RSS Feed

TERORISME, SEBUAH PROBLEM IDEOLOGIS

Posted by Teguh Hindarto




Peristiwa penumpasan aksi terorisme sepanjang selasa hingga rabu (7-8 Mei 2013) lalu di Margaasih (Bandung), Batang (Semarang) serta Kutowinangun (Kebumen) menyentak kesadaran kita bersama bahwa terorisme masih menjadi ancaman bagi masyarakat dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Terorisme tidak melulu dihubungkan karena faktor-faktor agama. Ada terorisme berlatar belakang ideologi politik maupun ideologi komunis. Paul Wilkinson, dalam bukunya Contemporary Research on Terrorism menitik beratkan studi terorisme pada ideologi. Dalam surveynya pada tahun 1968-2004 diperoleh data bahwa aktivitas terorisme tidak melulu berhubungan dengan agama. Bisa karena ideologi non agama seperti komunisme (20%) maupun politik yaitu separatisme nasionalis (31%). Sementara yang bermotif agama sekitar 14%[1]


Sekalipun laporan Global Terrorism Database yang diprakarsai oleh the START Center at the University of Maryland menyatakan angka korban terorisme semakin menurun sejak aksi terorisme 9 September[2], namun aktifitas terorisme bukan mati sama sekali. Khususnya aktifitas terorisme dengan basis agama.



Mengapa Aksi Teroris Tetap Eksis?

Tahun lalu (2012) saya pernah menuliskan kepesimisan bahwa terorisme berlatarbelakang ideologi agama akan padam dengan tewasnya Osama Ben Laden, “Banyak orang yang menyangsikan bahwa kematian Osama adalah akhir dari radikalisme dan terorisme dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam hal ini Islam. Pesimisme ini nampak dari beberapa pernyataan para pakar al., Julian Lindley dari Catham House di London mengatakan: “Sementara kita di Barat mungkin puas telah memberi keadilan pada seorang teroris, banyak yang masih akan melihat Usamah sebagai martir. Jangan salah, kaum jihadis akan bereaksi terhadap ini”. Demikian pula Roland Jacquard kepala Penelitian Terorisme Internasional dari Paris menyatakan kepada radio RTL sbb: “Bagaimana dia tewas dalam operasi militer menunjukkan akan ada konsekuensi penting di masa mendatang. Akan ada seruan jihad, dia masih tetap menjadi martir sejati bagi organisasi itu”. Bahkan dalam salah satu forum Islam muncul pernyataan,”Usamah mungkin terbunuh tapi seruannya tentang jihad tidak akan pernah mati. Saudara-saudara, tunggu dan lihatlh, kematiannya akan menjadi berkah terselubung”[3]. Peristiwa penyergapan pelaku terorisme sebagaimana terjadi Bandung, Semarang, Kebumen membuktikan kepesimisan padamnya aksi terorisme.


Mengapa saya pesimis? Karena persoalan terorisme bukan dikarenakan faktor-faktor yang yang menjadi kegemaran para komentator dan analisator untuk menjadikannya sebagai variabel yaitu kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Jika faktor pendidikan yang dipersalahkan, maka itu dalil yang sangat lemah. Rivandra Royono membuktikan justru para pelaku terorisme adalah orang terdidik. Dengan mengutip pandangan Marc Sageman dari  the Foreign Policy Research Institute yang menemukan bahwa dari 400 anggota Al Qaedah yang berhasil ditangkap, sebanyak ¾ dari mereka memiliki kelas ekonomi dan pendidikan yang cukup. Dengan mengutip analisis ekonom bernama  Efraim Benmelech dari Harvard University dan Claude Berrebi of the RAND Corporation, ditemukan fakta bahwa pelaku bom bunuh diri di Palestina sejak tahun 200-2005 adalah orang-orang terdidik dengan baik[4]. Pelaku teror bernama Azahari bergelar Doctor of Philosophy (Ph.D). Gelar akademik ini memberikan gambaran status sosial ekonomi dan kemampuan akademik yang memadai sehingga menggugurkan asumsi bahwa kemiskinan dan rendahnya pendidikan sebagai akar kemunculan terorisme.

Sebagaimana ulasan tahun 2012, saya masih mempercayai bahwa akar persoalan terorisme adalah Ideologi karena, “Ideologi tidak akan mengalami kematian oleh apapun termasuk senjata pemusnah. Ideologi ini dibangun atas dasar pembacaan teks Kitab Suci dan bukti-bukti sejarah tokoh pendiri agama”[5]. Karena akar persoalan terorisme adalah ideologi maka tidak mengherankan eksistensi terorisme masih akan menjadi momok di tengah masyarakat Indonesia ke depannya. Kelompok teroris bukan hanya melakukan rekrutmen dan pelatihan teknis untuk melakukan aksi-aksi terorisme melainkan akan memberikan landasan ideologis terhadap aksi-aksi tersebut sebagai bentuk kewajiban religius sehingga mereka yang terperangkap dalam jejaring kelompok teroris akan merasa bahwa yang mereka lakukan bukan sebuah kejahatan melainkan sesuatu yang mendatangkan pahala secara religius.

Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Rafli Amar dalam siaran pers di Metro TV kamis kemarin (6 mei) mengatakan, "Upaya pengembangan sel teroris tengah berlangsung". Pernyataan ini menyadarkan kita bahwa kelompok teroris masih ada dan sedang mengembangkan jaringan khususnya di kalangan generasi muda yang progresif dan revolusioner. Selain penanaman nilai-nilai ideologis, mereka akan menjadikan isyu-isyu sensitif seperti peristiwa Rohingnya, Myanmar yang mengemuka dan konflik Israel Palestina sebagai bumbu penyedap sekaligus.

Upaya Pencegahan Aksi Teroris Secara Sinergis

Karena aksi terorisme merupakan problem ideologis, maka upaya pencegahan terhadap ideologi terorisme adalah dengan kontraideologi. Upaya kontraideologi dapat dilakukan dalam beberapa cara.

Pertama, dengan melakukan dekonstruksi tafsir terhadap sejumlah teks Kitab Suci yang rawan untuk dijadikan pembenaran sejumlah aksi terorisme khususnya Jihad. Buku karya Ashgar Ali, Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi Damai Dalam Islam[6]memberikan kupasan dari perspektif yang berbeda mengenai makna jihad dalam Islam sebagaimana ditafsirkan oleh kalangan-kalangan fundamentalis. Proses dekonstruksi tafsir bukan hanya berhenti dalam wujud penerbitan buku melainkan sosialisasi dekonstruksi tafsir oleh para rohaniawan dan pemikir Islam di lembaga-lembaga pendidikan dan perkumpulan ibadah.

Kedua, melakukan internalisasi (pembatinan) nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai warisan bapak pendiri bangsa sekaligus norma dasar (groundnorm) kehidupan berbangsa yang bhineka alias pluralitas, baik dalam kepercayaan agama dan suku serta budaya. Pancasila, sebagaimana Ir. Soekarno katakan saat berpidato di hadapan BPUPKI, “Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi...Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita”. Kita garis bawahi istilah Weltanschauung (pandangan hidup).

Kita harus kembalikan Pancasila bukan dalam makna politis melainkan sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia karena Pancasila adalah nilai-nilai yang digali dalam sikap kehidupan Bangsa Indonesia sejak sebelum merdeka. Jika para guru dan pendidik serta orang tua menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara, maka sikap saling menghargai pluralitas keagamaan, kesukuan, kebudayaan dan menegakkan kesatuan bersama menghadapi musuh-musuh yang hendak menghancurkan negara akan tertanam secara alamiah.

Apapun agamanya, setiap insan Indonesia harus menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan gaya hidup. Nilai-nilai Pancasila jangan hanya menjadi produk hafalan mekanis siswa namun diarahkan pada aktualisasi konkrit dalam kasus-kasus nyata keseharian. Dengan demikian, proses internalisasi akan terjadi dengan sendirinya dan menjadi bagian dari pandangan hidup dan gaya hidup sepanjang hayat. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mencegah terjadinya penistaan agama, mencegah penistaan kesukuan dan kebudayaan yang berbeda, mendorong penyelesaian masalah dengan diksusi dan argumentasi untuk mencapai mufakat, mendorong untuk menjaga kesatuan bangsa dalam keberbedaan agama, suku dan bahasa serta mendorong semua elemen bangsa untuk menghadirkan keadilan sosial di negara yang dibangun bersama ini.

Ketiga, mengawasi dan memblokir berbagai gagasan Anti Pancasila. Ideolog-ideolog pendukung terorisme selalu menebar gagasan provokatif yang menistakan eksistensi Pancasila baik melalui buku-buku cetak maupun jejaring sosial maupun situs-situs internet. Sayangnya, kementrian telekomunikasi lebih kerap melakukan blokir terhadap situs-situs yang hanya menyerang simbol-simbol keagamaan (kritik agama) serta moralitas (pornografi) namun luput melakukan pemblokiran terhadap tulisan-tulisan yang dapat menjadi benih berkembangnya kebencian dan aksi terorisme. Bahkan saya sempat keberadaan buku-buku provokatif yang ditulis kalangan fundamentalis beredar bebas di toko-toko buku terkemuka di Indonesia.

Memang, disatu sisi upaya pembredelan atau pemblokiran di atas akan bertentangan dengan semangat kebebasan berpendapat yang menjadi jargon Reformasi sebagaimana isyu-isyu Hak Azasi Manusia. Namun dalam konteks pencegahan aksi terorisme  yang membahayakan generasi muda dan keselamatan bangsa, langkah-langkah tersebut perlu dipertimbangkan dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai hak asasi manusia.

Keempat, membangun kesadaran masyarakat untuk menjadikan terorisme adalah musuh bersama. Aktifitas terorisme mencederai nilai-nilai agama, merusak kohesi sosial, menciptakan ketakutan, dan yang lebih berbahaya adalah menimbulkan kegelisahan ekonomi (economic unrest) karena orang takut berinvestasi di sebuah wilayah yang dilanda terorisme. Dengan menyadarkan pada fakta-fakta tersebut di atas, diharapkan masyarakat menjadi sadar akan bahaya terorisme, bukan hanya bagi kelompok tertentu yang disasar kelompok teroris (kepentingan Barat dan sekutunya sebagai lawan) namun bagi masyarakat secara keseluruhan. Bukankah berbagai tragedi peledakkan bom seperti di J.W. Marriot dan Ritz Carlton di Jakarta serta tempat wisata di Bali beberapa tahun lalu bukan hanya memakan korban yang menjadi target teroris namun juga masyarakat Indonesia yang tidak ada hubungannya dengan sasaran kebencian mereka.

Kelima, membangun kewaspadaan masyarakat terhadap aktivitas mencurigakan di sekeliling mereka terkait terorisme, khususnya terhadap para pendatang baru (newcomer). Pelaku terorisme memiliki tingkat survive (bertahan hidup) dan adaptive (penyesuaian) yang tinggi, baik di wilayah urban (perkotaan) maupun pedesaan (suburban). Penangkapan di tiga tempat beberapa hari lalu (Bandung, Semarang, Kebumen) berada di lokasi pedesaan yang cukup padat penduduknya. Oleh karenanya pemangku jabatan lingkungan (RT dan RW) maupun kepala desa harus memberikan berbagai penyuluhan dengan melibatkan anggota kepolisian setempat untuk memberikan wawasan mengenai antisipasi kegiatan teroris.

Upaya Penindakan Aksi Teroris

Pemerintahan melakukan penindakan aksi terorisme melalui sebuah detasemen khusus bernama Densus 88. Landasan hukum penindakan yang dilakukan Densus 88 didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002[7], yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[8].

Penetapan undang-undang di atas bukan hanya menjadi landasan hukum bagi Densus 88 melakukan tindakan pemberantasan terorisme, namun juga membatasi tugas dan wewenang Densus sesuai aturan hukum yang berlaku.

Kerap beredar komentar dan opini di masyarakat yang akhir-akhir ini kerap melemahkan Densus, mulai dari provokasi pembubaran Densus 88 yang melanggar HAM dan tindakan penembakkan mati yang diterapkan terhadap terduga pelaku terorisme. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa terorisme adalah aksi kejahatan luar biasa yang menuntut penindakan yang luar biasa pula. Apa jadinya nasib aparat kita jika pelaku terorisme yang terlatih dan bersenjata mematikan (senapan dan bahan peledak) dihadapi dengan cara-cara biasa?

Dalam kasus penindakan aksi terorisme di Bandung, Semarang dan Kebumen telah dilakukan langkah-langkah prosedural berupa himbauan persuasif untuk menyerah sebagaimana disampaikan Kapolres Kebumen Ajun Komisaris Besar Heru Trisasono, “Ada tiga terduga teroris yang tewas akibat melawan petugas. Mereka bertahan di sebuah rumah dengan melancarkan serangan balasan. Padahal, berkali-kali diminta untuk menyerah tetapi melawan”[9]. Bahkan Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Rafli Amar mengatakan, “Saat melakukan olah TKP, ditemukan granat yang diatur sedemikian rupa dalam bentuk jebakan, bila seseorang masuk, kemudian talinya tertarik maka melukai orang yang menariknya. Peennya(bom) sudah ditarik”[10].

Maka sungguh tidak relevan himbauan menyerah yang dibalas dengan perlawanan berupa tembakan, harus diakhiri dengan negosiasi dan penangkapan normal. Eksekusi di tempat menjadi solusi akhir tentunya. Faktanya, yang tidak melakukan perlawanan dan menyerah tetap dibiarkan hidup. Selayaknyalah komentar-komentar dan opini kita jangan sampai melemahkan tugas-tugas aparat berwenang sehingga memberikan celah bagi pelaku terorisme mengembangkan jaringannya.

Marilah kita semua elemen masyarakat, melalui peristiwa penindakan terhadap aksi terorisme yang berlangsung dalam tenggat waktu yang hampir bersamaan di beberapa wilayah berbeda dan menghasilkan keberhasilan di pihak penegak hukum menjadi momentum bagi kita untuk lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar kita agar tidak disusupi oleh kelompok-kelompok yang berpotensi melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang mengarah pada aksi terorisme. Di atas semua itu, marilah kita bersama menjaga dan menegakkan kesatuan serta keutuhan NKRI yang beragam agama, suku, budayanya dengan menjadikan ideologi Pancasila sebagai norma dasar (groundnorm) dan pandangan hidup yang mempersatukan.



END NOTES



[1] Terorisme, Jangan Salahkan Islam

http://www.ldii-sidoarjo.org/2011/02/terorisme-jangan-salahkan-islam.html

[2] Q & A on The Missing Martyrs
http://kurzman.unc.edu/the-missing-martyrs/q-and-a/

[3] Teguh Hindarto, Kematian Osama Ben laden Bukan Akhir Radikalisme dan Terorisme
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/kematian-osama-ben-laden-bukan-akhir.html


[4] The Root Cause of Terrorism? It’s Not Poverty or Lack of Education (http://www.thejakartaglobe.com/opinion/the-root-cause-of-terrorism-its-not-poverty-or-lack-of-education/331847)


[5] Op.Cit., Kematian Osama Ben laden Bukan Akhir Radikalisme dan Terorisme

[6] Ashgar Ali, Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi Damai Dalam Islam, Yogyakarta: Alenia 2004, Hal 17,19
[7] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm

[8] www.kontras.org/uu_ri_ham/UU Nomor 15 TUndang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undangahun 2003 tentang Anti Terorisme.pdf


[9] Gulung Teroris Serentak, Kompas, 20 Mei 2013, hal 15


[10] Hadang Densus, Teroris Pasang Ranjau, Kebumen Ekspres, 10 Mei 2013, hal 1


0 komentar:

Posting Komentar