RESENSI DAN NOTASI BUKU,
"THE JACATRA SECRET: MISTERI SATANIC SYMBOL DI JAKARTA"
Nama Penulis:
Rizki Ridyasmara
Penerbit:
Penerbit Salsabila
Tahun:
2011
Tebal:
523
Novel dengan judul The Jacatra Secret dengan tebal 524 halaman memberikan banyak informasi dan kejutan luar biasa. Betapa tidak? Kita selama ini memiliki informasi standar dalam buku sejarah bahwa Jakarta sebagai pusat ibukota pada zaman kolonial adalah Kota Batavia peninggalan VOC (Vereinigde Oost-Indische Compagnie) yang disebut juga dengan Kompeni yang terbentuk pada tahun 1602. Namun kali ini kita dikejutkan dengan kenyataan yang dikemas dalam novel thriler bahwa Jakarta adalah kota Masonik yaitu organisasi rahasia dan persaudaraan yang terkenal dengan istilah Freemasonry dalam bahasa Inggris atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda.
Simbol-simbol Masonik tersebut dapat terlihat jelas dalam jejak-jejak keberadaan bangunan dan kuburan bekas Belanda seperti Stadhuis (sekarang Gedung Balai Kota Jakarta dan Museum Jakarta), Adhucstat Logegebouw(sekarang gedung BAPENNAS),Kerkhof Laan (sekarang Tempat Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober yang kemudian sejak tahun 1977 diganti menjadi Museum Taman Prasasti), Bundaran Hotel Indonesia.
Pada halaman 9, penulis novel ini memberikan pemaparan awal yang bagi saya merupakan maksud dan tujuan novel ini ditulis, dengan mengatakan fakta mengenai apa dan bagaimana Batavia sbb: “Batavia dibangun VOC menurut cetak biru Freemasonry Hindia Belanda. Kelompok persaudaraan okultis ini menyisipkan aneka simbol Masoniknya di berbagai tata ruang kota, arsitektur gedung dan monumen, prasasti makam dan lainnya, yang masih bisa disaksikan hingga sekarang”.
Kisah ini diawali sebuah prolog dengan setting historis tahun 60-an mengenai kekecewaan pimpinan tertinggi Freemasonry di Indonesia bernama Valentijn de Vries atas surat keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dengan nomor 18.1961 yang memerintahkan pembubaran organisasi-organisasi sepertiVrikjmentselaren -Loge, Moral Rearmemant Movement, Ancien Mystical Organization of Sucen Cruiser (Amorc)sehingga de Vries akhirnya menginstruksikan pada para anggotanya untuk membubarkan diri secara formal namun tetap memelihara keberadaan organisasi tersebut secara non formal.
Kisah dimulai dengan setting historis tahun 2011 diawali dengan tewasnya salah satu tokoh mazhab ekonomi Neo Liberal (NeoLib) bernama Profesor Sudrajat Djoyonegoro ditangan seorang anggota persaudaraan rahasia bernama Drago. Peristiwa pembunuhan terjadi di pelataran Gedung Balai Kota Jakarta atau Museum Jakarta yang pada zaman Belanda disebut dengan Stadhuis.
Kematian misterius ikon NeoLib tersebut menggemparkan Jakarta dan polisi cukup kesulitan memecahkan siapa pelaku pembunuhan keji tersebut. Posisi tubuh Profesor Sudrajat Djoyonegoro yang tewas di depan pintu gerbang menyisakan satu misteri yang akan menuntun pada sebuah petualangan pemecahan makna simbolik dan keterlibatan Freemasonry. Tangan kanan menunjuk di atas kepala dan pada tembok putih pagar gerbang Stadhuis tertulis sebuah anagram AS AT DUTCH. Sebelum ditembak mati, sang pembunuh mencari keberadaan sebuah medalion yang dipercayakan oleh persaudaraan rahasia kepada Profesor Sudrajat.
Adalah DR. Grant Whitemaker seorang pakar simbolog dari Universitas George Washington yang sedang berada di Jakarta untuk memenuhi undangan Conspiratus (pertemuan para peminat teori konspirasi) terlibat dalam pemecahan makna simbolik yang ditinggalkan Profesor Sudradjat. Keterlibatannya atas referensi seorang gadis peranakan Minangkabau dan Prancis bernama Angelina Dimitrea seorang mahasiswa Paska Sarjana yang sedang mendalami Psikologi Kriminal dan magang di Bareskrim Polda Metro Jaya.
Penokohan dan latarbelakang peristiwa dalam novel ini sama persis dengan novel Da Vinci Code karya Dan Brown yang menuai kontroversi dan menimbulkan skeptisme dalam kalangan Kekristenan. Dalam novel Da Vinci Code, peristiwa diawali dengan terbunuhnya seorang kurator bernama Jacques Sauniere di Louvre Prancis dengan tanda-tanda simbolik dan penuh teka teki di sekitar mayatnya. Polisi memanggil Robert Langdon seorang dosen simbologi agama dari Harvard untuk memecahkan simbol dan petunjuk misterius disekitar mayat. Usaha Langdon ditemani oleh seorang kriptografer polisi bernama Sophie Neveu. Sauniere yang tewas di museum tersebut bukan saja kakek dari Sophie melainkan seorang Grand Master disebuah kelompok persaudaraan yang dipercaya menjaga rahasia purba yang jika diungkapkan akan mengancam keberadaan Gereja. Sauniere tewas karena melindungi lokasi dimana rahasia Cawan Suci berada.
Bedanya dalam novel Da Vinci Code, Robert Langdon dan Sophie Neveu terlibat petualangan menyusuri jalanan di kota Paris hingga sampai di kediaman Leigh Teabing yang eksotik dengan diapit dua buah danau pribadi bahkan sampai pergi menuju London dan terlibat pengejaran oleh polisi, maka kisah DR. Grant dan Agelina lebih banyak berputar di kota Jakarta khususnya beberapa lokasi bangunan yang diduga sebagai pusat Freemasonry di zaman Belanda seperti Stadhuis, Adhucstat Logegebouw, Kerkhof Laan serta Bundaran Hotel Indonesia.
Upaya DR. Grant dan Agelina untuk memecahkan simbol misterius yang ditinggalkan Profesor Sudradjat menuntun mereka dalam petualangan mendebarkan yang akan mempertemukan mereka dengan sejumlah nama seperti Sally Kostova perempuan Uzbekisten yang menjadi sekretaris pribadi sekaligus istri simpanan Profesor Sudradjat, Drago sang pembunuh Profesor Sudradjat, kemudian Kasturi seorang pensiunan AURI yang tinggal di pangkalan Halim Perdana Kusuma yang setara dengan Leigh Teabing dalam novel Da Vinci Code karena dari Kasturi, DR. Grant dan Angelina banyak mendapatkan informasi penting terkait dengan misteri kematian Profesor Sudradjat.
Medalion di tangan Sally Kostova yang ditemukan secara tidak sengaja dalam tasnya paska kematian Profesor Sudradjat menjadi fokus dalam novel ini karena dalam medalion tersebut tersimpan sebuah peta mengenai lokasi yang diincar oleh para pengusaha yang berkuasa di Washington yang memiliki jaringan persaudaraan rahasia Freemasonry. Lokasi rahasia tersebut akhirnya terbongkar melalui pemecahan sandi-sandi yang rumit dari satu tempat ketempat lainnya berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan Profesor Sudradjat dalam rekaman video yang dipercayakan pada orang kepercayaan lainnya yang akhirnya terbunuh yaitu Doni Samuel.
Kisah ini diakhiri dengan tertangkapnya pembunuh Profesor Sudradjat dan terbongkarnya misteri dibalik medalion dengan sebuah pengejaran yang membawa para pembaca novel ini pada sebuah lorong-lorong rahasia di bawah tanah Jakarta yang telah dibuat kaum Freemasonry Belanda yang tidak banyak diketahui banyak orang di Jakarta.
Novel ini tidak hanya berkisah mengenai bahaya konspirasi kaum Freemasonry dengan setting kota Jakarta lama yaitu Batavia namun di dalam novel ini banyak dikaji mengenai seluk beluk Batavia dan misteri simbol-simbol yang terpampang di beberapa lokasi penting seperti Stadhuis, Adhucstat Logegebouw, Kerkhof Laan serta Bundaran Hotel Indonesia yang luput dari pemantauan buku-buku dan kajian sejarah di negeri ini. DR. Grant yang menjadi nara sumber pemaparan latar belakang Batavia dan simbol-simbol Masonik rupanya mewakili pemikiran penulisnya yaitu Rizki Ridyasmara yang berusaha untuk meyakinkan pembacanya akan keberadaan dan keterkaitan Freemasonry di Indonesia sejak keberadaan VOC hingga jaringan Internasional yang berusaha membuat negeri Indonesia terpuruk dalam kelumpuhan ekonomi, sosial, politik, kebudayaan.
Namun sayangnya banyak uraian dan pemikiran penulisnya yang diselipkan dalam ucapan-ucapan tokoh DR. Grant Whitemaker dan Kasturi yang bias dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara historis maupun teologis khususnya ketika Kekristenan dihubung-hubungkan dengan keberadaan Freemasonry dan darimana Freemasonry berakar.
Benarkah VOC merupakan organisasi layar Freemasonry sebagaimana dituduhkan dalam Novel the Jacatra Secret? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita akan mengkaji secara singkat apa dan bagaimana Freemasonry dan pengaruhnya di Indonesia pra Kemerdekaan. Tanggapan kritis berikut ini saya petikkan dalam artikel saya terkait Freemasonry yang berjudul “Apakah VOC Merupakan Organisasi Layar Freemasonry?” [1] dan “Apakah Ideologi Pancasila Produk Freemasonry?” [2]
Apa dan bagaimanakah Freemasonry tersebut? Freemasonry adalah organisasi persaudaraan (fraternal organisation) yang muncul dari asal usul yang tidak jelas yaitu sekitar Abad XVI dan XVII. Freemasonry sekarang ini muncul dalam beragam bentuk di seluruh dunia dengan keanggotaan sekitar 6 juta termasuk di Skotlandia dan Irlandia sebanyak 150.000 dan lebih dari ¼ juta berada di wilayah yuridiksi Kesatuan Loji Agung Inggris (United Grand Lodge of England) serta sebanyak 2 juta berada di Amerika Serikat[3].
Persaudaraan diorganisir secara administratif ke dalam Loji Agung (Grand Lodges) atau Orient-orient yang masing-masing memerintah berdasarkan wilayah yuridiksinya yang terdiri dari logji-loji bawahan. Berbagai Loji Agung mengakui keberadaan satu sama lain atau menolaknya berdasarkan kesetiaan kepada penunjuk (Loji agung biasanya akan menganggap Loji Agung lainnya yang berbagi penunjuk yang sama, sebagai anggota tetap dan mereka yang tidak akan dianggap sebagai bukan anggota atau penyusup).
Ada juga anggota-anggota tambahan yang organisasi-organisasinya berhubungan dengan cabang utama Freemasonry namun dengan adminsitrasi yang berdiri sendiri. Freemasonry menggunakan ungkapan-ungkapan kiasan pekerjaan perkakas tukang batu dan perkakas-perkakas lainnya pada latar belakang kiasan bangunan Bait Suci Salomo, sebagai apa yang digambarkan baik oleh para anggota Mason maupun pengritiknya, “sebuah sistem moralitas yang diselubungi dalam kiasan dan gambaran simbolik”[4].
Dari definisi dan deskripsi di atas kita mendapatkan beberapa kata kunci penting yaitu “persaudaraan”, “perkumpulan rahasia”, “sarat dengan tanda simbolik”, “anggota tersebar luas di berbagai negara”.
Freemasonry lebih kepada sebuah perkumpulan esoteris (penekanan aspek batin) yang memiliki pola tertutup dan rahasia. Freemasonry kerap mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah prinsip yang mengakomodir seluruh gagasan yang diajarkan dalam semua agama
Freemasonry di Jaman Pra Kemerdekaan Indonesia
Apa yang dikenal orang saat ini dengan Freemasonry atau dalam bahasa Belanda Vritmejselarij ternyata sudah masuk ke Indonesia sejak pemerintahan kolonial khususnya VOC. Vritmetselarij sebenarnya hanyalah salah satu dari organisasi kebatinan yang merebak di Indonesia pra kemerdekaan.
Setidaknya ada dua teori mengenai asal usul Freemasonry. Pertama, Jika merujuk pada buku DR. Th. Stevens, “Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” diperoleh keterangan bahwa Freemasonry telah masuk di zaman VOC dengan ditandai berdirinya berbagai Loji sebagai pusat kegiatan mereka.
Sebelum tahun 1756 di Hindia Timur telah berkembang pengikut Mason Bebas. Sejarawan Hageman mengatakan bahwa keberadaan para Mason di Batavia berasal dari Inggris[5].
Sejarawan Van der Veur mengatakan bahwa loji pertama yang didirikan adalah La Choisie di Batavia tahun 1762 atas prakarsa J.C.M. Radermacher (1741-1780) seorang syahbandar Batavia. Beliau adalah anak Suhu Agung pertama dari Tarekat Mason di Belanda bernama Joan Cornelis Radermacher. Tidak ada kesepakatan diantara sejarawan mengenai persisnya lembaga ini didirikan. Ada yang mengatakan 1762 (Van der Veur dan Gelman Taylor) dan ada yang mengatakan 1764 (literatur Masonik). Kemudian terjadi pembagian antara Loji Solomon di Benggala India dan Loji La Choisie.
Sejarawan de Geus mengatakan bahwa pembangunan loji La Choisie, dikatakan sebagai langkah berani karena situasi jaman tersebut keberadaan Tarekat Mason di musuhi baik di negeri induknya di Belanda maupun di Batavia dan oleh para rohaniawan gereja, Tarekat Mason Bebas dianggap sebagai “mahluk-mahluk berbahaya bagi negara dan gereja” [6].
Sementara sejarawan Gelman Taylor memandang bahwa keberadaan Tarekat Mason Bebas khususnya pada saat pendirian loji La Choisie terjadi karena munculnya perkembangan mestizo (keturunan darah campuran) yang mencapai kejayaan di Abad XVIII sehingga menjauhkan mereka dari kebudayaan asli di Belanda dan membuat mereka terkucil.
Gubernur Jendral van Imhoff (1743-1750) ingin menguasai koloni dagang tersebut menjadi koloni warga Belanda di Jawa. Van Imhoff banyak mendatangkan petani Belanda dan memajukkan modernitas di Hindia Timur sehingga menggeser kedudukan para mestizo. Kebijakkan van Imhoff diteruskan oleh Jacob Mossel (1750-1761) dengan memberikan pembatasan-pembatasan kepemilikan oleh para mestizo.
Keberadaan Tarekat Mason menjadikan seseorang yang bergabung ke dalamnya (termasuk para mestizo) memiliki perilaku kebelandaan dan membuat seseorang memiliki status tinggi karena dapat dekat ke elit pemerintahan[7]
Loji ini berdiri tidak lama. Ada yang mengatakan Loji ini sudah berhenti tahun 1766, ada yang mengatakan 1767 (Hageman) dan ada yang mengatakan bahwa sebelum menerima surat konstitusi tahun 1770, loji itu telah tidak berfungsi (De Visser Smits). Tidak ada kata sepakat mengenai berhentinya keberadaan loji tersebut. Ada yang mengatakan karena larangan pemerintah. Ada yang mengatakan ketidakmampuan menampung kehadiran anggota yang pluralis sebagaimana pernah dilakukan Radermacher[8] .
Loji “La Fidele Sincerite” (1767) dan Loji “La Vertueuse” (1769)
Keanggotaan loji La Fidele Sincerite sebagian besar dari La Choisie maka dikatakan bahwa loji ini adalah penerus dari La Choisie (hal 66). Loji ini diresmikan oleh Abraham van der Weyden wakil Suhu Agung Provinsial di Batavia dan peresmian dilaksanakan di sebuah losmen dengan nama Heerenlogement tempat dimana para Masonik La Choisie dulunya kerap mengadakan pertemuan.
Beberapa peneliti Masonik menyimpulkan bahwa keberadaan loji La Fidele Sincerite sebagai tempat orang kurang berada (tempat pelarian bagi para tentara, burger, orang mardika, pelaut serta pegawai VOC menengah ke bawah) sehingga kerap menimbulkan perselisihan karena perbedaan status dan agama sehingga terciptalah lojiLa Vertueuse yang lebih homogen dalam hal status sosial. Ketua pertamanya bernama Hasselaar seorang administratur gudang gandum[9].
Hageman menilai peresmian La Fidele Sincerite 1772 bukan oleh Suhu Agung melainkan hanya wakilnya Abraham van der Weyden mrupakan ketidaan hubungan yang mendalam antara Loji Agung dan Loji Hindia Timur. Heren Zeventien (Tuan-tuan Tujuhbelas yang merupakan penentu kebijakan kompeni) tidak membolehkan keikutsertaan loji Hindia Timur di luar sepengetahuan mereka[10].
Daftar keanggotaan Tarekat Mason Bebas di Loji La Fidele Sincerite sangat beragam mulai dari pegawai pemerintahan sampai, tentara, pengacara, swasta sebanyak 48 anggota[11]. Kedudukan mereka lebih rendah dari anggota di Loji La Vertueuse meskipun jumlahnya hanya 38 anggota[12].
Pada tahun 1815 loji La Fidele Sincerite pindah dari Amanusgracht ke Tijgergracht dan diresmikan oleh pemerintahan Ingris melalui Thomas Standford Raffles seorang anggota Mason yang kemudian sebulan kemudian membuat dia naik pangkat dan diangkat sebagai meester (suhu) di loji Vriendschap di Surabaya. Tahun 1819 dipindah ke sebuah rumah anggota Mason dan sampai tahun 1837 menjadi tempat pertemuan loji.
Tahun 1786 merupakan tonggak keemasan Freemason karena peresmian gedung baru diresmikan oleh Gubernur Willem Alting dihadiri oleh para pejabat tinggi. Freemason mulai dkenal khayalak [13].
Pelukis Prancis bernama Piron sekitar tahun 1794-1795 melukis 12 gambar simbolik bercorak Masonik dan dipindah ke gedung De Ster in Het Oosten (loji Bintang Timur). Lukisan tersebut melambangkan: hikmat, kekuatan, keindahan, kebajikan, amal, persatuan,kehati-hatian, pengharapan, keadilan, kedamaian, keadilan, sifat berdiam diri”[14]
Berturut-turut kemudian didirikan loji-loji Freemasonry atau Vrijtmetselarij atau Tarekat Mason Bebas antara lain dengan nama: Loji La Constante et Fidele di Semarang (1801), Loji De Vrienschap di Surabaya (1809), Peleburan loji –loji di Batavia ke dalam loji baru De Ster in het Oosten (1837), Loji “Mata hari” di Padang (1858)[15].
Kedua, dengan merujuk pada buku karya Iskandar P. Nugraha yang mengulas dengan cerdas sejarah dan perkembangan gerakan kebatinan atau Teosofi di masa kolonial di Indonesia dalam bukunya berjudul, “Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia”. Vritmetselarij (Freemasonry) hanyalah salah satu anggota organisasi Teosofi yang berkembang pada waktu itu.
Menurut Iskandar P. Mugraha, Gerakan Teosofi didirikan pertama kali di New York, Amerika Serikat pada tahun 1875 oleh seorang perempuan bangsawan keturunan Rusia bernama Helena Petrovna Blavatsky yang dibantu dua orang Amerika bernama Henry Steel Olcoot dan W.Q. Judge.
Selanjutnya Henry Steel Olcoot diangkat menjadi presiden pertama perkumpulan tersebut yang kemudian diberi nama Theosophical Society (TS). Gerakan ini selalu menekankan bahwa anggotanya berkewajiban membuat pikiran merdeka dan bekerja demi perubahan rakyat yakni lwat cara batin untuk melawan segala hawa nafsu manusia. Menurut mereka agama-agama konvensional tidak lagi memiliki pengaruh[16]
Melihat sifat gerakannya, TS merupakan suatu gerakan Hindu Baru (Neo Hindu Movement) yang terinspirasi mistisisme-esoteris Yahudi bernama Kabbala dan Gnosticsm, suatu ilmu rahasia keselamatan serta bentuk-bentuk okultisme Barat, demikian Iskandar Nugraha memberikan ulasan pembuka[17]
Pada tahun 1885-1891 organisasi TS melancarkan pengaruhnya ke Barat dan Timur India. Pemikiran-pemikiran H.P. Blavatsky dituangkan dalam majalah The Rheosophist. Pada tahun 1895 dimulailah babak perkembangan baru dengan bergabungnya Annie Besant. Berkat kepandaiannya beliau menggabungkan prinsip kebatinan Timur dan Barat serta kelihaiannya dalam mensosialisasikan gerakan dalam berbagai propaganda maka pengaruh gerakan Teosofi bukan hanya di India melainkan sampai ke Hindia Belanda (Indonesia) dan berbagai dunia.
Berbagai organisasi didirikan di bawah Theosophical Society (TS) yang dipimpin Annie Besant termasuk di Hindia Belanda seperti Perkumpulan Freemasonry, Moeslim Bond, Theosofische Wereld Universiteit dan The Liberal Catholic Church[18].
Gerakan Teosofi berkembang pertama kali di Pekalongan pada tahun 1883 di bawah kepemimpinan Baron van Tengnagel. Tahun 1901 dimulai babak baru organisasi Teosofi di Hindia Belanda seperti di Semarang lalu Surabaya (1903), Yogyakarta (1904) serta Surakarta (1905).
Dari kedua teori dan pendekatan di atas kita dapat simpulkan bahwa berbagai aktifitas gerakan yang bernama Freemasonry atau Vritmejselarij bisa jadi datang dalam dua gelombang atau tahapan. Tahapan pertama yaitu di masa VOC pada tahun 1700-an dimana pesertanya berasal dari golongan pegawai VOC dan priyayi Jawa. Tahapan kedua yang berasal dari Gerakan Teosofi di India yang masuk pada tahun 1800-an. Bisa jadi, pada akhirnya organisasi yang masuk pertama kali melebur dalam Gerakan Teosofi dikarenakan kesamaan karakteristik pemikiran dan perjuangan dibidang kebatinan dan aspek esoteris.
Orang-orang Indonesia yang menjadi anggota Freemasonry
DR. Th. Stevens, menuliskan bahwa pada zaman Jepang sudah ada beberapa orang Indonesia bergabung dengan Tarekat Mason Bebas sebanyak 50 orang[19].
Raden Saleh anggota Mason Bebas ditahbiskan tahun 1836 di Loji Eendracht Maakt Macht. Abdul Rahman buyut Sultan Pontianak tahun 1844 menjadi anggota Mason di Loji Vriendschap dan dia adalah Muslim pertama yang ikut Mason Bebas[20]. Bupati Surabaya bernama R.A. Pandji Tjokronegoro menjadi anggota tahun 1908.
Loji Vriendschap merupakan pusat anggota Mason dari Indonesia dan pada tahun 1870 didirikan Loji Mataram di Jawa. Pangeran Soerjodilogo (keturunan Paku Alam) tahun 1871 menjadi anggota Mason. Persemian Loji Mataram dilaksanakan dengan rumah pinjaman dari HB VI di Malioboro[21].
Abdurachman Surjomihardjo memberikan deskripsi pengaruh Freemasonry di wilayah Yogyakarta sbb: “Sejak akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1891, beberapa anggota gerakan itu telah berhubungan dan menanam bibit di lingkungan keluarga Paku Alam. Paku Alam V telah resmi menjadi mason yang kemudian diikuti oleh Paku Alam VI dan Paku Alam VII secara aktif”[22]
Salah satu keluarga Paku Alam yaitu K.P.H Notodirdjo menjadi anggota Mason sekaligus sebagai ketua pengurus besar Boedi Oetomo. Abdurachman Surjomihardjo kembali menjelaskan: “Sejak awal paham Budi Utomo memang berhubungan dengan Mason. Ketua Budi Utomo yang pertama, K.R.T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar di Banyumas, mempunyai hubungan perkawinan dengan keluarga Paku Alam”[23]
Raden Sujono menulis di Indisch Maconniek Tijdscrift (IMT) menulis bahwa tahun 1928 ada 43 orang Jawa ikut Mason Bebas. Empat dari keturunan raja, dua puluh pegawai pemerintah orang indonesia, sepuluh memegang jabatan yang biasanya dipegang orang Eropa dan tujuh berprofesi sebagai dokter hewan[24].
Iskandar P. Nugraha mengulas berbagai tokoh pergerakan Indonesia banyak yang memiliki latar belakang pendidikan Teosofi seperti Tjipto Mangoenkoesoemo (Pendiri Boedi Oetomo, 1908), Douwes Dekker (pendiri Indische Partij, 1912), bahkan Kiai Haji Agus Salim.
Dalam komentarnya yang dikutip oleh Solichin Salam dalam bukunya Hadji Agus Salim, Hidup dan Perdjuangannja, Agus Salim mengatakan simpatinya terhadap organisasi TS sbb, “Saya bergabung ke dalam Theosophical Society karena saya melihat mereka mengakomodasi banyak kaum Muslimin, khususnya Muslim yang diasingkaan karena pendidikan barat-nya namun masih berpegang kuat pada tradisi. Mereka adalah orang-orang yang tertarik pada Theosophical Society”[25]
Sekalipun Ir Soekarno bukan anggota Teosofi namun melalui ayahnya, R. Soekemi beliau memperoleh akses pemikiran-pemikiran Teosofi dan pemikiran besar tokoh dunia lainnya sebagaimana Iskandar P. Nugraha mendeskripsikan, “Sukarno bukan anggota Gerakan Teosofi, namun berkat keterlibatan ayahnya, ia dapat menempa keintelektualannya lewat Gerakan Teosofi”[26]
Keberadaan Loji Sebagai Pusat Kegiatan Teosofi
Dan Sikap dan Reaksi Negatif Terhadap Aktivitas Loji
Dalam banyak buku-buku yang diterbitkan oleh polemikus agama, istilah “Loji” menjadi momok dan perhatian penting dan dihubung-hubungna dengan rumah pemanggilan arwah. Apa dan bagaimana loji itu?
Loji di lingkungan Gerakan Teosofi diartikan sebagai suatu perkumpulan dengan jumlah minimal anggota tujuh orang. Loji harus mendapat izin dari perkumpulan induk yang berpusat di Adyar, India, dengan bukti berupa akta yang ditandatangani Presiden Gerakan Teosofi. Loji-loji itu melakukan aktifitas sesuai dengan apa yang digariskan pusat. Kegiatan utama mereka masih terbatas pada bidang mistis dan kebatinan[27]
Loji sebagai pusat kegiatan Freemasonry kerap mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat dengan sebutanOmah Setan karena kerap dijadikan media pemanggilan arwah. Abdurachman Surjomiharjo mendeskripsikan sbb: “Pertemuan kaum mason diadakan di loge atau Loji Mataram di Jalan Malioboro. Pada waktu Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia, gedung ini dipakai oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Loji Mason di kalangan masyarakat bumiputera disebut sebagai ‘Rumah Setan’. Upacara penerimaan anggota baru mason diliputi oleh keanekaan dan kerahasiaan. Upacara ini diadakan di loji, dalam bahasa Belanda disebut Huis van Overdenking atau dalam bahasa Jawa disebut Omah Pewangsitan”[28]. Beberapa pengikut Freemasonry (Vrijmetselarij) membela bahwa istilah “rumah setan” merupakan pengrusakan istilah dari “rumah pamagsitan” atau “rumah permenungan”[29].
Kesimpulan yang sama diutarakan Iskandar P. Nugraha mengenai reaksi masyarakat dalam perkembangan Gerakan Teosofi sbb, “Gerakan Teosofi di Hindia Belanda juga tak luput dari kecaman dan reaksi dari berbagai pihak. Selain datang dari golongan agama konvensional seperti Islam dan Katolik, ternyata reaksi juga datang dari pihak pemerintah Belanda serta golongan nasionalis Indonesia[30] Iskandar melanjutkan dengan menganalisis akar persoalan reaksi masyarakat tersebut, “Corak kegiatan yang cenderung mengambil anasir-anasir budaya asli (Jawa) berwarna Hindu-Budha telah menjadi faktor penyebab timbulnya ketidaksenangan sementara di kalangan Islam di Hindia. Selain dikecam karena warna Hindu-Budhanya, sebagian kalangan Islam juga menuduh orang Belanda dalam Gerakan Teosofi menggunakan kedok organisasi untuk propaganda menyiarkan agama Kristen di kalangan Muslim Indonesia”[31]
Sebagaimana penulis novel ini mengatakan, “Semua deskripsi tata ruang kota, arsitektur museum, monumen dan prasasti makam dalam novel ini adalah NYATA” (hal 9) maka dalam buku saya APAKAH VOC ORGANISASI LAYAR FREEMASONRY secara khusus saya berupaya memisahkan antara mana yang FAKTA dan mana yang FIKSI dalam novel ini. Bahkan apa yang diyakini sebagai fakta dan realita oleh penulis novel ini saya buktikan sebagai fiksi karena didasarkan pada kajian yang distortif dan subyektif.
End Notes
[1] Apakah VOC Merupakan Organisasi Layar Freemasonry?” http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/08/resensi-dan-tinjauan-kritis-terhadap_8480.html
[2] Apakah Ideologi Pancasila Produk Freemasonry?
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/05/apakah-ideologi-pancasila-produk.html
[3] Freemasonry
http://en.wikipedia.org/wiki/Freemasonry
[4] Ibid.,
[5] Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, Jakarta: Sinar Harapan 2004, Ibid., hal 56
[6] Ibid., hal 60
[7] Ibid., hal 62-63
[8] Ibid., hal 65
[9] Ibid., hal 69
[10] Ibid., hal 70
[11] Ibid., hal 73-75
[12] hal 75
[13] Ibid., hal 90
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hal 90-138
[16] Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia, Depok: Komunitas Bambu 2011, hal 5
[17] Ibid.,
[18] Ibid., hal 7
[19] Ibid., hal 299
[20] Ibid., hal 300
[21] Ibid., hal 301
[22] Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, Depok: Komunitas Bambu 2008, hal 49
[23] Ibid.,
[24] Op.Cit., Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, hal 314
[25] Op.Cit., Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia, hal 32
[26] Ibid., hal 31
[27] Ibid., hal 9
[28] Op.Cit., Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, hal 51
[29] Op.Cit., Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, hal 320
[30] Op.Cit., Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia, hal 90
[31] Ibid., hal 91
0 komentar:
Posting Komentar