RSS Feed

SURAT DARI PRAHA

Posted by Teguh Hindarto


Resensi Film dan Ulasan Kritis

Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu novel triloginya yang berjudul Bumi Manusia mengungkapkan kegelisahan psikologis salah satu tokoh dalam cerita yaitu Annelies anak Robert Mellema dan Nyai Ontosoroh berupa keterperangkapan jatidiri apakah dirinya sebagai anak pribumi atau anak Belanda akibat hukum kolonial yang hanya menetapkan status anak hasil perkawinan antara seorang Belanda dan seorang Nyai hanya diaku sebagai anak dari seorang ayah namun menolak status kewargaan ibunya sebagaimana tersurat dari nukilan pernyataan Nyai Ontosoroh kepada Annelies, “Sejak pengakuan itu kalian menurut hukum, hanya anak dari Tuan Mellema. Menurut hukum Ann, hukum Belanda di sini, jangan kau keliru. Kau tetap anakku. Pada wak tu itu baru aku tahu betapa jahatnya hukum. Kalian mendapatkan seorang ayah tapi kehilangan ibu" (Bumi Manusia, 2011:136). Sebagaimana pula diungkapkan dalam hati Minke kekasih Annelies, “Dia bukan majikan biar hidup sekamar dengan tuannya. Dia tidak termasuk golongan anak yang dilahirkannya sendiri. Dia bukan Totok, bukan Indo dan dapat dikatakan bukan Pribumi lagi. Dia adalah gunung rahasia” (Bumi Manusia, 2011:431).

Jika keterperangkapan identitas menjadi kegelisahan psikologis anak-anak Belanda dengan para Nyai (Baca resensi buku karya Reggie Bay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda - http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2015/09/nyai-dan-pergundikan-sebuah-realitas.html), maka demikianlah terjadi dengan para mahasiswa yang terperangkap di luar negeri saat terjadi pergantian kekuasaan dari Sukarno digantikan oleh Suharto. Keterperangkapan tersebut menyebabkan mereka tidak memiliki kewarganegaraan alias stateless.

Di era Sukarno, pemerintah bekerja sama dengan negara-negara berhaluan sosialis seperti Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania, serta Tiongkok. Pemilihan kerja sama tersebut dikarenakan negara-negara tersebut menyuarakan kebijakkan politik yang sama yaitu anti imperialisme. Kebijakkan politik yang senafas itu diwujudkan dengan mengirimkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di negara-negara yang memiliki haluan ideologi yang sama yaitu Blok Timur yang berideologi sosialis – komunis. Pengiriman mahasiswa-mahasiswa itu pun memiliki tujuan dalam rangka menciptakan para sarjana yang mumpuni di berbagai bidang dan dapat menerapkan ilmunya mengelola sumber daya alam Indonesia sebagai bagian bentuk kemandirian pengelolaan ekonomi bangsa. Mereka tergabung dalam MAHID (Mahasiswa Ikatan Dinas) dan calon pegawai negeri sipil (Duta Ampera) dan dikirim ke Eropa Timur dan Soviet serta Tiongkok.

Namun harapan dan impian untuk pulang ke Indonesia dengan membawa gelar kesarjanan dan segudang keilmuan yang akan diterapkan membangun wajah Indonesia yang lebih berkepribadian dan mandiri berubah total setelah terjadi pergantian rezim pada tahun 1965. Seperti kata Profesor John Rossa, “Identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik” (Prof. John Roosa: Identitas Bangsa Indonesia Berubah Total Sesudah 1965, LBR Edisi II/2012, Wawancara - http://indoprogress.com/2012/09/wawancara-2/). Peristiwa september 1965 dan paska september 1965 bukan hanya mengubah identitas bangsa Indonesia namun mengurung banyak orang dalam keterperangkapan dan teralienasi dari kehidupan sosial politik karena mereka tidak bisa kembali ke Indonesia dan dianggap sebagai bagian dari rezim Sukarno. Kalaupun mereka kembali mereka sudah ditunggu di bandara dan ditangkap dan paspor mereka dicabut. Gusdur menjelaskan mereka sebagai "anak bangsa yang menjadi korban rezim Orde Baru yang terpaksa kelayapan di manca negara" (Wahyudi Akmaliah, Indonesia Yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 Dan Kemunculan Eksil Indonesia, Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 1 Tahun 2015, hal 75).

Latar belakang realitas sosiologis dan politis Indonesia paska 1965 khususnya yang dialami para mahasiswa yang mengalami keterperangkapan identitas dan teralienasi sehingga mereka menjadi stateless (tanpa kewarganegaraan) yang menarik perhatian sutradara Film Surat Dari Praha yaitu Angga Dwimas Sasongko untuk mengangkatnya ke layar lebar menjadi sebuah sajian yang menarik untuk dinikmati dan menjadi bahan refleksi kebangsaan.

Film ini mengisahkan mengenai perjalanan Larasati (Julie Estelle) ke Praha sepeninggal ibunya, Sulastri (Widyawati) yang memberikan wasiat akan memberikan rumah pribadinya menjadi milik Larasati dengan syarat menyerahkan sebuah surat dan kotak kepada seseorang yang namanya sudah disebutkan dalam aplop surat tersebut. Surat titipan ibunya membawa langkah kaki Larasati ke Praha dan menjumpai seorang pria yang sehari-harinya bekerja sebagai seorang janitor alias tukang bersih-bersih di sebuah gedung opera.

Pria tersebut ternyata mantan kekasih ibunya yang bernama Mahdi Jayasri atau lebih dikenal dengan panggilan Jaya yang tinggal di sebuah apartemen di Praha. Dari pertemuan tersebut memuncak menjadi sebuah konflik dikarenakan Jaya menolak menandatangani surat yang dibuat ibu Larasati sebelum meninggal sebagai persyaratan agar rumah tersebut menjadi warisan sepenuhnya baginya. Namun konflik-konflik yang terjadi justru membuat hubungan keduanya semakin dekat dan Larasati berhasil memasuki kehidupan masa lalu Jaya yang penuh dengan kepahitan dan kekecewaan akibat perlakuan pemerintahan Orde Baru, sehingga dirinya menjadi seseorang yang terkatung-ketung di negeri orang tanpa kewarganegaraan yang jelas. Sebelum nasib membawanya menjadi seorang janitor, dia adalah seorang lulusan Sarjana Nuklir yang dikirim oleh pemerintahan Sukarno dalam program MAHID (mahasiswa ikatan dinas).

Kotak yang dibawa Larasati untuk Jaya ternyata berisikan surat-surat Jaya bertahun-tahun yang dikirimkan untuk Sulastri namun yang tidak mendapatkan balasan satupun hingga Sulastri mengambil pria lain sebagai suami yang kelak melahirkan Larasati dari hubungan pria yang menggantikan Jaya dalam kehidupan Sulastri. Namun surat-surat itulah yang justru membuat hati Sulastri justru lebih berpaut dan terperangkap dalam masa lalunya tinimbang menjalani kehidupan nyata dengan suaminya yang akhirnya telah meninggal mendahuluinya. Kenyataan pahit inilah yang mengakibatkan Larasati menumpahkan segala amarahnya pada Jaya karena dituding sebagai biang kehancuran kehidupan orang tua mereka khususnya ibunya.

Akhirnya terungkap mengapa Jaya tidak kembali pulang ke Indonesia, karena dirinya tidak ingin mencelakakan Sulastri, ibunda Larasati karena kondisi politik pada saat itu sangat tidak menguntungkan karena orang-orang yang berhubungan dengan mereka yang digolongkan Tapol golongan C yaitu ormas atau organisasi yang berhubungan dengan komunis (sekalipun tokoh Jaya bukan orang komunis) termasuk Sulastri akan mengalami pengucilan dan berbagai hukuman sosial lainnya.

Film yang terinspirasi oleh para pelaku sejarah eksil (pelarian) di luar negeri khususnya kehidupan Ronny Marton yang muncul dalam film ini menokohkan peran sebagai teman Jaya sesama eksil (Kisah Pilu Eksil 1965 yang Melatari “Surat dari Praha” - http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160126110918-220-106688/kisah-pilu-eksil-1965-yang-melatari-surat-dari-praha/) semakin menarik karena penuh dengan penghidupan ingatan akan romantisme masa silam melalui kehadiran sejumlah lagu yang menghanyutkan hati dan menimbulkan fantasi cinta yang penuh emosional yang dimainkan oleh Larasati (buah karya Glenn Fredly yaitu Nyali Terakhir) melalui permainan pianonya di panggung opera dan lagu yang dinyanyikan Jaya di sebuah kafe (buah karya Glenn Fredly yaitu Sabda Rindu).

Melalui film berjudul Surat Dari Praha, setidaknya kita dapat memetik beberapa hal penting sbb: Pertama, keberanian para eksil untuk tetap bertahan di negara asing saat mereka berstatus stateless (tanpa kewarganegaraan) sebelum akhirnya mereka berhasil memperoleh kewarganegaraan atas bantuan organisasi kemanusiaan. Mereka yang adaptiflah yang berhasil bertahan hidup dan memenangkan kejamnya kehidupan. Pekerjaan apapun mereka lakoni untuk menyambung hidup sekalipun mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana gelar kesarjanaan yang telah mereka peroleh. Kedua, film berlatarbelakang pergolakkan politik tahun 1965 bukan sekedar membongkar kekerasan sebuah rezim yang telah mengubah wajah Indonesia dan mengubah nasib (pekerjaan dan percintaan) sejumlah orang termasuk para eksil di luar negeri namun memproduksi pengetahuan baru mengenai pentingnya berdamai dengan masa silam dan tidak terpenjara dalam belenggu kebencian dan stigmatisasi. Upaya untuk mendorong pemerintah agar memohon maaf terhadap korban pembantaian masal paska peristiwa 1965 yang dilakukan oleh rezim Orde Baru oleh sejumlah aktifis dan organisasi kemasyarakatan dan pegiat Hak Asasi Manusia hanya akan menimbulkan resistensi mengingat kondisi sosiologis dan kultur masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya terbebas dari warisan epistemologi hasil konstruksi Orde Baru. Film dan Novel dengan mengambil tema dan latar belakang gejolak politik 1965 dapat menjadi upaya yang lebih produktif dan konstruktif dalam menghapus warisan epistemologi hasil konstruksi Orde Baru. Film dan novel sebagai bagian dari karya sastra harus menjadi media pembebasan dan pembentukkan kontruksi baru epistemologi paska Orde Baru. Semakin banyak film-film sebagaimana Surat Dari Praha, maka semakin banyak pengetahuan baru diproduksi sebagai wacana epistemologi paska Orde Baru yang mendekontruksi wacana epistemologi sebelumnya.

Catatan kritis untuk Film Surat Dari Praha, sekalipun lagu syahdu nan membuai kalbu berjudul Sabda Rindu, namun lagu ini terlalu modern nada dan liriknya untuk sebuah lagu yang menurut alur cerita adalah lagu yang diciptakan pada tahun 1972, sehingga saat mendengarkan keindahan nada dan syair lagunya, kita tidak “terlempar” kepada sebuah zaman yang berkarakteristik tahun 1970-an namun lebih kepada “mendinamisasi” kalbu masing-masing penontonnya untuk menghargai cinta dan kesetiaan yang semakin mengalami distorsi di era teknologi informasi ini. Setidaknya ini penilaian subyektif saya. Mungkin bagi penonton lainnya mereka memiliki pengalaman emosional yang sebaliknya.

0 komentar:

Posting Komentar