Apakah yang biasa kita lihat saat menjelang dan pada saat tanggal 21 April setiap tahun? Hari yang diperingati sebagai Hari Kartini akan dimeriahkan dengan berbagai acara seperti lomba berbusana ala Kartini, lomba menyanyikan lagu-lagu Indonesia dan perjuangan, lomba merias wajah, lomba makan kerupuk, lomba membaca puisi, lomba memasak dan sejumlah lomba yang tidak ada sangkut pautnya dengan Kartini sebagai sosok historis yang kritis dan gelisah dengan kondisi zamannya.
Sayang sekali berbagai kegiatan di atas (sekalipun tidak salah) menjadi sebuah ritual tahunan belaka sehingga menjauhkan anak-anak, remaja, pemuda serta orang-orang dewasa untuk mengalami proses kritis dan pencerahan sebagaimana yang dialami oleh Kartini.
Isi surat Kartini berisikan pandangan, pemahaman, penilaian, kegelisahan jiwa, kritik baik yang bersifat Sosiologis maupun Teologis. Penolakkannya terhadap Poligami, penolakkannya terhadap kedudukan perempuan yang rendah dalam strata sosial Jawa, kritik terhadap para ulama, kritik terhadap Zending Kristen dll.
Beberapa kritik Kartini mengenai agamanya sendiri dapat kita simak berikut ini:
“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”
...
(Surat utk Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899)
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”
...
(Surat utk Ny. Abendanon 15 Agustus 1902)
Beberapa kritik terhadap Zending dan Kristenisasi dilancarkan Kartini:
“Supaya Nyonya jangan ragu-ragu, marilah saya katakan ini saja dahulu: Yakinlah Nyonya, KAMI AKAN TETAP MEMELUK AGAMA KAMI yang sekarang ini. Serta dengan Nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja MEMBUAT UMAT AGAMA LAIN MEMANDANG AGAMA ISLAM PATUT DISUKAI . . . ALLAHU AKBAR! Kita katakan sebagai orang Islam, dan bersama kita juga semua insan yang percaya kepada Satu Allah, Gusti Allah, Pencipta Alam Semesta”
(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Bagaimana pendapatmu tentang ZENDING (Diakonia), jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta-kasih, bukan dalam KRISTENISASI? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya . . . Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi JANGAN MENG-KRISTEN-KAN ORANG! Mungkinkah itu dilakukan?”
(Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903)
Kartini pun mengritisi Barat dan Emansipasi sbb:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, BUKAN SEKALI-SEKALI KARENA KAMI MENGINGINKAN ANAK-ANAK PEREMPUAN ITU MENJADI SAINGAN LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN HIDUPNYA. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
(Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan.”
(Surat Kartini kepada Ny. E.E. Abendanon, 10 Juni 1902)
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”
(Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 27 Oktober 1902)
Sudah seharusnya para pendidik dan masyarakat kita mengubah pola pikir dan meredefinsi untuk merayakan Hari Kartini. Dengan cara apa? Untuk tingkatan anak-anak sekolah dasar dapat diadakan lomba drama seputar kisah kehidupan Kartini atau lomba membuat puisi yang mengekspresikan gejolak pemikiran Kartini. Apa tujuan dilaksanakannya kegiatan tersebut? Untuk mendorong sikap kritis siswa seperti Kartini yang mempertanyakan situasi zamannya yang tidak adil.
Sementara untuk anak-anak sekolah menengah pertama dan sekolah menengah umum dalam rangka memperingati Kartini dapat dilaksanakan bedah buku dan resensi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dapat pula diadakan lomba membuat artikel berisikan aktualisasi pemikiran Kartini dalam konteks masa kini.
Dengan meredefinisi sejumlah kegiatan menjelang dan saat perayaan Hari Kartini maka diharapkan nilai-nilai luhur dan sikap kritis Kartini dapat ditularkan dan ditransformasikan kepada anak didik.
Seberapa banyak siswa yang tahu bahwa Kartini berani mengritik agamanya? Mengritik pemuka agamanya? Seberapa banyak anak didik yang tahu Kartini berani mengritik situasi zamannya yang feodal dan mendiskriminasikan wanita? Seberapa banyak anak didik yang mengetahui bahwa Kartini berani mengritik Poligami? Seberapa banyak anak didik yang mengetahui bahwa Kartini berani mengritik ketidaksempurnaan masyarakat Eropa sekalipun memiliki sejumlah keunggulan?
Bertahun-tahun sekolah dan lingkungan masyarakat merayakan Hari Kartini namun hanya berhenti dalam tahapan ritual tahunan tanpa muatan kritis yang menjadi “ruh Kartini”.
Perlawanan Kartini terhadap Poligami masih relevan diaktualisasikan di saat kita melihat praktek Poligami mendapatkan perlawanan kaum wanita di Indonesia (bahkan sempat menjatuhkan pamor seorang penceramah Islam di Indonesia). Apakah isu-isu kritis terhadap Poligami oleh Kartini ini sudah menjadi bagian pembahasan dalam kurikulum sekolah?
Perlawanan Kartini terhadap stagnasi beragama nampak saat beliau mengritik penolakkan penerjemahan Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Sikap-sikap berani mengritim perilaku dan penghayatan agama sendiri oleh seorang wanita masih relevan untuk diaktualisasikan di Indonesia yang saat ini mulai dicengkram oleh bahaya fundamentalisme agama dan kecenderungan memegang tafsir tunggal terhadap kebenaran.
Kita masih ingat bagaimana Ir. Soekarno dalam bukunya “Di bawah Bendera Revolusi” dalam salah satu babnya memberi judul “Islam Sontolojo”. Bukan untuk melecehkan namun bentuk kritik internal kepada agamanya sendiri.
Sampai hari ini kita masih menyaksikan sikap refresif ketika muncul pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap doktrin agama atau praktek ibadah oleh generasi muda yang kritis. Sementara setiap tahun kita merayakan “Hari Kartini” namun semakin tahun kita tidak mempertajam nalar daya kritis kita sebagaimana Kartini begitu tajam mengritisi berbagai persoalan di sekeliling kehidupannya.
Kiranya perayaan Hari Kartini menjadi momentum bagi para pendidik untuk mengaktualisasikan ruh Kartini yang berani dan kritis dalam kegiatan pendidikan di sekolah. Kiranya perayaan Hari Kartini menjadi titik berangkat bagi para pemuda dan pemudi untuk menjadi insan kritis dalam membaca zaman dan bukan menjadi generasi yang membeo dan mengikuti arus belaka.
Selamat Hari Kartini
21 April 2013
0 komentar:
Posting Komentar