Istilah Anomali biasanya lebih akrab di telinga kita terkait dengan gejala alamiah yang menjadi obyek telaah ilmu Fisika, khususnya mengenai fenomena air. Anomali air menunjuk pada sifat penyimpangan air dari hukum yang umum berlaku. Jika suatu zat dipanaskan maka akan terjadi pemuaian sementara jika didinginkan akan mengalami penyusutan. Hal ini tidak terjadi pada air. Ketika air dipanaskan pada suhu antara 0-4 derajat Celcius, dia akan menyusut. Sebaliknya jika air didinginkan dari suhu 4-0 derajat celcius maka dia akan mengembang. Hal inilah yang menjelaskan mengapa air yang padat yaitu es dapat mengambang dalam air karena massa jenis es lebih kecil dari massa jenis air.
Namun kali ini istilah Anomali akan saya pergunakan untuk menjelaskan fenomena dalam masyarakat kita khususnya mengenai berbagai perilaku yang menyimpang dari nilai dan norma yang ada dan saya namakan anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional.
Dengan bangkitnya pengaruh media massa sejak jatuhnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan Orde Reformasi maka kita dapat mengakses berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia dan juga di negeri sendiri dalam tempo yang cepat. Melalui media baik media cetak maupun media eletronik serta jejaring sosial maka kita dapat menyimak berbagai peristiwa dalam kehidupan masyarakat yang menunjukkan berbagai gejala yang disebut dengan anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional.
Dengan sekejap anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional yang merasuki masyarakat kita telah mengubah citra dan wajah Indonesia yang selama ini dikenal dengan negara yang ramah, toleran, terbuka. Raut wajah penghuni bumi pertiwi telah berubah menjadi orang-orang yang mudah naik pitam dan tidak sanggup mengendalikan dirinya.
Jika di sekolah dasar dahulu kita mendapatkan pepatah, “harimau tidak akan memakan anaknya” maka pepatah itu saat ini sudah tidak berlaku. Belakangan kita kerap mendengar kasus seorang ayah membunuh anak hanya dikarenakan anaknya tidak mematuhi perintah sang ayah untuk pulang dari bermain. Di sekolah kita pun belajar semboyan, “musyawarah untuk mufakat”, maka semangat itu kini telah luntur dan digantikan dengan aksi demonstrasi massa yang terkadang berujung anarkis dan menimbulkan kerusuhan sosial.
Belum lama juga kita dikejutkan dengan perilaku seorang pemuda di Surabaya yang membunuh anak tetangganya dengan alasan dendam pada sang ayah yang kerap mengejeknya. Pemuda tersebut melampiaskan amarahnya dengan cara menyeret korban dan membantingnya di rumah lalu menyemen mayat korban dan menjadikannya patung yang ditaruh di depan teras rumahnya.
Beberapa tahun kebelakang masyarakat disandera oleh tindakan-tindakan terorisme mengatasnamakan Tuhan dan Agama tertentu dengan tujuan menggantikan pemerintahan yang sah dan berlandaskan Demokrasi dengan pemerintahan yang berlandaskan huku-hukum agama tertentu. Teror bom di sejumlah tempat (dan sampai hari ini masih terasa riak gelombangnya) mengandung pesan intimidasi atas tegaknya demokrasi yang masih diberlakukan di negeri ini.
Kita pun semakin dikejutkan dengan sejumlah aksi eksekusi di luar hukum oleh sejumlah oknum aparat Kopasus terhadap empat tersangka pembunuh teman kesatuannya di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Eksekusi mati dengan menembak empat tersangka terjadi di tempat dimana simbol kenegaraan berada yaitu lembaga pemasyarakatan.
Beberapa hari ini kita pun dibuat ngeri dengan aksi pemerkosaan dan membakar korban perkosaan yang adalah seorang siswi SMK oleh oknum polisi dan sejumlah rekannya yang terjadi di wilayah Yogyakarta.
Kita pun masih terngiang dengan kasus Riyan seorang Homosexual yang menjagal sejumlah orang-orang yang dicemburuinya dan menguburnya di halaman belakang rumahnya dengan tanpa diketahui tetangga sekian tahun lamanya.
Sejumlah kasus anomali sosial di atas berkaitan dengan aspek kriminalitas yang melibatkan kekerasan, penganiayaan, pembunuhan. Namun anomali sosial tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek kriminalitas belaka. Dalam ranah politik dan hukum pun kita menyaksikan sejumlah anomali sosial dan tendensi irasional saat melihat pejabat publik yang tersangkut kasus hukum dapat melenggang bebas dan dengan gagah berani mencalonkan dirinya menjadi anggota legislatif. Kita pun dibuat terheran-heran dengan sejumlah penyimpangan sosial yang dilakukan pejabat pajak menerima suap dan merugikan negara padahal sejak 2007 telah dilakukan renumerasi. Sementara berbagai iklan di televisi mengharuskan masyarakat untuk membayar pajak namun petugas pajak melakukan pengkhianatan terhadap masyarakat.
Tidak kalah menggelikan anomali sosial dan tendensi irasional dapat kita saksikan di lapangan pendidikan kita. Bagaimana Ujian Nasional (yang tahun 2013 ini begitu carut marut) disikapi oleh sejumlah siswa bukan dengan tindakan yang seimbang yaitu belajar dan berusaha keras menaklukan soal-soal ujian melainkan dengan mandi air kembang dan memantrai pensil untuk mengerjakan soal.
Masih banyak lagi daftar tindakan-tindakan yang mempertontonkan pada masyarakat bahwa gejala anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional telah begitu mencengkram kehidupan kita. Anehnya, anomali sosial ini tidak kunjung berhenti justru semakin menjadi-jadi dan cenderung menjadi semacam nilai dan norma baru dalam menyikapi berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, yang tidak terantisipasi oleh masyarakat.
Apa yang menjadi penyebab terjadinya anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional di tengah masyarakat kita? Dalam Ilmu Sosiologi perilaku anomali sosial biasa diistilahkan dengan perilaku menyimpang (deviant life style). Dalam perspektif Sosiologi setidaknya ada sejumlah pendekatan untuk menjelaskan akar munculnya perilaku menyimpang (deviant life style) atau yang saya istilahkan dengan anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional.
Parwitaningsih dalam Pengantar Sosiologi menjelaskan ada empat perspektif untuk menjelaskan terjadinya perilaku menyimpang berdasarkan latar belakang mazhab-mazhab dalam Sosiologi. Pertama, perspektif struktural. Emile Durkheim menjelaskan sebuah situasi yang disebut Anomie yang mengacu pada situasi tanpa norma dan arah dikarenakan adanya ketidakselarasan antara harapan kultural dengan kenyataan sosial. Saat terjadi perubahan sosial masyarakat tidak merasa yakin dengan melakukan nilai dan norma yang lama. Sementara Robert Merton mengatakan bahwa Anomie muncul dikarenakan rasa frustasi pada individu dikarenakan mereka tidak bisa mendapatkan apa yang mereka ingin secara legal. Karena tidak ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut maka individu melakukan tindakan menyimpang.
Kedua, perspektif transmisi budaya. Menurut teori ini perilaku menyimpang terjadi dikarenakan terjadinya proses transmisi (pemindahan) budaya menyimpang dari satu individu kepada individu lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Edwin H. Sutherland menciptakan istilah assosiasi diffrensial untuk menjelaskan tindakan individu melakukan penyimpangan karena mereka berpartisipasi di suatu lingkungan dimana teknik dan perilaku menyimpang ditunjukkan secara jelas.
Ketiga, perspektif konflik. Menurut teori ini, perilaku menyimpang dikarena tindakan penguasa atau pemerintah atau pihak-pihak berstatus sosial tinggi yang memaksakan keinginan mereka dalam sistem sosial dan ekonomi serta politik sehingga cenderung menguntungkan diri mereka dan merugikan pihak lain dalam hal ini mereka yang berstatus golongan marjinal, sehingga menimbulkan perlawanan sebagai bentuk perilaku menyimpang. Richard Quinney menjelaskan bahwa untuk memahami perilaku menyimpang berupa kejahatan maka diperlukan analisis terhadap ekonomi politik masyarakat Kapitalis karena negara cenderung melayani dan melindungi kepentingan Kapitalis sehingga kejahatan merupakan tindakan politik yang melekat dalam pengaturan masyarakat. Kejahatan sosial dalam masyarakat sebagai bentuk perilaku menyimpang merupakan buah dan reaksi terhadap kejahatan Kapitalisme
Keempat, perspektif labelling. Smelser menjelaskan melalui teorinya bahwa tindakan atau perilaku menyimpang terjadi dikarenakan labelling (pemberian cap, stigma) oleh masyarakat pada individu sehingga individu yang menerima labelling cenderung untuk melanjutkan perilaku mereka yang menjadikannya sebagai bagian yang inheren dalam dirinya.
Jika kita menyoroti gejala anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional dari perspektif struktural sebagaimana diulas Emile Durkheim di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perubahan sosial yang terjadi sejak Orde Reformasi tidak berbanding lurus dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi berbagai perubahan sosial. Ketidaksiapan ini menimbulkan keterkejutan budaya atau gegar budaya (culture shock). Terjadilah benturan-benturan antara nilai-nilai lama dengan perubahan sosial yang begitu cepat. Ketika masyarakat tidak mendapatkan jalan keluar dengan nilai-nilai lama yang dia yakini selama ini, maka mereka akan melakukan tindakan-tindakan yang anomali dan irasional atau perilaku menyimpang sebagai sebuah solusi. Apa yang kita alami akhir-akhir ini mendekati apa yang diistilahkan Durkheim sebagai anomie atau situasi tanpa aturan yang jelas.
Ketika hukum tidak ditegakkan seutuhnya, maka tindakan-tindakan anarkisme hukum alias eksekusi di luar hukum resmi akan semakin merajalela di tengah masyarakat kita. Ketika sistem kontrol sosial masyarakat tidak kontekstual dan cenderung konservatif maka berbagai tindakan kejahatan seperti narkoba, sex bebas, main hakim sendiri, anarki akan semakin menjadi-jadi.
Diperlukan upaya sinergis dan komprehensif baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta lembaga-lembaga formal terkait bahkan elemen-elemen masyarakat untuk mengatasi anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional yang semakin menguatirkan ini.
Dari aspek hukum, diperlukan regulasi hukum yang memberikan ruang bagi aparat pemerintah untuk lebih berani tegas menerapkan sansksi hukum tanpa tersanderau oleh alat pukul baru bernama Hak Azasi Manusia. Aparat nampaknya gamang untuk menerapkan sanksi hukum ketika isu Hak Azasi Manusia dijadikan alat pukul untuk melucuti wewenang mereka. Hak Azasi Manusia diperlukan untuk menekan tingkat represi aparatur negara saat melakukan tindakan atas nama hukum namun jangan sampai isu Hak Azasi Manusia menjadi alat pukul baru yang melewahkan kewibawaan dan fungsi coercive (memaksa) aparatur negara dalam hal ini kepolisian. Sekalipun pasal-pasal revisi KUHP oleh Pemerintah saat ini dituding menghidupkan kembali pasal-pasal karet yang akan membatasi kebebasan (Ancaman dalam Pasal-pasal Karet, Kompas 8 April 2013, hal 1), namun upaya ini sebaiknya diletakkan dalam koridor pemulihan keamanan dan antisipasi terhadap anomali sosial dan tendensi irasional yang semakin merajalela. Apalah artinya negara tanpa kewibawaan pelaksana negaranya?
Dari aspek psikologis, diperlukan upaya pencegahan secara dini anomali sosial dengan melibatkan psikolog-psikolog untuk memberikan bimbingan masyarakat di beberapa puskesmas. Upaya ini sudah dilakukan walau baru di wilayah Jakarta yaitu 13 dari 44 Puskesmas yang ada. Penempatan psikolog di beberapa Puskesmas dijelaskan oleh Ketua Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia (IPK-Himpsi), Kasandra Putranto, “perilaku menyimpang, pengabaian norma moral dan etika, gangguan jiwa, serta kejahatan keji mengindikasikan tingginya tingkat ketidaksehatan jiwa masyarakat” (DKI Siapkan Psikolog di Puskesmas, Kompas 21 Maret 2013, hal 1). Diharapkan upaya penempatan psikolog diperluas di berbagai wilayah yang ditengarai memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam anomali sosial dan tendensi irasional.
Dari aspek sosiologis, diperlukan berbagai tindakan preventif di masyarakat melalui forum-forum belajar masyarakat, pertemuan arisan, pertemuan PKK dengan mengadakan kajian-kajian sederhana bagi masyarakat mengenai bahaya narkoba bagi generasi muda, upaya mengantisipasi tindakan terorisme, penguatan fungsi dan peranan keluarga inti dll. Kegiatan ini dapat bekerjasama dan melibatkan sejumlah narasumber baik dari kepolisian, kedokteran, atau aktifis sosial kemasyarakatan. Tentu saja pelaksanaannya tidak setiap kali pertemuan namun dalam beberapa periode bulanan tertentu dan disajikan dengan cara yang sederhanan dan non formal serta menarik.
Jika upaya-upaya sinergis di atas dijalankan bersama-sama baik dari pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah hingga elemen-elemen masyarakat, maka setidaknya berbagai gejala anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional dapat dicegah seminimalisir mungkin. Perubahan sosial dan segala dampaknya baik positip maupun negatif memang tidak bisa dicegah oleh kekuatan apapun namun setidaknya dengan mengantisipasi kekuatan perubahan sosial maka berbagai bentuk anomali sosial dan tendensi-tendensi irasional dapat ditekan dan tidak merusak struktur sosial masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar