FILSAFAT, “ILMU MENGAWANG-AWANG?”
Posted by
“Pak, bukankah Filsafat itu ilmu yang mengawang-awang?”, demikian
pertanyaan seseorang yang seorang pendidik, saat dia mengetahui saya mengikuti
sebuah kelas filsafat publik untuk empat kali pertemuan yang diselenggarakan
oleh salah satu organisasi filsafat di lingkungan fakultas filsafat di
Yogyakarta.
Dengan senyum getir saya berfikir, bagaimana Filsafat yang
diklaim sebagai Mater Scientiarum
(induk ilmu pengetahuan) akhirnya mendapat predikat buruk hanya sebagai “ilmu
yang mengawang-awang?” Pernyataan tersebut memang tidak bisa digeneralisasi
sebagai pendapat umum namun pernyataan tersebut mewakili pemahaman masyarakat
terhadap Filsafat. Mungkin dikarenakan diskursus filsafat dari abad ke abad
melibatkan berbagai smudra pemikiran spekulatif dan abstrak bahkan
mendekonstruksi pemikiran-pemikiran filsafat sebelumnya, maka Filsafat dengan
mudah dituding sebagai “ilmu yang mengawang-awang”.
Filsafat dan Keingintahuan Manusia
Padahal, secara historis, berbagai cabang keilmuan eksak
dan non eksak baik itu Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Seni Rupa, Teologi bermula
dari sebuah pemikiran keingintahuan untuk memahami realitas yang nampak dan
yang tidak nampak dengan menggunakan akal budi secara metodologis dan
sistematis bermula di sebuah negeri kecil bernama Miletus di Yunani pada sekira
Abad 6 sM dimana nama-nama besar Filsuf Klasik Yunani seperti Thales,
Anaximandros, Heraklitus dikenal sebelum kemudian nama-nama filsuf besar
lainnya mengemuka seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Penyebutan asal usul Filsafat bermula dari Yunani bukan
bermakna bahwa di tempat-tempat lain belum muncul pemikiran-pemikiran filsafat,
karena di berbagai belahan dunia lainnya sebagaimana dikatakan Robert C.
Solomon dan Kathleen M. Higgins, “Suatu
ketika di antara abad keenam dan keempat sebelum Masehi, perkembangan luar
biasa terjadi di sejumlah besar tempat secara terpisah di senatero bumi. Di
berbagai wilayah di selatan, di utara dan timur Mediterania, di Cina, di India
dan beberapa wilayah di antaranya, para pemikir kreatif mulai menantang dan
melampaui kepercayaan-kepercayaan religius, mitologi dan folklore masyarakatnya
yang sudah matang...Mereka adalah ‘para filsuf’ pencari kebijaksanaan, yang
tidak puas dengan jawaban-jawaban gampangan dan prasangka-prasangka populer”
(Sejarah
Filsafat, 2002:1). Selanjutnya ditegaskan oleh Robert C. Solomon, “Dengan demikian, bila dipahami secara luas,
filsafat muncul di dunia bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali di berbagai
tempat. Namun kita harus menghindari godaan untuk menganggap kantung-kantung
ini saja yang melakukan inovasi sehingga mengesampingkan kantung-kantung yang
lainnya, seolah-olah, seperti dalam gambaran yang lazim dan sangat puas diri,
dunia ini benar-benar gelap dan tidak beradab sampai munculnya percikan cahaya
terang ‘kejaiban’ Yunani dan dua atau tiga keajaiban berikutnya di tempat lain”
(hal 10).
Namun dikarenakan terminologi Filsafat berasal dari kata
Yunani Philia (cinta) dan Sophos (kebijaksanaan) dengan pembagian
cabang-cabang pemikiran tentang realitas sehingga terbagi menjadi tema bahasan
Metafisika, Ontologia, Logika, Etika maka lazim dikatakan Filsafat khususnya
Filsafat Yunani adalah Mater Scientarium
(induk ilmu pengetahuan) karena darinyanya kelak muncul ilmu-ilmu baik eksakta
dan non eksakta yang pada akhirnya melepaskan diri dari ketergantungannya pada
Filsafat dan berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan tertentu.
Filsafat Barat dan Timur
Filsafat Yunani yang kelak membentuk peradaban Barat
dengan segala cabang pemikiran filsafatnya, memiliki karakteristik yang berbeda
dengan beberapa pemikiran Filsafat di belahan dunia Timur seperti India
misalnya. Seperti dikatakan Prof. I.R. Poedjawiyatna, “Jika di tanah Yunani ahli pikir mencurahkan tenaganya untuk mencapai
kebenaran, ahli filsafat Hindu berfikir untuk mencari jalan lepas dari ikatan
duniawi untuk masuk ke dalam kebebasan yang baginya merupakan kesempurnaan”
(Pembimbing
Ke Arah Alam Filsafat, 1980:47).
Seorang
penulis Vietnam bernama To Thi Anh memotret perbedaan
karakteristik peradaban dan kebudayaan Barat dan Timur yang tentunya
dipengaruhi pemikiran filsafat yang melatarbelakanginya. Dengan menggunakan filsafat Yin Yang, Tho Ti Anh membedakan
karakteristik Barat dan Timur sbb, “Yang
pertama, Barat memilih ‘menguasai fisis’ dan Timur ‘menguasai psike’. Barat
memilih ‘inkarnasi’ dan Timur ‘ekskarnasi’ seperti dikatakan Rougemont…Yang
kedua, orang barat memusatkan perhatian pada martabat persona beserta hak-hak
dan kebebasannya dengan risiko individualisme” (Nilai Budaya Timur dan Barat:
Konflik Atau Harmoni?, 1984:86).
Corak Pemikiran Filsafat
Untuk memudahkan
memetakan pemikiran-pemikiran Filsafat, saya merujuk pada pemikiran DR. Stephen
Palmquist perihal tiga arah pemahaman filsafat yang mempengaruhi kajian-kajian
filsafat Barat khususnya yaitu filsafat analitik, filsafat eksistensial dan
kombinasi keduanya. Menurutnya, “Yang
pertama, memandang tugas filsafat sebagai penggunaan pemikiran logis untuk
memecahkan masalah-masalah yang sukar, melalui penjernihan konsep-konsep
kita...Yang kedua mengambil ancangan yang berlawanan, dengan memandang filsafat
sebagai jalan hidup, sehingga tugas filsafat berkisar pada pemahaman hakikat dan
tujuan keberadaan manusia beserta segala kerumitannya...Pandangan yang ketiga
mengakui bahwa kedua pendapat tadi diperlukan untuk menggagas tugas filosofis
dengan tepat” (Pohon Filsafat, 2007:8-9).
Ketika kajian seorang
filsuf lebih banyak menekankan logika bahasa, rasionalitas kalimat, koherensi
sebuah pernyataan maka bisa kita katakan kajian filsafat tersebut bersifat
analitikal. Sementara jika seorang filsuf lebih banyak mengkaji
persoalan-persoalan eksistensi kemanusiaan dengan segala problematikanya maka
bisa katakan kajian filsafat tersebut bersifat eksistensial. Stephen Palmquist
menyarankan keseimbangan dalam melakukan kajian filsafat dengan melakukan
kombinasi kedua pemikiran di atas sehingga tidak terjebak pada kutub-kutub
dikotomis yang mereduksi pemahaman sebagaimana dikatakan, “Filsafat yang tidak ditatap sebagai jalan hidup kelihatannya lebih
menyerupai ilmu yang bersifat teknis, sedangkan filsafat yang tidak
menghajatkan upaya keras untuk menjernihkan konsep-konsep tampaknya lebih
menyerupai agama yang bersifat mistis” (hal 9).
Filsafat dan Problem
Keseharian
Sekalipun Filsafat
identik dengan pemikiran spekulatif dan abstrak sehingga kerap dituding sebagai
“ilmu yang mengawang-awang” namun sejatinya kita kerap diperhadapkan pada
banyak pertanyaan berkategori filosofis yang tidak serta merta dapat dijawab
oleh ilmu-ilmu eksakta dan non eksakta. Saat saya masih semester awal menempuh
studi Teologi di Yogyakarta, ada sebuah pertanyaan dari seorang anak sekolah
dasar, “Ketika dunia belum diciptakan,
Tuhan sedang ngapain ya?” Apakah pertanyaan lugu tersebut patut
ditertawakan atau justru selayaknya direnungkan secara mandalam? Jika
didirenungkan secara mendalam, ilmu mana yang akan memberikan jawaban, Fisika,
Kimia, Geologi, Kosmologi, Matematika, Sosiologi, Sejarah? Ada banyak
pertanyaan sejenis yang kita kerap tidak perhatikan secara serius bahwasanya
pertanyaan-pertanyaan sejenis itu terkategori filosofis bahkan dari seorang
anak kecil sekalipun.
Filsuf Gareth Matthews mengritisi
pandangan Jean
Piaget (Children's Philosophies,
dalam buku A Handbook of Child Psychology, 1933) yang
menyatakan bahwa anak-anak sebelum 11-12 tahun tidak mampu berfikir secara
filosofis. Dalam bukunya, Gareth Matthew dalam bukunya, Philosophy and the
Young Child,
1980)memberikan sejumlah contoh menggembirakan tentang kebingungan filosofis
anak-anak yang sangat muda melalui pertanyaan-pertanyaan berikut: Tim (sekitar enam
tahun), sambil sibuk memukuli pot,
bertanya pada ayahnya,
“Papa, bagaimana kita bisa memastikan
bahwa semuanya yang kita
lakukan hari ani bukan mimpi?”. Jordan (lima tahun), di suatu
malam menjelang tidur
pukul delapan, bertanya, “Jika saya tidur
jam delapan dan bangun jam tujuh pagi, bagaimana saya benar-benar tahu bahwa jarum jam kecil hanya berputar satu kali?
Apakah saya harus begadang semalaman untuk melihatnya? Jika saya berpaling
bahkan untuk waktu yang singkat, bisa saja
jarum kecil itu akan berputar dua kali”. Suatu hari, John Edgar
(empat tahun), untuk pertama kalinya naik pesawat, melihat pesawat
terbang lepas landas, meninggi
kemudian perlahan
menghilang ke
kejauhan. Ketika pesawat berhenti meninggi
dan suara pemberitahuan untuk melepaskan sabuk pengaman disampaikan, John Edgar berpaling
kepada ayahnya dan berkata dengan nada agak lega namun masih bingung, “Segala sesuatu tidak terlalu kecil di sini” (Philosophy for Children -
https://plato.stanford.edu/entries/children/).
Dalam keseharian, kita kerap menjumpai
pernyataan-pernyataan yang mencerminkan logical
fallacies (sesat fikir). Sesat fikir didefinisikan, “Kesalahan dalam berpikir (sesat pikir) ialah kekeliruan penalaran yang
disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar
ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan
kata-kata yang secara sengaja atau tidak, telah menyebabkan pertautan atau
asosiasi gagasan tidak tepat" (Pengantar Logika, 1996:92). Kita
ambil contoh: Dikarenakan di sebuah tempat wisata kerap terjadi praktik
penyimpangan seksual maka masyarakat/pemerintah menutup tempat wisata karena
dikategorikan sebagai tempat maksiat. Atau kita menjumpai sebuah kalimat dan
pemahaman bahwa sebuah komplek yang dibangun dibangun di atas tanah yang luas, secara
otomatis kamar-kamar tidurnya juga luas. Pernyataan di atas dapat dikategorikan sebagai fallacy division (kesalahan dalam
pembagian) yaitu kesalahan berpikir karena menetapkan sifat yang ada
pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya. Logika
berargumentasi, logika penyusunan kalimat merupakan bagian dari pemikiran
Filsafat yang bertujuan untuk menjernihkan konsep-konsep yang tumpang tindih.
Revolusi teknologi yang menghasilkan era digital, turut
membentuk kesadaran dan perilaku hidup yang serba cepat, tepat, akurat. “Kecepatan,
kini tidak saja menjadi ukuran kemajuan, ia bahkan menjadi paradigma sosial,
politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer”, demikian tulis Yasraf
A. Piliang n dalam bukunya, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui
Batas-Batas Kebudayaan (2010:81). Namun sejumlah paradox muncul di
tengah kehidupan keseharian yaitu kecenderungan pada banalitas alias
kedangkalan.
Orang-orang tidak mempedulikan kembali kedalaman
pemahaman, kedalaman melihat sebuah kenyataan, kedalaman menganalisis sebuah
persoalan. Hal itu dapat kita lihat dalam berita-berita di media sosial yang
sangat pendek dan minus eksplorasi. Belum lagi budaya komentar di media sosial
yang kerap tidak memperlihatkan sebuah kedalaman melainkan kebencian,
kemarahan, sinisme, sarkasme yang kesemuanya sarat banalitas (kedangkalan).
Dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, pertengahan November 2013
dengan judul Kebudayaan dan Kegagapan Kita, DR. Karlina Supelli mengatakan, “Sebuah budaya baru telah lahir bersama
teknologi digital. Itulah budaya selalu terhubung (always online), budaya
komentar (comment culture) dan kecenderungan untuk selalu berbagi (sharing).
Gejala ini membawa kita ke situasi paradoks. Sementara kita menyadari bahwa
masalah-masalah yang mendera semakin membutuhkan pemikiran yang mendalam, “kita
menciptakan budaya berkomunikasi yang justru mengurangi waktu kita untuk
berpikir tanpa tersela... di bawah godaan untuk segera melontar komentar ...
kita tidak lagi punya cukup waktu untuk memikirkan problem-problem yang rumit,”
tulis seorang peneliti media sosial Sherry Turkle” (http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/kuliah/Filsafat-Ilmu/Karlina_Supelli_-_Pidato_Kebudayaan_TIM_11-11-2013.pdf).
Filsafat, yang menekuni kedalaman berfikir dan kedalaman
mengetahui realitas menemukan relevansinya sebagai sebuah ilmu yang dapat
memperlengkapi siapapun yang tidak puas dengan realitas yang terlihat nampak
apa adanya dan menghendaki mengetahui lapis demi lapis akar dibalik sebuah
kenyataan dan persoalan. Filsafat berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
fundamental yang menggelayuti pemikiran manusia. Filsafat membantu menguraikan
proses berfikir yang runtut dan logis serta analitis dalam memecahkan sebuah
persoalan. Filsafat membantu menjernihkan konsep-konsep yang irasional dan rasional,
sebagaimana dikatakan Franz Magnis Suseno, “Filsafat
dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan
fundamental tersebut secara bertanggungjawab. Tanpa usaha ilmiah itu
pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan dijawab secara spontan dan dengan demikian
senantiasa ada bahaya bahwa jawaban-jawaban didistorsikan oleh selera
subyektif, segala macam rasionalisasi dan kepentingan ideologis” (Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, 1992:19).
Darimana Kita Memulai?
Jika kita telah melihat relevansi dan kontribusi Filsafat
untuk menjawab persoalan sehari-hari, lantas darimana kita akan memulainya?
Haruskah kita memasuki sekolah Filsafat dengan biaya mahal namun belum tentu
dibutuhkan oleh pasar kehidupan yang mensyaratkan kompetensi teknis dan
matematis untuk memutar kehidupan ekonomi global yang semakin liberal? Jalur
akademis tentu hanyalah salah satu langkah bagi mereka yang memang ingin
melakukan pendalaman terhadap kajian-kajian Filsafat secara lebih sistematis
dan metodologis. Namun demikian ada banyak alternatif untuk menjadikan Filsafat
sebagai sebuah ilmu yang tidak harus diperoleh melalui bangku akademis melainan
melalui meembiasakan membaca kajian-kajian Filsafat dasar hingga
pemikiran-pemikiran filsuf tertentu atau kerap menghadiri pertemuan diskusi
baik oleh komunitas maupun organisasi di lingkungan universitas yang terbuka
untuk publik.
Langkah-langkah pembelajaran Filsafat non akademis di
atas secara tidak langsung akan membangun sebuah habitus. Istilah Habitus didefinisikan
oleh Filsuf Prancis Piere Bourdeu sebagai, “Struktur-struktur
mental atau kognitif melalui mana orang berurusan dengan dunia sosial. Orang
dikaruniai dengan serangkaian skema yang diinternalisasi melalui itu mereka
merasakkan, mengerti, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial...Habitus
memberikan prinsip-prinsip yang digunakan orang untuk membuat pilihan-pilihan
dan memilih strategi-strategi yang akan mereka gunakan di dunia sosial” (George
Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodernisme, 2012: 903-905).
Masihkah kita berfikir bahwa Filsafat adalah “ilmu yang
mengawang-awang?” Bisa jadi, pernyataan tersebut lahir karena kitalah yang
sebenarnya masih mengawang-awang memikirkan dan memahami Filsafat.
2 komentar:
bagaimana Filsafat yang diklaim sebagai Mater Scientiarum (induk ilmu pengetahuan) akhirnya mendapat predikat buruk hanya sebagai “ilmu yang mengawang-awang?
keingintahuan untuk memahami realitas yang nampak dan yang tidak nampak dengan menggunakan akal budi secara metodologis dan sistematis bermula di sebuah negeri kecil bernama Miletus di Yunani pada sekira Abad 6 sM dimana nama-nama besar Filsuf Klasik Yunani seperti Thales, Anaximandros, Heraklitus dikenal sebelum kemudian nama-nama filsuf besar lainnya mengemuka seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles.
please visit link Tel-U
Posting Komentar