RSS Feed

TEOLOGI KEADILAN SOSIAL DIANTARA DUA KUTUB TEOLOGI KEMAKMURAN DAN TEOLOGI PEMBEBASAN (1)

Posted by Teguh Hindarto





Istilah “keadilan sosial” bukan istilah ekslusif milik para politikus dan aktifis lembaga swadaya masyarakat yang concern dengan isu pengentasan kemiskinan. Istilah “keadilan sosial” pun bukan klaim ekslusif Islam yang kerap didengungkan dengan trade mark ekonomi syariahnya.

Keadilan sosial adalah salah satu dari sekian banyak message (pesan, pewartaan) dari para nabi dalam kitab TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim – Perjanjian Lama). Berulang kali Tuhan Yahweh melalui mulut para nabi menegur Israel untuk menegakkan keadilan sosial sebagaimana diperintahkan dalam ayat-ayat berikut:

Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang; mungkin Yahweh Tuhan semesta alam, akan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf” (Am 5:15)

Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am 5:24)


Ayat-ayat di atas dilatarbelakangi kondisi Israel di masa nabi Amos hidup dan di zaman pemerintahan Yerobeam dimana berbagai kejahatan merajalela al., “Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang” (Am 5:12). Kejahatan itu dikaitkan dengan penindasan dan ketidakadilan serta praktek suap serta korupsi yang merajalela.

Namun anehnya, para penindas dan pelaku kejahatan tersebut tetap rajin melaksanakan perintah dan syariat agama. Antara ibadah dan akhlaq tidak berbanding lurus. Oleh karenanya Tuhan bersabda, “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar” (Am 5:21-23)

Demikian pula dengan Nabi Yesaya menyampaikan message mengenai penegakkan keadilan sosial sbb: “Beginilah firman Yahweh: Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan, sebab sebentar lagi akan datang keselamatan yang dari pada-Ku, dan keadilan-Ku akan dinyatakan” (Yes 56:1).

Nabi Yeremia menyampaikan keprihatinan mengenai bersimaharajelalanya ketidakadilan sosial baik di kalangan pejabat maupun rohaniawan sebagaimana Firman Tuhan yang beliau katakan, “Lintasilah jalan-jalan Yerusalem, lihatlah baik-baik dan camkanlah! Periksalah di tanah-tanah lapangnya, apakah kamu dapat menemui seseorang, apakah ada yang melakukan keadilan dan yang mencari kebenaran, maka Aku mau mengampuni kota itu. Sekalipun mereka berkata: "Demi Yahweh yang hidup," namun mereka bersumpah palsu. Ya Yahweh, tidakkah mata-Mu terarah kepada kebenaran? Engkau memukul mereka, tetapi mereka tidak kesakitan; Engkau meremukkan mereka, tetapi mereka tidak mau menerima hajaran. Mereka mengeraskan kepalanya lebih dari pada batu, dan mereka tidak mau bertobat. Lalu aku berpikir: "Itu hanya orang-orang kecil; mereka adalah orang-orang bodoh, sebab mereka tidak mengetahui jalan Yahweh, hukum Tuhan mereka. Baiklah aku pergi kepada orang-orang besar, dan berbicara kepada mereka, sebab merekalah yang mengetahui jalan Yahweh, hukum Tuhan mereka." Tetapi mereka pun semuanya telah mematahkan kuk, telah memutuskan tali-tali pengikat” (Yer 5:1-5)

Demikian pula nabi Yejezkiel pernah mengecam dosa Israel dengan menyampaikan sabda Yahweh, “Jawab-Nya kepadaku: "Kesalahan kaum Israel dan Yehuda sangat banyak, sehingga tanah ini penuh hutang darah dan kota ini penuh ketidakadilan; sebab mereka berkata: Yahweh sudah meninggalkan tanah ini dan Yahweh tidak melihatnya” (Yehz 9:9).

Jika penegakkan keadilan sosial dan kecaman terhadap ketidakadilan sosial adalah pesan para nabi, lalu bagaimana dengan para rohaniawan Kristen yaitu para pendeta, pastur, pekabar Injil, adalah telah menyuarakan hal yang sama dengan seruan para nabi?

Kesan yang kita peroleh mengenai kotbah para rohaniawan Kristen yang terwakili di program-program televangelist (penginjil tv) atau buku-buku renungan harian masih berkutat seputar perdebatan teologis atau tema-tema normatif seperti Kasih, Berkat, Mukjizat.


Simak saja siaran atau program televisi umum atau televisi Kristen yang menampilkan beraneka ragam kotbah dan beraneka ragam pengkotbah. Tema-tema yang diusung masih seputar bagaimana memperoleh berkat-berkat Tuhan. Kotbah-kotbah motifasi yang tidak bisa dibedakan antara Psikologi dan Teologi karena keduanya saling menunggangi. Kita dapat menyaksikan kalimat mantra yang diulang-ulang, “jika Anda minum roti dan anggur Perjamuan Kudus ini maka Anda tidak akan sakit-sakitan, tidak miskin, tidak sial”. Miskin dianggap kutuk yang harus disangkal dengan didoakan. Namun adakah para pengkotbah tersebut telah menyampaikan persoalan yang semakin merajalela di sekeliling kita yaitu ketidak adilan sosial, korupsi, suap, aksi kejahatan yang meningkat dan persoalan-persoalan sosial lainnya? Adakah solusi Kristiani untuk berbagai persoalan sosial tadi telah disampaikan kepada jemaat untuk memotifasi mereka melakukan perubahan sosial? Alih-alih memberikan analisis, paling jauh para pengkotbah tersebut hanya akan menjadikan sejumlah persoalan sosial sebagai salah satu tanda-tanda akhir zaman yang harus dihadapi dengan iman daripada melakukan perubahan.

Artikel ini hendak mengingatkan kita sekalian untuk memenuhi tugas dan panggilan sebagai orang Kristen yaitu menegakkan keadilan sosial dan menjadikan keadilan sosial sebagai sebuah teologi yang aplikatif. Teologi Keadilan Sosial bukan Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Teologi Keadilan Sosial bukan Teologi Kemakmuran yang berkembang di Amerika.

Teologi Kemakmuran berkembang di Amerika sebagai reaksi dan pengaruh berkembangnya kehidupan materialis dan konsumeris sebagai dampak sistem ekonomi Kapitalis. Sementara Teologi Pembebasan berkembang di Amerika Latin sebagai reaksi terhadap ketidakadilan sosial akibat sistem ekonomi Kapitalisme, dengan menggunakan analisis Marxisme.

Teologi Keadilan Sosial berangkat dari analisis teks terhadap ayat-ayat dalam Kitab TaNaKh (PL) dan sabda-sabda Yesus Sang Mesias (PB) yang memerintahkan umat Tuhan mengambil bagian dalam penegakkan keadilan sosial sebagai bagian dari akidah, ibadah dan akhlaq. Berdasarkan analisis teks tersebut kemudian dijadikan dasar dalam membaca situasi kekinian dimana kerap terjadi ketidakadilan sosial di sekeliling kita.

Sebelum kita membicarakan lebih jauh bagaimana aktualisasi dan aplikasi Teologi Keadilan Sosial dalam ranah kongkrit, kita akan membahas secara singkat dua kutub yang berlawanan yaitu Teologi Kemakmuran dan Teologi Pembebasan.

Teologi Kemakmuran: Sejarah dan Doktrin

Ir. Herlianto, MTh., memberikan definisi deskriptis tentang Teologi Kemakmuran atau Teologi Sukses sbb: “Teologi Sukses atau Injil Sukses (Gospel of Succes sering juga dikenal sebagai Injil-Injil Kemakmuran (Prosperity), Kelimpahan, Berkat (Gospel of Bleessing) atau Teologi Anak Raja, dan secara sederhana dapat disebutkan ajaran ini menekankan bahwa (Tuhan) kita adalah (Tuhan) yang mahabesar, kaya dan penuh berkat dan manusia yang beriman pasti akan mengalami kehidupan yang penuh berkat pula, kaya, sukses dan berkelimpahan materi[1]

Beberapa kecenderungan yang diperlihatkan oleh pengajara Teologi Kemakmuran dan juga penganut Teologi Kemakmuran al., para pengkhotbah penganjur ajaran ini hidup dalam kemewahan sebagai bukti bahwa Tuhan memberkati kehidupan dan pelayanan mereka, kecenderungan berlomba membangun gereja dan praise centre mewah, ibadah yang melepaskan diri dari ikatan liturgis dan dominan unsur pujian dan penyembahan serta penekanan pada kesembuhan Ilahi serta kehidupan yang diberkati secara finansial, kotbah-kotbah mengulas mengenai berkat-berkat melalui memberikan persepuluhan, menampilkan kesaksian-kesaksian orang-orang yang mengalami berkat kesembuhan dan berkat finansial, menjamurnya penggunaan gelar-gelar untuk pengkotbah yang telah mengalami kesuksesan finansial seperti gelar Doctor (DR) dan Doctor of Philosophy (PhD.), pengkultusan pengkotbah, dll[2].

Beberapa tokoh penganjur Teologi Sukses yang memakai media Kebaktian Kebangunan Rohani antara lain Jim Backer dengan siaran TV Praise the Lord (PTL), Oral Robert, Benny Hinn, dll. Di Korea kita mengenal nama Pdt. Yonggi Cho pendiri gereja mewah dengan nama Yoido Full Gospel Church.

Ir. Herlianto, MTh., memberikan deskripsi mengenai penyebaran ajaran Teologi Sukses melalui Kebaktian Kebangunan Rohani sbb: “Penyebaran di Indonesia juga dipopulerkan melalui ajaran-ajaran penginjil Sukses dan membangun Praise Center dan disamping itu, penyebaran ajaran sukses demikian diramaikan dengan outreach yang banyak menggunakan tempat-tempat mewah seperti hotel-hotel berbintang, restoran-restoran mewah, kelab malam maupun gedung-gedung megah lainnya[3]

Beberapa judul buku-buku penerbitan kelompok Teologi Sukses dan yang sudah dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia al., Dimensi Keempat (Paul Yonggi Cho), DR. Cho, Kami Ingin Sebuah Volkswagen (Paul Yonggi Cho), , Selamat, Sehat dan Berkelimpahan (Paul Yonggi Cho), Pembaruan Pikiran, Arena Menuju Sukses (Casey Treat)[4]

Akhir-akhir ini dipergunakan istilah McChurch bagi kelompok-kelompok Kristen yang mempraktekkan pemahaman dan gaya hidup baik dalam ibadah maupun kehidupan yang menekankan konsumerisme, komersialisasi serta hiburan[5]. Istilah ini pertama kali muncul dalam artikel Robert McClory yang berjudl Superchurch (1992) di majalah mingguan The Chichago Reader yang menggambarkan aktifitas Willow Creek Community Church di South Barrington, Illinois. Sejumlah penulis lain menyinggung soal penggunaan McChurch seperti Charles Closon dalam bukunya The Body (1994), Dan Schaeffer dalam artikelnya di Plain Truth Magazine dengan judul McChurch (2012)[6]. McClory mendeskripsikan peribadahan mereka sebagai bentuk ibadah dengan kotbah yang menekankan perasaan bahagia dan menjauhkan tema-tema pengorbanan diri. Singkatnya pesan keselamatan dikemas dalam baju kontemporer tanpa efek samping yang mengandung kepahitan[7].

Namun sayangnya selain kelompok-kelompok ini mempraktekkan kehidupan mewah sebagai pembuktian kehidupan yang diberkati, kelompok-kelompok penganjur hidup sukses dan diberkati secara finansial banyak tersandung sejumlah persoalan dan skandal serius baik oleh para pemimpinnya maupun para pengurus gereja. Bishop Joseph Walker pemimpin gereja Mount Zion Baptis Church di Nashville dengan anggota 25.000 terjerat kasus hukum yaitu pelanggaran seksual dengan jemaatnya. Earl Paulk Jr yang menjabat Archbishop Atlanta di gereja Cathedral of Holly Spirit menghindar dari tuduhan hukum atas kasus pelanggaran seksual hingga akhirnya dia berhenti dari jabatannya pada tahun 2006, kasus skandal Jim Bakker dan Jessica Hann yang meruntuhkan aktifitas pelayanan Praise the Lordnya[8]. Belum lama ini kita pun digegerkan dengan tayangan video di You Tube mengenai mabuknya Benny Hinn saat menyampaikan kotbah sehingga terjatuh berulang kali dengan disaksikan banyak pendengarnya[9].

Apakah yang melatarbelakangi kemunculan Teologi Kemakmuran atau McChurch? Ir Herlianto, MTh. Menjelaskan sbb: “Dengan adanya dua hal di atas yaitu meningkatnya perekonomian jemaat kota besar dan kejenuhan hidup di kota besar, maka ibadat gaya Teologi Sukses cenderung makin populer, karena merupakan kompensasi kejiwaan yang menarik dan diinginkan manusia, sekalipun ibadat demikian tidak memberikan dampak spiritual yang mendalam. Ibadat yang menawarkan spiritualityas semu tanpa mempersoalkan perlunya etika Kristen selalu akan menarik hati manusia!”[10].

Karena Teologi Kemakmuran berkembang di Amerika yang menganut sistem Kapitalisme yang menghasilkan budaya materialisme dan konsumerisme, maka dampak kapitalisme pun mengimbas pada gaya hidup sejumlah orang Kristen yang akhirnya melahirkan Teologi Kemakmuran.

Gejala materialisme dan konsumerisme yang merasuk gereja-gereja di Amerika dideskripsikan oleh Charles Colson sbb: “Itulah yang disebut oleh beberapa orang dengan mentalitas ‘McChurch’. Hari ini mungkin McDonald untuk Big Mac, besok Wendy salad bar. Gereja tidfak ubahnya menjadi ritel outlet, iman tidak ubahnya menjadi komoditas. Orang berganti keanggotaan jemaat dan pendeta serta denominasi sama mudahnya seperti mereka mengubah bank atau toko kelontong”[11].

Colson mengutip survey yang dilakukan USA Today dimana dari 56% orang-orang Amerika yang pergi beribadah ke gereja, sebanyak 45% dikarenakan “it’s good for you” (ini baik untuk Anda) sementara 26% menyatakan, “peace of mind and spiritual well being” (ketenangan pikiran dan kedamaian rohani)[12]. Mereka yang dikelompokkan menganut pendapat bahwa beribadah dikarenakan “it’s good for you” (ini baik untuk Anda) dikarenakan mereka memasuki gereja-gereja yang mempraktekkan kemakmuran, hiburan, kotbah-kotbah motifasi psikologis dan bukan gereja-gereja yang mengajarkan pengorbanan diri, salib Mesias, penyangkalan diri dan doktrin utama Kristiani.

Berbagai buku yang diterbitkan penganut Teologi Kemakmuran bernadakan “touchy feely” (menyentuh perasaan) yang memusatkan pada self-esteem, self-fulfillment, self-analysis (harga diri, pemenuhan diri, dan analisis-diri)[13]

Teologi Pembebasan: Sejarah dan Doktrin

Michael Lowy memberikan definisi mengenai Teologi Pembebasan sbb: “Teologi Pembebasan terdiri dari suatu gerakan sosial yang meluas sejak tahun 1960. Gerakan ini meliputi sektor-sektor penting dari gereja (para romo, pengamat tarekat atau ordo-ordo keagamaan), gerakan keagamaan orang awam (Aksi Katolik, Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan pastoral yang merakyat (kepastoran buruh, kepastoran petani, kepastoran kota) serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja. Gerakan ini berawal dari kalangan Katolik lalu meluas di kalangan Protestan[14]

Teologi Pembebasan terdiri dari susunan doktrin. Meskipun ada pandangan yang berbeda-beda diantara para teolog pembebasan, namun benang merah pengajaran mereka al.,

  1. Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa struktural
  2. Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas
  3. Pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut pembebasan
  4. Pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru Gereja dan sebagai suatu alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis
  5. Suatu pembacaan baru pada Alkitab yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian Kitab keluaran sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak
  6. Perlawanan menentang pemberhalaan (jadi bukan Ateisme) sebagai musuh agama utama agama yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah oleh Firaun-Firaun baru, Caesar-Caesar baru dan Herodes-Herodes baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan, negara, pasukan militer, peradaban Kristen Barat
  7. Sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari penyelamatan Mesias, Kerajaan Tuhan
  8. Kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil filsafat Yunani Platonis, bukan dari tradisi murni Injil dimana sejarah kemanusiaan dan ketuhanan memang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain[15]

Teologi Pembebasan lahir di Amerika Latin. Beberapa peristiwa politik yang menjadi latar belakang kemunculan teologi ini adalah, Pertama sejak tahun 1950-an, industrialisasi di seluruh benua itu (di bawah arahan modal multinasional) ternyata telah membangun keterbelakangan yang cuma semakin memperbesar ketergantungan, memperdalam pertentangan-pertentangan sosial, mendorong laju perpindahan orang-orang desa, memacu suatu pemusatan kelas pekerja baru dan yang paling penting, membengkakan jumlah kaum terlunta-lunta di daerah perkotaan. Kedua, meletusnya Revolusi Cuba tahun 1959 sebagai suatu babak sejarah baru di Amerika Latin yang ditandai oleh semakin meningkatnya perjaungan sosial, munculnya gerakan-gerakan gerilya, pergantian pemerintah melalui kudeta militer dan krisis keabsahan sistem politik. Perpaduan dan perubahan-perubahan internal dan eksternal itulah yang menciptakan keadaan yang memungkinkan munculnya gereja orang miskin yang baru yang asal muasanlnya harus ditegaskan lagi, memang sudah ada sebelum Konsili Vatikan II. Dalam cara simbolis, orang dapat mengatakan bahwa aliran Kristen radikal lahir pada bulan Januari 1959 ketika Fidel Catsro, Che Guevara dan komrad-komradnya berbaris memasuki gerbang kota Havana dan pada saat bersamaan di Roma, Paus Yohanes XXIII mengumumkan seruan pertamanya untuk menyelenggarakan konsili[16].

Sikap Gereja Katolik terhadap Teologi Pembebasan diungkapkan pada tahun 1984 dengan terbitnya buku Instruction on Certain Aspect of the Theology of Liberation. Dokumen ini menegaskan kembali “pilihan untuk memihak kaum miskin” dan mendesak orang-orang Kristen untuk “terlibat dalam perjuangan demi keadilan, kebebasan dan martabat manusia”. Namun dokumen tersebut juga memberi peringatan untuk mewaspadai bahaya-bahaya tertentu. Kelirulah kalau pembebasan ditekankan pada pembebasan duniawi dan berorientasi pada dunia ini sehingga pembebasan dari dosa dinomorduakan. Secara khusus, penggunaan konsep-konsep Marxis secara tidak kritis merupakan hal yang berbahaya. Jika perjuangan kelas dilihat sebagai fakta dasar sejarah, semua doktrin Kristen ditafsirkan dalam terang itu dan dengan demikia mengalami penyimpangan secara serius. Instruksi yang ditandatangani Kardinal Ratzinger yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Kongregasi Suci Ajaran Iman, telah mendapatkan reaksi balik dari kalangan Teolog Pembebasan. Segundo menjawab dengan bukunya, Theology and the Church: A Response to cardinal Ratzinger and the Warning to the Whole Church. Lalu Gustavo Gutierez menuliskan tanggapannya dalam buku berjudul, The Truth Shall Make You Free[17]

Tahun 1985 suatu pernyataan baru yang lebih bernada positif keterbitkan Vatikan dengan judul, Christianity, Liberty and Liberation yang menyetujui pembebasan, tetapi dengan lebih merohanikan dan membatasi kandungan sosialnya yang revolusioner. Bahkan Paus mengirimkan surat dukungan terhadap perjuangan gereja di Brazilia untuk melawan penindasan[18]

Demikian pula di lingkungan non Katolik yaitu gereja-gereja Protestan dan Evanggelikal pun memberikan penilaian yang beragam. Prof. Eta Lineman mantan murid teolog Liberal Jerman, Rudolph Bultman memberikan kritik tajam dan negatif mengenai Teologi Pembebasan, “teologi Pembebasan sama dengan saudaranya Teologi Revolusi dan Teologi Pengharapan, tidak mengenal dan tidak mengakui Tuhan yang hidup seperti Dia mewahyukan diri dalam Firman-Nya...Teologi Pembebasan memakai satu ilah buatan, satu tokoh ideologis, untuk membenarkan pikiran sendiri dan menangkap orang yang masih percaya untuk menjadikan mereka siap menuju ke revolusi seperti sasaran terakhir...”[19]

Benny Mathindas menolak kritik berlebihan terhadap Teologi Pembebasan dengan mengatakan, “Sesugguhnya keliru jika kebanyakan kritik atas Teologi Pembebasan bilang para rahib di Amerika Latin itu hanya melakukan cangkok langsung Marxisme ke dalam rangka teologinya...Jadi harus dipetakan begini, teologi yang diperkaya unsur yang baik dari Marxisme tadilah yang telah memuarakan ibadah konseptual dari misalnya seorang pastor Gutierez pada apa yang kini dikenal sebagai Teologi Pembebasan. Dan pada gilirannya, Gutierez menjadi salah satu yang menginsyafi bahwa semua teologi seperti itu belum cukup, bahkan masih dosa...Kebenaran teologis harus dicapai lewat ketegasan menggariskan pemihakkan pada dan bahkan menyatu sebagai bagian dari kaum terinjak dan mengupayakan solusi sosialisme, sebagai satu-satunya konsep alternatif yang konsekuen dalam mengoreksi semua tatanan bobrok selama ini[20]

Michael Lowy pun memberikan catatan kritisnya, “...para teolog Pembebasan juga telah membantu kita menilai kembali beberapa tradisi komunal pra kapitalis tertentu, yang masih tetap hidup dalam tradisi kerakyatan masa kini, untuk tidak lagi disilaukan oleh kebudayaan membutakan dari kemajuan ekonomi, modernisasi kapitalis dan pembangunan kekuata-kekuatan produktif atau yang semacamnya”[21]. Mengenai Marxisme pun beliau memberikan catatan kritis, “Akhirnya Teologi Pembebasan telah memaksa kaum Marxis untuk menguji kembali pemikiran tradisional mereka mengenai agama; sementara dibanyak tempat agama memang masih memainkan peran sebagai candu rakyat, tetapi bukanlah agama juga dapat berperan sebagai lonceng penggugah bagi rakyat, sebagai suatu seruan bagi kaum tertindas untuk bangkit dari tidur mereka dari sikap serba pasrah, sikap mereka yang serba nrimo, agar sadar akan hak-hak, kekuatan dan masa depan mereka”[22]

Demikianlah penjelasan singkat seputar definisi, latar belakang dan doktrin dari Teologi Kemakmuran dan gereja-gereja McChurch yang lahir dan berkembang dalam kultur serta sistem ekonomi Kapitalisme dan Teologi Pembebasan yang lahir dan berkembang dalam kultur serta sistem ekonomi Kapitalis namun membangun perlawanan dengan menggunakan pendekatan teori-teori Marxisme.



Bersambung...............


End Notes

[1] Apakah Teologi Sukses itu? Antara Allah dan Mamon, Jakarta: BPK 1992, hal 1

[2] Ibid., hal 2-3

[3] Ibid., hal 10

[4]  Ibid., hal 6

[5] Mc Church
http://en.wikipedia.org/wiki/McChurch

[6] Ibid.,

[7] Ibid.,

[8] Kate Bowler, Sexual Misconduct and the American Prosperity Gospel
http://www.huffingtonpost.com/kate-bowler/sexual-misconduct-and-the-american-prosperity-gospel_b_1949103.html

[10] Apakah Teologi Sukses itu? Antara Allah dan Mamon, Jakarta: BPK 1992, hal 11

[11] Charles Colson, Ellen Santili Vaughn, Welcome to McChurch

[12] Ibid.,

[13] Ibid.,

[14] Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar 2003, hal 26-30

[15] Ibid., hal 26

[16] Ibid., hal 77-78

[17] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK 2003, hal 283-284

[18] Op.Cit. Teologi Pembebasan, hal 59-60

[19] Prof. Eta Lineman, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga? Malang: Institit Injili Indonesia, 1991, hal 194-195

[20] Benny Mathindas, Teologi Pembebasan, Majalah BAHANA No 04/Th VII/Vol 6 Oktober 1996, hal 3

[21] Op.Cit., Teologi Pembebasan, hal 161-162

[22] Ibid., hal 164



1 komentar:

  1. Rinto Pangaribuan

    kawan, bolehkah saya mengajak diskusi?

    Sejujurnya, ada beberapa keberatan saya dalam artikel yang Anda tulis, khususnya tentang pemaknaan apa itu teologi pembebasan.

    Anda bisa membaca artikel dalam blog saya tentang kekeliruan terhadap teologi pembebasan berikut ini http://tongthink.blogspot.co.id/2015/10/a-theology-of-liberation-3-kekeliruan.html

    Atau bisa simak bagaimana Guiterrez memahami teologi pembebasan. Anda bisa membacanya dalam http://tongthink.blogspot.co.id/2014/10/resensi-theology-of-liberation.html

    Terimakasih...

Posting Komentar