RSS Feed

KEMISKINAN BUKAN PENYAKIT

Posted by Teguh Hindarto


Dalam salah satu promosi untuk menghadiri kegiatan Kebaktian Rohani terpampang kalimat “KKR Mukjizat dan Akhir Zaman, Tuhan Yesus Penyembuh, Sembuh Dari Penyakit, Hubungan Keluarga, Kemiskinan dan Usaha”. Ada yang menarik untuk dicermati dari judul dan fenomena keagamaan dalam Kekristenan kontemporer yang berkiblat kepada Western Christianity tersebut. Dari pemilihan tema dapat dilihat bahwa beberapa kelompok denominasi tertentu telah memperlakukan kemiskinan setara dengan penyakit yang dapat dan harus disembuhkan dengan cara non medis dalam hal ini melalui upaya supranatural yaitu doa-doa yang diucapkan pendeta atau pengkotbah dalam kegiatan keagamaan tersebut. Pertanyaannya adalah, benarkah kemiskinan adalah suatu penyakit yang harus disembuhkan dan dengan mudah diusir dalam nama Yesus Sang Mesias layaknya mengusir roh-roh jahat dan sakit penyakit jahat mematikan? Sebelum menjawab apakah kemiskinan setara dengan sakit penyakit yang dapat dan harus disembuhkan melalui doa-doa pelepasan, mari kita simak terlebih dahulu bagaimana misi pelayanan Yesus dan para Rasul-Nya sebagaimana dilaporkan dalam Kitab Perjanjian Baru.

Saat Yesus berada di Sinagog dan beribadah Sabat dan tiba saatnya beliau mendapatkan kehormatan untuk membaca gulungan Kitab, beliau membacakan Yesaya 61:1-2 sebagaimana dilaporkan Injil Lukas sbb, “Roh YHWH ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat YHWH telah datang” (Luk 4:18-19). Frasa “mengurapi” (Ibr: mashakh, Yun: echrismen) dihubungkan dengan pelaksanaan tugas sebagai Mesias baik pelayanan kepada orang miskin, penyembuhan, pelayanan mukzizat, menegakkan keadilan sosial. Kita akan menyoroti dan mempertajam frasa “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Ibr: lebasyer anawim, Yun: euanggelisasthai ptochoi). Pelayanan mukzizat, kesembuhan dan fenomena supranatural yang akhir-akhir ini didemontrasikan oleh penginjil televisi adalah bagian dari pelayanan Mesias namun bukan satu-satunya pelayanan Mesias. Pelayanan mukzizat dan kesembuhan tidak boleh dilepaskan dengan pelayanan yang terkait bahkan diurutkan pertama yaitu pemberitaan Kabar Baik kepada orang-orang miskin. Pelayanan yang holistik dan terpadu adalah pelayanan yang menekankan secara berimbang kesemua aspek-aspek tersebut.

Anatomi Kemiskinan: Perspektif Teologis

Bagaimana kemiskinan dipandang dari sudut iman Kristiani yang berlandaskan Kitab TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim) dan Kitab Perjanjian Baru? Kitab TaNaKh mendeskripsikan beberapa faktor penyebab terjadinya kemiskinan yaitu: kelambanan alias tidak cekatan (Ams 10:4), kemalasan (Ams 20:13), kebiasaan peminum (Ams 23:21), penindasan (Am 4:1), kebijakan penguasa, persaingan bisnis, mismanajemen, kutuk nenek moyang, korban peperangan dll. Adalah keliru jika ada gereja yang mengajarkan bahwa kemiskinan hampir selalu disebabkan oleh satu-satunya faktor spiritual yaitu kutukan atau bahkan diperlakukan setara dengan sakit penyakit.

Memang benar bahwa Torah menuliskan bahwa Tuhan YHWH bisa mengubah berkat material seseorang diubah menjadi kutuk, namun jika dicermati lebih jauh bahwa kutukkan yang terjadi bukan sebab tetapi akibat dari penolakkan dan pengabaian terhadap perintah Tuhan sebagaimana dikatakan: “Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi perhatian untuk menghormati nama-Ku, firman YHWH semesta alam, maka Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk, dan Aku telah membuatnya menjadi kutuk, sebab kamu ini tidak memperhatikan” (Mal 2:2). Perhatikan frasa weshilakhti bakem et hameerah wearoti et birkotekem (maka Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk) hanya sebuah akibat dari sebuah sebab yaitu im lo tishme’u weim lo tashim’u ‘al lev latet lishmi (Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi perhatian untuk menghormati nama-Ku).

Dalam ayat lainnya bahkan “kutuk” dan “berkat” yang diterima secara individu atau kolektif dihubungkan dengan sebuah keputusan dan pilihan yang dilakukan oleh seseorang untuk mematuhi atau melanggar perintah-perintah Tuhan sebagaimana dikatakan: “Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi YHWH Tuhanmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan YHWH dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka” (Ul 30:19-20). Frasa haberakah wehaqelalah (berkat dan kutuk) hanya dapat diperoleh diantara keduanya melalui sebuah keputusan dan pilihan individu atau kolektif dan Tuhan memerintahkan, bakharti bakhayim lema’an tihyeh (Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup).

Tuhan YHWH melalui Torah-Nya tidak pernah memperlakukan kemiskinan  dan orang-orang miskin sebagai penyakit. Torah tidak mengajarkan kepada kita untuk memperdebatkan faktor penyebab kemiskinan melainkan bagaimana kita memperlakukan orang yang jatuh miskin dan orang yang mewarisi kemiskinan dari keluarganya. Torah mengajarkan agar kita membantu dengan kemampuan kita jika ada saudara kita yang jatuh miskin karena berbagai penyebab (Im 25:25, 35). Torah mengajarkan agar kita membagi harta kita dan membantu mereka yang benar-benar miskin dengan meminjaminya jika mereka membutuhkan (Ul 15:6-11). Torah mengajarkan agar orang yang memiliki harta berlebih jangan meminjamkan uang kepada orang miskin dengan mengambil bunga (Kel 22:25). Torah mengajarkan agar jangan meminjamkan dengan mengambil gadaian terhadap orang miskin (Ul 24:10-13).

Orang-orang miskin memiliki hak untuk mendapatkan apa yang mereka perlukan seperti sandang, pangan, papan yang tidak bisa mereka peroleh dengan kemiskinan mereka sebagaimana dikatakan:“Enam tahunlah lamanya engkau menabur di tanahmu dan mengumpulkan hasilnya, tetapi pada tahun ketujuh haruslah engkau membiarkannya dan meninggalkannya begitu saja, supaya orang miskin di antara bangsamu dapat makan, dan apa yang ditinggalkan mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang hutan. Demikian juga kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu” (Kel 23:10-11)

“Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu. Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah YHWH Tuhanmu” (Im 19:9-10).

Komunisme tidak akan lahir jika orang Kristen memberlakukan ketentuan dan perintah Torah terkait orang-orang miskin. Seandainya Karl Marx membaca perintah Torah tersebut, maka dia tidak perlu membuat teori Pertentangan Kelas antara Borjuis dan Proletar dan tidak perlu membuat teori Revolusi Sosial mendirikan pemerintahan Diktator Proletariat setelah merebutnya dari kaum Borjuis. Torah tidak membenturkan antara kaya dan miskin. Torah memerintahkan keseimbangan dan kesadaran orang-orang kaya untuk menolong orang-orang miskin dan memberikan apa yang menjadi hak mereka. Kita tentunya pernah mendengar kalimat yang begitu populer dari Karl Marx bahwa “agama adalah candu rakyat”. DR. J. Verkuyl memberikan gambaran yang lebih lengkap sbb: “Pemandangan Marx terhadap agama dapat kita ketahui sebaik-baiknya dari bukunya: ‘Die Heilige Famile’ dan dari sebuah karangannya dalam Deutsch Franzosische Jahrbucher. Katanya: ‘Manusia, negara dan masyarakat itulah yang menghasilkan agama. Agama adalah teori umum dari dunia, tempat manusia itu hidup. Jadi melawan agama adalah melawan dunia itu secara tidak langsung. Kekacauan dalam agama adalah lukisan kekacauan yang sebenarnya dan sementara itu suatu sanggahan pula atas kekacauan itu. Agama adalah keluh kesah mahluk yang ditimpa sengsara, adalah perasaan dunia yang tidak mengenal belas kasihan dan adalah jiwa keadaan yang tidak berjiwa lagi. Agama adalah racun candu bagi rakyat. Supaya rakyat itu sungguh-sungguh berbahagia, hendaklah agama dihapuskan, karena ia hanya bahagia semu saja”[1] Pandangan sinis Karl Marx lebih dikarekan agama dan para pejabat gereja kerap membela kepentingan-kepentingan orang kaya yaitu kaum kapitalis dan berdiam diri terhadap ketimpangan sosial di dalam struktur kelas. Agama dan para pejabat gereja hanya berbicara mengenai surga yang jauh di sana dan tidak memberikan jawaban terhadap berbagai penderitaan orang-orang miskin akibat penindasan orang-orang kaya dan hanya mengajak orang-orang menghibur diri mereka tentang upah bagi orang-orang yang teraniaya di sorga kelak.

Pelayanan Yesus tidak pernah bertentangan dengan Torah. Yesus selaras dengan Torah karena Yesus pernah bersabda, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan Torah atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari Torah, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah Torah sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah Torah, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:17-19). Pelayanan Yesus yang ditujukan kepada mereka yang miskin, papa, berkekurangan, terpinggirkan, terampas hak-haknya.

Bagaimana dengan rasul-rasul Yesus Sang Mesias? Merekapun meneladan dan meneruskan apa yang telah dikerjakan Sang Guru. Rasul Paul menuliskan, “Tetapi sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Yerusalem untuk mengantarkan bantuan kepada orang-orang kudus. Sebab Makedonia dan Akhaya telah mengambil keputusan untuk menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di Yerusalem”(Rm 15:25-26). Dalam suratnya yang lain, Rasul Paul menuliskan, “hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya” (Gal 2:10).

Rasul Yakobus menuliskan agar jemaat Mesias menjauhkan diri dari sikap membeda-bedakan status dan kelas sosial seseorang dengan menuliskan sbb, “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Junjungan Agung kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka. Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: "Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!", sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: "Berdirilah di sana!" atau: "Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!", bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?” (Yak 2:1-4).

Apakah keberpihakkan dan perlakuan terhadap orang yang jatuh miskin dan orang yang mewarisi kemiskinan dari keluarganya sebagaimana diperintahkan dalam Torah, ajaran Yesus dan rasul-rasulnya merupakan bentuk pembiaran dan dukungan terhadap permanenisasi kemiskinan dan menghalangi seseorang untuk keluar dari kemiskinan? Tidak! Torah menjanjikan bagi barangsiapa yang mendengar dan melakukan sabda Tuhan akan mendapatkan ganjaran berkat termasuk berkat finansial dan kekayaan (Ul 28:1-14). Namun mereka yang telah diberkati dengan kekayaan tidak boleh melupakan perbuatan Tuhan dan diperintahkan untuk menyucikan hartanya dengan membagi terhadap mereka yang membutuhkan (Ul 15:6-11).

Setiap karya dan pelayanan yang ditujukan terhadap orang-orang miskin, papa, terpinggirkan, baik secara individual maupun komunal, bukan sekedar memanjakan dan memperlakukan mereka sebagai orang yang tidak berbuat apa-apa secara permanen. Lebih dari itu, setiap karya dan pelayanan yang ditujukan kepada golongan-golongan yang dikategorikan miskin adalah untuk membebaskan mereka dari kemiskinan baik kemiskinan fisik maupun kemiskinan mental. Dengan menolong dan berbagi, kita bukan menanamkan kemalasan. Sebaliknya kita memperlakukan mereka sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Oleh karenanya, tidak cukup hanya menolong dan memberikan apa yang mereka butuhkan, namun juga mentransferkan pemikiran dan ajaran Yesus Sang Mesias yang memerdekakan dan membebaskan (Yoh 8:32). Kita bisa terlibat menanamkan kejujuran, kerja keras, ketekunan, kesungguhan, kesalehan sekalipun status sosial mereka miskin. Dan kita harus mendorong bahwa orang miskin bisa keluar dari kemiskinan jika dia mau bekerja keras dan melibatkan Tuhan untuk mengubah nasibnya.

Anatomi Kemiskinan: Perspektif Sosiologis

Revrisond Baswier dalam bukunya, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, menjelaskan kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu Kemiskinan Natural, Kemiskinan Kultural serta Kemiskinan Struktural. Menurutnya, “Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan yang menyebakan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu. Sementara, kemiskinan sruktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakkan  perekonomian yang tidak adil, penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan perekonomian international ayng lebih menguntungkan negara tertentu”[2] 

Ambil contoh kemiskinan yang terjadi di Papua. Apakah kemiskinan yang terjadi semata-mata disebabkan lemahnya sumber daya manusia atau proses pelemahan sumber daya manusia melalui proses kemiskinan struktural yang disebabkan sejumlah kebijakkan yang tidak berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan dan mobilitas sosial vertikal orang papua? Berkaitan dengan keberadaan PT. Freeport,di Papua menarik membaca minusnya kontribusi Freeport untuk kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana dikatakan: “Sudah hampir setengah abad Freeport mengeruk kekayaan alam kita, terutama di Papua. Selama itu pula mereka mengeruk jutaan ton tembaga dan ratusan juta ton emas. Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari mencapai Rp 114 miliar. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau Rp 3,534 triliun. Namun, di balik keuntungan yang spektakuler itu, rakyat Indonesia justru tidak mendapat manfaat apapun. Rakyat kita di Papua sana, yang notabene berada di sekitar pertambangan Freeport, juga tidak mendapat efek keuntungan yang menetes. Sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan tetap melekat pada rakyat Papua. Cerita tentang kelaparan juga tak henti-hentinya berhembus di Papua.Ironisnya, bukannya merasakan efek keuntung an yang menetes, rakyat Papua justru merasakan efek politik dan sosial akibat nafsu serakah Freeport untuk mengamankan dan melanggengkan eksploitasinya di bumi Papua. Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM sangat massif dilakukan oleh militer Indonesia, yang notabene jadi pasukan pengawal Freeport, di tanah Papua. Tak hanya itu, rakyat Papua juga merasak dampak kerusakan ekologis yang sifatnya jangka-panjang. Kontribusi Freeport untuk penerimaan negara juga nyaris tidak ada. Pemerintah Indonesia hanya menerima royalti emas 1% dan royalti tembaga sebesar 1,5-3,5%. Sudah begitu, Freeport juga sering membandel untuk membayar dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal, pemerintah Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport mestinya menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar”[3]. Pernyataan senada dikatakan Hendri F. Isnaeni “Meskipun Freeport telah menjadi penyumbang utama bagi kemakmuran Indonesia – menyediakan sekitar $ 33 miliar dalam laba langsung dan tidak langsung selama periode 1992-2004 – dampaknya tidak sepositif itu pada tingkat lokal. Laba langsung kepada Indonesia berjumlah total $ 2,6 juta dari 1992 sampai 2004. Freeport melaporkan bahwa mereka membayar Indonesia lebih dari $ 1 Miliar dalam pajak, royalti dan dividen pada tahun 2005”[4] 

Kembali kepada pembicaraan awal perihal kemiskinan yang oleh beberapa pengkotbah Kristen denominasi tertentu kerap disalahpahami sebagai buah kutuk dan disetarakan dengan penyakit sehingga dapat dengan mudah dalam sekejap menjadi sembuh dan tidak miskin. Pemahaman demikian bukan saja tidak biblikal bahkan mengabaikan faktor-faktor sosial eksternal berupa kebijakkan-kebijakkan baik dari kalangan penguasa (pemerintah pusat maupun lokal) maupun pengusaha dalam berkolaborali memenangkan sebuah perijinan untuk dibukanya sebuah proyek dan usaha baru yang bisa jadi menimbulkan kemiskinan pada kelompok masyarakat tertentu yang disebut kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini tidak bisa dilawan dan diubah melalui doa-doa semacam mengusir roh-roh jahat atau doa-doa kesembuhan dari sakit penyakit. Kemiskinan struktural ini harus dianalisis dan dilawan dengan berbagai strategi yang mengombinasikan pendekatan agama dan pendekatan ilmu sosial kritis sebagai dalil epistemologis dan dalil praksis. 

Ironisnya beberapa pengusaha atau penguasa (tidak semua) tertentu yang telah menimbulkan kemiskinan struktural terkadang justru menjadi anggota jemaat gereja yang mengotbahkan bahwa kemiskinan adalah setara penyakit dan kutuk, tanpa pengkotbah dan penguasa serta pengusaha tersebut mengetahui bahwa akar penyebab kemiskinan yang dialami kelompok masyarakat tertentu yang disetarakan dengan orang-orang sakit dan terkena kutuk justru disebabkan oleh kebijakkan-kebijakkan yang mereka putuskan. Berita baiknya, tidak semua pengusaha Kristen melakukan tindakan paradok sebagaimana di katakan di atas. Dalam acara Doa Akbar Sedunia (World Prayer Assembly/WPA) yang diselenggarakan di Jakarta, sejak 14 Mei 2012 lalu, sejumlah ekonom dunia dari kelompok Kristen Protestan menentang keserakahan kapitalisme.  Pengusaha diminta lebih berpihak kepada orang miskin demi mewujudkan dunia yang lebih baik[5]. 

Jika demikian yang terjadi, maka masih pantaskah para pengkotbah kebaktian kebanggunan rohani serta para penginjil televisi mengotbahkan Injil yang lain yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah setara penyakit dan kutuk yang akan musnah sekejap hanya melalui doa-doa tanpa sebuah upaya melakukan operasi dan anatomi sebuah kemiskinan yang dialami seseorang?

-------------
[1] DR, J. Verkuyl, Komunisme, Kapitalisme dan Injil Kristus, BPK 1951, hal 26

[2] Teguh Hindarto, Kemiskinan Struktural Sebagai Masalah Sosial di Era Globalisasi

https://www.academia.edu/9699938/KEMISKINAN_STRUKTURAL_SEBAGAI_MASALAH_SOSIAL_DI_ERA_GLOBALISASI

[3] Ambil Alih Freeport Untuk Memulihkan Kedaulatan Bangsa
http://www.berdikarionline.com/editorial/20140131/ambil-alih-freeport-untuk-memulihkan-kedaulatan-bangsa.html#ixzz2sE9x51eC

[4] Op.Cit., Indonesia, Wilieaks & Julian Asange, hal 135

[5] Pelaku Ekonomi Indonesia Diminta Tak Serakah Jalani Kapitalisme

http://www.beritasatu.com/makro/49437-pelaku-ekonomi-indonesia-diminta-tak-serakah-jalani-kapitalisme.html

0 komentar:

Posting Komentar