RSS Feed

KECEPATAN, NORMA SOSIAL MODERN, ZONA STABILITAS PRIBADI

Posted by Teguh Hindarto


Istilah "GPL", selain istilah-istilah seperti "Selfie", "Nongski", "OTW", akhir-akhir ini telah mengakrabi telinga dan pendengaran kita. Jika kita memesan makanan lantas kita berkata GPL yang merupakan akronim dari "Gak Pake Lama". Istilah GPL seolah telah menjadi norma sosial modern dimana kehidupan semakin cepat dan kita harus menyesuaikan dengan kecepatan tersebut agar tidak tertinggal dalam perubahan dan kemajuan. 

Kita menjadi tergila-gila dengan kecepatan dan tidak nyaman hidup dalam dunia yang lambat. Ada makanan cepat saji (fast food), ada sekolah cepat jadi (ekstensi), ada jasa peminjaman cepat tanpa antri. 

Tahun 2000-an telah menjadi titik balik perubahan sosial kebudayaan melalui revolusi teknologi. Kita mulai mengenal berbagai gadget modern mulai dari hand phone, lap top, note book, tablet. Kita mulai mengenal surat elektronik. Kita mulai mengenal jejaring sosial facebook, instagram, whatsap dll. 

Tidak butuh waktu berhari-hari atau berminggu-minggu untuk mengetahui peristiwa apapun yang terjadi di berbagai sudut dunia, cukup menekan tombol atau layar sentuh kita telah terhubung dengan peristiwa dunia dengan cepat. Cukup menekan tombol surat dan pesan yang kita kirimkan tiba dengan sangat cepat. Sebagaimana dikatakan Yasraf A. Piliang, “Kecepatan, kini tidak saja menjadi ukuran kemajuan, ia bahkan menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer” (Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Matahari 2010:81). 

Kehidupan yang semakin cepat bukan tanpa sebuah risiko. Tahun 1970-an seorang futurolog sosial bernama Alfin Toffler telah memprediksi sejumlah kejutan-kejutan kebudayaan yang bakal menghantam kejiwaan manusia yang hidup di era modernitas yang diistilahkan dengan "future shock" (kejutan masa depan) yaitu berupa "culture shock" (kejutan budaya) yang merambah fisik dan psikologis manusia masa depan (Kejutan Masa Depan, 1992:309). Apa yang diprediksikan telah dapat kita lihat hari-hari ini dengan meningkatkan depresifitas, agresivisme, anomali-anomali sosial dll.

Dibalik dunia yang bergerak cepat dan memaksa kita beradaptasi untuk menyesuaikan irama kecepatan kita agar tidak tertinggal dalam kemajuan dan perubahan, ketenangan adalah barang mahal saat ini. Kecepatan, ketepatan, kecekatan telah mengonstruksi kepribadian kita menjadi mesin yang selalu harus bergerak cepat dan tepat. Namun manusia bukan mesin. Manusia bukan hanya seonggok daging tanpa sebuah kesadaran. Manusia bukan mesin kecerdasan tanpa perasaan. Ada aspek psikis dan spiritual yang harus dipenuhi untuk mengisi dan menyegarkan kembali fungsionalitas kesadaran, kecerdasan, kecepatan, kecekatan.

Manusia membutuhkan sebuah tempat yang tenang untuk mengondisikan pikiran dan hati yang tenang. Ketenangan hati dan fikiran mengonsolidasikan kembali kekuatan dan kesegaran terhadap tubuh yang menjalankan berbagai aktifitas dan pekerjaan. Dalam bahasa Alfin Toffler diistilahkan "Stability Zone" (zona stabilitas). Menurutnya, "Jika kita memilih perubahan yang cepat dalam beberapa sektor kehidupan, kita dapat dengan sadar mencoba membangun zona stabilitas di sektor lain" (Ibid., 1985:338). Membangun ketenangan dan mencari locus yang menstimulasi ketenangan fikiran dan hati merupakan salah satu cara membangun zona stabilitas.

Pergilah ke pantai dan renungkan keindahan dan kedahsyatan gempuran air laut memecah karang dan riak gelombang pantai menyentuh jemari kaki Anda. Pergilah ke gunung dan lembah dimana terdapat telaga yang jernih mengalirkan limpahan air dari hulu menuju hilir. Pandangilah dan berdiamlah sejenak di tengah kesunyian dan gemericiknya air telaga. Bangunlah dipagi yang cerah dan berdirilah menyambut matahari terbit di kaki gunung atau menjauhlah sejenak dari keramaian modernitas dan menepilah dalam kegelapan malam di sebuah bukit dimana bulan dan bintang terlihat berkedipan.

Semua "natural locus" (lokasi alamiah) di atas menjadi jalur alternatif untuk membangun zona stabilitas dalam kejiwaan kita di tengah gempuran modernitas yang mendorong kita pada laju kehidupan yang cepat dan akurat.

Manusia meninggalkan jejak berupa peradaban dan modernitas serta teknologi yang dalam banyak hal justru mendikte dan mengambil kendali terhadap personalitas kemanusiaan. Tuhanpun meninggalkan jejak-Nya dalam eksotisme alam nan indah dan tenang.

Jika keseharian kita mengakrabi persentuhan dengan modernitas yang mensyaratkan kecepatan, ketepatan, keakuratan maka kita pun perlu mencari persentuhan lain dengan eksotisme alam agar zona stabilitas diri kita terpenuhi.

0 komentar:

Posting Komentar