Dalam
kajian-kajian sebelumnya yang mengupas aspek latar belakang sejarah dan
kebudayaan serta keagamaan Yudaisme Abad I Ms serta aspek kemanusiaan Yesus
sebagai Mesias Yahudi, saya telah mengulas aspek antropologi Yesus sebagai
seorang Yahudi dan berbagai bukti internal dalam Kitab Perjanjian Baru[1].
Apa
nilai penting pengkajian hubungan Yesus dan Yudaisme? Tanpa pemahaman latar
belakang keagamaan Yudaisme Abad 1 Ms dan latar belakang kebudayaan Yahudi pada
zaman itu, maka kita akan kerap gagal memahami pesan-pesan yang tertulis dalam
Kitab Perjanjian Baru karena banyak perkataan Yesus, ajaran Yesus, perumpamaan
Yesus yang terekam dalam keempat Injil dibungkus dalam idiom Ibrani sekalipun
dikisahkan dalam bahasa Yunani. Demikian pula surat-surat rasuli baik rasul
Paul, rasul Yakobus, rasul Yudas dll.
Robert
dan Remmy Koch menegaskan, “By studying
this period, Jews and Christians will be able to discern the doctrine of the
Messiah, Shaul (Paul) and the other writers of the Brit Chadasha (NT) based
only on accurate undertanding of history and Biblical Judaism. The Brit
Chadasha (NT) will be put back into the original time and place”[2]
(Dengan mempelajari periode ini, orang-orang Yahudi dan Kristen akan dapat
membedakan doktrin mengenai Mesias, Shaul (Paulus) dan penulis lain dari Kitab
Perjanjian Baru hanya dengan didasarkan pada pemahaman yang akurat mengenai sejarah
dan Yudaisme Alkitabiah. Kitab Perjanjian Baru seharusnya diletakan kembali ke
dalam waktu dan tempat yang asli)
Michael D.
Marlowe dalam artikelnya The
Semitic Style of the New Testament menjelaskan sbb: “Meskipun bahasa Kitab Perjanjian Baru secara mendasar adalah bahasa koine atau bahasa Yunani yang umum
dipergunakan saat kitab ini dituliskan, namun para penulis Kitab Perjanjian
Baru, menuliskan dalam corak Hebraik atau
Semitik yang tidak sepenuhnya
bersifat idiomatik Yunani. Karakter bercorak khas ini meliputi beberapa bagian
seperti, tata bahasa, kalimat, arti kata dan ciri-ciri yang bersifat retorika
suatu naskah. Contoh-contoh khusus corak khas ini, secara kebahasaan dinamai Hebraism atau secara lebih luas, Semitism (sebuah istilah yang
meliputi pengaruh-pengaruh Aramaik sebagaimana pula Ibrani)[3]”
DR. David Stern
penulis Jewish New Testament Commentary
menegaskan, “Traditional rabbinic
viewpoint are an essential element to take into account in understanding the
text of the New Testament” [4](Sudut
pandang tradisional rabinik merupakan elemen dasar untuk mendapatkan pengertian
yang jelas mengenai naskah Kitab Perjanjian Baru).
Lantas, jika
Yesus Sang Mesias adalah Yahudi sejati dan berkarya dalam bingkai Yahudi dan
agama Yudaisme tentu akan mendorong pertanyaan selanjutnya, mazhab apakah yang
dianut Yesus Sang Mesias Yahudi?
Keragaman Mazhab
Yudaisme Abad I Ms: Sekte-Sekte Utama
Perlu
kita ketahui bahwa Yudaisme sebagai latar belakang dan ibu kandung lahirnya
Kekristenan pada awalnya tidak monolitik atau seragam. Mereka memiliki berbagai
perbedaan dalam tafsiran dan aplikasi perintah-perintah dalam Torah. James H.
Charlesworth mengidentifikasi periode antara tahun 167 sM sampai 70 Ms sebagai
periode, “variety and at the same time
standardization”(keanekaragaman sekaligus bersamaan menjadi periode
standarisasi)[5].
Keanekaragaman
tersebut diwakili oleh sejumlah sekte-sekte Yahudi yang sering terlibat
percekcokan teologis satu sama lain. Pada waktu itu belum ada yang disebut
dengan Yudaisme yang Orthodox dan normatif serta menjadi standar sebagaimana
sekarang ini sebagaimana dijelaskan D.S. Russel, “It must be borne in mind that the ‘parties’ in Judaism which have been
mentioned, influential though they were, represented only a relatively small
percentage of the Jewish people at that time and that no one them could claim
to represent the ‘norm’ for ‘orthodox’ Judaism as became possible in the years
following the fall of Jerusalem in AD 70. The fact is that during the
intertestamental period there were many groups and splinter group, studyng the
Torah, practising the rites and ceremonies of their religion with meticulous
care, pondering the meaning of life and the providence of God and in the case
of some, putting into writing their hopes and fears. The literature thus
produced is of importance for the light it throws on the development of certain
religious ideas within Judaism and subsequently for the influence of these
ideas in the early Christian church”[6]
(Harus diingat bahwa faksi-faksi dalam Yudaisme yang telah disebutkan di atas
sangat berpengaruh meskipun mereka hanya mewakili persentase yang relatif kecil
dari orang-orang Yahudi pada waktu itu dan bahwa tidak ada dari antara mereka yang
dapat mengklaim dirinya mewakili 'norma’' untuk Yudaisme 'ortodoks' sebagaimana
mungkin terjadi di tahun-tahun setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70.
Faktanya adalah bahwa selama periode intertestamental tersebut, ada banyak
kelompok dan kelompok sempalan, yang mempelajari Torah, mempraktikkan ritual serta
upacara agama mereka dengan tata cara yang sangat teliti, merenungkan makna
kehidupan dan pemeliharaan Tuhan dan dalam beberapa kasus, menempatkan dalam tulisan
mengenai harapan dan ketakutan mereka. Berbagai literatur yang dihasilkan kemudian,
sangat penting untuk menerangi pengembangan berbagai gagasan keagamaan tertentu
dalam Yudaisme dan selanjutnya bagi berbagai gagasan tersebut dalam gereja
Kristen awal).
Beberapa
sekte Yudaisme pada waktu itu al., Farisi,
Saduki, Esseni, Zelot, Herodian, Samarian, Pengikut Yohanes Pembaptis[7]
dan tiga diantaranya yang paling banyak disebut dalam Kitab Perjanjian Baru dan
kajian sejarah serta teologi akan kita kaji secara singkat.
Sekte
Farisi
Orang-orang
Farisi muncul dari kalangan kaum Hasidim
pada masa Yohanes Hirkanus. Orang-orang Farisi ini adalah ahli-ahli tafsir
tradisi mulut ke mulut yang berasal dari para rabi. Pada umumnya mereka berasal
dari kalangan menengah, yakni para tukang dan kaum pedagang. Mereka mempunyai
pengaruh yang sangat besar di antara para petani. Yosefus mengamati bahwa pada
saat orang-orang Yahudi harus mengambil sebuah keputusan yang sangat penting,
mereka lebih bersandar pada pendapat orang-orang Farisi ketimbang pada raja
ataupun imam besar. Karena rakyat sangat mempercayai mereka, orang Farisi
diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, termasuk
untuk duduk dalam Sanhedrin[8].
Setelah
kehancuran Bait Suci Kedua pada tahun 70 Masehi, kepercayaan orang-orang Farisi
menjadi dasar bagi liturgi dan ritual untuk Rabinik Yudaisme, yang pada
akhirnya menghasilkan Yudaisme tradisional yang normatif yang merupakan dasar
untuk semua bentuk kontemporer Yudaisme kecuali Karaite Yudaisme[9].
Dengan kata lain, Orthodox Yudaisme modern yang saat ini dianut mayoritas di
Israel adalah kelanjutan mazhab Farisi Abad 1 Ms.
Dalam
perkembangannya, kaum Farisi sebelum pada akhirnya menjadi Orthodox Yudaisme
seperti sekarang ini, mengumpulkan berbagai penafsiran, perdebatan, kisah-kisah
dari tahun ke tahun dari rabi satu ke rabi yang lain dan dikumpulkan menjadi
literatur yang disebut dengan Mishnah. Komentar terhadap Mishnah disebut Gemara.
Kesatuan keduanya (Misnah dan Gemara) disebut dengan Talmud. Talmud adalah
Torah Lisan yang diyakini diturunkan oleh Tuhan YHWH kepada Musa dan dari Musa
kepada Tua-tua Israel.
Robert
dan Remy Koch menggambarkan perkembangan Yudaisme pra modern tesebut sbb: “What did happen from the time of Ezra was
the development of a previously unkonown factor in the Hebrew faith: a
professional scribe class that eventually became the Rabbis of today. This
scribe class came about because of the judgement of God upon the Jewish nation
through the Babylonian captivity; in less than two generations the people lost
their Temple and knowledge of their Torah. The codification of the Oral Law and
the evolution of a professional class of teachers/lawyers was a natural outcropping
of these conditions”[10]
(Apa yang terjadi dari zaman Ezra adalah pengembangan faktor yang sebelumnya
tidak dikenal dalam kepercayaan Ibrani: Kasta penyalin Kitab Suci profesional
yang akhirnya menjadi Rabi pada zaman ini. Kasta penyalin Kitab Suci ini terjadi
karena penghakiman Tuhan atas bangsa Yahudi melalui Babel, dalam waktu kurang
dari dua generasi sehingga orang-orang kehilangan Bait Suci dan pengetahuan tentang
Torah. Kodifikasi Hukum Lisan dan evolusi dari kasta guru profesional / ahli
hukum agama adalah kemunculan alamiah dari kondisi tersebut)
Sekte
Saduki
Setelah
wangsa Makabeus berhasil memaksa Syria untuk angkat kaki dari bumi Palestina,
orang-orang Yahudi Helenis tidak berani lagi menunjukkan diri mereka. Bagi para
sarjana Yahudi, menyokong pemikiran-pemikiran Yunani sudah menjadi tidak aman.
Namun kaum intelektual Yahudi ini tetap menerapkan jalan pemikiran mereka
terhadap berbagai masalah pada masa itu dan mereka membentuk suatu sekte Yahudi
baru yang dikenal sebagai Saduki. Asal usul nama Saduki kemungkinan berasal
dari kata Tsadik (orang benar) atau Imam Tsadok[11].
Orang-orang
Saduki menolak tradisi para rabi yang diturunkan dari mulut ke mulut itu.
Mereka hanya menerima Taurat Musa yang tertulis dan setiap pengajaran lain yang
tidak didasarkan pada Firman Tuhan yang tertulis, mereka tolak dengan keras.
Mereka melihat bahwa pengajaran Farisi terlalu banyak mendapat pengaruh dari
Persia dan Asyur dan menganggap orang-orang Faris sebagai
pengkhianat-pengkhianat terhadap tradisi Yahudi. Mereka menolak ajaran
orang-orang Farisi mengenai malaikat-malaikat, setan-setan dan kebangkitan
orang mati[12].
Yosephus
mengidentifikasi sekte Saduki dengan kelas sosial dan ekonomi atas dari masyarakat
Yudea. Secara keseluruhan, sekte ini memenuhi peran politik, sosial, dan
keagamaan, termasuk menjaga Bait Tuhan. Sekte mereka diyakini telah punah
beberapa saat setelah penghancuran Bait Suci Herodes di Yerusalem pada tahun 70
Masehi, tetapi muncul dugaan bahwa sekte Karaites kemudian dapat memiliki akar
atau koneksi dengan pandangan-pandangan Saduki kuno[13].
Apakah
Karaite itu? Selama abad ke-9 Masehi, sejumlah sekte muncul yang menyangkal
keberadaan Torah Lisan (Oral Law). Sekte-sekte tersebut kemudian dikenal
sebagai Karaite (artinya Umat Firman), dan mereka dibedakan dari Rabbanites
atau Yudaisme Rabinik
Orang-orang Karaite percaya pada penafsiran yang ketat terhadap
teks literal Kitab Suci, tanpa bantuan penafsiran Rabinik. Mereka percaya bahwa hukum yang ditetapkan para rabi
bukan bagian dari tradisi lisan yang telah diturunkan dari Tuhan, juga bukan pengilhaman
Tuhan, melainkan merupakan karya asli dari para sarjana Kitab Suci zaman itu.
Dengan demikian, ajaran-ajaran rabbi tunduk pada kelemahan dari setiap dokumen
yang ditulis oleh orang biasa.
Perbedaan
antara Rabbanit dan Karait yang paling sering dicatat adalah dalam perkara
Sabat: Orang Karaite berpendapat bahwa Kitab Suci secara khusus melarang
menyalakan api pada hari Sabat, sehingga mereka terus membiarkan rumah mereka
gelap pada hari Sabat. Sebaliknya kaum Rabbanit, mengandalkan penafsiran rabbi
yang memungkinkan kita untuk membiarkan api menyala dinyalakan sebelum Sabat.
Karait juga melarang hubungan seksual pada hari Sabat, sementara Rabbanit menggangap
Sabat menjadi waktu terbaik untuk melakukan hubungan seksual. Para Karaits juga
mengikuti kalender yang sedikit berbeda dari Rabbanite
Menurut
Karait, gerakan ini dianut sebanyak 40 persen oleh orang-orang Yahudi. Hari
ini, Karaites adalah minoritas yang sangat kecil, dan kebanyakan orang Yahudi
Rabinik bahkan tidak tahu bahwa mereka ada[14].
Sekte
Esseni
Nama Esseni
dihubungkan dengan penemuan Naskah
Gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) yaitu
kumpulan dari sekitar 850 dokumen, termasuk naskah Kitab Suci Ibrani yang
ditemukan di antara tahun 1947 dan 1956 di sebelas gua dekat Qumran, sebuah
benteng yang terletak di Barat Laut, Laut Mati di Israel [dalam kurun waktu
sejarah bagian dari Yudea]. Penghubungan nama Esseni dengan Naskah Laut
Mati dilakukan oleh Eleazar Sukenik tahun 1947 yang saat itu tengah membeli 3
gulungan dari pasar antik di Betlehem.[15]. Kumpulan dokumen itu dituliskan dalam bahasa Ibrani,
Aramaik dan Yunani, sekitar Abad ke-2 SM dan Abad 1 Ms. Naskah-naskah tersebut
sangat penting, bukan hanya merupakan bagian dari dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan Kitab Suci Yahudi dari zaman itu namun juga dikarenakan apa yang mereka
katakan mengenai konteks agama dan politik zaman itu.
Sebagian besar dari apa yang kita ketahui tentang
Eseni berasal dari sejarawan Yahudi Abad
1 Ms bernama Flavius Josephus (37-95
AD), dan sejarawan Pliny the Elder serta Philo dari Alexandria. Ada banyak
persamaan antara apa yang diberitahukan Josephus tentang
Eseni, serta gambaran yang kita miliki dari sekte gulungan Laut Mati tersebut.
Kesaksian Yosefus dalam Jewish Wars, Buku 2, Bab
8 sbb: "Di sana tiga sekte filosofis di antara orang Yahudi.
Para pengikut yang pertama adalah orang-orang Farisi yang kedua, orang-orang
Saduki dan sekte ketiga, yang berprilaku disiplin ketat, disebut Essens
"[16]
Kesaksian Pliny the Elder dalam Natural History sbb: "Di sisi barat Laut Mati, namun di luar
jangkauan dari hembusan angin pantai, tinggalah sendirian suku Essenes, yang
luar biasa melampaui semua suku-suku lain di seluruh dunia, karena tidak
memiliki wanita dan telah meninggalkan semua hasrat seksual, tidak memiliki
uang, dan hanya memiliki pohon sawit untuk usaha. Hari demi hari kerumunan
pengungsi yang direkrut untuk jumlah yang sama yang digapai oleh banyak orang
yang letih hidupnya dan didorong ke sana oleh gelombang keberuntungan untuk
mengadopsi cara mereka. Sebuah perlombaan terjadi melalui ribuan usia, di mana
tidak ada orang yang dilahirkan hidup untuk selamanya, sedemikian mudah
berkembang biak untuk keuntungan mereka melalui keletihan hidup pria lainnya"[17]
Selain kesamaan data Yosephus dan Pliny tentang
komunitas Esseni dengan data naskah Laut Mati, demikian pula dengan analisis
berbagai kepercayaan kaum Esseni yang terekam dalam beberapa literatur
seperti Thanksgiving Hymn Scroll, War Rule, Damascus Document, Miqsat Maaseh ha
Torah, cocok dengan kesaksian Yosefus mengenai kepercayaan dan perilaku
kaum Esseni dalam karyanya Jewish War.
Beberapa paralelisasi kepercayaan mereka antara lain: Percaya takdir Tuhan dan
percaya adanya kehidupan setelah kematian. Selain soal kepercayaan, kaum Esseni
memiliki beberapa peraturan dan syariat al., menghindari menggunakan minyak
dikarenakan dianggap mencemari kesucian, menaruh barang-barang berharga pada
Bendahara Jemaat dalam komunitas bersama, makan Roti Murni setelah dua tahun
mereka teruji menjadi bagian dari anggota Esseni, tidak melakukan apapun di
hari Sabat serta dilarang meludah[18]
Ada beberapa perbedaan mengenai arti nama Eseni.
J.I. Packer menghubungkan istilah tersebut dengan “kesalehan” dan “kesucian”[19]
sementara James C. Vanderkamp menghubungkan istilah tersebut dengan “pelaku
Torah” sebagaimana dikatakan: “Essene derives from a form of the
word 'doers'. I would be an abbreviated form of a fuller name such as 'doers of
the Torah'. If this explanation of the name is correct then the word Essene
figures quite a number of times in the Qumran text and the objection falls”[20]( Eseni
berasal dari suatu bentuk kata yang artinya 'pelaku'. Saya akan membentuk
singkatan dari nama lengkap seperti 'pelaku Torah'. Jika penjelasan nama tersebut
adalah benar maka kata Eseni tergambarkan beberapa kali dalam teks Qumran sehingga berbagai keberatan
menjadi gugur).
Para
sarjana masih memperdebatkan apakah benar penghuni Qumran adalah orang-orang
Esseni, karena beberapa bagian dari tulisan-tulisan mereka ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran yang dikenal sebagai ajaran Esseni[21].
Namun dari hasil penelitian panjangnya, James C. Vanderkam menyimpulkan, “the upshot of the whole investigation is
that many strong arguments point to the resident of Qumran being Essenes and no
certain point tell against the identification”[22] (Hasilnya
dari keseluruhan penyelidikan adalah bahwa banyak argumen yang kuat mengarah ke
penduduk Qumran adalah kaum Eseni dan tidak ada titik pasti yang menentang identifikasi
tersebut).
Apakah Yesus Seorang Farisi?
Terdapat
beberapa pararelisasi antara ajaran Yesus dengan mazhab Farisi Yahudi yang
terekam dalam Talmud sehingga ada dugaan mazhab Yudaisme Yesus adalah Farisi.
Pandangan ini diwakili oleh Gershon Winkler dalam bukunya, “The Way of the Boundary Crosser” sbb:[23]
Ajaran
Yesus
|
Talmud
Ajaran Farisi
|
Hari
Sabat untuk manusia dan bukan manusia untuk Sabat (Mrk 2:27)
|
Hari
Sabat diserahkan ke dalam tanganmu, bukan kamu diserahkan ke dalam tangannya
(Yoma 85b)
|
Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk
salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk
Aku (Mat 25:45)
|
Seseorang
yang mengkhianati sesamanya, sama saja seperti ia telah mengkhianati Tuhan
(Tosefta Shavuot, pasal 3)
|
Menghina
orang sama dengan membunuh manusia (Mat 5:21-22)
|
Seseorang
yang membuat malu sesamanya, sama saja seperti ia telah membunuhnya (Bava
Mezia 58b)
|
Jangan
melakukan kewajiban agamamu dihadapan orang supaya dilihat mereka (Mat 6:1)
|
Jangan
melakukan kewajiban agamamu dihadapan orang supaya dilihat mereka (Berakhot
17b)
|
Jangan
kamu bertele-tela dalam berdoa (Mat 6:7)
|
Seseorang
yang berdoa terlalu dalam dan terlalu panjang membuat dirinya sendiri sakit
kepala (Berakhot 55b)
|
Anak
Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga (Mat 24:44)
|
Tiga
hal terjadi pada saat yang tidak diduga-duga: kehilangan barang, sengatan
kalajengking dan kedatangan Mesias (Sanhendrin 97a)
|
Dalam
banyak kasus, pengajaran Yesus sangat mirip dengan apa yang diajarkan Hillel,
seorang rabbi terkemuka di zaman sebelum Mesias hadir di Palestina. Salah satu
ucapan yang dikenal dengan Golden Rule (hukum emas) yang berbunyi: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya
orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi
seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 7:12), ternyata setara
dengan ajaran Hillel yang menyatakan sbb: “Apa
yang jahat di matamu jangan lakukan itu terhadap sesamamu. Itulah keseluruhan
Torah, sementara sisanya merupakan penjelasan saja, maka pergilah dan
pelajarilah (Talmud Babilonia, traktat Shabat 31a)[24]
Namun
demikian Yesus tidak pernah mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Farisi.
Bahkan dalam beberapa kali kesempatan Yesus mengritik tafsir dan pelaksanaan
Torah yang cenderung Legalistik. Sebagaimana kita ketahui, Farisi begitu ketat
memelihara Tradisi Lisan (Oral Law) yang kemudian berkembang menjadi Talmud.
Yesus menujukkan kecamannya saat terjadi percakapan mengenai adat istiadat sbb:
“Kemudian datanglah beberapa orang Farisi
dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata: "Mengapa
murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh
tangan sebelum makan." Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa
kamu pun melanggar perintah Tuhan demi adat istiadat nenek moyangmu?”(Mat
15:1-3).
Pada
kesempatan lain Yesus bersabda, “Yesus
berkata kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap ragi orang
Farisi dan Saduki” (Mat 16:6). Dan saat mengecam kemunafikan orang Farisi,
Yesus bersabda, “Celakalah kamu, hai
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab
persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang
terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan
dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”
(Mat 23:23).
Namun
demikian di sisi lain, Yesus menjadikan orang Farisi dan Ahli Taurat sebagai
ukuran moralitas murid-muridnya sehingga barangsiapa memiliki moralitas dan
kesalehan di bawah standar Farisi dan Ahli Taurat, Yesus mengatakan mereka
tidak akan masuk Surga sebagaimana disabdakan, “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari
pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu
tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:20).
Apakah Yesus Seorang Saduki?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Saduki
telah mengalami transformasi menjadi Karaite modern yang menolak Talmud sebagai
Torah Lisan dan tidak mendasarkan pada fatwa-fatwa Rabinik.
Nehemiah Gordon, seorang Karaite menilai posisi Yesus
setara dengan pandangan kaum Saduki dan Karaite modern dalam hal menolak
otoritas Rabinik dan tradisi Rabinik. Beliau menjelaskan, “As I was sitting and conversing with my Torah-keeping Christian friend,
I began to realize that Yeshua’s message had a Karaite streak to it. He was
speaking out against the man-made laws of the Rabbis to bring people back to
the Torah which is the primary message of Karaite Judaism”[25](Saat
saya sedang duduk dan bercakap-cakap dengan teman Kristen saya yang memelihara
Torah, saya mulai menyadari bahwa pesan Yeshua itu memiliki sifat Karaite mengenai
hal tersebut. Dia berbicara menentang hukum buatan manusia dari para rabi untuk
membawa orang kembali ke Torah yang merupakan pesan utama dari Yudaisme Karaite).
Pada halaman berikutnya Nehemiah mengatakan, “He seemed to me to be a 1st Century Karaite”[26](Dia
nampak bagi saya seperti seorang Karaite Abad I Ms).
Apa dalil yang dipergunakan Nehemiah Gordon? Gordon
sebenarnya bukan Kristen bukan pula Messianic Judaism. Beliau seorang Yahudi
Karaite yang menggeluti penelitian dan penerjemahan Naskah Laut Mati (Dead Sea
Scroll). Beliau lulusan Hebrew University
of Jerusalem di bidang Biblical Studies
and Archaelogy yang tertarik saat mengkaji naskah Matius berbahasa Ibrani
dari Abad XIV bernama Shem Tov.
Naskah Shem Tov merupakan naskah yang berasal dari
Abad XIV yang ditemukan di Spanyol di masa perselisihan Katolik dan Yahudi.
Lengkapnya penulis kitab ini bernama Shem Tov ben Shaprut. Isi buku Shem Tov
sebenarnya mengenai strategi memenangkan perdebatan dengan Katolikisme dan
diakhir bukunya ada risalah bernama Even Bohan dan di dalamnya ada tertulis
mengenai Kitab Injil Matius dalam bahasa Ibrani.
Sampai hari ini tidak ada kesepakatan diantara para
ahli apakah Injil Matius versi Shem Tov adalah asli atau terjemahan dari naskah
Injil Matius berbahasa Yunani. Nehemiah Gordon sendiri merujuk pada karya tulis
George Howard yang berjudul The Gospel of
Matthew according to a Primitive Hebrew Text meyakinkan dirinya dan pembaca
bukunya bahwa naskah Injil Matius Shem Tov berbahasa Ibrani adalah asli. Salah
satu bukti keaslian dan bukan terjemahan adalah banyaknya sejumlah “permainan
kata” (pun words) yang menjadi khas ekspresi Semitik Hebraik Kitab Suci TaNaKh
dan yang sekarang muncul dalam Injil Matius versi Shem Tov[27]
Keyakinan Gordon bertambah setelah membaca Matius
23:2-3 versi Shem Tov yang berbeda dengan versi Yunani. Kebanyakan terjemahan
menuliskan Matius 23:2-3 sbb: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu
yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti
perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak
melakukannya”. Naskah Matius versi Shem Tov menuliskan sbb: “Al kise Moshe yeshvu hapirushim vehakhamim.
We’ata kol asher yomar lakem shimru wa asu uwetakanotehem umaashehem al
ta’ashu shehem omrim we hem enam osim” yang diterjemahkan menurut Gordon sbb:
“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu
yang dia ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan
(maashim) dan berbagai tambahan-tambahan mereka (takanot), karena mereka
mengajarkannya tetapi tidak melakukannya[28]
Menurut Gordon ada perbedaan teks antara naskah Yunani
dan Ibrani Matius 23:2-3. Naskah Yunani menuliskan perintah Yesus agar menuruti
“segala sesuatu yang mereka ajarkan” sementara naskah Ibrani menuliskan
perintah Yesus agar menuruti “segala sesuatu yang dia (Musa) katakan”. Naskah
Yunani menuliskan “eiposin” (mereka berkata) dan bukan “eipei” (dia berkata).
Sementara naskah Ibrani Matius menuliskan dengan “yomar” (dia berkata) yang
setara dengan bahasa Yunani “eipei” (dia berkata). Menurut Gordon penyalin
Injil Matius bahasa Yunani salah membaca naskah Matius berbahasa Ibrani
sebagaimana dia katakan, “In contrast, in
Greek the difference betwen ‘he says’ (eipei) and ‘they say’ (eiposin) is a
much larger difference, This suggest that the Greek translator misread the
Hebrew text as containing that extra vav. Maybe this greek translator did not
even understand who or what the Pharisess were all about”[29]
(Sebaliknya, dalam bahasa Yunani perbedaan antara 'dia berkata' (eipei) dan
'mereka berkata' (eiposin) merupakan perbedaan yang teramatih besar, ini
menunjukkan bahwa penerjemah Yunani salah membaca teks Ibrani sebagai
mengandung huruf tambahan waw/vav. Mungkin penerjemah Yunani ini bahkan tidak
mengerti siapa atau semua hal apa mengenai Farisi).
Dengan kata lain, berdasarkan bunyi teks versi Matius
berbahasa Ibrani dari Shem Tov, Matius 23:2-3 lebih mencerminkan pandangan
Yesus yang dekat dengan Saduki atau Karaite modern.
Tim Hegg dalam artikelnya memberikan sanggahan atas
pernyataan dan kajian Nehemiah Gordon. Salah satu hal yang disoroti tajam oleh
Tim Hegg adalah kecerobohan Nehemiah Gordon saat mengabaikan enam manuskrip lain dari sembilan manuskrip
Injil Matius Ibrani versi Shem Tov yang menuliskan dengan kata ganti jamak
“yomru” (mereka berkata) bukan “yomar” (dia berkata)[30].
Nehemia Gordon pun dianggap mengabaikan fakta dan data bahwa selain Even Bohan atau
Shem Tov, masih tersedia naskah Matius berbahasa Ibrani dari Abad Pertengahan
lainnya al., Du Tillet, Munster, dll. Semua naskah tersebut tetap menggunakan
kata ganti jamak “yomru” bukan “yomar”. Bahkan dalam naskah Siriak baik
Peshitta maupun Old Syriac, kesemuannya dipergunakan kata ganti jamak dan bukan
kata ganti tunggal[31].
Benarkah Yesus seorang Saduki atau Karaite? Data-data
dalam Kitab Perjanjian Baru sepintas mendukung pandangan tersebut, apalagi saat
melihat sikap Yesus terhadap adat istiadat sbb: “Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem
kepada Yesus dan berkata:’Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek
moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan’ Tetapi jawab Yesus
kepada mereka: "Mengapa kamu pun melanggar perintah Tuhan demi adat
istiadat nenek moyangmu?” Dengan
demikian firman Tuhan kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri’ (Mat
15:1-3,6).
Namun di sisi lain orang-orang Saduki pun menentang
dan kerap mengajak berdebat Yesus sebagaimana dilaporkan, “Kemudian datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus.
Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka”
(Mat 16:1). Bahkan percakapan mengenai kebangkitan orang mati merupakan kunci
pembuka tabir bahwa Yesus tidak sepaham dengan mazhab Saduki sebagaimana
dilaporkan berikut ini: “Maka datanglah
kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang tidak mengakui adanya kebangkitan.
Mereka bertanya kepada-Nya: ‘Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita:
Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati sedang isterinya masih
ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya
itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang
bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak
meninggalkan anak. Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, dan oleh yang
ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, mereka semuanya
mati dengan tidak meninggalkan anak. Akhirnya perempuan itu pun mati. Bagaimana
sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi
suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia."
Jawab Yesus kepada mereka: "Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan,
tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu
dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan.
Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan
mereka adalah anak-anak Tuhan, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang
bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang
semak duri, di mana YHWH disebut Tuhan Abraham, Tuhan Ishak dan Tuhan Yakub. Ia
bukan Tuhan orang mati, melainkan Tuhan orang hidup, sebab di hadapan Dia semua
orang hidup." Mendengar itu beberapa ahli Taurat berkata: "Guru,
jawab-Mu itu tepat sekali” (Luk 20:27-39)
Apakah Yesus Seorang Esseni?
Para sarjana peneliti Naskah Laut Mati memiliki
perbedaan pendapat apakah gulungan-gulungan Laut Mati dan eksistensi Eseni di
Qumran terkait dengan Yesus dan Kekristenan atau tidak. Mereka yang meyakini
bahwa Yesus adalah seorang anggota Eseni berusaha membuat penyimpulan dengan
didasarkan sejumlah pararelisasi antara Yesus dan Eseni.
Sebut saja beberapa sarjana yang tendensius
menghubungkan Yesus dengan Eseni seperti sarjana Prancis bernama Andre Dupont
Sommer (yang bukunya kerap dipergunakan oleh polemikus Muslim dan sarjana
sekuler yang menentang Kekristenan), kemudian Edmud Wilson, Barbara Thiering. Andre
Dupont Sommer mengatakan bahwa Guru Kebenaran (The Righteousness Teacher) dalam
naskah Qumran menunjuk pada Yesus dari Nazaret[32].
Edmud Wilson penulis di New Yorker menyatakan bahwa eksistensi Yesus dan
Kekristenan Perdana merupakan kelanjutan Kaum Eseni di Qumran. Kelahiran Kekristenan
tidak perlu dilihat secara dogmatis dan pewahyuan Ilahi melainkan sebagai
kelanjutan sejarah kemanusiaan komunitas Eseni di Qumran[33].
Lain lagi dengan Barbara Thiering warga Australia yang
menyelesaikan studinya University of London (B.D.) dan program Magister di Melbourne College of
Divinity (MTh.) serta program Doktor di Sydney University (Ph.D)[34].
Menurutnya, Yesus adalah Imam Jahat yang digambarkan dalam naskah Qumran
sementara Yohanes Pembaptis adalah Sang Guru Kebenaran yang menjadi lawan Imam
Jahat yaitu Yesus[35].
Persamaan-persamaan memang dapat ditemui antara
ajaran, tindakan Yesus Sang Mesias dengan komunitas Eseni di Qumran. Namun demikian
banyak sarjana yang mengabaikan sejumlah perbedaan-perbedaan yang ada. M.D.
Magee memberikan sejumlah daftar persamaan dan perbedaan Yesus dan kaum Eseni.
Persamaan Yesus dan Eseni:
- Percaya
pada Tuhan yang dipahami secara tradisional oleh Yudaisme Bait Suci Kedua
- Percaya
pada musuh yang kuat lawan dari Tuhan, Si Jahat
- Percaya
pada Torah atau Hukum Musa
- Percaya
pada Kitab Suci Yahudi
- Memiliki
Kitab Suci yang digemari: Ulangan, Yesaya dan Mazmur
- Percaya
pada pentingnya Yesaya 40:3
- Percaya
pada institusi dari Perjanjian Baru
- Menyebut
diri mereka Murni
- Mempertahankan
properti mereka bersama
- Percaya
tentang pertempuran kosmis antara kebaikan dan kejahatan
- Mengharapkan
zaman sekarang untuk diakhiri
- Percaya
pada nubuat
- Menganggap
Tuhan sebagai seorang raja memerintah sebuah kerajaan
- Mengharapkan
Mesias di dunia
- Penghormatan
terhadap Kota Suci Yerusalem, tetapi membenci para imam Bait Suci yang
jahat
- Melihat
umat Tuhan, yaitu orang-orang Yahudi, sebagai berdosa dan membutuhkan
pengampunan Tuhan dan yakin Tuhan akan mengabulkannya
- Meletakkan
penekanan utama pada doa
- Pengorbanan
di Bait Suci dianggap tidak penting
- Menekankan
penyucian kekuatan air
- Mengutuk
perceraian
- menggunakan
istilah “Anak Terang” – istilah tersebut tidak ada orang lain yang
menggunakan pada saat itu di Palestina
- Memiliki
pemimpin yang karismatik, Yesus dan Guru Kebenaran
- Tidak
menikah
- Percaya
ada kekuatan yang disebut Roh Kudus
- Percaya
pada bimbingan Roh Kudus dalam membaca Kitab Suci[36]
Perbedaan Yesus dan Eseni:
1. Kelompok
Yesus terbuka sementara Essenes eksklusif
2. Yesus
mengajarkan cinta sementara Eseni mengajarkan kebencian
3. Yesus
tidak peduli dengan kemurnian ritual dan tabu, tidak demikian dengan Eseni
4. Yesus berhubungan
dengan sesuatu yang dianggap najis namun kaum Eseni menganggap itu sebuah laknat
5. Yesus
berhubungan dengan orang kafir namun kaum Eseni menganggap itu suatu laknat
6. Yesus bercampur
baur dan berkomunikasi dengan wanita namun kaum Eseni menganggap itu suatu
laknat
7. Yesus
memiliki kebiasaan meminum dan menikmati anggur namun kaum Eseni senang bertapa
8. Kaum Eseni
tidak tertarik dalam pekerjaan Misi namun Yesus sebaliknya
9. Yesus
berbicara dengan sederhanan namun Gulungan Naskah Laut Mati berisikan perkataan
yang sukar dan kadang-kadang dalam teka-teki
10. Yesus terkenal
karena penyembuhan mukjizat, tidak demikian dengan Eseni
11. Yesus
tidak memerlukan inisiasi berlarut-larut namuni Eseni membutuhkan waktu tiga
tahun sebelum inisiasi
12. Yesus
memiliki dua belas rasul dengan tiga yang menonjol namun kaum Eseni memiliki
hirarki berjenjang
13. Yesus
tidak mengikuti kalender matahari tidak demikian dengan kaum Eseni
14. Yesus tidak
menulis apapun namun kaum Eseni menuliskan literatur terus menerus
15. Yesus tidak
memiliki pola pelatihan formal tidak demikian dengan kaum Eseni yang
mengabdikan hidup mereka untuk mempelajari Kitab Suci dan sejumlah penafsiran
16. Yesus senantiasa
sendirian sedangkan kaum Eseni akan saling mendukung
17. Yesus
mengatakan kepada pendukungnya untuk tidak bersumpah sedangkan Eseni meminta bersumpah
secara khidmat ketika ada anggota baru memasuki komunitas mereka
18. Yesus
menghormati para nabi namun Eseni menafsirkan ulang apa yang para nabi tulis sehingga
menyiratkan apa yang para nabi pikirkan adalah kebodohan
19. Yesus
mengajarkan dalam perumpamaan namun Eseni hanya memberikan hukum ttiada
berkesudahan
20. Yesus
tidak percaya pada takdir tidak demikian dengan kaum Eseni
21. Yesus
percaya pada kebangkitan orang mati di penghujung waktu namun tidak ada bukti
jelas bahwa Eseni memiliki kepercayaan tersebut
22. Yesus
tidak pernah menyebutkan nama-nama malaikat namun Eseni harus mengingat mereka
dan memiliki pengetahuan luas mengenai kemalaikatan
23. Yesus
adalah seorang martir dan kemartirannya dinubuatkan namun pemimpin komunitas
Eseni yaitu Guru Kebenaran tidak demikian
24. Yesus begitu
liberal tentang ketaatan terhadap Sabat sementara kaum Eseni begitu ketat
mempertahankannya
25. Yesus
menganggap dirinya sebagai anak Tuhan namun Guru Kebenaran tidak menyatakan
dirinya demikian
26. Kaum Eseni
berdoa saat fajar dan senja dan memiliki metafora yang diperluas mengenai cahaya
dan gelap untuk kebaikan dan kejahatan, sementara Yesus tidak melakukan itu
27. Yesus
mengajarkan tentang Kerajaan Tuhan yang akan datang namun Eseni tidak pernah
menggunakan istilah tersebut[37]
Bahkan
perbedaan yang tersedia sangat besar sehingga kurang diperhatikan oleh mereka yang
memiliki sudut pandang bias terhadap Kekristenan, sebagaimana dikatakan James C. Vanderkam sbb: “From the first wave of Qumran studies to
present, some scholars have either spotted extraordinarily close parallels
betwen the scroll and the books of the New Testament or identified the
Qumranites as Christians. Most would agree that such claim go to far – there
are also blatant differences betwen the two groups and literatures they penned”[38] (Dari
gelombang pertama studi tentang naskah Qumran hingga kini, beberapa sarjana
telah melihat paralel yang begitu dekat dan luar biasa antara Naskah Laut Mati
dan kitab-kitab Perjanjian Baru atau mengidentifikasi penghuni Qumran sebagai
orang Kristen. Sebagian besar akan setuju bahwa klaim tersebut terlalu jauh – sesungguhnya
ada juga sejumlah perbedaan mencolok antar ke dua kelompok dan berbagai literatur
yang mereka tulis).
Perlu diketahui bahwa penemuan Naskah Laut
Mati tidak ada hubungannya dengan Yesus dan Jemaat Perdana secara langsung.
Artinya, Yesus dan para rasulnya bukan berasal dari komunitas Eseni. Vanderkamp
melanjutkan penjelasannya, “It is also
highly probable that no part of any New Testament book or other early Christian
text is included among the innumerable scraps from the eleven caves. As a
result, any relations that may exist betwen the scrolls and the New Testament
would have to be more indirect. It is quite possible that some Essene works
influenced early Christian writers and that Qumranites and a character or
characters mentioned in the New Testament had some contact. For the most part,
however the connections betwen them are in realm of ideas and resulting
practices”[39]
(Sangat mungkin bahwa tidak ada bagian dari kitab Perjanjian Baru atau teks
Kristen awal lain beradai dalamnya yaitu di antara potongan-potongan yang tak
terhitung jumlahnya dari sebelas gua. Akibatnya, setiap hubungan yang mungkin
ada antara gulungan Laut Mati dan Perjanjian Baru lebih bersifat tidak langsung.
Sangatlah mungkin bahwa beberapa karya Eseni terpengaruh penulis Kristen awal
dan bahwa penduduk Qumran dan karakteristik atau beberapa karakteristik yang
disebutkan dalam Perjanjian Baru memiliki beberapa kaitan. Namun untuk sebagian
besar, hubungan antara komunitas Qumran dan penulis Kitab Perjanjian Baru
berada dalam ranah ide belaka dan berbagai praktik yang dihasilkan).
Millar Burrows tidak merisaukan sejumlah
paralelisasi antara para penulis Kitab Perjanjian Baru dengan literatur Qumran.
Hasil penelitian panjangnya beliau ringkaskan sbb: “For myself I must go farther and confess that after studying the Dead
Sea Scroll for seven years, I do not find
my understanding of the New Testament substantially affected. Its Jewish
background is clearer and better understood, but its meaning has neither been
changed nor significantly clarified”[40] (Bagi
saya sendiri, saya seharusnya melangkah lebih jauh lagi dan mengakui bahwa setelah
mempelajari Gulungan Laut Mati selama tujuh tahun, saya tidak menemukan
pemahaman saya dari Perjanjian Baru secara substansial menjadi terpengaruh.
Justru latar belakang Yahudi yang lebih jelas dan lebih baik semakin dipahami, namun
maknanya tidak mengalami koreksi perubahan secara signifikan).
Saya akan mengutip pendapat Vanderkamp untuk
mengakhiri penilaian perihal pararelisasi dan diferensiasi antara Yesus dan
Sang Guru Kebenaran, antara penulis Kitab Perjanjian Baru dan penulis Gulungan
Laut Mati sbb: “Any survey of Qumran New
Testament studies will reveal that most have adopted a moderate position:
Although the two literatures and communities had major differences, they were
also remarkably similar in theological vocabulary, some major tenets and
several organizational and ritual practices. One can explain the parallels in
different ways, but at the least one may say that the Qumranites and the early
Christians both of whom considered themselves members of a new covenant (2 Cor
3:6; damascus Document 20.12), were children of a common parent tradition in
Judaism”[41]
(Sejumlah survei stud mengenai naskah Qumran dan Perjanjian Baru akan
mengungkapkan bahwa sebagian besar sarjana telah mengadopsi posisi moderat
berikut ini: Meskipun kedua literatur dan masyarakat memiliki perbedaan besar,
mereka juga sangat mirip dalam kosakata teologis, beberapa prinsip utama dan
praktek organisasi serta beberapa ritual.
Seseorang dapat menjelaskan paralelisasi diantara keduanya dengan cara yang
berbeda, namun setidaknya dapat dikatakan bahwa komunitas Qumran dan Kristen Perdana
menganggap diri mereka sebagai anggota suatu perjanjian yang baru (2 Kor 3:6,
Damaskus Dokumen 20.12), yang merupakan anak-anak dari orang tua yang sama
secara tradisi yaitu Yudaisme).
Bagaimana kesaksian Kitab Perjanjian Baru?
Tidak ada satupun bukti dalam Kitab Perjanjian Baru bahwa Yesus pernah
berkontak dengan komunitas Eseni yang ekslusif dan menjauh dari keramaian dan
aktifitas religius yang berpusat di Bait Suci Yerusalem. Ajaran Yesus yang
bersifat misioner (menjangkau keluar wilayah Yerusalem) dan egaliter (kesamaan
derajat) sangat berbeda dengan karakteristik Eseni yang ekslusif dan tertutup.
Jika Yesus tidak pernah berinteraksi dengan
mazhab Eseni dan ada sejumlah perbedaan ajaran yang signifikan diantara
keduanya, sungguh sebuah kenaifan menghubungkan Yesus sebagai seorang Eseni.
Yesus Sang Mesias Tidak Bermazhab Tertentu
Namun Dekat Dengan Mazhab Tertentu
Apa yang dapat kita simpulkan dari kajian
kita mengenai mazhab Yesus sebagai seorang Mesias yang berkarya dalam latar
belakang Yudaisme? Jika kita menelaah dan membandingkan secara seksama baik
kesaksian Kitab Perjanjian Baru maupun berbagai sumber literatur sekunder di
luar Kitab Perjanjian Baru, nampak bahwa Yesus tidak berada pada satu mazhab
tertentu.
Pada kesempatan tertentu, Yesus memiliki
kemiripan dengan mazhab Farisi ketika beliau menolak keyakinan mashab Saduki
yang tidak percaya kebangkitan orang mati (Luk 20:27-39). Namun pada
kesempatan lain Yesus mengecam penafsiran dan praktek keagamaan mazhab Farisi
yang munafik dan legalistik (Mat 15:1-3,6, Mat 23:2-3). Namun menariknya pada
kesempatan lain, Yesus menempatkan kesalehan Saduki dan Farisi sebagai sebuah
ukuran yang harus dilampaui oleh murid-muridnya (Mat 5:20). Namun tidak ada
satupun referensi bahwa Yesus berienteraksi dengan mazhab Eseni sehingga kita
tidak mendapatkan gambaran apapun mengenai sikap Yesus terhadap mazhab Eseni.
Sikap di atas meminjam istilah D.S. Russell sebagai “continuity”
(keberlanjutan) dan “discontinuity’ (keterputusan) antara ajaran Yesus dan
Yudaisme[42].
Yesus tetap menggunakan bingkai pemahaman yang tidak asing bagi seluruh mazhab
Yudaisme di sekelilingnya dan dapat dimengerti baik oleh Saduki dan Farisi
namun Yesus memberikan sebuah pemahaman yang baru dan mengritik
penyimpangan-penyimpangan penafsiran dan pemahaman yang mereka lakukan. Hal ini
dapat kita temukan saat Yesus mengritik penafsiran tentang Torah yang tidak
tepat (Mat 5:21-48). D.S. Russell menyebunya, “Jesus uses the same terminology, but reads into it a quite different
meaning”[43]
(Yesus menggunakan istilah yang sama namun membacanya dalam makna yang cukup
berbeda). Pada halaman yang sama dikatakan bahwa Yesus melalukan sebuah
transformasi pemahaman terhadap Torah sebagaimana dikatakan, “...Jesus took an independent line, bringing to
Judaism an interpretation of his own which, in certain cases, effected a radical
transformation”[44]
(Yesus mengambil jalur independen, membawa Yudaisme kepada sebuah penafsirannya
sendiri, yang dalam kasus tertentu, melakukan sebuah transformasi radikal).
Senada dengan itu, E.P. Sander yang bukunya dirujuk oleh D.S. Russell
mengatakan, “Jesus did not oppose the
Mosaic Law but held it in some ways to be neither adequate nor final”[45]
(Yesus tidak menentang Hukum Musa, tetapi mempertahankannya dalam beberapa hal
menjadi tidak memadai bukan berakhir)
Namun menganggap Yesus tidak bermazhab hanya
dikarenakan sikap Yesus yang terkadang menyalahkan maupun membenarkan penafsiran
beberapa mazhab Yudaisme yang ada, sungguh merupakan sebuah kesimpulan ceroboh.
Logikanya, jika Yesus disapa Rabbi (Mat 26:25,49, Mrk 9:5, Mrk 11:21, Yoh
1:38,49, Yoh 3:2,26, Yoh 4:31) dan melaksanakan sejumlah syariat yang
ditetapkan dalam Torah (bersunat, tefilah, sabat, moedim, dll) serta mengajar
dengan gaya seorang Rabi yang berkuasa (Mrk 1:27) bahkan menegaskan bahwa
ajaran Yesus tidak bermaksud membatalkan eksistensi Torah (Mat 5:17-20), maka
mustahilah Yesus tidak memiliki kecenderungan mazhab tertentu. Rasul Paul saja
bermazhab Farisi (Fil 3;5), tentu Yesus memiliki kedekatan dengan mazhab
tertentu.
Sebagaimana
telah diulas pada bagian sebelumnya, dalam banyak kasus, pengajaran Yesus
sangat mirip dengan apa yang diajarkan Hillel, seorang rabbi terkemuka di zaman
sebelum Mesias hadir di Palestina. Salah satu ucapan yang dikenal dengan Golden
Rule (hukum emas) yang berbunyi: "Segala
sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian
juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”
(Mat 7:12), ternyata setara dengan ajaran Hillel yang menyatakan sbb: “Apa yang jahat di matamu jangan lakukan itu
terhadap sesamamu. Itulah keseluruhan Torah, sementara sisanya merupakan
penjelasan saja, maka pergilah dan pelajarilah (Talmud Babilonia, traktat
Shabat 31a).
Bagaimana
mungkin Yesus tidak bermazhab tertentu namun dekat dengan mazhab tertentu?
Bukankah sudah dijelaskan sebelumnya bahwa di zaman Yesus belum ada Yudaisme
secara monolitik dan standar. Yang ada adalah keragaman Yudaisme sehingga tidak
ada bentuk Yudaisme standar yang menonjol. Keragaman penafsiran yang diwakili
keragaman mazhab dan sekte. Bentuk Yudaisme standar dan Kekristenan standar
baru terjadi pada periode tahun 200 dan 313 sebagaiamana dikatakan James H.
Charlesworth, “Betwen 200 and 313 C.E.,
Judaism and Christianity allowed different – but intertwined – courses”[46]
(Antara 200 dan 313 CE, Yahudi dan Kristen memperkenalkan perbedaan - namun
saling terkait – prinsip).
Ketidak
jelasan mazhab mana yang dianut Yesus merupakan konsekwensi logis bahwa Yesus
bukan sekedar Rabbi dan Mesias manusiawi melainkan Yesus adalah Sang Firman
Ilahi yang datang dalam wujud manusia (Yoh 1:14). Sebagai Sang Firman yang
merupakan pengejawantahan kehendak Tuhan Yahweh Sang Bapa tentu saja Yesus Sang
Mesias mengasihi semua golongan dan mazhab dan dapat berkomunikasi lintas
mazhab untuk mengomunikasikan kehendak Bapanya saat meluruskan kesalahan
penafsiran Torah yang mulai cenderung dipahami secara legalistik dan
transedentalistik sebagaimana dikatakan J.I. Packer, “Menginjak abad pertama, sekte-sekte Israel telah mengubah ciri
kepercayaan Yahudi. Jalan di dalam sekte-sekte
Yahudi itu. Ia banyak menggunakan waktunya untuk menanggapi berbagai gagasan
keliru dari kelompok-kelompok ini. Yesus mengonfontasikan cara berfikir yang
berdasarkan tradisi ini dengan pengertian yang jauh lebih benar tentang Hukum
Taurat”[47].
[1]
Teguh Hindarto, Yesus, Yahudi, Yudaisme
[2]
Robert dan Remy Koch, Christianity: New
Religion or Sect of Biblical Judaism Florida; A Messenger Media
Publication, p. 90
[3]
Michael Marlowe, The Semitic Style of the New Testament
[4]
DR. David Stern, Jewish New Testament
Commentary JNTP, 1998, p. 33
[5] James
H. Charlesworth, Christians and Jews in
the First Six Centuries dalam Christianity
and Rabbinic Judaism: A Parallel History of the Origins and Early Development,
Washington D.C: Biblical Archaeology Society, 2011, p. 332
[6] D.S.
Russel, From Early Judaism to Early
Christian, Philadhelphia: Fortress Press 1986, p. 14
[7]
J.J. Packer, Merrill C. Tenney, William White, JR., Dunia Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1993, hal 104-117
[8] Ibid.,
hal 104
[10] Op.Cit.,
Christianity: New Religion or Sect of
Biblical Judaism, p. 113
[11]
Ibid., hal 105-106
[12]
Op.Cit., Dunia Perjanjian Baru, hal
106
[15] James C. Vanderkam, The Dead Sea Scrolls Today, Grand Rapids Michiga: William B.
Eerdmans Publishing Company 1994, p. 71
[16] Presbyterian Elder Robert Jones, The Dead Sea Scroll & Christianity, http://www.sundayschoolcourses.com/deadsea/deadsea.pdf.,p.17
[17]
James C. Vanderkam The People of the Dead
Sea Scrolls: Essenes or Sadducees? Bible Review, April 1991
[18]
Op.Cit., The Dead Sea Scrolls Today, p. 72-87
[19]
Op.Cit., Dunia Perjanjian Baru, hal
107
[20]
Op. Cit., The Dead Sea Scrolls Today, p. 92
[21]
Op.Cit., Dunia Perjanjian Baru, hal
109
[22]
Op. Cit., The Dead Sea Scrolls Today, p. 92
[24]
Ibid.,
[25] Nehemiah Gordon, The
Hebrew Yeshua vs the Greek Jesus: New Light on the Seat of Moses from Shem
Tov’s Hebrew Matthew, Hilkiah Press 2006, p. 23
[26]
Ibid., p. 24
[27]
Ibid., p. 39-45
[28]
Ibid., p. 48
[29]
P. 48
[30]
Tim Hegg, Why Nehemia Gordon is Wrong
About Mathhew 23:3: A Response to Nehemia Gordon’s Article in Petah Tikwah (Vol
23.1 Jan-Mar 2005), 2005, p.3
[31]
Ibid.,
[33]
Ibid., p. 161
[35] Op. Cit., The Dead Sea Scrolls Today, p. 161
[36] Dr
M. D. Magee, Christianity, Jesus Christ
and the Essenes: Similarities and Differences, 1999
[37] Ibid.,
[38] Op. Cit., The Dead Sea Scrolls Today, p. 160
[39] Ibid.,
[40] Ibid., p.162
[41] Ibid.,
[42] Op.Cit., From Early Judaism to
Early Christian, p.
17
[43] Ibid.,
[44] Ibid.,
[45] E.P. Sanders, Jesus and Judaism, Philadhelphia:
Fortress Press, 1985, p. 236
[46] Op.Cit., Christians and Jews in
the First Six Centuries
dalam Christianity and Rabbinic Judaism:
A Parallel History of the Origins and Early Development, p. 347
[47] Op.Cit., Dunia Perjanjian Baru, hal 117
4 komentar:
Bapak Teguh Hindarto,
Apakah artikel tersebut di atas atau yang lain yang ada di TeguhHindarto.blogspot.com tersedia dalam bentuk PDF. Saya sangat tertarik untuk membacanya dengan penuh seksama, karena sangat bagus.
Terima kasih.
Y2O
Jika dalam bentuk pdf, baik buku ataupun artikel dikenai biaya. Jika memerlukan, dapat kontak ke email saya
terimakasih tulisan ini sangat melengkapi pemahaman saya tentang Yudaisme
Terima kasih karena telah berbagi artikel yang mencerahkan.
Posting Komentar