Peringatan
dan Pembenahan
Terhadap
Komunitas Back to Hebraic Root/Mesianik di Indonesia
Akhir-akhir ini terjadi sebuah kecenderungan konversi (kepindahan agama) dari komunitas Back to Hebraic Root (kembali ke akar Ibrani) dan Mesianik di Indonesia berpindah ke Yudaisme, khususnya di beberapa wilayah seputar Jakarta dan juga beberapa terjadi di Papua. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, orang-orang yang pernah menghubungi saya baik per telepon ataupun media sosial serta tatap muka dan berbunga-bunga ingin menjadi murid dan belajar perihal apa dan bagaimana itu akar Ibrani Iman Kristen, tiba-tiba kedapatan sudah putus kontak dan ada yang tetap menjalin kontak lalu membuat berbagai pernyataan di media sosial Facebook yang mengutip pendapat-pendapat Ortodox Yudaisme dan menolak kemesiasan Yesus.
Melalui kehadiran seorang rabi dari Ortodox Yudaisme (yang menolak kemesiasan Yesus) yang gencar melakukan sejumlah seminar dan komunitas-komunitas kecil, kelompok-kelompok ini mulai percaya diri menegaskan eksistensi dirinya. Dalam sejumlah foto yang diunggah di beberapa media sosial kelompok-kelompok tersebut dapat terlihat sejumlah wajah yang setahu saya pernah aktif di komunitas Back to Hebraic Root (kembali ke akar Ibrani) dan Mesianik.
Dari sejumlah penelusuran dan percakapan tidak langsung (per telepon atau melalui media sosial), ada sejumlah motovasi yang berbeda mengenai fenomena konversi ke Yudaisme dari kelompok-kelompok Mesianik al., ingin mengikuti jejak Yesus yang memelihara Torah, merasa telah menjadi korban ajaran pengajar-pengajar Mesianik, ada sejumlah kekacauan dalam Kitab Perjanjian Baru, adanya manipulasi ajaran Bapa Gereja terhadap Yudaisme dll.
Dari sejumlah percakapan tersebut saya mendapat sejumlah gambaran sbb: (1) Mereka yang melakukan konversi kepada Yudaisme, belum memahami apa dan bagaimana Mesianik Yudaisme bahkan akses pada literatur-literatur Mesianik Yudaisme pun begitu minim. (2) Mereka yang melakukan konversi kepada Yudaisme, keliru menafsirkan makna “kembali ke akar Ibrani” (back to Hebraic root) menjadi “kembali ke Yudaisme” (back to Judaism). (3) Mereka yang melakukan konversi kepada Yudaisme tidak bisa membedakan antara Mesianik Yudaisme dan Ortodox Yudaisme. Mirip seperti adegan dalam Film berjudul Alias yang diperankan oleh Jennifer Gardner yang kesasar masuk organisasi SD-6 yang dianggapnya menginduk kepada CIA. Padahal organisasi SD-6 adalah organisasi kontra CIA yang merupakan kepanjangan tangan dari Alliance of Twelve. (4) Mereka yang melakukan konversi ke Yudaisme kebanyakan belum pernah membaca dan berinteraksi langsung secara intelektual dengan literatur pemikir Messianic Judaism. Seberapa banyak dari mereka yang melakukan konversi telah membaca buku-buku sbb: God,Torah,Messiah karya DR Louis Golberg, Jewish New Testament dan Jewish New Testament Commentary karya DR David Stern, Torah Rediscover karya Ariel Berkowitz dll?
Oleh karena alasan-alasan di atas maka melalui buletin ini saya akan menguraikan secara singkat apa dan bagaimana Mesianik Yudaisme lalu bagaimana respon Kekristenan terhadap kehadiran Mesianik Yudaisme dan yang terakhir saya akan mengutip resensi buku karya DR. David Stern, tokoh Mesianik Yudaisme agar kita memiliki pemahaman yang benar mengenai apa dan bagiaman Mesianik Yudaisme tersebut.
Mesianik
Yudaisme: Pemahaman Istilah dan Sejarah Singkat[1]
Jika kita membuka situs internet atau mencari kata “Mesianik” dalam mesin pencari “Google”, maka akan terdapat ratusan bahkan ribuan alamat situs internet yang bersifat “Mesianik”. Siapakah atau apakah “Mesianik” dan ”Back to Hebraic Root” itu? Fenomena Mesianik Yudaisme (Messianic Judaism) adalah suatu kebangkitan spiritual yang terjadi di kalangan unsur-unsur Yudaisme dan Bangsa Yahudi yang mulai merespon ajaran Yesus (Ibr: Yahshua/Yahushua/Yeshua, Aram, ‘Yeshu’, Greek, ‘Iesous’, Ind, ‘Yesus’) Sang Mesias yang dijanjikan namun tidak menyebut diri mereka sebagai Kristen dan Gereja dan mereka tetap memelihara gaya hidup dan tata ibadat Yudaisme, namun dalam terang ajaran Yesus Sang Mesias. DR. Michael Shiffman mendefinisikan Mesianik Yudaisme sebagai: “Messianic Jews are physical descendants of the patriarchs, being Jewish by birth, but are not adherents to the authority of rabbinic tradition”[2] (Mesianik Yudaisme adalah keturunan para leluhur secara jasmani, yang menjadi Yahudi melalui kelahiran namun tidak mengikuti otoritas tradisi kaum rabinik). Sementara itu DR. David Stern memberikan definisi sbb: “A person who was born Jewish or converted to Judaism, who is genuine believer in Yeshua, and who acknowledge his Jewishness”[3] (Seseorang yang dilahirkan menjadi seorang Yahudi atau masuk ke dalam agama Yahudi, yang beriman kepada Yeshua serta mengakui keyahudian Yeshua).
DR. John Fischer memberikan deskripsi mengenai Mesianik Yudaisme dengan mengatakan: “The convictions of these congregations are uniqe. They are convinced that they can believe in Jesus, be thoroughly biblical, and yet authentically Jewish. They affirm Jesus, as Messiah, Savior and Lord of the universe. They adhere to the entire Bible as the inspired Word of God and refuse to do anything contrary to its teachings. Thy feel a kinship and commitment to the entire body of the Messiah. Yet they express their faith, lifestyle and worship in Jewish form and in Jewish ways”[4] (Keyakinan kumpulan jemaat ini adalah unik. Mereka mengakui bahwa mereka dapat mempercayai Yesus sesuai Kitab Suci, namun yang secara otentik adalah seorang Yahudi pula. Mereka menyetujui bahwa Yesus sebagai Mesias, Juruslamat dan Tuan atas alam semesta. Mereka menerima keseluruhan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan yang diilhamkan dan menolak segala sesuatu yang bertentangan ajaran-Nya. Mereka merasakan suatu kekeluargaan dan kesetiaan terhadap seluruh anggota tubuh Mesias. Namun mereka mengekspresikan iman mereka, gaya hidup mereka dan ibadah mereka dalam bentuk dan tata cara Keyahudian).
Dari tiga definisi di atas, kita mendapat tiga karakteristik umum dan khas dari Mesianik Yudaisme, yaitu: Pertama, suatu pergerakan spiritual dikalangan komunitas Yahudi (bangsa) dan Yudaisme (agama). Kedua, mereka beriman pada Yesus sebagai Mesias dan menerima TaNaKh dan Perjanjian Baru, sebagai kitab suci yang diilhamkan Ruakh ha Kodesh. Ketiga, mereka tetap mempertahankan gaya hidup, tradisi dan kebudayaan luhur Yahudi yang dipelihara berabad-abad, sebagai warisan kebudayaan suatu bangsa.
Pergerakan Mesianik Yudaisme modern di awali oleh munculnya organisasi The Hebrew Christian Alliance of Great Britain, yang didirikan pada tahun 1866. Dalam konstitusinya, mereka mengumumkan demikian: “Let us not sacrifice our identity. When we profess Christ, we do not cease to be Jews; Paul, after his conversion, did not cease to be a Jew; not only Saul was, but even Paul remained, a Hebrew of the Hebrews. We cannot and will not forget the land of our fathers, and it is our desire to cherish feelings of patriotism… As Hebrews, as Christians, we feel tied together; and as Hebrew Christians, we desire to be allied more closely to one another”[5] (Janganlah kita mengorbankan identitas kita. Ketika kita mengakui Kristus, janganlah kita berhenti menjadi seorang Yahudi; Paul, beberapa waktu setelah pertobatannya, tidak berhenti menjadi seorang Yahudi; Bukan hanya Saul bahkan Paul tetap sebagai orang yang lebih Ibrani dari orang Ibrani. Kita tidak dapat dan tidak akan melupakan tanah air orang tua kita, inilah kebanggaan kita yaitu menghargai perasaan patriotisme…entahkan sebagai orang Ibrani entahkan sebagai orang Kristen, kami merasa terikat bersama; dan sebagai orang Kristen Ibrani, kami ingin bersekutu lebih dekat satu dengan lainnya).
Kemudian pada tahun 1915 didirikanlah The American Hebrew Christian Alliance. Kemudian Tahun 1925 didirikanlah the “International Hebrew Christian Alliance”. Penggerak awal dari Mesianik Yudaisme adalah Joseph Rabinowitz. Eric Gabe melukiskan pelayanan Rabinowitz sbb: “Rabinowitz continued to observe, even as a Hebrew Christian, a number of Old Testament comandments, such as the sabbath, circumcision and the Passover. He thus became the founder of the Hebrew Christian movement in Bessarabia, which he called The Community of Messianic Jews, Sons of the New Covenant, in Hebrew, Yehudim Mesichim Bney Brit Hachadashah”[6] (Rabinowitz tetap melanjutkan memelihara – meskipun sebagai orang Kristen Ibrani – yaitu sejumlah perintah dalam Perjanjian Lama, seperti sabat, sunat dan Pesakh. Selanjutnya dia menjadi pendiri gerakan Kristen Ibrani di Bessarabia, yang disebut dengan Komunitas Mesianik Yahudi Putra Perjanjian Baru yang dalam bahasa Ibrani, Yehudim Mesichim Bney Brit Hachadashah).
Shiffman mensinyalir ada sekitar seratus lima puluh jemaat Mesianik diseluruh dunia[7] dan ada tiga organisasi penting yang berkaitan bersama, yaitu: the Union of Messianic Jewish Congregations (UMJC), the Fellowship of Messianic Congregations (FMC), the International Alliance of Messianic Congregations and Synagogues (IAMCS). Meskipun ada beberapa perbedaan antara “Hebrew Christians” dan “Messianic Jewish”, namun menurut Sciffman itu hanya dalam hal “respect of affiliation” (kebergabungan)[8]. Jika “Hebrew Christians” bergabung dibawah gereja-gereja Protestan atau Presbyterian, maka “Mesianik Yudaisme” terlepas dari ketergantungannya terhadap gereja Protestan atau Presbyterian, dan mereka tetap memelihara gaya hidup sebagai orang Yahudi.
Dari deskripsi di atas, kita dapat memiliki sedikit gambaran mengenai latar belakang kemunculan fenomena Mesianik Yudaisme. Secara historis, gerakan yang muncul di kalangan orang Yahudi yang beriman kepada Yesus (Yahshua/Yahushua/Yeshua) sebagai Mesias, adalah gerakan yang baru muncul pada Abad XIX, meskipun secara teologis memiliki akarnya pada Abad I Ms, saat pelayanan Yahshua dan rasul-rasul-Nya yang merupakan orang-orang Yahudi. Karena gerakan ini baru muncul di Abad XIX, maka kedewasaan teologi dan warisan kebudayaanya masih berkembang dan belum menciptakan suatu kebudayaan baru yang mempengaruhi suatu peradaban. Oleh karenanya DR. David Stern menamakan judul bukunya Messianic Judaism: A Modern Movement With An Ancient Past (revisi buku pertamanya, Messianic Jewish Manifesto). Dengan judul tersebut David Stern hendak menegaskan bahwa ini merupakan gerakan di Abad XIX yang berusaha mencari akar sejarah pada pergerakan masa lampau bukan penerus yang berkesinambungan secara hirarkhis kepemimpinan seperti layaknya Gereja Orthodox maupun Katholik.
Kalau diringkaskan, Messianic Judaism lebih menunjuk pada nama sebuah komunitas Yahudi dan agama Yudaisme yang telah menerima Yesus sebagai Mesias dan tidak mengidentifikasi diri mereka dengan Kekristenan. Sementara istilah “Back to Hebraic Root” adalah konten atau isi dari gerakan yang mengembalikan akar Kekristenan yang berawal dari Yudaisme beserta implikasi-implikasinya.
Jika kita membuka situs internet atau mencari kata “Mesianik” dalam mesin pencari “Google”, maka akan terdapat ratusan bahkan ribuan alamat situs internet yang bersifat “Mesianik”. Siapakah atau apakah “Mesianik” dan ”Back to Hebraic Root” itu? Fenomena Mesianik Yudaisme (Messianic Judaism) adalah suatu kebangkitan spiritual yang terjadi di kalangan unsur-unsur Yudaisme dan Bangsa Yahudi yang mulai merespon ajaran Yesus (Ibr: Yahshua/Yahushua/Yeshua, Aram, ‘Yeshu’, Greek, ‘Iesous’, Ind, ‘Yesus’) Sang Mesias yang dijanjikan namun tidak menyebut diri mereka sebagai Kristen dan Gereja dan mereka tetap memelihara gaya hidup dan tata ibadat Yudaisme, namun dalam terang ajaran Yesus Sang Mesias. DR. Michael Shiffman mendefinisikan Mesianik Yudaisme sebagai: “Messianic Jews are physical descendants of the patriarchs, being Jewish by birth, but are not adherents to the authority of rabbinic tradition”[2] (Mesianik Yudaisme adalah keturunan para leluhur secara jasmani, yang menjadi Yahudi melalui kelahiran namun tidak mengikuti otoritas tradisi kaum rabinik). Sementara itu DR. David Stern memberikan definisi sbb: “A person who was born Jewish or converted to Judaism, who is genuine believer in Yeshua, and who acknowledge his Jewishness”[3] (Seseorang yang dilahirkan menjadi seorang Yahudi atau masuk ke dalam agama Yahudi, yang beriman kepada Yeshua serta mengakui keyahudian Yeshua).
DR. John Fischer memberikan deskripsi mengenai Mesianik Yudaisme dengan mengatakan: “The convictions of these congregations are uniqe. They are convinced that they can believe in Jesus, be thoroughly biblical, and yet authentically Jewish. They affirm Jesus, as Messiah, Savior and Lord of the universe. They adhere to the entire Bible as the inspired Word of God and refuse to do anything contrary to its teachings. Thy feel a kinship and commitment to the entire body of the Messiah. Yet they express their faith, lifestyle and worship in Jewish form and in Jewish ways”[4] (Keyakinan kumpulan jemaat ini adalah unik. Mereka mengakui bahwa mereka dapat mempercayai Yesus sesuai Kitab Suci, namun yang secara otentik adalah seorang Yahudi pula. Mereka menyetujui bahwa Yesus sebagai Mesias, Juruslamat dan Tuan atas alam semesta. Mereka menerima keseluruhan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan yang diilhamkan dan menolak segala sesuatu yang bertentangan ajaran-Nya. Mereka merasakan suatu kekeluargaan dan kesetiaan terhadap seluruh anggota tubuh Mesias. Namun mereka mengekspresikan iman mereka, gaya hidup mereka dan ibadah mereka dalam bentuk dan tata cara Keyahudian).
Dari tiga definisi di atas, kita mendapat tiga karakteristik umum dan khas dari Mesianik Yudaisme, yaitu: Pertama, suatu pergerakan spiritual dikalangan komunitas Yahudi (bangsa) dan Yudaisme (agama). Kedua, mereka beriman pada Yesus sebagai Mesias dan menerima TaNaKh dan Perjanjian Baru, sebagai kitab suci yang diilhamkan Ruakh ha Kodesh. Ketiga, mereka tetap mempertahankan gaya hidup, tradisi dan kebudayaan luhur Yahudi yang dipelihara berabad-abad, sebagai warisan kebudayaan suatu bangsa.
Pergerakan Mesianik Yudaisme modern di awali oleh munculnya organisasi The Hebrew Christian Alliance of Great Britain, yang didirikan pada tahun 1866. Dalam konstitusinya, mereka mengumumkan demikian: “Let us not sacrifice our identity. When we profess Christ, we do not cease to be Jews; Paul, after his conversion, did not cease to be a Jew; not only Saul was, but even Paul remained, a Hebrew of the Hebrews. We cannot and will not forget the land of our fathers, and it is our desire to cherish feelings of patriotism… As Hebrews, as Christians, we feel tied together; and as Hebrew Christians, we desire to be allied more closely to one another”[5] (Janganlah kita mengorbankan identitas kita. Ketika kita mengakui Kristus, janganlah kita berhenti menjadi seorang Yahudi; Paul, beberapa waktu setelah pertobatannya, tidak berhenti menjadi seorang Yahudi; Bukan hanya Saul bahkan Paul tetap sebagai orang yang lebih Ibrani dari orang Ibrani. Kita tidak dapat dan tidak akan melupakan tanah air orang tua kita, inilah kebanggaan kita yaitu menghargai perasaan patriotisme…entahkan sebagai orang Ibrani entahkan sebagai orang Kristen, kami merasa terikat bersama; dan sebagai orang Kristen Ibrani, kami ingin bersekutu lebih dekat satu dengan lainnya).
Kemudian pada tahun 1915 didirikanlah The American Hebrew Christian Alliance. Kemudian Tahun 1925 didirikanlah the “International Hebrew Christian Alliance”. Penggerak awal dari Mesianik Yudaisme adalah Joseph Rabinowitz. Eric Gabe melukiskan pelayanan Rabinowitz sbb: “Rabinowitz continued to observe, even as a Hebrew Christian, a number of Old Testament comandments, such as the sabbath, circumcision and the Passover. He thus became the founder of the Hebrew Christian movement in Bessarabia, which he called The Community of Messianic Jews, Sons of the New Covenant, in Hebrew, Yehudim Mesichim Bney Brit Hachadashah”[6] (Rabinowitz tetap melanjutkan memelihara – meskipun sebagai orang Kristen Ibrani – yaitu sejumlah perintah dalam Perjanjian Lama, seperti sabat, sunat dan Pesakh. Selanjutnya dia menjadi pendiri gerakan Kristen Ibrani di Bessarabia, yang disebut dengan Komunitas Mesianik Yahudi Putra Perjanjian Baru yang dalam bahasa Ibrani, Yehudim Mesichim Bney Brit Hachadashah).
Shiffman mensinyalir ada sekitar seratus lima puluh jemaat Mesianik diseluruh dunia[7] dan ada tiga organisasi penting yang berkaitan bersama, yaitu: the Union of Messianic Jewish Congregations (UMJC), the Fellowship of Messianic Congregations (FMC), the International Alliance of Messianic Congregations and Synagogues (IAMCS). Meskipun ada beberapa perbedaan antara “Hebrew Christians” dan “Messianic Jewish”, namun menurut Sciffman itu hanya dalam hal “respect of affiliation” (kebergabungan)[8]. Jika “Hebrew Christians” bergabung dibawah gereja-gereja Protestan atau Presbyterian, maka “Mesianik Yudaisme” terlepas dari ketergantungannya terhadap gereja Protestan atau Presbyterian, dan mereka tetap memelihara gaya hidup sebagai orang Yahudi.
Dari deskripsi di atas, kita dapat memiliki sedikit gambaran mengenai latar belakang kemunculan fenomena Mesianik Yudaisme. Secara historis, gerakan yang muncul di kalangan orang Yahudi yang beriman kepada Yesus (Yahshua/Yahushua/Yeshua) sebagai Mesias, adalah gerakan yang baru muncul pada Abad XIX, meskipun secara teologis memiliki akarnya pada Abad I Ms, saat pelayanan Yahshua dan rasul-rasul-Nya yang merupakan orang-orang Yahudi. Karena gerakan ini baru muncul di Abad XIX, maka kedewasaan teologi dan warisan kebudayaanya masih berkembang dan belum menciptakan suatu kebudayaan baru yang mempengaruhi suatu peradaban. Oleh karenanya DR. David Stern menamakan judul bukunya Messianic Judaism: A Modern Movement With An Ancient Past (revisi buku pertamanya, Messianic Jewish Manifesto). Dengan judul tersebut David Stern hendak menegaskan bahwa ini merupakan gerakan di Abad XIX yang berusaha mencari akar sejarah pada pergerakan masa lampau bukan penerus yang berkesinambungan secara hirarkhis kepemimpinan seperti layaknya Gereja Orthodox maupun Katholik.
Kalau diringkaskan, Messianic Judaism lebih menunjuk pada nama sebuah komunitas Yahudi dan agama Yudaisme yang telah menerima Yesus sebagai Mesias dan tidak mengidentifikasi diri mereka dengan Kekristenan. Sementara istilah “Back to Hebraic Root” adalah konten atau isi dari gerakan yang mengembalikan akar Kekristenan yang berawal dari Yudaisme beserta implikasi-implikasinya.
Mazhab Yudeo Kristen (Judeochristianity)
Sebagai Respon dan Refleksi Ajaran Messianic Judaism Dalam Konteks Indonesia
Saya sendiri lebih mendefinisikan Judeo Christianity atau Yudeo Kristen sebagai, Kekristenan yang menghargai dan mewujudkan nilai-nilai Yudaisme dan budaya Semitik sebagai akar Kekristenan mula-mula. Nilai-nilai Yudaisme tersebut diwujudkan dalam pokok kepercayaan, dalam ibadah dan dalam etika. Yudaisme manakah yang dimaksudkan sebagai akar Kekristenan? Yudaisme Klasik atau Yudaisme Modern? Bukan Yudaisme Modern yang telah mengalami perkembangan dan dipengaruhi berbagai teori yang menolak Yesus sebagai Mesias, melainkan Yudaisme Klasik yang dimulai sejak orang Yahudi pulang dari pembuangan Babilonia pada Abad VI SM[9]. Dengan pernyataan Yudaisme sebagai akar awal Kekristenan menimbulkan pertanyaan berikutmya. Apakah Yesus seorang Kristen? Bukan! Yesus secara kemanusiaan terlahir sebagai orang Yahudi (Ibr 7:14) dari orang tua Yahudi (Mat 1:1-17; Luk 2:1-5) dan dibesarkan dalam tradisi Yahudi serta melayani dalam bingkai Yahudi dan Yudaisme al., beribadah pada hari Sabat (Luk 4:16), merayakan perayaan Yahudi (Luk 2:41-42, Yoh 7:1-13), mengajar dengan gaya rabbi Yahudi (Mat 5:1-48). Apakah bukti bahwa Yesus seorang Yahudi? Yesus disunat pada hari kedelapan (Lukas 2:21-24), Yesus mengikuti upacara Bar Mitswah (Lukas 2:41-52), Yesus menggunakan pakaian khas Yahudi dengan Tsit-tsit (Matius 9:20), Yesus mengajar dengan gaya khas seorang rabbi Yahudi –perumpamaan, cerita, amsal, dll (Mat 5:1-48)[10].
Apakah Yudeo Kristen adalah percampuran ajaran Yudaisme dan Kristen? Bukan! Yudeo Kristen tetap membedakan antara Yudaisme dan Kekristenan. Yudaisme berpusat pada Yahweh dan Torah. Kekristena berpusat pada Yesus dan Injil. Yudeo Kristen berpusat pada Yahweh dan Torah sekaligus pada Yesus dan Injil. Dengan istilah Judeochristianity atau Yudeo Kristen saya maksudkan sebagai bentuk respon dan refleksi kritis atas kehadiran Messianic Judaism yaitu gerakan diantara orang Yahudi dan Yudaisme yang telah menerima Yesus (dengan sebutan Yeshua atau Yahshua atau Yehoshua serta Yahushua) sebagai Mesias Ibrani dan tetap mempertahankan budaya Ibrani.
Karena Messianic Judaism adalah sebuah gerakan yang tumbuh dilingkungan Yudaisme dan Yahudi, maka saya merasa bahwa saya tidak harus menyebutkan diri saya dengan sebutan Messianic Judaism sekalipun saya banyak mengadopsi dan belajar pokok-pokok pikiran dalam teologi Messianic Judaism. Saya bukan berasal dari Yudaisme dan bukan pula seorang Yahudi. Saya seorang Kristen. Saya membuat jembatan peristilahan untuk mengekspresikan sebuah keyakinan dan kajian teologi serta devosi (ibadah) yang berakar dari warisan budaya Semitik Yudaik dengan sebutan Judeochristianity atau Yudeo Kristen. Dalam beberapa tulisan terkadang saya menggunakan istilah Kristen Semitik atau Kristen Rekonstruksi.
Dengan kata lain, visi Back to Hebraic Root (Kembali ke Akar Ibrani) yang diusung oleh Messianic Judaism saya respon dengan mendefinisikan diri sebagai Judeochristianity atau Yudeo Kristen sebagai bentuk refleksi teologis atas pengajaran Messianic Judaism dalam Teologi dan Devosi serta Etika. Istilah Yudeo Kristen juga saya pergunakan untuk merespon kehadiran Gereja Ortodok Timur yang juga mengekspresikan budaya Semitik dan peribadatan dengan mempergunakan bahasa Aramaik serta Arab. Baik Messianic Judaism maupun Gereja Ortodox Timur memang membawa misi untuk mengingatkan Kekristenan mengenai akar tradisi iman dan budaya mereka yaitu dari Timur khususnya budaya Semitik Yudaik. Saya merasa lebih nyaman mempergunakan istilah Yudeo Kristen sebagai bentuk berdiri diantara Teologi Messianic Judaism dan Gereja Orthodox.
Dimanakah letak Mazhab Yudeo Kristen dalam panggung sejarah gereja khususnya di Indonesia? Kedudukan komunitas Yudeo Kristen atau Judeochristianity merupakan bagian dari gereja-gereja Reformasi Protestan yang memiliki concern dan fokus untuk mengkaji latar belakang budaya Semitik Yudaik untuk memahami Kitab Suci dan memulihkan devosi Kristen yang sejak awal tidak terlepas dari Yudaisme Abad I Ms. Istilah Judeochristianity dipergunakan untuk membedakan dengan sejumlah aliran dan mazhab Kristen lainnya lainnya seperti Baptis, Methodis, Advent, Presbiterian, Anglikan, Pentakosta, Kharismatik. Kiranya ulasan singkat ini dapat memberikan pemahaman yang jelas mengenai kedudukan Judeochristianity dalam perkembangan sejarah gereja Kristen khususnya di Indonesia.
Saya sendiri lebih mendefinisikan Judeo Christianity atau Yudeo Kristen sebagai, Kekristenan yang menghargai dan mewujudkan nilai-nilai Yudaisme dan budaya Semitik sebagai akar Kekristenan mula-mula. Nilai-nilai Yudaisme tersebut diwujudkan dalam pokok kepercayaan, dalam ibadah dan dalam etika. Yudaisme manakah yang dimaksudkan sebagai akar Kekristenan? Yudaisme Klasik atau Yudaisme Modern? Bukan Yudaisme Modern yang telah mengalami perkembangan dan dipengaruhi berbagai teori yang menolak Yesus sebagai Mesias, melainkan Yudaisme Klasik yang dimulai sejak orang Yahudi pulang dari pembuangan Babilonia pada Abad VI SM[9]. Dengan pernyataan Yudaisme sebagai akar awal Kekristenan menimbulkan pertanyaan berikutmya. Apakah Yesus seorang Kristen? Bukan! Yesus secara kemanusiaan terlahir sebagai orang Yahudi (Ibr 7:14) dari orang tua Yahudi (Mat 1:1-17; Luk 2:1-5) dan dibesarkan dalam tradisi Yahudi serta melayani dalam bingkai Yahudi dan Yudaisme al., beribadah pada hari Sabat (Luk 4:16), merayakan perayaan Yahudi (Luk 2:41-42, Yoh 7:1-13), mengajar dengan gaya rabbi Yahudi (Mat 5:1-48). Apakah bukti bahwa Yesus seorang Yahudi? Yesus disunat pada hari kedelapan (Lukas 2:21-24), Yesus mengikuti upacara Bar Mitswah (Lukas 2:41-52), Yesus menggunakan pakaian khas Yahudi dengan Tsit-tsit (Matius 9:20), Yesus mengajar dengan gaya khas seorang rabbi Yahudi –perumpamaan, cerita, amsal, dll (Mat 5:1-48)[10].
Apakah Yudeo Kristen adalah percampuran ajaran Yudaisme dan Kristen? Bukan! Yudeo Kristen tetap membedakan antara Yudaisme dan Kekristenan. Yudaisme berpusat pada Yahweh dan Torah. Kekristena berpusat pada Yesus dan Injil. Yudeo Kristen berpusat pada Yahweh dan Torah sekaligus pada Yesus dan Injil. Dengan istilah Judeochristianity atau Yudeo Kristen saya maksudkan sebagai bentuk respon dan refleksi kritis atas kehadiran Messianic Judaism yaitu gerakan diantara orang Yahudi dan Yudaisme yang telah menerima Yesus (dengan sebutan Yeshua atau Yahshua atau Yehoshua serta Yahushua) sebagai Mesias Ibrani dan tetap mempertahankan budaya Ibrani.
Karena Messianic Judaism adalah sebuah gerakan yang tumbuh dilingkungan Yudaisme dan Yahudi, maka saya merasa bahwa saya tidak harus menyebutkan diri saya dengan sebutan Messianic Judaism sekalipun saya banyak mengadopsi dan belajar pokok-pokok pikiran dalam teologi Messianic Judaism. Saya bukan berasal dari Yudaisme dan bukan pula seorang Yahudi. Saya seorang Kristen. Saya membuat jembatan peristilahan untuk mengekspresikan sebuah keyakinan dan kajian teologi serta devosi (ibadah) yang berakar dari warisan budaya Semitik Yudaik dengan sebutan Judeochristianity atau Yudeo Kristen. Dalam beberapa tulisan terkadang saya menggunakan istilah Kristen Semitik atau Kristen Rekonstruksi.
Dengan kata lain, visi Back to Hebraic Root (Kembali ke Akar Ibrani) yang diusung oleh Messianic Judaism saya respon dengan mendefinisikan diri sebagai Judeochristianity atau Yudeo Kristen sebagai bentuk refleksi teologis atas pengajaran Messianic Judaism dalam Teologi dan Devosi serta Etika. Istilah Yudeo Kristen juga saya pergunakan untuk merespon kehadiran Gereja Ortodok Timur yang juga mengekspresikan budaya Semitik dan peribadatan dengan mempergunakan bahasa Aramaik serta Arab. Baik Messianic Judaism maupun Gereja Ortodox Timur memang membawa misi untuk mengingatkan Kekristenan mengenai akar tradisi iman dan budaya mereka yaitu dari Timur khususnya budaya Semitik Yudaik. Saya merasa lebih nyaman mempergunakan istilah Yudeo Kristen sebagai bentuk berdiri diantara Teologi Messianic Judaism dan Gereja Orthodox.
Dimanakah letak Mazhab Yudeo Kristen dalam panggung sejarah gereja khususnya di Indonesia? Kedudukan komunitas Yudeo Kristen atau Judeochristianity merupakan bagian dari gereja-gereja Reformasi Protestan yang memiliki concern dan fokus untuk mengkaji latar belakang budaya Semitik Yudaik untuk memahami Kitab Suci dan memulihkan devosi Kristen yang sejak awal tidak terlepas dari Yudaisme Abad I Ms. Istilah Judeochristianity dipergunakan untuk membedakan dengan sejumlah aliran dan mazhab Kristen lainnya lainnya seperti Baptis, Methodis, Advent, Presbiterian, Anglikan, Pentakosta, Kharismatik. Kiranya ulasan singkat ini dapat memberikan pemahaman yang jelas mengenai kedudukan Judeochristianity dalam perkembangan sejarah gereja Kristen khususnya di Indonesia.
Resensi
Buku Messianic Judaism Karya DR David Stern Sebagai Pendalaman Terhadap
Eksistensi Messianic Judaism[11]
Sebuah pergerakan spiritual di mulai di kalangan komunitas Yudaisme dan Bangsa Yahudi di Eropa dan berkembang ke seluruh wilayah dunia. Pergerakkan ini dinamakan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Apa dan bagaimana bagaimana yang dinamakan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik)? Apakah ini sebuah pergerakkan yang berbeda dengan Kekristenan? Atau sebaliknya menantang Kekristenan untuk menegaskan identitas aslinya?
Dalam
Bab Kedua, Stern memberikan kajian
mendalam mengenai hakikat dan definisi Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik)
sbb: “A person who was born Jewish or
converted to Judaism, who is genuine believer in Yeshua and who acknowledge his
Jewishness” (p.20). Stern tidak mengonfrontasikan antara istilah “Kristen”
dengan “Messianic”, karena secara gramatikal, berasal dari istilah yang sama
yaitu “Mashiakh” (Yang Diurapi). Bagi Stern, pembedaan istilah hanya untuk
membedakan komunitas yang menerima Yesus (Yeshua) dari golongan Yahudi –
disebut dengan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik) – dengan golongan non
Yahudi – disebut dengan Gentile Christian – (p. 32).
Dalam Bab Ketiga, diulas mengenai historitas atau asal usul pergerakkan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Dengan asumsi dasar, “History is the key to meaning, purpose and happiness” (p. 35), maka Stern mulai membeberkan akar Kekristenan yang sebenarnya berasal dari Yudaisme. Yesus (Stern menggunakan nama Yeshua) adalah Mesias berkebangsaan Ibrani dan para rasul pun berkebangsaan serta berkebudayaan Ibrani. Dalam perkembangan waktu, kepercayaan kepada Yesus diterima oleh bangsa-bangsa non Yahudi, sehingga terjadi keragaman pemahaman yang memuncak pada terlepasnya bangsa-bangsa non Yahudi, sehingga terjadi keragaman pemahaman yang memuncak pada terlepasnya bangsa-bangsa non Yahudi dari akar Ibrani dan tradisi Semitik Yudaik. Pada bagian ini, Stern juga mengulas hubungan tragis antara Gereja (Church) dan Yahudi (Jews) yang selalu diwarnai titik ketegangan dan kecurigaan yang memuncak dalam semangat Anti Semitisme (p. 49-55).
Pada Bab Keempat, Stern mendeskripsikan perlunya Messianic Judaism Theology (Teologi Yudaisme Mesianik). Alasan dasarnya, orang-orang Kristen pada umumnya meremehkan Yudaisme sementara kaum Yahudi tidak mengenal Kitab Perjanjian Baru. Kondisi ini menciptakan suatu kesenjangan teologis. Maka diperlukan sebuah wawasan teologi yang bersifat Messianic (p. 85). Karakteristik teologi yang bersifat Yudaisme Mesianik harus memperhatikan empat pendengar yaitu: Yudaisme Mesianik, Non Yudaisme Mesianik, “Kristen non Yahudi” dan “Umat Manusia di luar ketiga golongan tersebut” (p. 86).
Pada Bab Kelima, sebuah bahasan komprehensif yang tidak banyak disentuh dalam Gereja dan Kekristenan atau kalaupun menjadi subyek pembahasan, selalu dalam kedudukan inferior yaitu mengenai eksistensi dan relevansi Torah dalam kehidupan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Menurut beliau, jika memperbandingkan buku-buku teologia baik Kristen maupun Yudaisme, akan diperoleh fakta bahwa kedua belah akan bersebrangan pemahaman mengenai topik Torah. Dalam penelusuran berbagai buku teologi Kristen mengenai Torah, al., Augustus Strong’s Systematic Theology, hanya membahas mengenai topik Torah, sebanyak 28 halaman dari 1056 halaman (kurang dari 3%). Sementara L. Berkhof dalam bukunya Systematic Theology, hanya mengulas sebanyak 3 halaman dari 745 halaman (kurang dari 1/2%). Berbeda dengan buku-buku teologi dikalangan Yudaisme,al., Isidor Epstein’s yaitu the Faith of Judaism, mengulas mengenai Torah sebanyak 57 halaman dari 386 halaman (15%) dan Solomon Schetcher dalam Aspects of Rabbinic Theology mengulas sebanyak 69 halaman dari 343 halaman (20%). Stern berkesimpulan: ”In short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of Christian Theology” (singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen, p. 126).
Pernyataan ini menyiratkan bahwa Teologi Kristen menempatkan kajian tentang Torah, secara tidak berimbang dibandingkan dengan topik lainnya seperti Tuhan Keselamatan/Anugrah, Dosa, dll. Oleh karena alasan-alasan di atas. Stern mengulas secara mendalam mengenai istilah Torah yang secara salah selalu dimaknai sebagai Hukum (Law) yang mengikat dan membebani umat. Dalam kajian Stern, Torah lebih besar maknanya dari sekedar kata Hukum. Torah adalah Ajaran (Teaching) yang mengatur dan menjaga umat Tuhan agar hidup dalam kekudusan. Dalam bagian lain, Stern menempatkan kedudukan Yesus terhadap Torah Musa dengan sebuah ungkapan, “The phrase in the New Testament which best encompasses all of these new elements, is the Torah of Messiah” (Ungkapan dalam Perjanjian Baru yang paling mencakup semua elemen-elemen baru tersebut, adalah Torah Mesias, p. 146).
Pada Bab Keenam, Stern menguraikan dengan singkat konsep mengenai “kekudusan” dalam pergerakan Messianic Judaism. Bagi Stern, “kekudusan” adalah melakukan sesuatu dalam kehidupan berdasarkan Takut akan YHWH (Yir’at YHWH) dan ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya termasuk di dalamnya mengenai pemrogramman, pembangunan, pelayanan, penelitian, penulisan, pekerjaan (p. 190).
Pada Bab Ketujuh, Stern mengritik sikap kebanyakan komunitas Messianic Judaism yang tidak mempedulikan pentingnya program. Beliau mengatakan: “The leaders in the Messianic Jewish movement are not unaware of programmatics. The progres the movement has made since the 1960’s can be understood partly in term of breadth of vision and realization of plans. Most of the leaders are pragmatists, constantly revising their plans in accordance with experience, new knowledge, newly perceive needs, feedback from what has happened so far, external sources of information, and better understanding of Scripture; and may it so continoue. Why is programmatic important? Because ‘without a vision the people perish’. According to George Ladd, this verse, exegetically, means that without a prophetic vision inspired by God the people perish. Therefore what I mean is that programmatics must spell out such a prophetic vision” (Para pemimpin dalam gerakan Mesianik Yahudi, tidak menyadari pentingnya pemrograman. Perkembangan pergerakan yang telah dimulai sejak tahun 1960-an dapat dipahami secara khusus dalam pengertian nafas dari visi dan perwujudan dari rencana-rencana. Kebanyakan para pemimpin bersifat pragmatis, terus menerus merevisi berbagai rencananya berdasarkan pengalaman, pengetahuan baru, kebutuhan yang baru, umpan balik dari apa yang telah terjadi sejauh itu, sumber informasi dari luar, dan pemahaman yang lebih baik dari Kitab Suci; demikianlah seterusnya. Mengapa pemrograman itu penting? Oleh karena tanpa visi, umat menjadi binasa. Menurut George Ladd, secara eksegetis, ayat ini bermakna, bahwa tanpa visi kenabian yang diilhamkan Tuhan, umat binasa. Apa yang saya maksud pemrograman, seharusnya dieja sebagai visi kenabian, p. 201).
Ketika beliau sampai pada ulasan mengenai pentingnya sebuah institusi sebagai wadah untuk melakukan perubahan, beliau mengatakan: “Many believers are suspicious of institutions. They are suspicious on principle – people are warm and caring, but institutions are cold and heartless, easily becoming vehicles for domination of the many by the few. Although there is a kernel of truth behind this attitude, in what follows I assume that people can stand to think about creating institutions and organizations and can see them more as tools to be used than as monsters to be feared. In fact, when I talk about institutions, I have in mind an environment of community; and by nature, community must be organic, built on interpersonal relationship. Note that the ultimate community must exist before the institutions are created; on the contrary, the purpose of the institutions is to foster community. They are also meant to foster the development of Messianic Jewish identity within the framework of Messianic Jewish community” (Kebanyakan orang curiga terhadap institusi. Mereka curiga secara prinsip, orang-orang peuh kehangatan dan kepedulian, sementara institusi dingin dan tidak berperasaan, mudah menjadi wahana penguasaan orang banyak oleh sejumlah kecil orang. Namun demikian, ada kebenaran yang dangkal dibalik sikap demikian. Berkaitan dengan persoalan di atas, saya menganggap bahwa orang dapat berpendirian untuk memikirkan penciptaan institusi dan organisasi dan dapat melihatnya sebagai sebuah alat daripada monster yang menakutkan. Kenyataannya, ketika saya berbicara mengenai institusi, saya memiliki pikiran mengenai lingkungan suatu komunitas; dan secara alamiah bahwa suatu komunitas adalah bersifat organik, membangun hubungan antar pribadi. Perlu dicatat, bahwa suatu komunitas seutuhnya, telah berdiri sebelum institusi diciptakan. Sebaliknya, institusi diciptakan untuk membantu perkembangan suatu komunitas. Mereka juga dimaksudkan untuk mendorong perkembangan identitas Mesianik Yahudi di dalam bingkai komunitas Mesianik Yahudi, p. 203).
Kajian komprehensif David Stern, memberikan dorongan atau motifasi bagi Gereja dan Kekristenan untuk mendefinisikan ulang arti panggilannya di dunia sekaligus melakukan rekonstruksi serta redefinisi terhadap sejumlah pernyataan-pernyataan iman seperti, “Apakah Yesus datang untuk meniadakan Torah?”, “Apakah Gereja menggantikan Israel?”, “Apakah ibadah Kekristenan kontemporer mendapatkan rujukan historisnya dalam Gereja Perdana?”
Catatan Akhir
Fenomena konversi beberapa orang/kelompok Back to Hebraic Root/Messianic Judaism di Indonesia ke Ortodox Judaism harus menjadi perhatian dan bahan introspeksi para pemimpin gereja dan komunitas untuk melakukan beberapa langkah strategis sbb:
Pertama, memahami dengan benar sejarah dan ajaran Messianic Judaism/Back to Hebraic Root dari sumbernya yang benar. Selain buku karya DR. David Stern, sejumlah kajian bercorak akademik perspektif Hebraic Root/Messianic Judaism dapat diperoleh di situs hrti.co.za (pimpinan Prof. Liebenberg) atau torahresources.com (pimpinan DR. Tim Hegg). Situs Jerusalemperspektive.com (pimpinan David Bivin cs) sekalipun bukan situs yang merefleksikan perspektif Hebraic Root/Messianic Judaism namun banyak artikel yang mengulas Kitab Perjanjian Baru dari perspektif kultur Semitik Yudaik yang bermanfaat dalam studi tafsir. Kedua, pentingnya kehadiran (presence) para pemimpin gereja yang telah menerapkan konsep Back to Hebraic Root. Ketika saya mengamati komunitas-komunitas Yudaisme yang baru terbentuk dari perpindahan komunitas Back to Hebraic Root/Messianic Judaism, saya mendapati salah elemen perekat soliditas mereka adalah kehadiran pemimpin spiritualnya dimanapun komunitas mereka berada baik di Jakarta maupun di Papua. Seorang rabi bernama Tovia Singer akhir-akhir ini rajin melakukan seminar dan pendampingan di berbagai komunitas di Jakarta dan luar Jakarta. Kehadiran (presence) seorang pemimpin menimbulkan kepastian dan kemantapan anggotanya. Apalagi dalam konteks Indonesia yang masih memegang budaya Paternalisme, kehadiran sosok pemimpin berkharisma yang setia mendampingi mereka memberikan pengayoman. Bagaimana dengan komunitas Back to Hebraic Root/Messianic Judaism? Di sejumlah tempat kerap dijumpai perpecahan cabang-cabang dari sebuah gereja tertentu yang sudah menerapkan perspektif Back to Hebraic Root hanya dikarenakan arogansi pemimpin dan ketidakbersediaan menerima perbedaan pendapat serta ketidakpedulian mendampingi cabang-cabang mereka di beberapa wilayah. Celakanya, kehadiran dan perwakilan Messianic Judaism Internasional serta pemimpin mereka di Indonesia hampir-hampir nihil. Yang ada hanyalah kehadiran mereka sekejap dalam bentuk pertemuan formal yaitu seminar dan konferensi yang setelah usai lalu mereka pergi meninggalkan komunitas-komunitas Back to Hebraic Root di Indonesia.
Berangkat dari keprihatinan-keprihatinan di atas, saya mengajak dan menghimbau seluruh komunitas Back to Hebraic Root khususnya Mazhab Yudeo Kristen yang saya gembalakan, agar semakin merapatkan barisan dan mengenali maksud dan tujuan keberadaan kita di Indonesia. Sebagaimana di luar negeri, kelompok Yahudi sekuler maupun penganut Yudaisme akhirnya menerima Yesus sebagai Mesias dan Anak Tuhan dan bergabung dalam komunitas Messianic Judaism, demikianlah kita sekalipun kita bukan Messianic Judaism melainkan gereja-gereja yang merespon konsep Messianic Judaism dan visi Back to Hebraic Root, sudah seharusnya hadir bukan saja untuk memperkenalkan akar iman Kristen yang tidak terlepas dari budaya Semitik Yudaik kepada gereja-gereja Kristen yang bercorak Western dan Helenistik namun juga memberikan pilihan terbuka kepada saudara-saudara penganut Yudaisme untuk mempertimbangkan bahwa Yesus adalah seorang Mesias Yahudi yang telah dinantikan selama ribuan tahun dan Dialah akhir penantian dan tujuan harapan semua orang Yahudi dan penganut Yudaisme sebagaimana dikisahkan: “Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya, dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan. Ia datang ke Bait Tuhan oleh Roh Kudus. Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Yahweh, katanya: "Sekarang, Yahweh, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Luk 2:25-32).
Marilah penganut Mazhab Yudeo Kristen atau komunitas Back to Hebraic Root menjadi pewarta Kabar Baik bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Tuhan sebagaimana Apolos, penganut Yudaisme dari Alexandria “Sebab dengan tak jemu-jemunya ia membantah orang-orang Yahudi di muka umum dan membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias” (Kis 18:28).
Sebuah pergerakan spiritual di mulai di kalangan komunitas Yudaisme dan Bangsa Yahudi di Eropa dan berkembang ke seluruh wilayah dunia. Pergerakkan ini dinamakan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Apa dan bagaimana bagaimana yang dinamakan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik)? Apakah ini sebuah pergerakkan yang berbeda dengan Kekristenan? Atau sebaliknya menantang Kekristenan untuk menegaskan identitas aslinya?
Buku
berjudul Messianic Judaism: A Modern
Movement With An Ancient Past (Revisi atas judul sebelumnya Messianic
Jewish Manifesto – Penerbit: Jewish New Testament Publications 2011) hendak
memaparkan beberapa pokok penting tentang hakikat pergerakkan yang dinamakan
Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik) beserta beberapa landasan epistemologis
yang mendasari pergerakkan ini. Buku setebal 321 halaman ini dibagi dalam tujuh
bab kajian.
Pada
Bab Pertama buku ini diberikan
penjelasan mengapa menggunakan kata Manifesto
(judul buku terbitan pertama). Beliau menjelaskan, “I call this book a manifesto because I am declaring an ideology and a
program which I hope will be readily perceived, easily understood by the mind,
palpable, clear, plain and obvious, with nothing hidden, concealed or obscure”
(p. 8). Istilah Manifesto yang
diusung oleh Stern bukan hanya memiliki muatan ideologi dan program, namun
teologi yang membedakan dengan “manifesto-manifesto” lainnya, sebagaimana beliau
jelaskan, “Therefore this manifesto
involves not only ideology and program, but also theology” (Ibid.).
Dalam Bab Ketiga, diulas mengenai historitas atau asal usul pergerakkan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Dengan asumsi dasar, “History is the key to meaning, purpose and happiness” (p. 35), maka Stern mulai membeberkan akar Kekristenan yang sebenarnya berasal dari Yudaisme. Yesus (Stern menggunakan nama Yeshua) adalah Mesias berkebangsaan Ibrani dan para rasul pun berkebangsaan serta berkebudayaan Ibrani. Dalam perkembangan waktu, kepercayaan kepada Yesus diterima oleh bangsa-bangsa non Yahudi, sehingga terjadi keragaman pemahaman yang memuncak pada terlepasnya bangsa-bangsa non Yahudi, sehingga terjadi keragaman pemahaman yang memuncak pada terlepasnya bangsa-bangsa non Yahudi dari akar Ibrani dan tradisi Semitik Yudaik. Pada bagian ini, Stern juga mengulas hubungan tragis antara Gereja (Church) dan Yahudi (Jews) yang selalu diwarnai titik ketegangan dan kecurigaan yang memuncak dalam semangat Anti Semitisme (p. 49-55).
Pada Bab Keempat, Stern mendeskripsikan perlunya Messianic Judaism Theology (Teologi Yudaisme Mesianik). Alasan dasarnya, orang-orang Kristen pada umumnya meremehkan Yudaisme sementara kaum Yahudi tidak mengenal Kitab Perjanjian Baru. Kondisi ini menciptakan suatu kesenjangan teologis. Maka diperlukan sebuah wawasan teologi yang bersifat Messianic (p. 85). Karakteristik teologi yang bersifat Yudaisme Mesianik harus memperhatikan empat pendengar yaitu: Yudaisme Mesianik, Non Yudaisme Mesianik, “Kristen non Yahudi” dan “Umat Manusia di luar ketiga golongan tersebut” (p. 86).
Pada Bab Kelima, sebuah bahasan komprehensif yang tidak banyak disentuh dalam Gereja dan Kekristenan atau kalaupun menjadi subyek pembahasan, selalu dalam kedudukan inferior yaitu mengenai eksistensi dan relevansi Torah dalam kehidupan Messianic Judaism (Yudaisme Mesianik). Menurut beliau, jika memperbandingkan buku-buku teologia baik Kristen maupun Yudaisme, akan diperoleh fakta bahwa kedua belah akan bersebrangan pemahaman mengenai topik Torah. Dalam penelusuran berbagai buku teologi Kristen mengenai Torah, al., Augustus Strong’s Systematic Theology, hanya membahas mengenai topik Torah, sebanyak 28 halaman dari 1056 halaman (kurang dari 3%). Sementara L. Berkhof dalam bukunya Systematic Theology, hanya mengulas sebanyak 3 halaman dari 745 halaman (kurang dari 1/2%). Berbeda dengan buku-buku teologi dikalangan Yudaisme,al., Isidor Epstein’s yaitu the Faith of Judaism, mengulas mengenai Torah sebanyak 57 halaman dari 386 halaman (15%) dan Solomon Schetcher dalam Aspects of Rabbinic Theology mengulas sebanyak 69 halaman dari 343 halaman (20%). Stern berkesimpulan: ”In short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of Christian Theology” (singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen, p. 126).
Pernyataan ini menyiratkan bahwa Teologi Kristen menempatkan kajian tentang Torah, secara tidak berimbang dibandingkan dengan topik lainnya seperti Tuhan Keselamatan/Anugrah, Dosa, dll. Oleh karena alasan-alasan di atas. Stern mengulas secara mendalam mengenai istilah Torah yang secara salah selalu dimaknai sebagai Hukum (Law) yang mengikat dan membebani umat. Dalam kajian Stern, Torah lebih besar maknanya dari sekedar kata Hukum. Torah adalah Ajaran (Teaching) yang mengatur dan menjaga umat Tuhan agar hidup dalam kekudusan. Dalam bagian lain, Stern menempatkan kedudukan Yesus terhadap Torah Musa dengan sebuah ungkapan, “The phrase in the New Testament which best encompasses all of these new elements, is the Torah of Messiah” (Ungkapan dalam Perjanjian Baru yang paling mencakup semua elemen-elemen baru tersebut, adalah Torah Mesias, p. 146).
Pada Bab Keenam, Stern menguraikan dengan singkat konsep mengenai “kekudusan” dalam pergerakan Messianic Judaism. Bagi Stern, “kekudusan” adalah melakukan sesuatu dalam kehidupan berdasarkan Takut akan YHWH (Yir’at YHWH) dan ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya termasuk di dalamnya mengenai pemrogramman, pembangunan, pelayanan, penelitian, penulisan, pekerjaan (p. 190).
Pada Bab Ketujuh, Stern mengritik sikap kebanyakan komunitas Messianic Judaism yang tidak mempedulikan pentingnya program. Beliau mengatakan: “The leaders in the Messianic Jewish movement are not unaware of programmatics. The progres the movement has made since the 1960’s can be understood partly in term of breadth of vision and realization of plans. Most of the leaders are pragmatists, constantly revising their plans in accordance with experience, new knowledge, newly perceive needs, feedback from what has happened so far, external sources of information, and better understanding of Scripture; and may it so continoue. Why is programmatic important? Because ‘without a vision the people perish’. According to George Ladd, this verse, exegetically, means that without a prophetic vision inspired by God the people perish. Therefore what I mean is that programmatics must spell out such a prophetic vision” (Para pemimpin dalam gerakan Mesianik Yahudi, tidak menyadari pentingnya pemrograman. Perkembangan pergerakan yang telah dimulai sejak tahun 1960-an dapat dipahami secara khusus dalam pengertian nafas dari visi dan perwujudan dari rencana-rencana. Kebanyakan para pemimpin bersifat pragmatis, terus menerus merevisi berbagai rencananya berdasarkan pengalaman, pengetahuan baru, kebutuhan yang baru, umpan balik dari apa yang telah terjadi sejauh itu, sumber informasi dari luar, dan pemahaman yang lebih baik dari Kitab Suci; demikianlah seterusnya. Mengapa pemrograman itu penting? Oleh karena tanpa visi, umat menjadi binasa. Menurut George Ladd, secara eksegetis, ayat ini bermakna, bahwa tanpa visi kenabian yang diilhamkan Tuhan, umat binasa. Apa yang saya maksud pemrograman, seharusnya dieja sebagai visi kenabian, p. 201).
Ketika beliau sampai pada ulasan mengenai pentingnya sebuah institusi sebagai wadah untuk melakukan perubahan, beliau mengatakan: “Many believers are suspicious of institutions. They are suspicious on principle – people are warm and caring, but institutions are cold and heartless, easily becoming vehicles for domination of the many by the few. Although there is a kernel of truth behind this attitude, in what follows I assume that people can stand to think about creating institutions and organizations and can see them more as tools to be used than as monsters to be feared. In fact, when I talk about institutions, I have in mind an environment of community; and by nature, community must be organic, built on interpersonal relationship. Note that the ultimate community must exist before the institutions are created; on the contrary, the purpose of the institutions is to foster community. They are also meant to foster the development of Messianic Jewish identity within the framework of Messianic Jewish community” (Kebanyakan orang curiga terhadap institusi. Mereka curiga secara prinsip, orang-orang peuh kehangatan dan kepedulian, sementara institusi dingin dan tidak berperasaan, mudah menjadi wahana penguasaan orang banyak oleh sejumlah kecil orang. Namun demikian, ada kebenaran yang dangkal dibalik sikap demikian. Berkaitan dengan persoalan di atas, saya menganggap bahwa orang dapat berpendirian untuk memikirkan penciptaan institusi dan organisasi dan dapat melihatnya sebagai sebuah alat daripada monster yang menakutkan. Kenyataannya, ketika saya berbicara mengenai institusi, saya memiliki pikiran mengenai lingkungan suatu komunitas; dan secara alamiah bahwa suatu komunitas adalah bersifat organik, membangun hubungan antar pribadi. Perlu dicatat, bahwa suatu komunitas seutuhnya, telah berdiri sebelum institusi diciptakan. Sebaliknya, institusi diciptakan untuk membantu perkembangan suatu komunitas. Mereka juga dimaksudkan untuk mendorong perkembangan identitas Mesianik Yahudi di dalam bingkai komunitas Mesianik Yahudi, p. 203).
Kajian komprehensif David Stern, memberikan dorongan atau motifasi bagi Gereja dan Kekristenan untuk mendefinisikan ulang arti panggilannya di dunia sekaligus melakukan rekonstruksi serta redefinisi terhadap sejumlah pernyataan-pernyataan iman seperti, “Apakah Yesus datang untuk meniadakan Torah?”, “Apakah Gereja menggantikan Israel?”, “Apakah ibadah Kekristenan kontemporer mendapatkan rujukan historisnya dalam Gereja Perdana?”
Catatan Akhir
Fenomena konversi beberapa orang/kelompok Back to Hebraic Root/Messianic Judaism di Indonesia ke Ortodox Judaism harus menjadi perhatian dan bahan introspeksi para pemimpin gereja dan komunitas untuk melakukan beberapa langkah strategis sbb:
Pertama, memahami dengan benar sejarah dan ajaran Messianic Judaism/Back to Hebraic Root dari sumbernya yang benar. Selain buku karya DR. David Stern, sejumlah kajian bercorak akademik perspektif Hebraic Root/Messianic Judaism dapat diperoleh di situs hrti.co.za (pimpinan Prof. Liebenberg) atau torahresources.com (pimpinan DR. Tim Hegg). Situs Jerusalemperspektive.com (pimpinan David Bivin cs) sekalipun bukan situs yang merefleksikan perspektif Hebraic Root/Messianic Judaism namun banyak artikel yang mengulas Kitab Perjanjian Baru dari perspektif kultur Semitik Yudaik yang bermanfaat dalam studi tafsir. Kedua, pentingnya kehadiran (presence) para pemimpin gereja yang telah menerapkan konsep Back to Hebraic Root. Ketika saya mengamati komunitas-komunitas Yudaisme yang baru terbentuk dari perpindahan komunitas Back to Hebraic Root/Messianic Judaism, saya mendapati salah elemen perekat soliditas mereka adalah kehadiran pemimpin spiritualnya dimanapun komunitas mereka berada baik di Jakarta maupun di Papua. Seorang rabi bernama Tovia Singer akhir-akhir ini rajin melakukan seminar dan pendampingan di berbagai komunitas di Jakarta dan luar Jakarta. Kehadiran (presence) seorang pemimpin menimbulkan kepastian dan kemantapan anggotanya. Apalagi dalam konteks Indonesia yang masih memegang budaya Paternalisme, kehadiran sosok pemimpin berkharisma yang setia mendampingi mereka memberikan pengayoman. Bagaimana dengan komunitas Back to Hebraic Root/Messianic Judaism? Di sejumlah tempat kerap dijumpai perpecahan cabang-cabang dari sebuah gereja tertentu yang sudah menerapkan perspektif Back to Hebraic Root hanya dikarenakan arogansi pemimpin dan ketidakbersediaan menerima perbedaan pendapat serta ketidakpedulian mendampingi cabang-cabang mereka di beberapa wilayah. Celakanya, kehadiran dan perwakilan Messianic Judaism Internasional serta pemimpin mereka di Indonesia hampir-hampir nihil. Yang ada hanyalah kehadiran mereka sekejap dalam bentuk pertemuan formal yaitu seminar dan konferensi yang setelah usai lalu mereka pergi meninggalkan komunitas-komunitas Back to Hebraic Root di Indonesia.
Berangkat dari keprihatinan-keprihatinan di atas, saya mengajak dan menghimbau seluruh komunitas Back to Hebraic Root khususnya Mazhab Yudeo Kristen yang saya gembalakan, agar semakin merapatkan barisan dan mengenali maksud dan tujuan keberadaan kita di Indonesia. Sebagaimana di luar negeri, kelompok Yahudi sekuler maupun penganut Yudaisme akhirnya menerima Yesus sebagai Mesias dan Anak Tuhan dan bergabung dalam komunitas Messianic Judaism, demikianlah kita sekalipun kita bukan Messianic Judaism melainkan gereja-gereja yang merespon konsep Messianic Judaism dan visi Back to Hebraic Root, sudah seharusnya hadir bukan saja untuk memperkenalkan akar iman Kristen yang tidak terlepas dari budaya Semitik Yudaik kepada gereja-gereja Kristen yang bercorak Western dan Helenistik namun juga memberikan pilihan terbuka kepada saudara-saudara penganut Yudaisme untuk mempertimbangkan bahwa Yesus adalah seorang Mesias Yahudi yang telah dinantikan selama ribuan tahun dan Dialah akhir penantian dan tujuan harapan semua orang Yahudi dan penganut Yudaisme sebagaimana dikisahkan: “Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya, dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan. Ia datang ke Bait Tuhan oleh Roh Kudus. Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Yahweh, katanya: "Sekarang, Yahweh, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Luk 2:25-32).
Marilah penganut Mazhab Yudeo Kristen atau komunitas Back to Hebraic Root menjadi pewarta Kabar Baik bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Tuhan sebagaimana Apolos, penganut Yudaisme dari Alexandria “Sebab dengan tak jemu-jemunya ia membantah orang-orang Yahudi di muka umum dan membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias” (Kis 18:28).
[1] Kajian ini diambil dari Bab I buku saya berjudul Imanku, Ibadahku, Gaya Hidupku, IJI 2014
[2] DR. Michael Shiffman, Return of the Remnant: the Rebirth of Messianic
Judaism,
Baltimore, Maryland: Lederer Messianic Publishers, 1996, p. 23
[3] DR.
David Stern, Messianic Jewish Manifesto, Clarksville, Maryland: Jewish New Testament
Publications, 1991, p. 20
[4] DR. John Fischer, Why Messianic Judaism?, dalam Enduring Paradoxs, Baltimore,
Maryland: Messianic Jewish Publishers 2000, p. 8
[5] Ibid., p. 26
[6] The Revd. Eric S. Gabe, The Hebrew
Christian Movement in Kishineff,
International Messianic Jewish (Hebrew Christian) Alliance, No 3, Vol
LX, p.87
[7] Ibid., p. 33
[8] Ibid., p.34
[9] Teguh Hindarto, Apakah Yahudi dan Kekristenan Berbeda?
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/10/apakah-kekristenan-berbeda-dengan.html
[10] Teguh Hindarto, Yesus-Yahudi-Yudaisme
[11] Resensi ini saya petik dari blog pribadi saya dengan judul:
Resensi “Messianic Judaism: Modern Movement With Ancient Path”
http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/05/resensi-messianic-judaism-modern.html
6 komentar:
Saya sngt berharap gereja2 pengusung back to the hebraic root memiliki forum resmi untuk scr aktif duduk bersama,berdiskusi dan menyatukan langkah bersama, krn selama ini terkesan semua jalan sendiri sendiri , thks YBU.
Kelompok pemimpin yang memiliki jaringan finansial dan sumber daya pengajar hingga keluar negeri lebih sibuk membangun organisasinya sendiri dan asyik masyuk menikmati hubungan-hubungan beserta keistimewaan tersebut bahkan merasa dirinya paling orisinil atau paling "Hebraic Root".
Karena jaringan saya baru kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah dan "power - privilage - prestige" yang saya miliki belum signifikan, maka saya lebih banyak melakukan pembinaan internal terlebih dahulu.
terimah kasih untuk pengajarannya, Bapa Yahweh Memberkati,, saya juga masih baru belajar dan masih perlu menimba kebenaran firman Elohim dan bukan berdasarkan dogma. Thx
Lebih aman memakai JudeoChristianity
Karna selama ini banyak aliran dan komunitas lebih menonjolkan sifat aku-nya
Yang memiliki Prestige dan Privillage masing2 aliran
Terima Kasih Moreh T. Hindarto
Yeshua Hamasiah, Itu bahasa Yunaninya Yesus Kristus. Mesias= kristos. Nama Kristen itu melekat dalam diri Yesus.
Terima kasih atas penjelasannya... Yeshua memberkati
Posting Komentar