Tanggal 9 April 2014 seluruh rakyat Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum yaitu memilih calon anggota Legislatif dan tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden. Sejumlah persiapan telah dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik partai politik, komisi pemilihan maupun pemerintah baik pusat maupun daerah.
Sejumlah ruas jalan protokol baik di kota maupun di desa, di tikungan-tikungan jalan kembali marak dipenuhi berbagai atribut partai dan foto-foto calon legislatif baik pusat maupun daerah. Semua menampilkan “panggung depan” (front region – meminjam istilah Sosiolog Erfing Goffman) dengan berbagai gesture (sikap tubuh) yang dikemas dengan polesan make up dan kecanggihan teknologi pemotretan disertai berbagai jargon dan semboyan disertakan untuk mengajak masyarakat memilih dirinya. Sumbo Tinarbuko mendefinisikan poster sbb:
“Poster merupakan salah satu media komunikasi visual berbentuk dua dimensional. Kehadirannya bertujuan menyampaikan suatu pesan, keinginan, mengumumkan sesuatu agar diketahui masyarakat dan mengingatkan mereka tentang hal-hal yang dianggap penting”[1]
Sejumlah ruas jalan protokol baik di kota maupun di desa, di tikungan-tikungan jalan kembali marak dipenuhi berbagai atribut partai dan foto-foto calon legislatif baik pusat maupun daerah. Semua menampilkan “panggung depan” (front region – meminjam istilah Sosiolog Erfing Goffman) dengan berbagai gesture (sikap tubuh) yang dikemas dengan polesan make up dan kecanggihan teknologi pemotretan disertai berbagai jargon dan semboyan disertakan untuk mengajak masyarakat memilih dirinya. Sumbo Tinarbuko mendefinisikan poster sbb:
“Poster merupakan salah satu media komunikasi visual berbentuk dua dimensional. Kehadirannya bertujuan menyampaikan suatu pesan, keinginan, mengumumkan sesuatu agar diketahui masyarakat dan mengingatkan mereka tentang hal-hal yang dianggap penting”[1]
Penggunaan poster di setiap zaman memiliki berbagai fungsi dan kegunaan yang berbeda-beda, baik untuk kepentingan perdagangan, sosial, informasi. Di zaman pra kemerdekaan dan era Orde Lama, poster-poster dipergunakan untuk membangun nasionalisme dan membangunkan kesadaran rakyat untuk melawan kolonialisme. Dalam bahasa lain, poster adalah “penggerak kebudayaan”[2]
Dalam konteks politik, poster telah dipergunakan kemanfaatannya sebagai bentuk komunikasi politik sebagai bagian dari sosialisasi politik. Almond dan Powell dalam bukunya, System, Process and Policy: Comparative Politic menjelaskan bahwa sosialisasi politik adalah sebuah proses lewat mana budaya politik diinformasikan, dipertahankan dan diubah[3]. Miriam Budiarjo menambahkan bahwa “…komunikasi politik merupakan fungsi sosialisasi dan budaya politik”[4]. Media massa baik televisi, radio, surat kabar, media sosial (internet), poster dapat menjadi saluran sosialisasi dan komunikasi politik.
Namun sayangnya, media poster sebagai saluran sosialisasi dan komunikasi politik yang terpampang di sepanjang jalan dan tempat tertentu baru bertaraf menjual wajah dan gesture calon legislatif serta jargon-jargon umum. Menjual wajah cantik dan tampan dengan senyum terkulum maupun tawa lebar untuk mengkomunikasikan wilayah depan (front region) sebagai seorang yang percaya diri, cerdas dan visioner. Menjual gesture (sikap tubuh) seperti menuding, mengepalkan tangan, berfoto bersama petani untuk mengkomunikasikan wilayah depan (front region) sebagai seorang yang merakyat, tegas, energik. Menjual jargon-jargon umum seperti “pilihlah saya”, “perubahan”, “mohon doa restu” untuk mengkomunikasikan wilayah depan (front region) sebagai seorang yang memastikan bahwa dirinya layak dipilih karena mampu melakukan sejumlah perubahan.
Model komunikasi politik melalui pemanfaatan media poster bukan sesuatu yang keliru karena dari berbagai analisis bahwa strategi poster memiliki sejumlah dampak yang meningkatkan elektabilitas (keterpilihan) seseorang sebagai calon legislatif[5]. Namun demikian ada dua hal yang ingin saya kritisi terkait komunikasi politik calon legislatif melalui saluran media poster. Pertama, terkait kreatifitas isi pesan dalam poster. Calon legislatif masih belum kreatif sehingga isi poster hanya “menjual wajah”, “menjual gesture”, “menjual jargon”. Mengapa calon legislatif tidak memanfaatkan media poster untuk “menjual ide dan opini” dengan mengundang para pembaca posternya untuk menghadiri forum penyampaian opini terhadap sejumlah persoalan sosial. Mengapa calon legislatif tidak membuat poster yang menginformasikan pada masyarakat berisikan ajakan untuk menghadiri ceramah-ceramah dimana dirinya akan menyampaikan sejumlah kajian dan opini mengenai isyu sosial tertentu untuk membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya isyu terkait. Kedua, terkait dengan model komunikasi politik. Lagi-lagi calon legislatif hanya terpaku pada satu bentuk komunikasi politik yang hanya mengandalkan dan memanfaatkan salah satu saluran yaitu media poster. Mengapa calon legislatif tidak memanfaatkan media sosial seperti website dan blog untuk mengkomunikasikan program dan menjual ide dan gagasan dengan menuliskan konsep-konsep, analisis-analisis serta opini-opini terkait persoalan sosial dan politik yang berhubungan dengan masyarakat? Akan lebih baik jika para kandidat legislatif memanfaatkan forum-forum kemasyarakatan seperti arisan RT, pertemuan PKK untuk sosialisasi program dan pemikiran, sehingga masyarakat dapat mengukur komitmen dan kualitas para kandidat.
Yang lebih penting dari sekedar poster adalah fungsionalitas dan kompetensi kandidat legislatif. Poster bisa memanipulasi keadaan sebenarnya dari seorang kandidat legislatif karena poster tidak memperlihatkan secara utuh “panggung belakang” (back region) seorang kandidat yaitu kesehariannya, aktifitasnya, karyanya, kontribusinya sosialnya dan hanya menampilkan “panggung depan” (front region) yang bisa dimanipulasi melalui teknologi pemotretan sehingga menampilkan citra yang berkebalikan antara “panggung depan” (front region) dan “panggung belakang” (back region).
Yang dimaksudkan fungsionalitas artinya kegunaan atau keberfungsian seorang calon legislatif saat menjabat sebagai seorang legislatif baik pusat maupun daerah. Sementara kompetensi bermakna kemampuan, skill seseorang berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang anggota legaislatif yang merupakan wakil dari rakyat.
Mengapa fungsionalitas dan kompetensi seorang calon legislatif lebih utama dari sekedar poster? Karena fungsionalitas dan kompetensi seorang kandidat akan menentukan mampu tidaknya seorang kandidat legislatif melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Seorang calon legislatif harus mampu menjalankan fungsi dan wewenangnya sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang. Adapun undang-undang yang mengatur mengenai fungsi dan wewenang legislatif yaitu Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR-RI, DPD-RI dan DPRD[6].
Terkait fungsi dan wewenang legislatif diatur dalam beberapa bab dan pasal. Untuk DPR diatur pada Bab III Pasal 69,70,71 dan untuk DPRD Provinsi diatur dalam Bab V Pasal 292, 293 serta DPRD Kabupaten/Kota diatur pada Bab VI Pasal 343, 344.
Kita akan batasi dalam hal menyoroti fungsi dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota saja. Menurut Bab VI Pasal 343 mengenai fungsi DPRD sbb:
1. DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
a. Legislasi
b. Anggaran
c. Pengawasan.
2. Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota.
Menurut Bab VI Pasal 343 mengenai tugas dan wewenang DPRD sbb:
1. DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:
a. Membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
b. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
d. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian
e. Memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;
f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
k. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Dari kutipan Undang-Undang No 20 Tahun 2009 kita mendapatkan keterangan mengenai fungsi seorang legislator tingkat daerah (DPRD) yaitu:
Legislasi: Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPRD selaku pemegang kekuasaan membentuk peraturan daerah. Anggaran: Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD yang diajukan oleh Bupati. Pengawasan: Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan peraturan daerah dan APBD.
Dengan membaca amanat undang-undang di atas, maka seorang yang mencalonkan dirinya sebagai seorang anggota legislatif baik MPR, DPR, DPD, DPRD sudah seharusnya menyadari bahwa dirinya harus bersifat fungsional dan memiliki kompetensi di bidang-bidang yang berkaitan dengan Legislasi (pembuatan undang-undang), Anggaran (penyusunan budget), Pengawasan (kontrol terhadap keputusan perundangan).
Oleh karena fungsionalitas dan kompetensi menjadi ukuran, maka seorang calon anggota legislatif harus lebih banyak memperkaya wawasan dengan banyak membaca buku-buku terkait politik dan sosiologi, membaca berbagai isyu sosial, politik, ekonomi, kebudayaan melalui media cetak dan media sosial (internet). Kekayaan wawasan yang akan menghasilkan keputusan perundangan yang bermanfaat untuk kepentingan rakyat. Selain memperkaya wawasan, seorang calon legislatif harus peka terhadap persoalan-persoalan sosial. Untuk memiliki kepekaan sosial, seorang kandidat legislatif harus memiliki interaksi sosial dengan berbagai stratifikasi sosial di dalam masyarakat. Syarat untuk terjadinya interaksi sosial adalah “kontak sosial dan komunikasi”[7]. Jika seorang kandidat legislatif tidak memiliki berbagai kontak sosial dan komunikasi dengan kelompok-kelompok sosial, maka dia tidak pernah mengetahui berbagai persoalan-persoalan di level grass root (akar rumput). Terakhir, seorang calon legislatif harus memiliki pola interaksi sosial yang sehat dengan berbagai kelompok masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial dapat dibedakan menjadi interaksi sosial asosiatif (merekatkan) - akomodasi, asimilasi, akulturasi – dan interaksi sosial disosiatif (menjauhkan) – persaingan, konflik[8]. Jika interaksi sosial seorang calon legislatif selalu dalam proses yang disosiatif, maka akan membawa pengaruh kontraproduktif saat dia terpilih dan menduduki jabatan publik. Berbagai interaksi disosiatif akan terjadi berwujud konflik-konflik antar pribadi, bukan karena konflik memperdebatkan argumentasi.
Kiranya tulisan ini bermanfaat bagi konstituen yang akan menentukan pilihannya terhadap calon-calon legislatif yang akan mewakili kepentingan-kepentingan konstituen, dengan membuat pilihan yang rasional terhadap sejumlah kandidat anggota legislatif. Bukan hanya bagi konstituen melainkan bagi para kandidat legislatif yang akan maju dalam pertarungan politik saat pemilu legislatif mendatang. Kiranya para kandidat tidak hanya menjual wajah (tampan-cantik), menjual gesture (bahasa-bahasa tubuh), menjual jargon (istilah-istilah) melainkan mampu menjual ide, opini, gagasan, solusi konstruktif yang disalurkan melalui media sosial bahkan poster serta forum-forum kemasyarakatan.
End Notes:
[1] Sumbo Tinarbuko, Desain Poster Sosial, Membangun Kesadaran Baru Nurani Individual
http://dgi-indonesia.com/desain-poster-sosial-membangun-kesadaran-baru-nurani-individual/
[2] Sisi Lain Poster
http://www.anneahira.com/poster.htm
[3] Miriam Budiarjo, Pengantar Ilmu Politik, Tanggerang: Universitas Terbuka 2013, hal 4.33
[4] Ibid., hal 4.36
[5] Beberapa kajian terkait peran media sosial dan poster dapat dibaca berikut ini:
Saqib Riaz, Effects of New Media Technologies on Political Communication, Journal of Political Studies, Vol. 1, Issue 2, 161-173
http://pu.edu.pk/images/journal/pols/Currentissue-pdf/saqib10.pdf
Rita Safranek, The Emerging Role of Social Media in Political and Regime Change
http://www.csa.com/discoveryguides/social_media/review.pdf
[6] Undang-undang nomor 27 tahun 2009 Tentang MPR/DPR-RI, DPD-RI dan DPRD
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/27TAHUN2009UUPenjel.pdf
[7] Prof. Soerjono Soekanto & Dra. Budi Sulistyo, MA., Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, hal 58
[8] Ibid., hal 65-97
0 komentar:
Posting Komentar