Telaah Kritis Terhadap Program Reality Show Mistik dan Misteri
Televisi
Indonesia tidak pernah sepi dari berbagai tayangan yang berbau mistik dan
misteri lengkap dengan kehadiran fenomena gaib dan gejala hantu. Berbagai
tayangan mistik dan misteri tersebut terbagi dalam beberapa bentuk yaitu: film,
sinetron, reality show. Sejak tayangan “Kismis” (Kisah-kisah Misteri) di RCTI
pada tahun 2003, maka sampai saat ini berbagai tayangan reality show bergenre mistik
dan misteri lainnya bermunculan dan tetap menjadi andalan pengelola televisi
untuk meningkatkan rating dan meraup perhatian penonton.
Beberapa
tayangan reality show berbalut mistik dan misteri dengan melibatkan aktifitas
paranormal dan fenomena hantu al., “Gentayangan” (TPI/MNC dengan host Toro
Margen), “Dunia Lain” (Trans TV dengan host Harry Pantja), “Silet” (RCTI dengan
host Feny Rose), “Pemburu Hantu” (Lativi dengan melibatkan sejumlah ustadz
penangkap hantu), “Percaya Ngak Percaya” (ANTV dengan host Leo Lumanto), “Masih
Dunia Lain” (Trans 7 dengan host Rudi Kawilarang), “Indigo” (Trans TV dengan
host Vira Razak), “Dua Dunia” (Trans 7 dengan host Indah Ananta)[1].
Sebagian dari program-program tersebut telah habis masa tayangnya dan tidak
diperpanjang namun sebagian lainnya masih tetap bertahan dengan pergantian
judul program atau disiarkan oleh televisi lain. Tahun 2014 ini, stasiun
televisi ANTV menayangkan program baru “Angker Banget”.
Trans
7 nampaknya yang paling banyak menampilkan tayangan reality show bergenre
mistik dan misteri. Selain dua tayangan andalan “(Masih) Dunia Lain” dan “Dua
Dunia”, Trans 7 memiliki program andalan “Mister Tukul Jalan-Jalan” yang
dipandu oleh presenter dan komedian Tukul Arwana. Animo masyarakat begitu luar
biasa terkait dengan program reality show ini. Hal ini nampak dengan
berbondong-bondongnya masyarakat saat syuting dan pengambilan gambar di
berbagai tempat yang diyakini mistis dan angker. Hal ini terjadi dikarenakan
minat masyarakat yang masih besar terhadap berbagai fenomena mistik dan
popularitas Tukul yang menjadi daya pikat dan perekat yang mengokohkan
penerimaan masyarakat terhadap program reality show mistik tersebut.
Mengapa Masih Diminati?
Maraknya
berbagai tayangan bergenre mistik dan misteri serta fenomena hantu yang
menyelusup dalam realitas masyarakat kita melalui film layar lebar, sinetron
serta reality show dan tetap diminati masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, kultur masyarakat.
Eksistensi mistik dan misteri masih merupakan kultur yang menonjol dalam
realitas sosiologis kemasyarakatan. Istilah lain untuk kultur mistik di atas
disebut dengan “Mystic Society”[2]
Sekalipun
masyarakat kita sudah memasuki Abad XXI dimana peranan teknologi dan
rasionalitas menjadi ujung tombak perubahan sosial, namun kultur kepercayaan
terhadap mistik dan misteri masih menjadi bagian yang membentuk kepribadian dan
kepercayaan masyarakat. Sebenarnya, kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat
mistik dan misteri serta fenomena hantu bukan hanya milik dan bagian dari
kultur masyarakat Indonesia. Diseluruh belahan dunia bahkan negara yang sudah
maju teknologinya sekalipun kepercayaan-kepercayaan tersebut masih tetap ada
hingga sekarang. Di Amerika Serikat ada kepercayaan mengenai aktifitas para
hantu di Gedung Putih, kamp konsentrasi di Auscwitcz, Polandia, hotel Raynham
Hall di Inggris dll[3].
Sekalipun
berbagai bentuk kepercayaan mistik, misteri serta fenomena hantu merupakan
universal, namun bagi masyarakat di negara-negara maju bukan lagi menjadi sebuah
kultur yang mendominasi pola pikir dan perilaku masyarakatnya. Namun berbeda
dengan Indonesia. Kultur kepercayaan kepada hantu dan roh-roh penunggu sebuah
tempat tertentu yang dinyatakan angker dan keterpesonaan dengan kekuatan gaib,
masih mendapat perhatian besar dari sebagian besar masyarakat. Kondisi “Mystic
Society” ini pula yang menjelaskan mengapa masih banyak calon legislatif kerap
memanfaatkan tempat-tempat bertuah (makam, sungai, pohon) untuk menjadi medium
memperoleh keberhasilan[4].
Prof.
C.A. van Peurseun memetakan tahapan dan fase pertumbuhan kebudayaan manusia
menjadi “tahap mistis, tahap ontologis, tahap fungsionil”. Beliau menjelaskan
ketiga tahapan tersebut sbb:
“Yang dimaksudkan dengan tahap mistis ialah sikap manusia yang
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu
kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kesuburan, seperti dipentaskan dalam
mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif…Yang dimaksudkan dengan
tahap kedua atau ontologis ialah
sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan
yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak
terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun
suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan
mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu)…Tahap ketiga atau fungsionil ialah sikap dan alam pikiran
yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh
lingkungannya (sikap mistis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak
terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis)”[5]
Kepercayaan
masyarakat Indonesia modern terhadap fenomena mistik dan misteri bukan lagi
“sisa-sisa” dari “tahapan mistis” sebagaimana dipetakan Peurseun namun saat ini
masih tetap bertahan bahkan semakin menguat mengejawantahkan dirinya dalam
struktur dan realitas masyarakat modern yang menggunakan pemetaan Van Peurseun
sebagai “tahapan fungsionil”.
Prof.
DR. H.M. Burhan Bungin, S.Sos., M.Si menegaskan mengenai kultur mistik
masyarakat sbb:
“Jadi, kebiasaan masyarakat
menonton tayangan mistik merupakan cara lain yang dilakukan oleh masyarakat
selama ini, meneruskan kebiasaan menelusuri dunia mistik yang dilakukan dengan
cara-cara lain untuk menjelajahi dunia ini seperti pergi ke dukun, mendengar
tuturan-tuturan cerita mistik dari seseorang, membaca buku-buku cerita horor,
dan sebagainya. Jadi, sebenarnya kebiasaan menonton tayangan mistik ini selain
merupakan sebuah petualangan batin seseorang, juga sebuah budaya masyarakat
yang dilakukan di hampir semua masyarakat…Dengan demikian tesis kita, bahwa
sebenarnya apa yang dilakukan oleh televisi dengan menayangkan film-film
mistik, horor dan sebagainy itu adalah sebuah refleksi sosiologis yang
digambarkan sebagaimana fenomena itu hidup dalam alam kognitif di berbagai
masyarakat”[6]
Kultur
mayoritas masyarakat yang menjadikan kepercayaan terhadap fenomena mistik,
misteri dan fenomena hantu menjadi faktor utama yang melanggengkan berbagai
tayangan televisi khususnya reality show misteri masih tetap diminati. Kultur
ini tercermin melalui rating yang tinggi terhadap tayangan-tayangan mistik.
Riza
Primadi, Direktur Trans TV pada seminar bertajuk “Industri Pertelevisian di
Indonesia” di gedung FISIP Universitas Airlangga tahun 2003 pernah mengatakan
bahwa masyarakat lebih meminati tayangan dangdut dan hantu tinimbang acara ilmu
pengetahuan seperti Discovery Chanel. Tayangan hantu memiliki rating yang
tinggi. Tayangan yang diminati masyarakat tentu saja akan menyedot iklan dan
menghidupkan eksistensi televisi[7].
Terkait mengenai korelasi tayangan hantu, rating dan iklan, Encon Rahman
menjelaskan:
“Dewasa ini tayangan hantu
telah menjadi komoditas di televisi kita. Maraknya tayangan hantu bukan tanpa
alasan. Televisi sebagai media hiburan memiliki strategi untuk meraih untung
sebanyak-banyaknya. Beranjak dari hal itu, tayangan hantu dinilai memiliki
rating tinggi pada setiap episodenya, maka eksistensinya dipertahankan”[8]
Kedua, Proses keberhasilan proses
konstruksi sosial oleh media televisi melalui program-program reality show
bertemakan mistik dan misteri serta berbagai fenomena hantu. Dengan
mempertimbangkan teori “Konstruksi Sosial” dari Peter L. Berger dan Thomas
Luckman dalam bukunya, “The Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociological of Knowledge” yang menyatakan bahwa realitas yang kita alami
adalah hasil dari tindakan dan interaksi manusia secara terus menerus, maka
Prof. DR. H.M. Burhan Bungin, S.Sos., M.Si membuat sebuah rumusan baru dalam
konteks perkembangan teknologi dan media massa melalui bukunya, “Konstruksi Sosial
Media Massa: Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik”. Substansi
“Teori Konstruksi Sosial Media Massa” menurut Bungin sbb:
“sirkulasi informasi yang
cepat dan luas sehingga kontruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan
sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa,
massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis”[9]
Dengan
kata lain, televisi yang menyiarkan program reality show bertemakan mistik dan
misteri serta fenomena hantu, bukan hanya mencerminkan kultur dan pola perilaku
masyarakat namun mereka turut serta melakukan proses kontruksi sosial terhadap
masyarakat. Senada dengan pernyataan Bungin, Hall dalam bukunya “Culture, the
Media and the Ideological Effect” menegaskan pesan yang sama sbb:
“Televisi berdampak pada
‘ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, dimana
kita mempersepsikan ‘dunia’, ‘realitas yang dijalani’ orang lain dan secara imajiner
merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui ‘dunia secara
keseluruhan’ yang dapat dialami”[10]
Bagaimana
proses konstruksi sosial terjadi pada masyarakat melalui tayangan reality show
mistik dan misteri serta fenomena hantu? (1) Televisi mengonstruksi kesadaran
masyarakat melalui pembuktian bahwa suatu lokasi tertentu yang telah dipilih
memiliki aktifitas hantu dan mistik. Pembuktian itu dilakukan dengan
menggunakan peralatan modern seperti kamera dengan infra merah (kemunculan orb
atau gelembung putih, penampakkan wajah hantu, benda bergerak sendiri). (2) Interaksi
antara peserta yang telah ditentukan dengan berbagai aktifitas hantu. Berbagai
peristiwa yang dilihat dan dialami oleh peserta yang saat itu mengalami
fenomena hantu (suara, benda jatuh, penampakkan). (3) Kesaksian pihak ketiga
(masyarakat) mengenai keangkeran sebuah tempat yang ditentukan menjadi lokasi
syuting untuk menemukan aktifitas hantu. (4) Pendapat tokoh paranormal yang
memberikan interpretasi dan penjelasan mengenai aktifitas hantu di suatu tempat
yang sudah ditentukan. Tokoh-tokoh paranormal ini kerap melakukan rasionalisasi
terhadap berbagai hantu dengan menggunakan istilah-istilah yang lebih ilmiah
seperti, “energi positif”, “energi negatif”, “mahluk astral”, “interaksi mahluk
astral”, “mediumisasi”, dll. (5) Tindakan penangganan oleh paranormal
(memasukkan hantu pada botol, memasukkan dan membuang mahluk gaib dari tubuh
seseorang). Penggunaan bahasa dan rasionalisasi ini turut memberi andil proses
konstruksi sosial masyarakat yang menonton tayangan ini untuk mengadopsi
istilah-istilah tersebut dan menerapkan dalam membaca situasi sejenis yang
mereka alami. Sebagaimana dikatakan Bungin di atas, bahwa kontruksi sosial
media massa khususnya televisi menghasilkan “pembentukan opini massa” mengenai
suatu tempat tertentu yang bersifat angker dan berbagai aktifitas yang
dihubungkan dengan para hantu. Maka hasilnya ketika ada penayangan reality show
yang bertemakan mistik, misteri dan fenomena hantu, masyarakat yang sudah terkonstruksi
dan terbentuk opininya, akan menggemari tayangan-tayangan tersebut sehingga
melanggengkan eksistensinya
Ketiga, kompensasi kejenuhan masyarakat
terhadap kegaduhan politik. Perilaku politisi dan ahli hukum yang kerap
terjerat praktik korupsi menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat. Masyarakat
merasa dikhianati dan tidak memiliki patron untuk diteladani. Akibatnya
masyarakat melakukan kompensasi dengan menyaksikan berbagai tayangan televisi
yang lebih memberikan nuansa memberikan hiburan penglipur lara. Tidak heran
saat ini masyarakat lebih senang menonton tayangan-tayangan yang dapat
melepaskan kepenatan seperti lawakan-lawakan, acara kuis dengan melibatkan
goyang massal (Goyang Caesar, Goyang Bang Jali, dll) tidak terkecuali program
reality show mistik dan misteri serta fenomena hantu. Daripada melihat
kemunafikan pejabat publik, lebih melihat perilaku hantu-hantu dan berinteraksi
dengan mereka, demikian kemungkinan logika berfikir masyarakat peminat tayangan
mistik dan misteri.
Keempat, belum maksimalnya lembaga
pendidikan formal menghasilkan individu yang rasional kritis. Lembaga sekolah
dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bertanggung jawab
mencerdaskan masyarakat dan mengedepankan berfikir kritis dan rasional membaca
situasi. Berfikir kritis dan rasional bukan berarti menafikkan eksistensi
semacam dunia gaib dan mahluk-mahluk gaib. Berfikir kritis dan rasional
mendorong individu mendapatkan penjelasan rasional terhadap suatu gejala sosial
dan gejala alam.Ketiadaan pola pikir kritis dan rasional mendorong individu
menerima begitu saja kepercayaan yang berkembang di masyarakat mengenai tempat
berhantu dan aktifitas hantu yang menimbulkan gangguan tertentu.
Adakah Nilai dan
Manfaatnya?
Saya
pribadi tidak melihat manfaat apapun dari tayangan reality show bertemakan
mistik dan misteri serta fenomena hantu. Kalaupun alasannya untuk melakukan
pembenaran teologis agama tertentu bahwa Tuhan menciptakan mahluk-mahluk gaib
tertentu (jin, demit, genderuwo dst) dan melalui tayangan mistik dan misteri
serta fenomena hantu seseorang akan semakin mempercayai kebesaran Tuhan, maka
pernyataan di atas sesungguhnya bentuk
sesat fikir (logical fallacy). Apa hubungannya kebesaran Tuhan dengan
eksistensi roh-roh penunggu rumah kosong, rumah peninggalan Belanda, pabrik
peninggalan Belanda, hotel yang terbengkalaia? Bukankah kebesaran dan
eksistensi Tuhan dapat ditemukan melalui keteraturan alam semesta yang perlu
ditelaah secara rasional kritis dengan pendekatan ilmu pengetahuan? Bukankah
kebesaran dan eksistensi Tuhan dapat ditemukan melalui keindahan alam yang
terpancar melalui barisan gunung membiru dan hamparan hijau menghias bebukitan
serta gemericiknya air sungai dan air terjun yang melemparkan air dari
ketinggian?
Kalaupun
alasan hiburan dipilih untuk menemukan manfaat tayangan reality show mistik dan
misteri serta fenomena hantu, maka alasan inipun cacat logika. Bukankah orang
yang terhibur adalah orang yang terbebas dari rasa jenuh dan mengalami
kesegaran berfikir? Bukankah orang yang terhibur adalah orang yang mengalami
kesenangan dan terbebas dari kesedihan? Bukankah orang yang terhibur adalah
orang yang mengalami keterbebasan dari rasa takut yang mencekam? Apakah saat
menonton program reality show hantu lantas menimbulkan keceriaan, kegembiraan,
keberanian, kesegaran? Atau sebaliknya, terbentuk rasa mencekam, takut hantu,
takut melewati jalan sunyi dan gelap, takut melewati rumah kosong?
Yang
mengherankan adalah saat saya membaca pernyataan Tukul, presenter tayangan
“Mister Tukul Jalan-Jalan” sbb:
“Motivasi tayangan program
ini untuk menghibur.. Namun di balik itu ada pesan positif karena memiliki
edukasi sejarah. Buat saya pribadi juga merupakan tambahan ilmu yang nggak pernah didapat manakala di sekolah dulu,”[11]
Bagaimana
mungkin penayangan aksi dan interaksi dengan para hantu dan roh-roh penunggu
sebuah tempat yang ditengarai angker dan sejumlah lokasi wisata bersejarah
disebut sebagai “pesan positif karena memiliki edukasi sejarah?”. Dimana pesan
positifnya? Dan dimana nilai edukasi sejarahnya? Jika benar program tersebut
memiliki nilai “edukasi sejarah” seharusnya lebih menekankan bobot analisis
historisnya berupa siapa yang membangun tempat tersebut, apa fungsi bangunan
bersejarah tersebut, mengapa bangunan tersebut tidak lagi dipergunakan? Dari
sepanjang penayangan yang saya amati selama ini, proses edukasi sejarah itu
tidak terjadi. Sebaliknya, yang terjadi adalah “edukasi mistis” dimana
tempat-tempat tersebut dideskripsikan sebagai tempat berhantu dan terjadi
interaksi hantu dan manusia.
Jika
kita hadapkan nilai manfaat tayangan reality show hantu dengan fungsi media
komunikasi massa, pun sulit ditemukan fungsionalitasnya. Undang-Undang No 32
Tahun 2002 Tentang Penyiaran pada Pasal 4 Pasal 1 dikatakan sbb:
“Penyiaran sebagai kegiatan
komunikasi massa mempunya fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan
yang sehat, kontrol dan perekat sosial”
Tayangan
reality show hantu bisa dikategorikan menghibur namun apakah hiburan yang
menyehatkan sekaligus sebagai bentuk kontrol sosial? Selanjutnya pada Pasal 5
point c dan h dikatakan bahwa penyiaran diarahkan untuk:
“meningkatkan
kualitas sumber daya manusia
mendorong peningkatan kemampuan
perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan dan memperkuat daya saing bangsa dalam
era globalisasi”
Kualitas
sumber daya yang bagaimana yang akan dihasilkan dari berbagai program reality show
yang mempertontonkan aktifitas hantu dan roh-roh penunggu? Jika globalisasi ditandai
dengan kemampuan penguasaan teknologi, lalu nilai-nilai apa yang dihasilkan dari
tayangan di atas untuk mendorong daya saing di era globalisasi?
Memperhitungkan Dampak
Penayangan
Apa
yang kita lihat, dengar, baca dan konsumsi akan membentuk sebuah pengaruh dalam
diri kita, baik cara berfikir, sikap dalam bertindak serta perilaku. Apa yang
kita lihat, dengar, baca dan konsumsi berbanding lurus dengan apa yang kita
lakukan. Bungin Burhan menegaskan efek media massa khususnya televisi sbb:
“Dalam dunia media
informasi, sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat,
seperti yang diistilahkan dengan ‘theater of mind’. Bahwa siaran-siaran media
informasi secara tidak sengaja telah meninggalkan kesan siaran dalam pikiran
pemirsanya. Sehingga suatu saat, media informasi itu dimatikan, kesan itu
selalu hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk panggung-panggung realitas di
dalam pikiran mereka”[12]
Dalam
menelaah dampak penayangan program reality show hantu, saya akan menggunakan
beberapa perspektif al., Teori “Segitiga Konflik” Johan Galtung, “Teori
Cultivasi” dari Professor George Gerbner serta “Tipologi Dampak Media Massa”
dari McQuail.
Teori
pertama meminjam Teori Sosiologi “Segitiga Konflik” Johan Galtung bahwa sebuah
sikap akan menghasilkan perilaku dan perilaku akan menimbulkan situasi yang
dalam perspektif Galtung disebut situasi konflik. Novri Susan menjelaskan teori “Segitiga
Konflik Galtung” sbb:
“Secara sederhana, sikap
melahirkan perilaku, dan pada gilirannya melahirkan kontradiksi atau situasi.
Sebaliknya, situasi bisa melahirkan perilaku. Misalnya persepsi etnis A
terhadap etnis B adalah negatif, maka muncul perilaku etnis A yang tidak
kooperatif terhadap etnis B, sehingga menimbulkan situasi yang kurang baik atau
kontradiksi. Sebaliknya, sikap etnis A akan dibalas dengan sikap dan perilaku
etnis B dalam konteks antagonistis (melawan)”[13]
Tayangan
mistik dan misteri serta fenomena hantu yang dikonsumsi secara berkala tanpa
sebuah perimbangan peningkatan nalar daya kritis serta konsepsi keimanan, akan
membentuk sebuah sikap tertentu terhadap sebuah situasi dan kondisi serta
tempat. Sikap tersebut berupa rasa takut dan menganggap hantu dan roh-roh
penunggu lebih berkuasa dari manusia. Sikap tersebut akan menghasilkan perilaku
perdukunan dan praktek paranormal. Sikap dan perilaku tersebut akan
menghasilkan situasi atau keadaan berupa pola pikir yang tersublimasi menjadi
bagian dari kebudayaan individu dan kolektif.
Teori
kedua meminjam perspektif Dennis McQuail dalam bukunya “McQuail’s Mass
Communication Theory” yang menjelaskan tipologi dampak efek media massa sbb: Pertama, efek yang direncanakan
(edukasi, informasi, hiburan). Kedua
efek yang tidak direncanakan. Efek yang di luar kontrol atau kendali media
massa. Ketiga, efek jangka pendek.
Efek yang dialami seketika dan dalam waktu yang cepat. Keempat, efek jangka panjang. Efek yang mendatangkan perubahan sosial
atau justru sebaliknya berupa kerusakkan[14].
Program
reality show bertemakan hantu tentu saja dapat menimbulkan efek tidak terencana
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sbb: Pertama, menurunnya kemampuan menganalisis sebuah persoalan secara
rasional dan kritis. Tanah tidak subur cukup dijawab dengan tanah berhantu.
Rumah tidak nyaman cukup dijawab dengan rumah berhantu. Kedua, penglibatan diri terhadap kegiatan paranormal dan
perdukunan. Bukankah aktifitas hantu dan roh-roh penunggu kerap ditangani
melalui jasa orang yang memiliki kemampuan supranatural untuk menaklukan hantu
dan roh-roh jahat? Dengan demikian masyarakat terdorong untuk terus menerus
menggunakan jasa paranormal dan dukun untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Ketiga, mendorong seseorang untuk
mempelajari dan memiliki kemampuan gaib untuk dapat mengatasi gejala dan
gangguan dari mahluk-mahluk gaib. Keempat,
membentuk sikap dan perilaku inferioristik terhadap hantu dan roh-roh penunggu
tempat angker. Perhatikan saja perilaku menyapa roh-roh penunggu saat adegan
reality show bertemakan mistik dan misteri serta fenomena hantu dengan salam
keagamaan tertentu seolah-olah eksistensi mereka lebih tinggi dan lebih kuat
dari manusia. Tayangan sedemikian akan membentuk sikap dan perilaku masyarakat
untuk melakukan hal yang sama saat menghadapi situasi yang sama.
Teori
ketiga adalah “Teori Kultivasi” dari Professor George Gerbner. Teori ini
menjelaskan bahwa televisi bertanggung jawab untuk membentuk dan menumbuhkan (cultivate) konsepsi penonton mengenai realitas
sosial. Efek gabungan dari paparan televisi dalam jumlah besar oleh penonton dari waktu ke
waktu secara halus akan membentuk
persepsi individu
terhadap realitas dan
akhirnya bagi budaya kita secara keseluruhan. Gerbner berpendapat bahwa
media massa menumbuhkan sikap dan nilai-nilai yang sudah ada dalam suatu budaya. Media memelihara
dan menyebarkan nilai-nilai ini di antara anggota suatu budaya, sehingga
mengikat secara bersama-sama[15]. Dengan menggunakan pendekatan teori
Gerbner maka efek penayangan program reality show bertemakan hantu akan
mengkultivasi (menumbuhkan) mentalitas berfikir mistis dan bukan mental
berfikir kritis. Simak saja dalam salah satu tayangan reality show hantu dimana
presenter acara dan tokoh paranormal yang terlibat memasukkan roh (istilah
mereka adalah “mediumisasi”) dan mengeluarkan roh-roh penunggu sebuah tempat.
Terjadi proses “mediumisasi” (rasionalisasi bahasa terhadap istilah kerasukan)
dimana seseorang akan dikuasai roh penunggu setempat dan diwawancarai serta
memberikan informasi. Yang menggelikan adalah saat orang yang termediumisasi
bertanya, “apa yang kalian lakukan di sini”, hampir selalu jawaban yang sama
terlontar baik dari presenter maupun tokoh paranormal, “kami ingin mengetahui
sejarah tempat ini pada masa lampau”. Dan jika kita jeli, hampir semua orang
yang termediumisasi roh-roh penunggu setempat memberikan informasi yang
berbeda-beda bahkan kerap kontradiksi satu sama lain.
Sikap
dan perilaku di atas akan membentuk sikap dan perilaku yang sama terhadap
penonton dan menumbuhkan
(cultivate) konsepsi penonton
mengenai realitas sosial
yang dihadapinya. Alih-alih menganalisis sebuah persoalan dengan rasional dan
kritis dengan melibatkan instrumen rasio dan metodologi keilmuan untuk
mendapatkan informasi historis, malah terjebak menggunakan metodologi irasional
melalui mediumisasi alias menanyai orang yang dirasuki roh-roh tertentu.
Menjadi Audiens Aktif
Alias Penonton Kritis
Dibalik
berbagai kegiatan program televisi yang ditayangkan, ada berbagai gerak dan
dinamika ekonomi yang mempengaruhi dan menentukan isi sebuah program yang
dipilih dan dipublikasikan kepada masyarakat. Hakim Syah dalam kajiannya berjudul,
“Komodifikasi Khalayak Dalam Industri Media” mengatakan,
“Membincangkan media
sebagai ranah industri tentu saja tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi
politik media. Ekonomi politik media akan selalu erat bersinggungan dengan
faktor produksi, distribusi dan konsumsi”[16]
Hakim
Syah mengutip pandangan Vincent Mosco dalam bukunya, “Political Economy of
Communication” bahwa untuk memahami ekonomi politik media harus memiliki konsep-konsep
yang terlibat di dalamnya yaitu “komodifikasi”, “spasialisasi” serta
strukturasi”[17]. “Komodifikasi”
diartikan sebagai pertukaran dari nilai guna (use value) ke nilai tukar
(exchange value). Dalam proses komodifikasi, terjadi relasi yang timbal balik
dan saling mempengaruhi antara media, khalayak atau audien serta iklan. Dalam
hal ini, khalayak atau audien diposisikan sebagai komoditas dan pasar oleh
industri media.
Dengan
ditempatkannya khalayak sebagai komoditas dan pasar, akan mempengaruhi isi
penayangan suatu program dan bagaimana para pengiklan merespon dengan
mengeluarkan biaya besar. Instrumen pengukur relasi interaktif ketiganya
(industri media, khalayak/audien, pengiklan) adalah “rating”. Rating didefinisikan
sbb:
“Ukuran yang menunjukkan
berapa individu atau rumah tangga yang menonton atau mendengarkan suatu program
televisi/radio dalam suatu waktu tertentu”[18]
Semakin
besar animo masyarakat terhadap sebuah tayangan maka rating tayangan tersebut
dikategorikan tinggi. Semakin tinggi rating sebuah tayangan maka semakin banyak
iklan yang ditayangkan. Semakin banyak iklan yang ditayangkan maka semakin
besar pemasukan yang diterima oleh industri media.
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa tayangan program reality show mistik dan
misteri serta fenomena hantu, mendapatkan rating tinggi sehingga menyedot iklan
yang besar yang tentunya berdampak pada keuntungan finansial bagi
keberlangsungan hidup industri media. Namun patut disadari bahwa penonton
(audien/khalayak) tayangan-tayangan tersebut telah menjadi komoditas dan pasar
belaka bagi kepentingan para pemilik modal belaka sebagaimana dikatakan Hakim
Syah,
“Dalam industri media,
khalayak akan selalu diposisikan sebagai pasar (konsumen) sekaligus komoditas.
Sebagai komoditi, khalayak memiliki sifat-sifat yang sama dengan komoditi
lainnya: dibeli, dijual, perishable – sewaktu-waktu juga dapat menghilang atau
disingkirkan, ketika dinilai tidak lagi berpotensi ekonomi”[19]
Dengan
melakukan analisis interaksi antara industri media, khalayak/audien serta
pengiklan sebagaimana dipaparkan di atas, maka para penonton siaran televisi
khususnya tayangan program reality show mistik dan misteri serta fenomena hantu
diharapkan lebih kritis dan menjadi – meminjam istilah Chris Barker – “Audien
Aktif”. Menurut Barker,
“Tradisi ini menunjukkan
bahwa penonton bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri”[20]
Dengan
menjadi audien aktif maka kita bukan hanya menjadi komoditas dan pasar bagi
kepentingan pemodal yang hendak mengeruk keuntungan semata dari berbagai
program yang tidak mencerdaskan sekalipun memiliki rating tinggi, namun audien
aktif terlibat secara kritis dan rasional dalam memberikan penilaian sebuah
tayangan program di televisi.
Jika
konstruksi media mampu menggiring audien (khalayak, penonton) untuk antusias
menyaksikan reality show bertema mistik dan misteri serta fenomena hantu, maka
dengan kesadaran baru sebagai audien aktif, kita mampu untuk mendorong media
televisi untuk menyiarkan berbagai program yang lebih menghibur namun
mencerdaskan dengan tidak menonton secara kontinu tayangan-tayangan mistik di
atas.
Reality Show Hantu:
Dibekukan atau Diimbangi?
Menyikapi
berbagai tayangan reality show bertemakan mistik dan misteri serta fenomena
hantu yang masih mendapatkan minat besar dimasyarakat, muncul berbagai reaksi
dan tanggapan di masyarakat. Ada yang mengusulkan agar Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) menegur televisi-televisi yang menyiarkan program demikian. Ada
yang menyarankan agar dihentikan program-program tayangan berbau hantu.
Melihat
kultur masyarakat kita yang masih terkategori “Mistic Society”, nampaknya masih
jauh dari harapan bahwa tayangan reality show berbau hantu akan dijauhi dan
tidak diminati para penontonnya. Selama ada koneksifitas saling menguntungkan
antara industri media, audiens serta pengiklan dibalik fenomena hantu, sehingga
menjadi komoditas layak jual yang mendatangkan keuntungan, maka jangan pernah
berharap tayangan-tayangan berbau hantu hilang dari peredaran di televisi.
Bukan
upaya “pembekuan” yang diperlukan melainkan “perimbangan”. Apa yang dimaksudkan
perimbangan dalam konteks pembicaraan kita? Industri media tidak hanya
menayangkan program-program andalan dengan rating tinggi dengan
mengkomodifikasi rasa takut para penonton namun menawarkan sejumlah tayangan
andalan yang juga dapat meningkatkan rating tinggi namun tayangan tersebut
mencerdaskan masyarakat dan menstimulasi masyarakat untuk mengeksplorasi
sesuatu yang masih misteri namun dengan kemampuan analisis rasional dan
pemanfaatan teknologi. Dengan istilah lain, televisi diharapkan menyediakan
“diversity of content” (keragaman isi tayangan). Namun banyak pihak meragukan
kemampuan industri media memperhatikan “diversity of content” mengingat
kepentingan-kepentingan pengiklan yang hanya akan menanamkan uangnya terhadap
program dengan rating tinggi dan saat ini program dengan rating tinggi masih
terkait dengan “Mistic Society” sehingga upaya alternatif pertama ini pun
disangsikan akan berhasil.
Setidaknya
jika usulan di atas tidak berhasil, pengelola suatu program tayangan khususnya
reality show hantu dapat mengimbangi tayangannya dengan memberikan bobot yang
mengimbangi aspek mistis dengan aspek historis. Bukankah program semaca “Mister
Tukul Jalan-Jalan” semula adalah program jalan-jalan ke berbagai lokasi
bersejarah? Mengapa pola itu tidak dikembalikan untuk diangkat ke permukaan.
Sehingga ketika sebuah penayangan aspek mistis diangkat, seiring dengan itu
aspek kesejarahan tempat itu harus diangkat dengan melibatkan pendapat para
ahli sejarah setempat dan bukan pendapat-pendapat paranormal yang terlibat
dalam tayangan tersebut.
Reality Show Hantu dan
Tantangan Bagi Sejarawan dan Ilmuwan Menghadirkan Program Pendidikan Masyarakat
Jika
usulan mengenai perimbangan melalui “Diversity of Content” dimungkinkan tidak
berhasil, maka kita dapat menempuh jalan lain yaitu menyajikan program-program
yang dibiayai swasta dan lembaga-lembaga pendidikan dengan melibatkan ilmuwan
baik sejarawan, arkeolog, geolog, vulkanolog dll.
Mengapa
kita mendorong para ilmuwan di atas untuk terlibat membuat berbagai program
tayangan di televisi? Jika kita simak beberapa tayangan misteri seperti “Mister
Tukul Jalan-Jalan”, berbagai tempat yang kerap dijadikan lokasi syuting untuk
menguak aktifitas hantu dan roh-roh penunggu, rata-rata adalah tempat bernilai
bersejarah baik berupa gedung kantor ataupun rumah pribadi serta pabrik-pabrik
di zaman Belanda. Sangat disayangkan bahwa destinasi wisata berkarakter sejarah
tadi didistorsi nilai historisnya melalui aktifitas-aktifitas mistik yang
dilakukan. Mengapa tidak dianalisis tempat-tempat tersebut dengan menggunakan
metodologi sejarah. Kapan tempat tersebut dibangun? Siapa yang membangun? Apa
fungsi tempat tersebut di masa lalu? Mengapa tempat tersebut tidak berfungsi
kembali?.
Jika
kita menyimak siaran-siaran di berbagai Chanel di luar negeri seperti History
dan National Geographic, banyak program yang melakukan analisis sejarah
terhadap bangunan-bangunan kuno yang sudah tidak dipergunakan kembali bahkan
terbelngkalai. Ambil contoh program “Nazi Megastucture” di National Geographic.
Program ini pun berlatarbelakang gedung tua di zaman Nazi baik berupa bunker,
pabrik, senjata pemusnah, kendaraan perang. Namun yang mereka lakukan bukan
mencari aktifitas “mahluk-mahluk astral” melainkan analisis historis berdirinya
sebuah gedung atau motif pembuatan benda-benda berkaliber mega struktur
tersebut. Masih di Chanel National Geographic, ada judul program “None of the
Above” yang mengulas berbagai analisis dan penjelasan sederhana terkait
gejala-gejala fisika yang ditemui sehari-hari dalam lingkup kehidupan di
sekeliling kita. Program-program ini menawarkan sudut pandang kritis dan
analitis terhadap masa lalu dan masa kini.
Di
channel televisi History ada program dengan judul “America Unearthed” yang
melibatkan penelitian geolog terhadap tempat-tempat tertentu di Amerika dan
Eropa yang masih misteri dan belum terkuak eksistensi dan fungsinya. Ada juga
program dengan judul “10 Things You Don’t Know About” dimana seorang sejarawan
mengulas aspek-aspek perilaku tokoh historis yang belum diketahui oleh
masyarakat.
Program-program
reality show bertemakan hantu yang masih diminati masyarakat bukan semata-mata
akibat masih kuatnya “Mistic Sosiety” dan “Konstruksi Sosial” yang dilakukan
media televisi belaka. Minimnya peran para sejarawan dan ilmuwan lainnya
terlibat untuk membuat program-program mencerdaskan masyarakat dan mengimbangi
tayangan-tayangan fatalistik dan mistik secara tidak langsung menyuburkan
situasi “Mistic Society” ini.
Indonesia
bukan hanya kaya sumber daya alam namun juga kaya warisan sejarah dan
benda-benda arkeologis yang seharusnya ditelaah dengan metodologi sejarah dan
arkeologis serta disajikan secara aktual kepada masyarakat sehingga masyarakat
mengetahui nilai dan makna keberadaan tempat dan benda-benda bernilai sejarah.
Situs Gunung Padang yang akhir-akhir ini ditemukan sudah semestinya diberi
perhatian lebih dan diberikan ruang bagi para arekolog untuk memberikan
analisis dan ulasan mengenai situs baru tersebut secara berkala di televisi
sehingga membentuk pola pikir eksplorasi bagi masyarakat kita[21].
Indonesia
akhir-akhir ini diketahui sebagai negeri gunung berapi (127 gunung berapi)[22]
yang rawan bencana kegunungapian. Seharusnya para vulkanolog tidak hanya
berkomentar terpotong-potong saat terjadi peristiwa bencana melainkan membuat
program dan tayangan yang dibiayai lembaga-lembaga terkait untuk memberikan
siaran berkala mengenai riwayat vulkanologis sebuah gunung berapi dan
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi diseputar gunung berapi tersebut.
Penjelasan dengan menggunakan media televisi disertai visualisasi animatis akan
mendekatkan penonton untuk mencintai ilmu pengetahuan dan pendekatan rasional
terhadap fenomena alam.
Di
Sangiran ditemukan situs “balung buto”, sebuah penamaan tradisionil terhadap
berbagai bentangan fosil mahluk-mahluk berukuran raksasa[23].
Seberapa banyak masyarakat luas yang mengetahui keberadaan fosil-fosil ini dan
maknanya dalam konteks arkeologi dan dinamika kehidupan modern masa kini? Jika
situs “balung buto” di Sangiran ini dijadikan konten sebuah program bertemakan
sejarah dan arkeologi dan dikemas dengan teknologi dan narasi yang memikat maka
akan mendorong masyarakat untuk berkunjung dan turut melakukan eksplorasi dan
interpretasi terhadap bentangan fosil “balung buto” tersebut.
Di
Karangsambung yang kerap disebut-sebut sebagai “black boxe”nya penelitian
gejala benturan lempeng samudra dan lempeng benua[24]
dapat dijadikan sebuah topik pembahasan dan penayangan di televisi sekelas
berbagai analisis di National Geographic maupun Discovery Channel.
Itu
hanya beberapa contoh bagaimana sebuah tempat bersejarah (bangunan, bentang
alam, fosil, candi dll) dikemas menjadi tayangan edukatif dan mendorong para
penontonnya mencintai ilmu pengetahuan dan bernalar rasional dalam memecahkan
peristiwa masa lalu yang masih diselimuti kegelapan.
Kalaupun
industri media berkilah bahwa tayangan-tayangan bertemakan ilmu pengetahuan
kurang diminati oleh penonton dan mereka lebih memilih dangdut dan misteri,
bukan berarti industri media harus menyerah melainkan memberdayakan salah satu
kemampuannya untuk melakukan proses konstruksi sosial agar audien menaruh minat
besar terhadap berbagai tayangan ilmu pengetahuan yang menumbuhkan minat
eksploratif.
Kiranya
para sejarawan, arkeolog, sosiolog dan berbagai ilmuwan dari berbagai disiplin
ilmu bukan hanya berkiprah dan menuangkan analisis dan karya fikirnya dalam
bentuk buku-buku tebal dan diskursus di ruang-ruang kuliah, namun merekapun
mulai berkolaborasi dengan berbagai lembaga terkait untuk menyajikan berbagai
tayangan-tayangan yang dapat mengimbangi berbagai tayangan yang memesona
masyarakat untuk terus menerus berada dalam lingkaran “Mystic Society”. Jika
berbagai tayangan berbau mistik dan misteri serta reality show tidak diimbangi
dengan tayangan-tayangan yang lebih mengedepankan mental eksplorasi ilmiah,
bisa berbagai pendapat-pendapat pseudo ilmiah akan bertebaran dimasyarakat kita
semacam pendapat KH. Fahmi Basya bahwa Candi Borobudur dibangun oleh tentara
jin dan setan Nabi Sulaiman[25].
END NOTE
[1] 9
Acara TV Program Mistis Yang Populer
http://www.infospesial.net/20754/9-acara-tv-program-mistis-yang-populer/
http://www.infospesial.net/20754/9-acara-tv-program-mistis-yang-populer/
[2]
Iswandi Syahputra, dll., Simulasi Mistik Dan Implosi Makna Religius Dalam
Sinetron Rahasia Ilahi Pada Stasiun Televisi TPI, Jurnal Ilmu Komunikasi,
Volume 7, Nomor 3, Sept-Des 2009, hal 241
[3] 10
Tempat Paling Misterius dan Angker di Dunia
http://indocropcircles.wordpress.com/2012/10/11/tempat-paling-angker-di-dunia/
http://indocropcircles.wordpress.com/2012/10/11/tempat-paling-angker-di-dunia/
[4]
Teguh Hindarto, Membaca Anomali Politik Menjelang Pemilihan Umum: Perilaku
Perdukunan di Kancah Politik
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/01/membaca-anomali-politik-menjelang.html
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/01/membaca-anomali-politik-menjelang.html
[6]
Prof. DR. H.M. Burhan Bungin, S.Sos., M.Si, Sosiologi Komunikasi: Teori,
Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana
Prenada Group 2013, hal 333-334
[7]
Tayangan Mistik di Televisi Tidak Ada Nilai Positifnya
http://www.tempo.co/read/news/2003/05/14/05517464/Tayangan-Mistik-di-Televisi-Tidak-Ada-Nilai-Positifnya
http://www.tempo.co/read/news/2003/05/14/05517464/Tayangan-Mistik-di-Televisi-Tidak-Ada-Nilai-Positifnya
[8] Encon Rahman, Mencermati Tayangan Mistik Pada Layar Kaca Kita
http://enconrahman.blogspot.com/2012/09/mencermati-tayangan-mistik-pada-layar.html
[9] Op.Cit, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, hal 207
[10]
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Kreasi Wacana
2013, hal 275
[11] Mister Tukul Jalan-Jalan Dapat Tempat Di Hati
http://poskotanews.com/2013/04/28/mr-tukul-jalan-jalan-dapat-tempat-di-hati/
[12]
Op.Cit, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, hal 177
[13]
Novri Susan, M.A., Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer,
Jakarta: Kencana 2009, hal 90-91
[14]
Op.Cit, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, hal 321-322
[15] Cultivation Theory
http://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Theory%20Clusters/Media,%20Culture%20and%20Society/Cultivation_Theory-1/
[16] Hakim Syah, Komodifikasi Khalayak Dalam Industri Media: Telaah Kritis atas Sistem Rating Media dan Implikasinya Terhadap Public Sphere, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol 8, Nomor 2, Desember 2011, hal 28
[18]
Ricardi S. Adnan, Pemasaran Sosial, Jakarta: Universitas Terbuka 2012, hal 6.27
[19] Op.Cit.,Komodifikasi Khalayak Dalam Industri Media: Telaah Kritis atas Sistem Rating Media dan Implikasinya Terhadap Public Sphere, hal 37
[20]
Op.Cit., Cultural Studies: Teori dan Praktek, hal 285-286
[21] Gunung Padang, Mahakarya Peradaban yang Hilang
http://analisis.news.viva.co.id/news/read/401651-gunung-padang--mahakarya-peradaban-yang-hilang
[23]
Bambang Sulistyanto, Mitos Balung Buto: Tafsir Makna dan Relevansinya Terhadap
Cagar Budaya Sangiran
http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-makna-dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/
http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-makna-dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/
[24]
Teguh Hindarto, Pesona Situs Geologi Karang Sambung
http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/02/pesona-situs-geologi-karang-sambung.html
http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/02/pesona-situs-geologi-karang-sambung.html
[25] Candi Borobudur Dibangun Nabi Sulaiman?
http://hurahura.wordpress.com/2010/09/08/candi-borobudur-berkaitan-dengan-islam/
0 komentar:
Posting Komentar