Warung, merupakan bagian keseharian dalam masyarakat kita. Dari mulai kawasan perumahan kalangan menengah ke atas hingga perkampungan penduduk, selalu dengan mudah kita mendapati keberadaan warung baik itu warung yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari hingga warung yang menyediakan jasa makanan atau minuman. Dari aspek ekonomi (manajemen, tampilan fisik), warung merupakan bagian dari pasar konvesional selain kios, pedagang kaki lima, pasar loak, toko. Jika ada pasar tradisional tentu ada pasar kontemporer yang meliputi department store, supermarket, hypermarket, e-ritel, vending machine.
Sebelum ada toko-toko modern yang menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari bermunculan dan menjamur menghiasi seluruh wajah kota dan desa di masyarakat kita, keberadaan warung telah ada cukup lama untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok sehari-hari masyarakat. Warung adalah warisan historis sebuah masyarakat tradisional yang tetap bertahan hingga kini. Menariknya, keberadaan warung – entah itu pemasok kebutuhan sehari-hari, makanan, minuman – justru yang paling bertahan dari gempuran krisis ekonomi. Dalam artikelnya, "Ekonomi Rakyat Menyubsidi Ekonomi Konglomerat", Parni Hardi mengutip pernyataan Prof Sri-Edi Swasono (SES), guru besar ekonomi kerakyatan Universitas Indonesia (UI), pada presentasi Sistem Ekonomi Indonesia, saat forum Gerakan Pemantapan Pancasila, di Jakarta, (18 Agustus 2015) sbb: “Sektor informal, terutama warung-warung pedagang kaki lima (PKL) memberi kehidupan murah (low cost economy and low cost of living) kepada para buruh berupah rendah dari korporasi-korporasi besar, PNS, dan prajurit TNI/Polri bawahan. Buktinya, di trotoar, jalan, gang, atau tanah lapang sekitar gedung-gedung pencakar langit yang megah berjubel warung-warung murah yang dipenuhi karyawan bawahan. Tak jarang juga pegawai atasan berdasi (atau dicopot dulu) yang ikut nongkrong di warung-warung PKL. Ada juga yang menyuruh OB (office boy) untuk beli makanan guna dibawa ke lantai atas. “Ini trickle up effect (efek air muncrat ke atas). Suatu bukti bahwa ekonomi rakyat menyubsidi ekonomi besar di atasnya yang secara strategis mendukung ekonomi nasional. Jadi, apa yang disebut proses trickle down effect kapitalistik itu omong kosong” (http://sinarharapan.co/kolom/ziarah/read/150910503/-i-ekonomi-rakyat-menyubsidi-ekonomi-konglomerat-i-). Bahkan dalam salah satu artikel dikatakan bahwa dari 10 kategori bisnis yang tidak mendapatkan pengaruh signifikan dari krisis moneter salah satunya adalah warung sembako atau toko kelontong (10 Peluang Bisnis yang Tak Mengenal Krisis - http://www.ciputraentrepreneurship.com/memulai-bisnis/10-peluang-bisnis-yang-tak-mengenal-krisis).
Eksistensi warung sebagai bagian dari pasar konvensional kerap harus menghadapi sejumlah masalah baik yang bersifat internal berupa ketersediaan modal maupun masalah eksternal berupa persaingan dengan pasar konvesional yang menyediakan kenyamanan, kelengkapan, mutu berbagai jenis barang yang diperjual belikan.
Kita batasi pembicaraan dan pembahasan kita pada warung yang menjual kebutuhan sehari-hari yang kerap kita jumpai di dekat rumah kita atau di ujung gang beberapa ratus meter dari rumah kita. Secara sosiologis, warung bukan hanya sebuah tempat terjadinya transaksi ekonomi dalam bentuk jual dan beli barang kebutuhan sehari-hari, namun juga sebagai wahana terjadinya interaksi sosial diantara warga masyarakat dan pemenuhan ruang sosial.
Prasyarat sebuah interaksi sosial adalah tatap muka dan komunikasi dan prasyarat itu terpenuhi ketika seseorang berbelanja di sebuah warung. Interaksi sosial yang terjadi di warung bisa bersifat asosiatif (menuju persatuan) maupun disosiatif (perpecahan). Interaksi sosial asosiatif tersebut dapat kita temukan saat kita memperhatikan bahwa di warung, seseorang yang berbelanja tidak selalu langsung pulang ke rumah, khususnya para wanita atau ibu-ibu. Terjadi banyak percakapan di warung mulai yang bersifat gosip, pertukaran informasi hingga menanggapi situasi sosial dan politik serta ekonomi yang khas para wanita atau ibu-ibu. Dari perspektif teori fungsional, gosip tidak selalu bermakna negatif melainkan memiliki aspek positip sebagai alat kontrol sosial. Ketika seseorang melakukan penyimpangan sosial, pelanggaran moral, warung menjadi media menyalurkan kritik dan ketidaksukaan masyarakat terhadap perilaku-perilaku yang melanggar nilai dan norma. Terkadang apa yang disampaikan oleh beberapa kelompok masyarakt dapat sampai ke telinga orang yang dipergunjingkan, baik saat dia sedang berbelanja di warung atau mendengar informasi dari mulut ke mulut yang informasi awalnya bisa saja diproduksi di sebuah warung. Sementara interaksi sosial disosiatif dapat terjadi manakala seseorang yang sedang bertemu dan berbicara di warung sedang memiliki persoalan pribadi dengan salah satu lawan bicaranya dan mengeluarkan kata-kata atau pernyataan yang menyinggung atau dapat menimbulkan kesalahpahaman hingga berujung pada pertengkaran.
Di warung bukan hanya terjadi proses interaksi sosial melainkan pemenuhan ruang sosial. Apa yang dimaksudkan dengan ruang sosial? Ruang sosial adalah sebuah kondisi yang diperlukan oleh individu atau kelompok dalam melakukan proses sosialisasi dan berinteraksi. Pemenuhan ruang sosial merupakan konsekwensi logis bahwa manusia adalah mahluk sosial selain mahluk individual. Sebagai mahluk sosial, manusia memerlukan ruang sosial untuk dirinya bersosialisasi. Pemenuhan ruang sosial bukan hanya dapat disediakan di institusi pendidikan berupa sekolah dan institusi sosial berupa organisasi-organisasi kemasyarakatan melainkan institusi ekonomi berupa pasar konvensional yaitu warung.
Oleh karena warung bukan hanya sebagai sebuah tempat transaksi ekonomi melainkan wahana interaksi sosial dan pemenuhan ruang sosial, maka keberadaan warung seharusnya bukan hanya menjadi sebuah tempat memproduksi gosip murahan serta percakapan tidak mendidik, melainkan menjadi sebuah wahana untuk bertukar dan berbagi informasi mengenai kesehatan, informasi mengenai kewaspadaan terhadap kejahatan, informasi mengenai pencegahan terhadap berbagai tindak penipuan, informasi mengenai situasi sosial dan politik nasional maupun lokal. Dengan karakteristik masyarakat dengan budaya lisan dan budaya mendengar yang masih tinggi tinimbang budaya membaca, maka warung dapat memenuhi tugasnya sebagai wahana memproduksi informasi yang bermanfaat dan mendidik bagi siapapun yang berada di dalamnya secara lisan. Para bapak atau ibu yang memiliki banyak pengetahuan yang bermafaat dan kerap bertemu di warung dapat memanfaatkan pertemuan tersebut menjadi alat untuk membagi pengetahuan yang mendidik dan membebaskan.
Berbeda saat kita memasuki sebuah toko modern baik supermarket atau hipermarket sebagai bagian dari pasar kontemporer. Secara fisik memang lebih unggul dan menawarkan sejumlah kenyamanan, kebersihan, kualitas baik tempat dan barang yang hendak dibeli. Ruangan yang ber-ac plus suara musik merdu mendayu menimbulkan sensasi untuk lebih lama berjalan-jalan menyusuri selasar toko-toko modern. Belum lagi pilihan barang yang diperjualbelikan sangat variatif mulai jenis barang dan harganya sehingga memberi peluang kepada pembeli untuk menentukan pilihannya. Namun dibalik semua keunggulan berupa kenyamanan dan kualitas namun ada ruang yang tidak dapat dipenuhi oleh toko-toko modern saat kita berbelanja yaitu interaksi sosial dan pemenuhan ruang sosial. Kita tidak mungkin bertukar informasi dengan sesama orang yang berbelanja di dalamnya bukan? Kita pun tidak mungkin bertukar informasi dengan penjaga toko atau petugas kasir, karena kita akan dimarahi oleh orang-orang yang mengantri di belakang kita. Kita pun tidak dapat berkeluh kesah dan mendapatkan nasihat dari seseorang yang berpengetahuan lebih dari kita saat kita memiliki persoalan kepada pelayan toko ataupun sesama pembeli yang kita jumpai. Semua aktifitas yang terjadi di toko modern adalah menjual dan membeli sebagai bagian dari kegiatan transaksional secara ekonomi.
Oleh karenanya, sudah seharusnya keberadaan warung sebagai sebuah intitusi ekonomi warisan historis masyarakat tradisional tetap dipertahankan dan dirawat keberadaannya bukan hanya semata-mata menandingi kekuatan pemilik modal besar yang membangun toko-toko yang melekatkan simbol modernitas melainkan untuk melanggengkan interaksi sosial dan pemenuhan ruang sosial yang tidak didapatkan saat kita berbelanja di toko-toko modern seperti supermarket dan hipermarket. Dengan jalan apa kita mempertahankan dan merawat keberadaan sebuah warung di sekeliling kita? Pertama, dengan kita membagi waktu untuk berbelanja di warung di sekitar rumah kita dan bukan hanya berbelanja di toko-toko modern. Dengan berbelanja di warung maka kita telah memberikan kesempatan bagi pemilik warung untuk menyejahterakan dirinya secara mandiri dan sekaligus membuat ekonomi kerakyatan tetap tumbuh bersamaan dengan ekonomi pemodal besar. Tidak perlu membenturkan antara toko modern dan warung tradisional dan melakukan gaya hidup ekstrim yang bersifat anti kemoderanan dengan tidak berbelanja sama sekali di toko-toko modern, karena perilaku demikian justru membuat kita menjadi orang yang tidak realistis dengan perubahan sosial ekonomi yang terjadi di sekeliling kita. Yang perlu kita lakukan bukanlah anti kemodernan atau anti berbelanja di toko-toko modern melalui subyektifitas ideologis, melainkan perlu keseimbangan dan keberpihakkan terhadap ekonomi kerakyatan tinimbang ekonomi pemilik modal besar. Kedua, membeli secara tunai dan tidak harus berhutang. Banyak warung-warung yang memenuhi kebutuhan sehari-hari mengalami kebangkrutan dikarenakan para pembeli yang tidak membayar secara langsung dan membayar dalam tempo waktu yang lama. Bahkan ada yang kemudian tidak membayar. Jika hanya satu atau dua orang mungkin tidak menjadi masalah namun jika beberapa orang melakukan pola tersebut maka akan mengganggu perputaran modal berupa uang untuk membelanjakkan kebutuhan yang sudah habis.
Jika eksistensi warung dapat tetap berlangsung oleh peran kita bersama yang menghidupinya dan menjaganya serta merawatnya, maka proses interaksi sosial dan pemenuhan ruang sosial akan tetap berlanjut. Oleh karenanya marilah kita membagi waktu kita untuk membelanjakan uang kita dengan membeli kebutuhan kita baik di sejumlah warung yang tersebar di sekeliling kita dan menjadikan warung sebagai ruang sosial untuk bertukar pikiran dan informasi yang bermanfaat bagi kebaikan bersama.
0 komentar:
Posting Komentar