Apapun perbedaan dalam
meyakini kapan Yesus Sang Mesias (Kristus) lahir, entahkah tanggal 25 Desember
dengan sebutan Christmass atau 6
Januari dengan sebutan Epifani serta
bulan Tishri (September/Oktober) bersamaan dengan perayaan Pondok Daun atau Sukot, namun faktalah yang mempersatukan
bahwa Sang Firman telah menjadi manusia (Yoh 1:14) dan turun ke dunia dengan
nama Yesus (Yeshua/Yahshua, Mat 1:21) dan menjadi tanda kemuliaan Tuhan YHWH
Sang Pencipta tinggal di bumi serta kesukaan besar bagi seluruh bangsa (Luk
2:10).
Namun “kesukaan besar”(χαραν μεγαλην :charan megalen,
Yun - שמחה גדולה : rav shashon, Ibr)
yang seharusnya dirayakan dengan rasa syukur dan ketakziman itu kerap tereduksi
di era kemenangan kapitalisme global ini menjadi nilai-nilai kebendaan yang
menutupi kesadaran religius individu.
Menarik saat membaca ulasan
Trisno S. Sutanto dengan judul, Sinterklas dan Natal sbb: “Tetapi seluruh kompleksitas cerita Injil
tentang kelahiran Yesus itu hilang ketika masa Natal direduksi menjadi sekedar
figur Sinterklas, undangan belanja dan masa libur panjang diakhir tahun.
Mungkin itu nasib yang harus diterima ketika suatu perayaan keagamaan
kehilangan elan vitalnya, entah terserap menjadi sekedar pernak pernik budaya
konsumerisme global atau menjadi sekedar seremoni yang membosankan dan membuat
orang mengantuk. Di situ pesan-pesan keagamaan mengalami proses insignifikasi
maupun irelevansi – tak lagi mampu memberi horison guna memaknai kehidupan
sekaligus tak lagi gayut dengan pergaulan sehari-hari” (http://islamlib.com/agama/kristen/sinterklas-dan-natal/).
Sinterklasme yang lahir
dari budaya Amerika dan Eropa yang telah mengalami perkawinan dengan
Kapitalisme semakin menyebarluaskan kultur konsumtif tinimbang pesan-pesan
religius yang kuat mengenai mengapa Yesus lahir ke dunia. Sebagaimana diulas
oleh sosiolog Prancis Jean Baudrilard, pola konsumtif yang diakibatkan
kapitalisme memberi dampak terhadap produksi massal yang kemudian menciptakan
suatu budaya. Budaya yang begitu lekat di masyarakat atas kepemilikan suatu
barang yang over production memunculkan
budaya popular. Kemudian, budaya popular tersebut sudah dilihat sebagai tanda
yang beredar. Dalam buku The Consumer Society: Myth and Structures
(diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Masyarakat Konsumsi, Kreasi Wacana
2013) Baudrillard mencoba menjelaskan bahwa struktur sosial yang telah berjalan
merujuk kepada struktur sosial yang kolektif tanpa mengabaikan diferensiasi
individual. Hal tersebut terlihat ketika kepemilikan terhadap satu objek
menentukan identitas individu tertentu. Objek menjadi penentu identitas
tersebut dihadirkan melalui tanda yang telah diciptakan. Maka dari itu, setiap
manusia yang ingin memiliki indentitas, mau tidak mau, melakukan konsumsi atas
barang tersebut untuk mendapatkan tanda yang diciptakan. Tujuan konsumsi bukan
lagi menghabiskan atau memanfaatkan kegunaan barang konsumsi melainkan
memanfaatkan tanda-tanda yang sengaja dimasukkan ke dalam barang konsumsi oleh
produsen melalui sebuah usaha manipulasi kesadaran yang dibantu oleh
kecanggihan media massa.
Bicara mengenai “manipulasi
kesadaran” dan “kecanggihan media massa”, demikianlah yang terjadi pada
generasi muda Amerika (mungkin juga masyarakat kita) sebagaimana diulas oleh
Alisa Quart, “Selama dekade terakhir,
penjualan barang-barang bermerek untuk anak muda meningkat tajam. Saat ini
remaja adalah korban produksi barang-barang mewah. Mereka dibombardir dan
diidentikkan dengan nama-nama produk yang dicekokkan oleh strategi iklam
mutakhir dan manipulatif. Karena dibesarkan oleh budaya komoditas sejak masih
di ayunan, remaja memiliki citra diri yang rapuh dan sangat tergantung pada
benda…Pada tahun 2002, korporasi tidak saja berusaha merayu remaja dan ABG
untuk membelanjakan uangnya. Mereka juga berusaha menjerat remaja dengan
lingkaran setan kerja dan belanja selama masa muda. Orientasi mereka yang
ditujukan untuk remaja sekarang bertujuan memperkuat kesan mereka terhadap
merek tertentu sepanjang hidup mereka” (Belanja Sampai Mati, Resist
Book 2008:xx-xxi).
Kembalikanlah
makna kelahiran Yesus Sang Mesias terlepas berbagai keragaman pemahaman mazhab
dalam Kekristenan mengenai kapan beliau lahir) sebagai momentum memperkuat
horison keagamaan dan pesan untuk apa Yesus harus lahir dan datang ke dunia.
Karya Mesianis Yesus yang menuntaskan kutuk dosa yaitu maut yang dimulai
melalui fase kelahiran, tidak pernah lepas dari konteks kehidupan sosial.
Seluruh ajaran Yesus Sang Mesias selalu bersentuhan dengan kehidupan sosial
bahkan dalam derajat tertentu harus berbenturan dengan kekuasaan politik. Suatu
ketika, Yesus mengutip Yesaya 61:1-2 sbb, "Roh
YHWH ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19). Baik “orang miskin”, “orang tawanan”,
“orang buta”, “orang tertindas” berbicara soal kelas sosial, strata sosial,
struktur sosial. Pesan Kabar Baik Yesus tidak pernah tidak bersentuhan dengan
kehidupan sosial bahkan Yesus menunjukkan keberpihakkan pada kelas-kelas yang
tertindas.
Agama bukan hanya berbicara perihal kesalehan individual yang
ditunjukkan melalui perilaku ibadah formal melainkan harus diterjemahkan
menjadi aksi nyata yang disebut kesalehan sosial. Kesalehan sosial berarti
keberpihakkan terhadap kelas yang tertindas oleh kekuatan kelas yang
menghegemoni melalui modal dan konstitusi. Kesalehan sosial berarti menyerukkan
suara kenabian dan berani memerdekakan belenggu pemahaman yang memenjarakan
banyak orang dalam ketidaksadaran diri terhadap sistem sosial yang menindas.
Karl Marx mengecam agama karena agama tidak membela
struktur penindasan oleh kelompok "the have" terhadap "the
have not" dalam hubungan industrial. Para rohaniawan lebih
memberikan hiburan surgawi dan menyerah pada takdir sambil menunggu keadilan di
dunia sana tinimbang membongkar struktur penindasan dan membela yang tertindas.
Senada dengan Marx, saya teringat perkataan Rizal Ramli Menteri Koordinator
Maritim dan Sumber Daya saat membuka pameran bakal buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia
Untuk Pemula di Kantor LBH Jakarta beberapa hari lalu. Beliau
mengatakan, “Bangsa Jerman yang terkenal
dengan kebudayaan, filsafat, musik, dan orang-orang yang religi, akhirnya harus
terjebak dalam omong kosong seorang kopral bernama Hitler. Jerman saat itu
adalah Jerman yang telah melakukan banyak kesalahan. Tahu kenapa? Karena
orang-orang pintar cendikiawan, seniman, orang yang religius tidak berani
mengatakan kebenaran. Sehingga akhirnya orang brengseklah yang berkuasa”,
ungkap Rizal Ramli tegas (http://kabarkampus.com/2015/12/tugas-anak-muda-menuliskan-sejarah-tanpa-dendam/).
Kiranya
hari yang dirayakan dan diperingati sebagai kelahiran Yesus Sang Mesias (terlepas berbagai
keragaman pemahaman mazhab dalam kekristenan mengenai kapan beliau lahir) menjadi momentum bagi kita untuk membuka kesadaran palsu
dan berpaling dari “ilah asing” yang telah memperdaya kita pada kehidupan
konsumerisme global sebagai kepanjangan tangan kapitalisme global yang telah
mereduksi makna “kesukaan besar” dibalik kelahiran Sang Juruslamat. Bukan hanya
berhenti sampai pada “membuka kesadaran palsu” namun dilanjutkan dengan
menghadirkan kesalehan sosial dan peran sosial umat Kristen melalui penghadiran
Kerajaan Tuhan yaitu kebenaran dan keadilan di bumi dengan melibatkan diri
untuk melakukan kritik sosial ditengah arus kekuasaan politik dan kekuasaan
ekonomi yang menimbulkan penindasan struktural bahkan kemiskinan struktural
bagi kelompok masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar