RESENSI DAN NOTASI BUKU,
"MESSIANIC JUDAISM: A MODERN MOVEMENT WITH AN ANCIENT PAST"
Penulis:
DR. David Stern
Penerbit:
Jewish New Testament Publications
Tahun:
2011
Tebal:
321
Sebuah pergerakan spiritual di mulai di kalangan komunitas Yudaisme dan Bangsa Yahudi di Eropa dan berkembang ke seluruh wilayah dunia. Pergerakkan ini dinamakan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Apa dan bagaimana bagaimana yang dinamakan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik)? Apakah ini sebuah pergerakkan yang berbeda dengan Kekristenan? Atau sebaliknya menantang Kekristenan untuk menegaskan identitas aslinya?
Buku berjudul Messianic Judaism: A Modern Movement With An Ancient Past (Revisi atas judul sebelumnya Messianic Jewish Manifesto) hendak memaparkan beberapa pokok penting tentang hakikat pergerakkan yang dinamakan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik) beserta beberapa landasan epistemologis yang mendasari pergerakkan ini. Buku setebal 321 halaman ini dibagi dalam tujuh bab kajian.
Pada bab pertama buku ini diberikan penjelasan mengapa menggunakan kata “Manifesto” (judul buku terbitan pertama). Beliau menjelaskan, “I call this book a manifesto because I am declaring an ideology and a program which I hope will be readily perceived, easily understood by the mind, palpable, clear, plain and obvious, with nothing hidden, concealed or obscure” (p. 8). Istilah Manifesto yang diusung oleh Stern bukan hanya memiliki muatan ideologi dan program, namun teologi yang membedakan dengan “manifesto-manifesto” lainnya, sebagaimana beliau jelaskan, “Therefore this manifesto involves not only ideology and program, but also theology” (Ibid.).
Dalam bab kedua, Stern memberikan kajian mendalam mengenai hakikat dan definisi Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik) sbb: “A person who was born Jewish or converted to Judaism, who is genuine believer in Yeshua and who acknowledge his Jewishness” (p.20). Stern tidak mengonfrontasikan antara istilah “Kristen” dengan “Messianic”, karena secara gramatikal, berasal dari istilah yang sama yaitu “Mashiakh” (Yang Diurapi). Bagi Stern, pembedaan istilah hanya untuk membedakan komunitas yang menerima Yesus (Yeshua) dari golongan Yahudi – disebut dengan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik) – dengan golongan non Yahudi – disebut dengan Gentile Christian – (p. 32).
Dalam bab ketiga, diulas mengenai historitas atau asal usul pergerakkan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Dengan asumsi dasar, “History is the key to meaning, purpose and happiness” (p. 35), maka Stern mulai membeberkan akar Kekristenan yang sebenarnya berasal dari Yudaisme. Yesus (Stern menggunakan nama Yeshua) adalah Mesias berkebangsaan Ibrani dan para rasul pun berkebangsaan serta berkebudayaan Ibrani. Dalam perkembangan waktu, kepercayaan kepada Yesus diterima oleh bangsa-bangsa non Yahudi, sehingga terjadi keragaman pemahaman yang memuncak pada terlepasnya bangsa-bangsa non Yahudi, sehingga terjadi keragaman pemahaman yang memuncak pada terlepasnya bangsa-bangsa non Yahudi dari akar Ibrani dan tradisi Semitik Yudaik.
Pada bagian ini, Stern juga mengulas hubungan tragis antara Gereja (Church) dan Yahudi (Jews) yang selalu diwarnai titik ketegangan dan kecurigaan yang memuncak dalam semangat Anti Semitisme (p. 49-55).
Pada bab keempat, Stern mendeskripsikan perlunya Messianic Judaism Theology (Teologi Yudaisme Mesianik). Alasan dasarnya, orang-orang Kristen pada umumnya meremehkan Yudaisme sementara kaum Yahudi tidak mengenal Kitab Perjanjian Baru. Kondisi ini menciptakan suatu kesenjangan teologis. Maka diperlukan sebuah wawasan teologi yang bersifat Messianic (p. 85). Karakteristik teologi yang bersifat Yudaisme Mesianik harus memperhatikan empat pendengar yaitu: Yudaisme Mesianik, Non Yudaisme Mesianik, “Kristen non Yahudi” dan “Umat Manusia di luar ketiga golongan tersebut” (p. 86).
Pada bab kelima, sebuah bahasan komprehensif yang tidak banyak disentuh dalam Gereja dan Kekristenan atau kalaupun menjadi subyek pembahasan, selalu dalam kedudukan inferior yaitu mengenai eksistensi dan relevansi Torah dalam kehidupan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Menurut beliau, jika memperbandingkan buku-buku teologia baik Kristen maupun Yudaisme, akan diperoleh fakta bahwa kedua belah akan bersebrangan pemahaman mengenai topik Torah. Dalam penelusuran berbagai buku teologi Kristen mengenai Torah, al., Augustus Strong’s Systematic Theology, hanya membahas mengenai topik Torah, sebanyak 28 halaman dari 1056 halaman (kurang dari 3%). Sementara L. Berkhof dalam bukunya Systematic Theology, hanya mengulas sebanyak 3 halaman dari 745 halaman (kurang dari 1/2%). Berbeda dengan buku-buku teologi dikalangan Yudaisme,al., Isidor Epstein’s yaitu the Faith of Judaism,mengulas mengenai Torah sebanyak 57 halaman dari 386 halaman (15%) dan Solomon Schetcher dalam Aspects of Rabbinic Theology mengulas sebanyak 69 halaman dari 343 halaman (20%). Stern berkesimpulan: ”In short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of Christian Theology” (singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen, p. 126).
Pernyataan ini menyiratkan bahwa Teologi Kristen menempatkan kajian tentang Torah, secara tidak berimbang dibandingkan dengan topik lainnya seperti Tuhan Keselamatan/Anugrah, Dosa, dll. Oleh karena alasan-alasan di atas. Stern mengulas secara mendalam mengenai istilah Torah yang secara salah selalu dimaknai sebagai Hukum (Law) yang mengikat dan membebani umat. Dalam kajian Stern, Torah lebih besar maknanya dari sekedar kata Hukum. Torah adalah Ajaran (Teaching) yang mengatur dan menjaga umat Tuhan agar hidup dalam kekudusan. Dalam bagian lain, Stern menempatkan kedudukan Yesus terhadap Torah Musa dengan sebuah ungkapan, “The phrase in the New Testament which best encompasses all of these new elements, is the Torah of Messiah” (Ungkapan dalam Perjanjian Baru yang paling mencakup semua elemen-elemen baru tersebut, adalah Torah Mesias, p. 146).
Pada bab keenam, Stern menguraikan dengan singkat konsep mengenai “kekudusan” dalam pergerakan Messianic Judaism. Bagi Stern, “kekudusan” adalah melakukan sesuatu dalam kehidupan berdasarkan Takut akan YHWH (Yir’at YHWH) dan ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya termasuk di dalamnya mengenai pemrogramman, pembangunan, pelayanan, penelitian, penulisan, pekerjaan (p. 190).
Pada bab terakhir yaitu bab ketujuh, Stern mengritik sikap kebanyakan komunitas Messianic Judaism yang tidak mempedulikan pentingnya program. Beliau mengatakan:
“The leaders in the Messianic Jewish movement are not unaware of programmatics. The progres the movement has made since the 1960’s can be understood partly in term of breadth of vision and realization of plans. Most of the leaders are pragmatists, constantly revising their plans in accordance with experience, new knowledge, newly perceive needs, feedback from what has happened so far, external sources of information, and better understanding of Scripture; and may it so continoue. Why is programmatic important? Because ‘without a vision the people perish’. According to George Ladd, this verse, exegetically, means that without a prophetic vision inspired by God the people perish. Therefore what I mean is that programmatics must spell out such a prophetic vision” (Para pemimpin dalam gerakan Mesianik Yahudi, tidak menyadari pentingnya pemrograman. Perkembangan pergerakan yang telah dimulai sejak tahun 1960-an dapat dipahami secara khusus dalam pengertian nafas dari visi dan perwujudan dari rencana-rencana. Kebanyakan para pemimpin bersifat pragmatis, terus menerus merevisi berbagai rencananya berdasarkan pengalaman, pengetahuan baru, kebutuhan yang baru, umpan balik dari apa yang telah terjadi sejauh itu, sumber informasi dari luar, dan pemahaman yang lebih baik dari Kitab Suci; demikianlah seterusnya. Mengapa pemrograman itu penting? Oleh karena tanpa visi, umat menjadi binasa. Menurut George Ladd, secara eksegetis, ayat ini bermakna, bahwa tanpa visi kenabian yang diilhamkan Tuhan, umat binasa. Apa yang saya maksud pemrograman, seharusnya dieja sebagai visi kenabian, p. 201)
Ketika beliau sampai pada ulasan mengenai pentingnya sebuah institusi sebagai wadah untuk melakukan perubahan, beliau mengatakan: “Many believers are suspicious of institutions. They are suspicious on principle – people are warm and caring, but institutions are cold and heartless, easily becoming vehicles for domination of the many by the few. Although there is a kernel of truth behind this attitude, in what follows I assume that people can stand to think about creating institutions and organizations and can see them more as tools to be used than as monsters to be feared. In fact, when I talk about institutions, I have in mind an environment of community; and by nature, community must be organic, built on interpersonal relationship. Note that the ultimate community must exist before the institutions are created; on the contrary, the purpose of the institutions is to foster community. They are also meant to foster the development of Messianic Jewish identity within the framework of Messianic Jewish community” (Kebanyakan orang curiga terhadap institusi. Mereka curiga secara prinsip, orang-orang peuh kehangatan dan kepedulian, sementara institusi dingin dan tidak berperasaan, mudah menjadi wahana penguasaan orang banyak oleh sejumlah kecil orang. Namun demikian, ada kebenaran yang dangkal dibalik sikap demikian. Berkaitan dengan persoalan di atas, saya menganggap bahwa orang dapat berpendirian untuk memikirkan penciptaan institusi dan organisasi dan dapat melihatnya sebagai sebuah alat daripada monster yang menakutkan. Kenyataannya, ketika saya berbicara mengenai institusi, saya memiliki pikiran mengenai lingkungan suatu komunitas; dan secara alamiah bahwa suatu komunitas adalah bersifat organik, membangun hubungan antar pribadi. Perlu dicatat, bahwa suatu komunitas seutuhnya, telah berdiri sebelum institusi diciptakan. Sebaliknya, institusi diciptakan untuk membantu perkembangan suatu komunitas. Mereka juga dimaksudkan untuk mendorong perkembangan identitas Mesianik Yahudi di dalam bingkai komunitas Mesianik Yahudi, p. 203).
Kajian komprehensif David Stern, memberikan dorongan atau motifasi bagi Gereja dan Kekristenan untuk mendefinisikan ulang arti panggilannya di dunia sekaligus melakukan rekonstruksi serta redefinisi terhadap sejumlah pernyataan-pernyataan iman seperti, “Apakah Yesus datang untuk meniadakan Torah?”, “Apakah Gereja menggantikan Israel?”, “Apakah ibadah Kekristenan kontemporer mendapatkan rujukan historisnya dalam Gereja Perdana?”
Dalam perkembangannya, saya lebih nyaman menggunakan istilah Judeochristianity. Saya sendiri lebih mendefinisikan Judeochristian atau Yudeo Kristen sebagai, Kekristenan yang menghargai dan mewujudkan nilai-nilai Yudaisme dan budaya Semitik sebagai akar Kekristenan mula-mula. Nilai-nilai Yudaisme tersebut diwujudkan dalam pokok kepercayaan, dalam ibadah dan dalam etika.
Yudaisme manakah yang dimaksudkan sebagai akar Kekristenan? Yudaisme Klasik atau Yudaisme Modern? Bukan Yudaisme Modern yang telah mengalami perkembangan dan dipengaruhi berbagai teori yang menolak Yesus sebagai Mesias, melainkan Yudaisme Klasik yang dimulai sejak orang Yahudi pulang dari pembuangan Babilonia pada Abad VI SM.
Apakah Yudeo Kristen adalah percampuran ajaran Yudaisme dan Kristen? Bukan! Yudeo Kristen tetap membedakan antara Yudaisme dan Kekristenan. Yudaisme berpusat pada Yahweh dan Torah. Kekristena berpusat pada Yesus dan Injil. Yudeo Kristen berpusat pada Yahweh dan Torah sekaligus pada Yesus dan Injil.
Dengan istilah Judeochristianity atau Yudeo Kristen saya maksudkan sebagai bentuk respon dan refleksi kritis atas kehadiran Messianic Judaism yaitu gerakan diantara orang Yahudi dan Yudaisme yang telah menerima Yesus (dengan sebutan Yeshua atau Yahshua atau Yehoshua serta Yahushua) sebagai Mesias Ibrani dan tetap mempertahankan budaya Ibrani[1].
Karena Messianic Judaism adalah sebuah gerakan yang tumbuh dilingkungan Yudaisme dan Yahudi, maka saya merasa bahwa saya tidak harus menyebutkan diri saya dengan sebutan Messianic Judaism sekalipun saya banyak mengadopsi dan belajar pokok-pokok pikiran dalam teologi Messianic Judaism. Saya bukan berasal dari Yudaisme dan bukan pula seorang Yahudi. Saya seorang Kristen.
Saya membuat jembatan peristilahan untuk mengekspresikan sebuah keyakinan dan kajian teologi serta devosi (ibadah) yang berakar dari warisan budaya Semitik Yudaik dengan sebutan Judeochristianity atau Yudeo Kristian. Dalam beberapa tulisan terkadang saya menggunakan istilah Kristen Semitik atau Kristen Rekonstruksi.
Situasi pergerakkan gereja-gereja yang memberikan respon terhadap Messianic Judaism di Indonesia masih simpang siur dan tanpa arah yang jelas serta penuh dengan carut marut teologi dan devosi. Buku ini turut menolong aktivis pergerakkan atau komunitas Kristen Back to Hebraic Root (kembali ke akar Ibrani) untuk menata pergerakkan di Indonesia sehingga menghadirkan shalom Tuhan. Kondisi shalom inilah yang dinamakan dalam Teologi Judaism dan Messianic Judaism dengan istilah Tiqun ha Olam atau pemulihan Semesta.
Jangan sampai kehadiran gereja-gereja yang merespon Messianic Judaism menjadi ancaman bagi gereja dan kekristenan di Indonesia hanya dikarenakan sikap berlebihan dan tafsir yang jauh dari keilmuan dan penguasaan sejarah sehingga menjadi bahan tertawaan dan tudingan gerakan orang-orang kurang cerdas bagi pihak-pihak tertentu. Sebaliknya, kehadiran gereja-gereja yang merespon dan berefleksi dengan Messianic Judaism turut membantu gereja-gereja dan kekristenan warisan tradisi Barat yang terlepas dari bingkai kebudayaan dan tafsir Semitik Yudaiknya untuk menemukan akar historisnya dan mendorong mereka melakukan sejumlah redefinisi dan rekonstruksi mendasar dalam sejumlah paradigma doktrin dan peribadatan.
END NOTE
[1] Kristen Yahudi (Judeochristianity): Pemahaman Terminologis
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/02/kristen-yahudi-judeo-christianity.html
0 komentar:
Posting Komentar