MERAYAKAN PERBEDAAN PERISTIWA KRISTOLOGIS DAN PANGGILAN BERKONTRIBUSI PADA REALITAS KEHIDUPAN
Posted by
Jika
Kristen mainstream (arus utama) meyakini dan menghayati Yesus lahir pada
tanggal 25 Desember maka komunitas kristen “back to Hebraic root” (saya lebih
senang mengistilahkan dengan Mazhab Yudeo Kristen) memiliki keyakinan dan
penghayatan bahwa Yesus lahir pada saat orang Yahudi merayakan Sukkot (Pondok
Daun), sehingga perayaan Sukkot sekaligus dirayakan sebagai perayaan kelahiran
Yesus yang biasanya jatuh pada bulan Tishri (Sept/Okt). Demikian pula perihal
kewafatan dan kebangkitan Yesus Sang Mesias dari kematian. Jika gereja
mainstream merayakan tahapan peristiwa sengsara, kewafatan dan kebangkitan
Yesus dalam struktur ibadah Rabu Abu, Kamis Putih, Jum’at Agung, Paskah atau
ada juga yang hanya merayakan Jum’at Agung dan Paskah, maka komunitas kristen “back
to Hebraic root” merayakan kewafatan Yesus pada tanggal 14 Nisan menurut
kalender Yahudi dengan ditandai makan jamuan Seder Pesakh sebagaimana dilaporkan dalam Injil Sinoptik dan
merayakan kebangkitan Yesus dari kewafatan pada hari raya Bikurim (buah
sulung). Jika Yudaisme merayakan Pesakh,
ha Matsah (roti tidak beragi) dan Bikurim
(buah sulung) dalam kerangka peringatan tindakan YHWH terhadap umat-Nya Israel
mulai dari pembebasan dari Mesir hingga memimpin memasuki tanah perjanjian,
maka komunitas Kristen “back to Hebraic root” sebagai gerakan turunan dari Messianic Judaism (gerakan keagamaan Abad
20 diantara orang Yahudi dan penganut Yudaisme yang telah menerima Yesus
sebagai Mesias namun tidak menyebut dirinya Kristen) merayakan hari-hari raya
tersebut sebagai bingkai yang melengkapi peristiwa kristologis yang berpusat
pada kewafatan dan kebangkitan Yesus dari alam maut.
Apapun
perbedaannya dalam memahami kapan dan bagaimana merayakan peristiwa kristologis
tersebut, jika ditarik benang merahnya tetap merujuk pada keyakinan dan penghayatan
yang sama yaitu kelahiran Yesus, kewafatan dan kebangkitan Yesus untuk memenuhi
tugas kemesiasan-Nya merupakan fakta yang tertulis dalam Kitab Suci sebagaimana
semua mazhab Kekristenan mengakui dengan iman: “Hari ini telah lahir bagimu
Juruselamat (soter), yaitu Mesias (christos), Tuan (kurios), di kota Daud”
(Luk 2:11). “Sebab yang sangat penting
telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Mesias telah mati karena dosa-dosa
kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia
telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah
dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1 Kor
15:3-4). Jika demikian keadaannya, bukankah kita sedang merayakan peristiwa
historis dan kristologis yang sama? Yaitu peristiwa historis dan kristologis
yang berpusat pada kelahiran, kewafatan dan kebangkitan Yesus Sang Mesias dari
kuasa maut!
Tidak
bisakah kita merayakan sebuah perbedaan? Tidak bisakah kita menikmati perayaan
peristiwa kristologis dalam bingkai perbedaan? Apakah perbedaan harus berarti
permusuhan? Apakah perbedaan harus didefinisikan bahwa seseorang disebrang sana
telah tersesat dan kita di sini adalah orang yang satu-satunya menerima rahmat?
Apakah perbedaan tidak bisa membuat kita saling berkomunikasi dan saling
memahami serta belajar pemahaman masing-masing yang berbeda?
Saya
bukan sedang berkompromi atau mengkompromikan antara kebenaran dan
ketidakbenaran. Saya sedang mencari jalan tengah antara pemahaman dan tafsir
kita terhadap kebenaran. Kebenaran hanya satu namun tafsir dan pemahaman terhadap
kebenaran bisa berbeda. Ada banyak faktor yang menyebabkan keberbedaan
keragaman tersebut. Faktor pendidikan, faktor pengalaman, faktor referensi,
faktor karakter dan variabel-variabel lain yang turut berkontribusi pada
perbedaan tersebut.
Saya
bukan sedang menafikkan adanya perbedaan dan berpura-pura tidak tahu dan tidak
mau tahu dengan perbedaan dan menyamakkan semua yang berbeda sebagai sebuah
kebenaran. Perbedaan tafsir dan pemahaman adalah sebuah fakta yang harus
diterima dan tentu saja ada ruang-ruang khusus dan tersendiri untuk
mempercakapkan tafsir dan pemahaman kita masing-masing terhadap apa yang
diyakini sebagai kebenaran secara berbeda. Saya fikir, saat teman-teman kristen
mainstream sedang merayakan peristiwa kristologis (baik kelahiran, kewafatan,
kebangkitan) dengan nama Natal 25 Desember, Jum’at Agung, Paskah kebangkitan selayaknya
teman-teman dari komunitas Kristen “back to Hebraic root” dapat mengapresiasi
dan menghormati mereka yang dengan takzim merayakannya terlepas kita memiliki
sejumlah prasangka teologis adanya unsur-unsur non kristiani yang mendistorsi
dalam ibadah tersebut. Demikian sebaliknya teman-teman dari kristen arus utama
dapat mengapresiasi dan memberikan ruang di hati mereka untuk memahami lebih
jauh pemahaman dan penghayatan teman-teman komunitas kristen “back to Hebraic
root” saat mereka merayakan kelahiran Yesus Sang Mesias pada perayaan Sukkot atau Pondok Daun atau saat
merayakan kewafatan Yesus saat Pesakh
serta kebangkitan Yesus dari kewafatan saat perayaan Bikurim.
Menurut
hemat saya, komunitas Kristen “back to Hebraic root” (saya lebih senang
menamakan diri saya sebagai Mazhab Yudeo Kristen) dapat lebih menekankan
peranan mereka bukan melalui perdebatan dan sikap anti tesis belaka (sekalipun
dalam derajat tertentu hal seperti ini tidak terhindarkan) melainkan kontribusi
dalam kajian-kajian akademik berkaitan dengan latar belakang sosio religius
kehidupan Yesus yang dilaporkan dalam Kitab Injil. Kajian sosio religius ini
sangat penting untuk memahami sabda Yesus sehingga tidak menjadi bias tafsir.
Kajian sosio religius ini merupakan bagian dari premis-premis hermeneutis sbb:
(1) Secara antropologis, Yesus adalah seorang Yahudi (2) Percakapan Yesus dan
murid-muridnya diuraikan dalam bahasa dan idiom Semitik Yudaik (3) Sekalipun
naskah dan narasi Kitab Perjanjian Baru yang menuliskan sabda dan perilaku
Yesus dituliskan dalam bahasa Yunani (sebagai naskah yang menjadi rujukan
mayoritas gereja disampaing naskah Peshitta Aramaik) namun banyak dijumpai
idiom-idiom Semitik Yudaik yang tersemat dalam naskah Yunani. Oleh karenanya
penguasaan bahasa sumber (Ibrani dan Yunani serta Aramaik) menjadi intrumen
utama dalam tafsir Kitab Suci dan dilanjutkan dengan penguasaan sosio religius
Yudaisme Abad 1 Ms menjadi pelengkap serta penguasaan literatur rabinik semacam
Talmud dll menjadi bagian penting dalam menemukan pararelisasi ajaran Yesus
dalam konteks Yudaisme. Dengan kata lain, komunitas Kristen “back to Hebraic root”
ingin memahami sabda-sabda Yesus dan merayakan peristiwa kristologis dalam
bingkai yang utuh yaitu bingkai pemahaman sosio religius Yahudi dan Yudaisme
Abad 1 Ms. Melepaskan Yesus dari keyahudian dan keyudaisme-an akan menghasilkan
tafsir dan pemahaman mengenai sosok dan sabda Yesus yang menjauh dari realitas
historisnya sebagaimana dikatakan beberapa peneliti latar belakang semitisme
Yesus sbb:
“Merenggut Yesus dari dunia Yahudinya maka
menghancurkan Yesus dan menghancurkan agama Kristen, agama yang tumbuh dari ajaran-ajarannya.
Bahkan peran Yesus yang paling akrab seperti Mesias adalah sebuah peran Yahudi.
Jika orang Kristen meninggalkan realitas konkret kehidupan Yesus dan sejarah
Israel dalam rangka mendukung sesuatu yang mistis, universal, Yesus yang spiritual
dan kerajaan Tuhan dari dunia yang lain, maka mereka menyangkal asal-usulnya
yang berasal dari Israel, sejarah mereka, dan Tuhan yang telah mengasihi dan
melindungi Israel dan gereja. Mereka berhenti dari menafsirkan Yesus yang
sebenarnya dikirim oleh Tuhan dan membuat dia dalam gambar dan rupa mereka
sendiri. Berbagai bahaya sangat jelas. Jika orang Kristen melakukan kekerasan
dengan merenggut Yesus keluar dari lingkungannya, etnis dan tempat
bersejarahnya di dalam lingkungan bangsa Israel, maka mereka membuka jalan
untuk melakukan kekerasan sama terhadap Israel, tempat dan warga darimana Yesus
berasal. Ini adalah pelajaran sejarah yang menghantui kita semua pada akhir
abad 20” (What Price the
Uniqueness of Jesus , Anthony J. Saldarini originally appeared in Bible
Review, Jun 1999, 17).
“Kembali kepada kebiasaan di zaman
Yesus dan kepada percakapan para rabbi yang hidup pada saat itu dapat
memperdalam iman Anda seolah itu milik kita dan mengubah cara Anda membaca
Kitab Suci” (Ann Spangler dan Lois Tverberg, Sitting at the
Feet of Rabbi Jesus, Michigan: Zondervan 2009: p. 13).
“…Keengganan Kristen
untuk mengijinkan Yesus untuk
tinggal dalam konteks Yahudi-nya merupakan
item yang menarik, dengan sejarah penanggalan yang dikaitkan dengan penulisan Kitab Injil Perjanjian Baru,
terutama abad keempat.
Kecenderungan untuk menempatkan Yesus di atas Yudaisme dalam batas tertentu dapat dipahami, mengingat
perkembangan doktrin Kristologi, dimana
Yesus dipandang sebagai penyelamat yang universal (dan bukan hanya Mesias
Israel), dan mengingat ekspansi yang cepat dari gereja mula-mula, dimana
keanggotaannya menjadi di
dominasi non Yahudi (dan sebagian
besar dari mereka tanpa minat dan tidak memahami Yudaisme dan
orang-orang Yahudi)” (Craig Evan, The Missing Jesus:: Rabbinic Judaism and the New Testament,
Brill Academic Publisher 2002, p.11 ).
Apa
yang saya kutip di atas hanya untuk menjelaskan positioning komunitas Kristen “back
to Hebraic root” atau Mazhab Yudeo Kristen untuk memperjelas maksud dan tujuan
pengakajian latar belakang sosio religius demi memiliki pemahaman yang utuh
mengenai sabda Yesus dan bagaimana seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan
iman Kristiani.
Kembali
ke soal perbedaan dalam menghayati dan merayakan peristiwa-peristiwa
kristologis. Jika kita sudah berani meninggalkan sikap-sikap absolutisme
terhadap tafsir dan pemahaman terhadap kebenaran dan menghormati keyakinan satu
sama lain serta merayakan peristiwa kristologis dalam bingkai perbedaan, maka
tindakkan penting selanjutnya adalah bagaimana kontribusi kekristenan dengan
aneka mazhab dan denominasi terhadap realita sosial kemasyarakatan? Jika
seseorang telah meyakini bahwa tafsir dan pemahamannya terhadap kebenaran lebih
benar dari tafsir dan pemahaman orang lain, lantas bagaimana kontribusinya
terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan?
Agama
bukan hanya berbicara soal bagaimana kita bisa beribadah kepada Tuhan
sebagaimana petunjuk yang disyariatkan-Nya dalam Kitab Suci. Agama bukan soal
perdebatan perihal mana yang diyakini benar dan mana yang diyakini salah. Agama
bukan berbicara soal kematian setelah kehidupan belaka. Agama berbicara perihal
kehidupan dan bagaimana membangun kehidupan yang lebih baik. Agama berbicara
juga perihal hubungan sosial dan kontribusinya bagi kehidupan sosial yang lebih
baik.
Kegagalan
kita memahami esensi agama dan membatasinya hanya sebagai sebuah relasi
personal dengan Tuhan, kerap membuat kita terlalu asyik masyuk dengan Tuhan. Seolah-olah
menjadi manusia beragama adalah seseorang yang menjauh dari realitas sosial dan
tidak bersentuhan dengan persoalan-persoalan di bumi. Ketika seorang yang saleh
berbicara politik, ekonomi, sosial, kebudayaan kemudian dituding sekuler,
liberal, politisasi agama dll. Jika Yesus Sang Mesias mengutip Yesaya
61:1-2 saat beribadah di Sinagog, “Roh YHWH ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah
mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia
telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang
tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat YHWH telah datang” (Luk
4:18-19), maka beliau bukan semata-mata sedang menegaskan posisi kemesianisan
dirinya yang telah menggenapi sebuah nubuatan, melainkan menegaskan
keberpihakkan dan sasaran pelayanan kemesiasan-Nya yang ditunjukkan dengan
istilah “orang miskin”, “orang tawanan”, “orang buta”, “orang tertindas”. Ini
artinya, seluruh kegiatan beragama bukan hanya ditujukkan pada Tuhan melainkan
pada kemanusiaan dan kemasyarakatan. Agama harus menjadi sumber perubahan
sosial. Agama harus menjadi instrumen kritik sosial. Agama harus menjadi pelita
moral.
Komunisme tidak akan lahir jika
orang Kristen memberlakukan ketentuan dan perintah Torah terkait orang-orang
miskin. Seandainya Karl Marx membaca perintah Torah “Pada waktu kamu menuai
hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya, dan
janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu. Juga sisa-sisa buah
anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di
kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan
bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah YHWH Tuhanmu” (Im 19:9-10), maka
dia tidak perlu membuat teori Pertentangan Kelas antara Borjuis dan Proletar
dan tidak perlu membuat teori Revolusi Sosial mendirikan pemerintahan Diktator
Proletariat setelah merebutnya dari kaum Borjuis. Torah tidak membenturkan
antara kaya dan miskin. Torah memerintahkan keseimbangan dan kesadaran
orang-orang kaya untuk menolong orang-orang miskin dan memberikan apa yang
menjadi hak mereka. Kita tentunya pernah mendengar kalimat yang begitu populer
dari Karl Marx bahwa “agama adalah candu rakyat”. DR. J. Verkuyl memberikan
gambaran yang lebih lengkap sbb: “Pemandangan Marx terhadap agama dapat kita
ketahui sebaik-baiknya dari bukunya: ‘Die Heilige Famile’ dan dari sebuah
karangannya dalam Deutsch Franzosische Jahrbucher. Katanya: ‘Manusia, negara
dan masyarakat itulah yang menghasilkan agama. Agama adalah teori umum dari
dunia, tempat manusia itu hidup. Jadi melawan agama adalah melawan dunia itu
secara tidak langsung. Kekacauan dalam agama adalah lukisan kekacauan yang
sebenarnya dan sementara itu suatu sanggahan pula atas kekacauan itu. Agama
adalah keluh kesah mahluk yang ditimpa sengsara, adalah perasaan dunia yang
tidak mengenal belas kasihan dan adalah jiwa keadaan yang tidak berjiwa lagi.
Agama adalah racun candu bagi rakyat. Supaya rakyat itu sungguh-sungguh
berbahagia, hendaklah agama dihapuskan, karena ia hanya bahagia semu saja” (Komunisme, Kapitalisme dan Injil Kristus, BPK 1951, hal 26). Pandangan sinis
Karl Marx lebih dikarenakan agama dan para pejabat gereja kerap membela
kepentingan-kepentingan orang kaya yaitu kaum kapitalis dan berdiam diri
terhadap ketimpangan sosial di dalam struktur kelas. Agama dan para pejabat
gereja hanya berbicara mengenai surga yang jauh di sana dan tidak memberikan
jawaban terhadap berbagai penderitaan orang-orang miskin akibat penindasan
orang-orang kaya dan hanya mengajak orang-orang menghibur diri mereka tentang
upah bagi orang-orang yang teraniaya di sorga kelak.
Di sinilah letak penting dan
bertemunya Teologi dan Sosiologi sebagaimana dikatakan Robert Bellah dalam
bukunya, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World sbb: "The
absolute separation of social science and theology is imposible. Every theology
implies a sociology and a psychology and so on. And every sociology implies a
theology, or, at least any definite theological position limits the variety of
sociological positions compatible with it and vice versa"(1970:206).
Para rohaniawan Kristen serta aktifis gereja tidak akan bisa melakukan
transformasi sosial tanpa memahami apa itu masyarakat dan hukum-hukum yang
bekerja dalam kemasyarakatan. Teologi membutuhkan Sosiologi karena teologi
bukan hanya berbicara perihal Tuhan melainkan masyarakat dan kehidupan sosial
serta persoalan-persoalan sosial.
Baik kekristenan arus utama
maupun kekristenan “back to Hebraic root” – sekalipun memiliki pemahaman yang
berbeda perihal kapan dan bagaimana peristiwa kristologis dirayakan - memiliki
panggilan yang sama, yaitu berkontribusi bagi kehidupan sosial karena agama dan
tafsir serta pemahaman kita terhadap kebenaran dalam agama harus bermuara pada
persoalan-persoalan kongkrit di masyarakat. Saya teringat perkataan Bung Karno
pada 23 Oktober 1946, “Orang tidak bisa
mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan
bersemayam digubuknya orang miskin”. Bukankah Tuhan Yahweh dalam Torah-Nya
telah bersabda, “Tetapi biarlah keadilan
bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”
(Am 5:24). Demikian pula Yesus Sang Mesias sudah bersabda pula, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina
ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).
Selamat merayakan Jum’at Agung (25
Maret) dan menyongsong Paskah (27 Maret) bagi teman-teman Kristen yang sedang
merayakannya dan selamat menyambut perayaan Pesakh
(14 Nisan – 23 April), ha Mastah
(roti tidak beragi) serta Bikurim
(buah sulung) bagi teman-teman komunitas kristen “back to Hebraic root”
dimanapun.
0 komentar:
Posting Komentar