Fenomena Dimas Kanjeng yang menghebohkan media cetak, media elektronik, media sosial akhir-akhir ini bukan semata-mata dikarenakan praktik magis dan klenik dibalik jubah agama melainkan keterlibatan sejumlah orang baik itu tokoh publik, intelektual rasional, aparat keamanan dengan kepangkatan yang tidak rendah. Hampir semua orang mempertanyakan, bagaimana mungkin sejumlah tokoh intelektual yang mengakrabi dunia rasional empiris dengan gelar akademis tinggi dan memperolehnya di sekolah-sekolah ternama di luar negeri dapat dengan mudah menjadi pengikut dan pembela ajaran dari seorang tokoh dengan kemampuan supranatural yang saat ini harus berurusan dengan hukum. Dihadapan kita seolah ditayangkan secara terbuka praktik klenik dan magis berbaju agama mulai mengalami rasionalisasi dan kelompok intelektual mengalami kemerosotan kewibawaan dan ketidakberdayaan melihat kemampuan supranatural yang didemonstrasikan di depan mereka – terlepas apakah demonstrasi kemampuan supranatural tersebut dituding praktik penipuan atau bukan, biarlah hukum yang kelak memutuskan. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa fenomena ini terus menerus terjadi di tengah-tengah masyarakat kita?
Setidaknya ada dua faktor utama yang mendukung mengapa
fenomena sosial ini dapat terjadi dan terus menerus terjadi di lingkungan
masyarakat kita. Pertama, susunan struktur sosial masyarakat. Sebagaimana
sebuah bangunan memiliki struktur yang menjalin kekokohan wujud luarnya,
demikianlah masyarakat memiliki struktur dalam kehidupan dan interaksi para
anggota yang terlibat di dalamnya. Robert
K. Merton mendefinisikan struktur sosial
sebagai, “organized set of social
relationship in which members of society or group are variously
implicated”(sekumpulan hubungan sosial terorganisir dalam mana para anggota
masyarakat atau kelompok terhubung secara beragam - Social Theory and Social Structure, 1968: 216). Prof. DR. C.
Dewi Wulandari memasukkan institusi sosial menjadi bagian dari struktur sosial.
Menurutnya, struktur sosial ialah jalinan unsur-unsur sosial yang pokok dalam
masyarakat. Unsur-unsur sosial yang pokok tersebut meliputi: kelompok sosial,
kebudayaan, lembaga sosial atau institusi sosial, pelapisan sosial atau
stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang (Sosiologi: Konsep dan Teori, 2009:43). Dengan demikian, struktur
sosial bukan hany berbicara soal stratifikasi dalam masyarakat yang
direpresentasikan oleh adanya status dan peranan melainkan juga corak dan
karakteristik berfikir fdan kebudayaan yang tampak di permukaan secara tetap dan berulang.
Sekalipun masyarakat kita telah mengalami sentuhan modernitas dan teknologi
namun belum mengalami pergeseran radikal dari susunan struktur dan kultur yang
lekat dengan persoalan magis, mistis, esoteris, klenik.
Tanpa bermaksud menggunakan definisi tentang Timur yang
kerap dikritik oleh Edward Said dalam bukunya Orientalisme sebagai sebuah definisi yang sarat dengan kekuasaan
Barat yang menghasilkan produksi imajiner tentang Timur yang bukan sebenarnya
dan lebih bernuansa inferioritas dibandingkan Barat yang superioritas (Orientalisme:
Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subyek,
2010:6-7), namun Timur memang memiliki karakteristik yang asimetris dengan
Barat. Dalam bukunya yang berjudul, Nilai
Budaya Barat dan Timur: Konflik Atau Harmoni? To Thi Anh, seorang Vietnam
dan pembicara Internasional dengan baik berusaha menjembatani perbedaan
karateristik Barat dan Timur sebagai sebuah dialektika yang saling mengisi
seperti Filsafat Tao yaitu Yin dan Yang (1984:87). Namun yang menarik adalah
saat To Thi Anh mengarakterisasi budaya Barat dan Timur sebagaimana dikatakan, “Sumbangan orang Yunani untuk masyarakat
Barat kebanyakan dalam bidang intelektual: suatu metode pengetahuan yang
berdasarkan akal budi, menggunakan penelitian, analisa kritis, menemukan
hubungan-hubungan yang dapat diterima akal dari gejala-gejala yang ada”
(1984:65). Beliau melanjutkan, “Para
pemikir Timur sebaliknya lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Untuk
mereka, pusat kepribadian seseorang bukanlah inteleknya tetapi ‘hatinya’, yang
mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensi dan perasaan. Mereka
menghayati hidup dalam keseluruhan adanya, bukan hanya dengan otak”
(1984:66). Karakteristik sosial dan kultural inilah yang membedakan masyarakat
Barat dan Timur masa kini. Mistik, klenik, esoterisme memang bukan satu-satunya
karakteristik Timur namun salah satu bagian yang membentuk struktur sosial dan
kulturalnya. Demikian pula dengan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Karakteristik ini semakin menemukan pembuktiannya saat layar-layar televisi
kita dipenuhi program siaran televisi swasta yang memproduksi sinetron dan
entertainment berbau mistik dan klenik di periode awal tahun 2000 (Teguh
Hindarto, Aksi dan Interaksi Hantu-Hantu di Televisi, kompasiana.com) dan
mendapatkan rating tinggi sebagai bentuk respon apresiasi masyarakat, sekalipun
tayangan-tayangan demikian saat ini mulai menghilang dari layar publik.
Kedua, berkembangnya narasi kesadaran Posmodernitas. Semenjak Renaisance atau “Revolusi Kebudayaan”
(Abad 15) yang memunjak pada Auffklarung
atau “Pencerahan” (Abad 17) manusia memasuki fajar baru kesadaran untuk menjadi
manusia yang rasional dan obyektif serta empiris dengan melepaskan
ketergantungannya pada dogma agama,
mitos, kepercayaan tradisional. Kesadaran rasional, obyektif, empirik ini
menghasilkan Revolusi Industri sekaligus Kapitalisme dan Kolonialisme hingga
proyek Modernisme di segala bidang. Namun demikian, dibalik modernitas yang
melahirkan teknologi tinggi baik dibidang militer, ekonomi, komunikasi terjadi
sejumlah paradoks modernitas berupa ketimpangan sosial, disitegrasi sosial,
alienasi (keterasingan) dll. Oleh karenanya seperti dikatakan oleh F. Budi
Hardiman, “Hari ini kita mengenal dua
posisi antinomis dalam pemikiran Barat kontemporer. Yang pertama mendukung
modernitas sebagai tujuan universal segala bentuk masyarakat, sedangkan yang
kedua berupaya meninggalkan modernitas” (Melampaui Positivisme dan Modernitas, 2003:151-152). Kelompok kedua
ini menamai dirinya “Posmodernis” dan dilekatkan dengan penarasian
Posmodernisme sebagai sebuah gerakan intelektual dan kebudayaan. Stanley J.
Grenz memberikan definisi deskriptif perihal Postmodern sbb: “Apapun artinya seperti yang tersirat dalam
namanya, postmodernisme merupakan penolakkan terhadap cara pikir orang modern,
karena itu untuk memahami pemikiran tersebut, kita harus lebih dahulu melihat
dunia modern. Baru setelah ini kita dapat mengerti mengapa postmodernisme
muncul dan mengapa ia bereaksi menolak modernisme” (A Primer on Postmodernisme – Pengantar Untuk Memahami Posmodernisme,
1996:9). Postmodernisme telah meresapi segala bidang mulai dari seni,
arsitektur, karya fiksi, agama bahkan sains. Jika modernitas berpijak pada
epistemologi Pencerahan (Aufklarung) yang menadaskan pada rasionalitas,
empirisme, obyektifitas, terstruktur, integral, maka pemikiran Postmodernisme
“merupakan penolakkan terhadap program Pencerahan dan asumsi-asumsinya” (Ibid.,
hal 13). Dimulai dari pemikiran filsuf Frederich Nietzhe kemudian dilanjutkan
oleh Heidegger, Deridda, Foucault, Baudrilard dll. Hampir semua pemikir
Posmodernis menggunakan aktualisasi analisis Marxis dalam konteks baru untuk
mengritisi realitas yang dibentuk oleh modernitas. Karena Postmodernitas adalah
lawan dari modernitas, konsekwensi logisnya berbagai upaya memperoleh jawaban
terhadap persoalan melalui kemampuan rasional dan empiris ditolak oleh para
pemikir Postmodernis yang lebih mengedepankan aspek non empirik, baik itu
intuisi dan emosi ataupun yang berkaitan dengannya. Sebagaimana dikatakan F.
Budi Hardiman, “Untuk meninggalkan proyek
modernitas, Nietzsche menyingkirkan kepercayaan kita mengenai sejarah dan
rasionalitas. Dia memang memulai dengan riset filologi atas dunia mitologis.
Namun, refleksi historis itu hanyalah anak tangga yang kemudian ditinggalkan
ketika dia sampai ke dalam mitos. Lalu, baginya mitos adalah sejarah dan
sejarah adalah mitos”(2003:157).
Postmodernitas atau Postmodernisme telah memasuki
berbagai ranah kehidupan sosial dan kebudayaan serta tradisi keilmuan ke Asia
termasuk Indonesia. Tidak mengherankan jika kita menemukan sejumlah bentuk
rasionalisasi terhadap praktik-praktik tertentu yang dahulu dikecam sebagai
irasional, klenik, magis saat ini mulai mendapat tempat di masyarakat dan
disetarakan sebagai sebuah metodologi dalam memecahkan sebuah persoalan
khususnya yang tidak terpecahkan melalui metode-metode empirik dan
rasionalistik. Bukankah saat ini kita begitu familiar dengan istilah “mahluk
astral” sebagai ganti “mahluk halus” atau “roh-roh” saat disosialisasikan oleh
mereka yang menjadi praktisi supranatural di televisi? Bahkan yang menarik saat
seorang profesor yang hari-hari ini begitu gigih menjelaskan pada publik
berkaitan dengan kemampuan supranatural yang dimiliki Dimas Kanjeng
memperkenalkan istilah (yang mungkin bukan dari dirinya sendiri) “Trans
Dimensi” untuk menjelaskan keberpindahan benda-benda materi dari suatu tempat
di alam metafisik menuju alam metafisik. Inilah gejala postmodernitas itu
dimana jika di era modernitas rasio dan obyektifitas serta empirisme menjadi
ujung tombak memahami realitas, maka di era postmodernitas, intuisi, fenomena
supranatural menjadi ujung tombak memahami realitas.
Dua hal inilah yang menjelaskan pada kita mengapa
fenomena Dimas Kanjeng dengan segala kemampuan supranaturalnya dapat menarik
minat dan keberpihakkan banyak orang dari kelas sosial yang berbeda dan tidak
nampak bahwa dukungan terhadap aktifitasnya sebagai sebuah bentuk patologis
sosial yaitu dikarenakan susunan struktur sosial masyarakat kita yang masih
membuka ruang terhadap praktik magis dan klenik sebagai bagian dari realita
kehidupan dan yang kedua adalah berkembangnya narasi kesadaran postmodernitas
yang berdampak pada dukungan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang
menjadikan praktik-praktik tersebut sebagai bagian dari kepercayaan dan mungkin
penghidupan.
Saya tidak dalam posisi mengritisi atau menolak postmodernitas
atau postmodernisme sebagai sebuah gerakan keilmuan dan kebudayaan yang melawan
Modernitas. Yang saya lakukan melalui artikel ini adalah berusaha menjawab dari
aspek sosiologis perihal terjadinya fenomena sosial sekaligus problem sosial
yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Terlepas bahwa modernitas
meninggalkan jejak-jejak berupa disintegrasi sosial, keterasingan, patologi
sosial, kesenjangan sosial sebagaimana kerap disitir ilmuwan sosial yang
berkiblat pada postmodernitas, atau diistilahkan oleh Anthony Giddens sebagai Juggernaut (sesuatu yang tidak
terkendali) dalam bukunya The Consequences of Modernity
(George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, 2012:935). Saya mengambil posisi sebagaimana Jurgen
Habermas yang mengritisi baik modernitas dan postmodernitas yang melihat bahwa
proyek modernitas adalah, “proyek yang
belum selesai, yang menyiratkan bahwa ada lebih banyak hal yang perlu dilakukan
di duni modern sebelum kita dapat mulai memikirkan kemungkina suatu dunia
posmodern” (2012:960).
Berangkat dari pemahaman ini, kiranya analisis sosial ini
menjadi sebuah refleksi dan antisipasi bagi siapapun, baik pemangku kebijakkan
politik ataupun rohaniawan serta masyarakat yang peduli dengan
persoalan-persoalan sosial untuk mengisi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan
yang ada dalam masyarakat modern dengan tidak mengabaikan aspek baik
rasionalitas kritis maupun pelibatan aspek intuisi dan emosi yang lebih
humanis. Mengabaikan rasionalitas mengakibatkan kita menjadi manusia yang
kehilangan daya kritis dan kewibawaan intelektual dan mudah dikelabui oleh
mereka yang mengatasnamakan kemampuan supranatural yang dimilikinya setara
dengan kehendak Ilahi. Mengabaikan intuisi dan nilai-nilai humanis
mengakibatkan kita menjadi manusia modern dan rasional tanpa sentuhan
kemanusiaan dan kepekaan sosial.
Artikel
ini diposting di link berikut:
http://www.qureta.com/post/klenik-kemerosotan-wibawa-intelektual-dan-kesadaran-posmodernitas
1 komentar:
Kita Ga bisa pungkirin dari macam2 hal seperti itu.
Posting Komentar