980) karya Ahmad Tohari. Paska Orde Baru pun telah bermunculan karya sastra sejenis dengan judul, Layang-Layang Itu Tidak Lagi Mengepak Tinggi (1999) karya Martin Aleida, Tapol (2002) karya Ngarto Februana, The Forgotten Massacre: Persahabatan dan Cinta di Tengah Tragedi G30S PKI (2009) karya Peer Holm Jorgensen (hal 205-206). Namun menurut Wijaya, “…walaupun karya-karya ini mengungkapkan akibat langsung dan konsekwensi peristiwa 1965 yng dialami oleh tokoh-tokoh ceritanya, karya-karya itu sendiri bukanlah gambaran dari peristiwa 1965 yang sebenarnya. Semua karya tersebut, dengan caranya masing-masing, mengritisi peran brutal militer dalam menghabisi komunis atau yang dituduh komunis. Sebaliknya karya Noorca adalah ‘rekonstruksi’ dari peristiwa percobaan kup 1965 itu sendiri. Ia tidak menggambarkan akibat dari brutalitas militer, tetapi justru mengontruksikan sebuah versi alternatif dari peristiwa di seputar kup 1965” (hal 265-266).

Peter L. Berger dalam bukunya The Social Contruction of Reality (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Tafsir Sosial Atas Kenyataan) mengulas perihal peranan dialektika eksternalisasi dan obyektifikasi serta internalisasi dalam pembentukan struktur sosial masyarakat. Masyarakat bukan hanya kenyataan sosial (social reality) melainkan produk sosial (social contruction). Masyarakat di bawah pemerintahan rezim Orde Baru pun mewakili produk sosial tertentu hasil konstruksi rezim Orde Baru lalui aparatus ideologis maupun aparatus represifnya (meminjam istilah Althuser) yang menjadikan ideologi anti-komunisme dan liberalisme humanisme sebagai narasi utama sejarah. Melalui buku karya Wijaya Herlambang, kita mendapatkan sebuah contoh kongkrit bagaimana sejarah dan kebudayaan dikontruksikan sejak tahun 1965 oleh sebuah rezim melalui agen intelektual dan agen kebudayaan sehingga membentuk kenyataan sosial hari ini. Realitas sosial hari ini tidak terlepas dari konstruksi sosial di masa lalu. Untuk memahami realitas sosial masa kini diperlukan pemahaman mengenai konstruksi sosial di masa lalu. Jika realitas sosial masa kini tidak terlepas dari konstruksi sosial masa lalu, konsekwensi logisnya kitapun bisa melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi untuk membentuk realitas sosial yang baru. Semoga!

0 komentar:

Posting Komentar