RSS Feed

MERAYAKAN PERBEDAAN PERISTIWA KRISTOLOGIS DAN PANGGILAN BERKONTRIBUSI PADA REALITAS KEHIDUPAN

Posted by Teguh Hindarto



Setiap jatuh perayaan kelahiran, kewafatan, kebangkitan Yesus Sang Mesias, masih saja terjadi “perang ayat” dan “perang tafsir” perihal kapan dan bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut seharusnya dirayakan. Seiring dengan tumbuhnya pemahaman dan pengkajian baru melalu hadirnya komunitas-komunitas Kristen yang memiliki visi “back to Hebraic root” atau “kembali ke akar Ibrani” (dengan definisi dan derajat kembali ke akar yang beragam dan berbeda pula penerapannya satu sama lain) yang bertekad memahami sabda Yesus dan menemukan tata peribadatan Kristen melalui akar religius dan kultural Yahudi dan Yudaisme, muncul pula kajian-kajian baru yang mengritisi kapan Yesus lahir, wafat dan bangkit dari kematian.

Jika Kristen mainstream (arus utama) meyakini dan menghayati Yesus lahir pada tanggal 25 Desember maka komunitas kristen “back to Hebraic root” (saya lebih senang mengistilahkan dengan Mazhab Yudeo Kristen) memiliki keyakinan dan penghayatan bahwa Yesus lahir pada saat orang Yahudi merayakan Sukkot (Pondok Daun), sehingga perayaan Sukkot sekaligus dirayakan sebagai perayaan kelahiran Yesus yang biasanya jatuh pada bulan Tishri (Sept/Okt). Demikian pula perihal kewafatan dan kebangkitan Yesus Sang Mesias dari kematian. Jika gereja mainstream merayakan tahapan peristiwa sengsara, kewafatan dan kebangkitan Yesus dalam struktur ibadah Rabu Abu, Kamis Putih, Jum’at Agung, Paskah atau ada juga yang hanya merayakan Jum’at Agung dan Paskah, maka komunitas kristen “back to Hebraic root” merayakan kewafatan Yesus pada tanggal 14 Nisan menurut kalender Yahudi dengan ditandai makan jamuan Seder Pesakh sebagaimana dilaporkan dalam Injil Sinoptik dan merayakan kebangkitan Yesus dari kewafatan pada hari raya Bikurim (buah sulung). Jika Yudaisme merayakan Pesakh, ha Matsah (roti tidak beragi) dan Bikurim (buah sulung) dalam kerangka peringatan tindakan YHWH terhadap umat-Nya Israel mulai dari pembebasan dari Mesir hingga memimpin memasuki tanah perjanjian, maka komunitas Kristen “back to Hebraic root” sebagai gerakan turunan dari Messianic Judaism (gerakan keagamaan Abad 20 diantara orang Yahudi dan penganut Yudaisme yang telah menerima Yesus sebagai Mesias namun tidak menyebut dirinya Kristen) merayakan hari-hari raya tersebut sebagai bingkai yang melengkapi peristiwa kristologis yang berpusat pada kewafatan dan kebangkitan Yesus dari alam maut.


Apapun perbedaannya dalam memahami kapan dan bagaimana merayakan peristiwa kristologis tersebut, jika ditarik benang merahnya tetap merujuk pada keyakinan dan penghayatan yang sama yaitu kelahiran Yesus, kewafatan dan kebangkitan Yesus untuk memenuhi tugas kemesiasan-Nya merupakan fakta yang tertulis dalam Kitab Suci sebagaimana semua mazhab Kekristenan mengakui dengan iman: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat (soter), yaitu Mesias (christos), Tuan (kurios), di kota Daud” (Luk 2:11). “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Mesias telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1 Kor 15:3-4). Jika demikian keadaannya, bukankah kita sedang merayakan peristiwa historis dan kristologis yang sama? Yaitu peristiwa historis dan kristologis yang berpusat pada kelahiran, kewafatan dan kebangkitan Yesus Sang Mesias dari kuasa maut! 

Tidak bisakah kita merayakan sebuah perbedaan? Tidak bisakah kita menikmati perayaan peristiwa kristologis dalam bingkai perbedaan? Apakah perbedaan harus berarti permusuhan? Apakah perbedaan harus didefinisikan bahwa seseorang disebrang sana telah tersesat dan kita di sini adalah orang yang satu-satunya menerima rahmat? Apakah perbedaan tidak bisa membuat kita saling berkomunikasi dan saling memahami serta belajar pemahaman masing-masing yang berbeda?

Saya bukan sedang berkompromi atau mengkompromikan antara kebenaran dan ketidakbenaran. Saya sedang mencari jalan tengah antara pemahaman dan tafsir kita terhadap kebenaran. Kebenaran hanya satu namun tafsir dan pemahaman terhadap kebenaran bisa berbeda. Ada banyak faktor yang menyebabkan keberbedaan keragaman tersebut. Faktor pendidikan, faktor pengalaman, faktor referensi, faktor karakter dan variabel-variabel lain yang turut berkontribusi pada perbedaan tersebut.


Saya bukan sedang menafikkan adanya perbedaan dan berpura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perbedaan dan menyamakkan semua yang berbeda sebagai sebuah kebenaran. Perbedaan tafsir dan pemahaman adalah sebuah fakta yang harus diterima dan tentu saja ada ruang-ruang khusus dan tersendiri untuk mempercakapkan tafsir dan pemahaman kita masing-masing terhadap apa yang diyakini sebagai kebenaran secara berbeda. Saya fikir, saat teman-teman kristen mainstream sedang merayakan peristiwa kristologis (baik kelahiran, kewafatan, kebangkitan) dengan nama Natal 25 Desember, Jum’at Agung, Paskah kebangkitan selayaknya teman-teman dari komunitas Kristen “back to Hebraic root” dapat mengapresiasi dan menghormati mereka yang dengan takzim merayakannya terlepas kita memiliki sejumlah prasangka teologis adanya unsur-unsur non kristiani yang mendistorsi dalam ibadah tersebut. Demikian sebaliknya teman-teman dari kristen arus utama dapat mengapresiasi dan memberikan ruang di hati mereka untuk memahami lebih jauh pemahaman dan penghayatan teman-teman komunitas kristen “back to Hebraic root” saat mereka merayakan kelahiran Yesus Sang Mesias pada perayaan Sukkot atau Pondok Daun atau saat merayakan kewafatan Yesus saat Pesakh serta kebangkitan Yesus dari kewafatan saat perayaan Bikurim.

Menurut hemat saya, komunitas Kristen “back to Hebraic root” (saya lebih senang menamakan diri saya sebagai Mazhab Yudeo Kristen) dapat lebih menekankan peranan mereka bukan melalui perdebatan dan sikap anti tesis belaka (sekalipun dalam derajat tertentu hal seperti ini tidak terhindarkan) melainkan kontribusi dalam kajian-kajian akademik berkaitan dengan latar belakang sosio religius kehidupan Yesus yang dilaporkan dalam Kitab Injil. Kajian sosio religius ini sangat penting untuk memahami sabda Yesus sehingga tidak menjadi bias tafsir. Kajian sosio religius ini merupakan bagian dari premis-premis hermeneutis sbb: (1) Secara antropologis, Yesus adalah seorang Yahudi (2) Percakapan Yesus dan murid-muridnya diuraikan dalam bahasa dan idiom Semitik Yudaik (3) Sekalipun naskah dan narasi Kitab Perjanjian Baru yang menuliskan sabda dan perilaku Yesus dituliskan dalam bahasa Yunani (sebagai naskah yang menjadi rujukan mayoritas gereja disampaing naskah Peshitta Aramaik) namun banyak dijumpai idiom-idiom Semitik Yudaik yang tersemat dalam naskah Yunani. Oleh karenanya penguasaan bahasa sumber (Ibrani dan Yunani serta Aramaik) menjadi intrumen utama dalam tafsir Kitab Suci dan dilanjutkan dengan penguasaan sosio religius Yudaisme Abad 1 Ms menjadi pelengkap serta penguasaan literatur rabinik semacam Talmud dll menjadi bagian penting dalam menemukan pararelisasi ajaran Yesus dalam konteks Yudaisme. Dengan kata lain, komunitas Kristen “back to Hebraic root” ingin memahami sabda-sabda Yesus dan merayakan peristiwa kristologis dalam bingkai yang utuh yaitu bingkai pemahaman sosio religius Yahudi dan Yudaisme Abad 1 Ms. Melepaskan Yesus dari keyahudian dan keyudaisme-an akan menghasilkan tafsir dan pemahaman mengenai sosok dan sabda Yesus yang menjauh dari realitas historisnya sebagaimana dikatakan beberapa peneliti latar belakang semitisme Yesus sbb:

“Merenggut Yesus dari dunia Yahudinya maka menghancurkan Yesus dan menghancurkan agama Kristen, agama yang tumbuh dari ajaran-ajarannya. Bahkan peran Yesus yang paling akrab seperti Mesias adalah sebuah peran Yahudi. Jika orang Kristen meninggalkan realitas konkret kehidupan Yesus dan sejarah Israel dalam rangka mendukung sesuatu yang mistis, universal, Yesus yang spiritual dan kerajaan Tuhan dari dunia yang lain, maka mereka menyangkal asal-usulnya yang berasal dari Israel, sejarah mereka, dan Tuhan yang telah mengasihi dan melindungi Israel dan gereja. Mereka berhenti dari menafsirkan Yesus yang sebenarnya dikirim oleh Tuhan dan membuat dia dalam gambar dan rupa mereka sendiri. Berbagai bahaya sangat jelas. Jika orang Kristen melakukan kekerasan dengan merenggut Yesus keluar dari lingkungannya, etnis dan tempat bersejarahnya di dalam lingkungan bangsa Israel, maka mereka membuka jalan untuk melakukan kekerasan sama terhadap Israel, tempat dan warga darimana Yesus berasal. Ini adalah pelajaran sejarah yang menghantui kita semua pada akhir abad 20” (What Price the Uniqueness of Jesus , Anthony J. Saldarini originally appeared in Bible Review, Jun 1999, 17).

Kembali kepada kebiasaan di zaman Yesus dan kepada percakapan para rabbi yang hidup pada saat itu dapat memperdalam iman Anda seolah itu milik kita dan mengubah cara Anda membaca Kitab Suci” (Ann Spangler dan Lois Tverberg, Sitting at the Feet of Rabbi Jesus, Michigan: Zondervan 2009: p. 13).

“…Keengganan Kristen untuk mengijinkan Yesus untuk tinggal dalam konteks Yahudi-nya merupakan item yang menarik, dengan sejarah penanggalan yang dikaitkan dengan penulisan Kitab Injil Perjanjian Baru, terutama abad keempat. Kecenderungan untuk menempatkan Yesus di atas Yudaisme dalam batas tertentu dapat dipahami, mengingat perkembangan doktrin Kristologi, dimana Yesus dipandang sebagai penyelamat yang universal (dan bukan hanya Mesias Israel), dan mengingat ekspansi yang cepat dari gereja mula-mula, dimana keanggotaannya menjadi di dominasi non Yahudi  (dan sebagian besar dari mereka tanpa minat dan tidak memahami Yudaisme dan orang-orang Yahudi)” (Craig Evan, The Missing Jesus:: Rabbinic Judaism and the New Testament, Brill Academic Publisher 2002, p.11 ).

Apa yang saya kutip di atas hanya untuk menjelaskan positioning komunitas Kristen “back to Hebraic root” atau Mazhab Yudeo Kristen untuk memperjelas maksud dan tujuan pengakajian latar belakang sosio religius demi memiliki pemahaman yang utuh mengenai sabda Yesus dan bagaimana seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan iman Kristiani.

Kembali ke soal perbedaan dalam menghayati dan merayakan peristiwa-peristiwa kristologis. Jika kita sudah berani meninggalkan sikap-sikap absolutisme terhadap tafsir dan pemahaman terhadap kebenaran dan menghormati keyakinan satu sama lain serta merayakan peristiwa kristologis dalam bingkai perbedaan, maka tindakkan penting selanjutnya adalah bagaimana kontribusi kekristenan dengan aneka mazhab dan denominasi terhadap realita sosial kemasyarakatan? Jika seseorang telah meyakini bahwa tafsir dan pemahamannya terhadap kebenaran lebih benar dari tafsir dan pemahaman orang lain, lantas bagaimana kontribusinya terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan?

Agama bukan hanya berbicara soal bagaimana kita bisa beribadah kepada Tuhan sebagaimana petunjuk yang disyariatkan-Nya dalam Kitab Suci. Agama bukan soal perdebatan perihal mana yang diyakini benar dan mana yang diyakini salah. Agama bukan berbicara soal kematian setelah kehidupan belaka. Agama berbicara perihal kehidupan dan bagaimana membangun kehidupan yang lebih baik. Agama berbicara juga perihal hubungan sosial dan kontribusinya bagi kehidupan sosial yang lebih baik. 

Kegagalan kita memahami esensi agama dan membatasinya hanya sebagai sebuah relasi personal dengan Tuhan, kerap membuat kita terlalu asyik masyuk dengan Tuhan. Seolah-olah menjadi manusia beragama adalah seseorang yang menjauh dari realitas sosial dan tidak bersentuhan dengan persoalan-persoalan di bumi. Ketika seorang yang saleh berbicara politik, ekonomi, sosial, kebudayaan kemudian dituding sekuler, liberal, politisasi agama dll. Jika Yesus Sang Mesias mengutip Yesaya 61:1-2 saat beribadah di Sinagog, “Roh YHWH ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat YHWH telah datang” (Luk 4:18-19), maka beliau bukan semata-mata sedang menegaskan posisi kemesianisan dirinya yang telah menggenapi sebuah nubuatan, melainkan menegaskan keberpihakkan dan sasaran pelayanan kemesiasan-Nya yang ditunjukkan dengan istilah “orang miskin”, “orang tawanan”, “orang buta”, “orang tertindas”. Ini artinya, seluruh kegiatan beragama bukan hanya ditujukkan pada Tuhan melainkan pada kemanusiaan dan kemasyarakatan. Agama harus menjadi sumber perubahan sosial. Agama harus menjadi instrumen kritik sosial. Agama harus menjadi pelita moral. 

Komunisme tidak akan lahir jika orang Kristen memberlakukan ketentuan dan perintah Torah terkait orang-orang miskin. Seandainya Karl Marx membaca perintah Torah “Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu. Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah YHWH Tuhanmu” (Im 19:9-10), maka dia tidak perlu membuat teori Pertentangan Kelas antara Borjuis dan Proletar dan tidak perlu membuat teori Revolusi Sosial mendirikan pemerintahan Diktator Proletariat setelah merebutnya dari kaum Borjuis. Torah tidak membenturkan antara kaya dan miskin. Torah memerintahkan keseimbangan dan kesadaran orang-orang kaya untuk menolong orang-orang miskin dan memberikan apa yang menjadi hak mereka. Kita tentunya pernah mendengar kalimat yang begitu populer dari Karl Marx bahwa “agama adalah candu rakyat”. DR. J. Verkuyl memberikan gambaran yang lebih lengkap sbb: “Pemandangan Marx terhadap agama dapat kita ketahui sebaik-baiknya dari bukunya: ‘Die Heilige Famile’ dan dari sebuah karangannya dalam Deutsch Franzosische Jahrbucher. Katanya: ‘Manusia, negara dan masyarakat itulah yang menghasilkan agama. Agama adalah teori umum dari dunia, tempat manusia itu hidup. Jadi melawan agama adalah melawan dunia itu secara tidak langsung. Kekacauan dalam agama adalah lukisan kekacauan yang sebenarnya dan sementara itu suatu sanggahan pula atas kekacauan itu. Agama adalah keluh kesah mahluk yang ditimpa sengsara, adalah perasaan dunia yang tidak mengenal belas kasihan dan adalah jiwa keadaan yang tidak berjiwa lagi. Agama adalah racun candu bagi rakyat. Supaya rakyat itu sungguh-sungguh berbahagia, hendaklah agama dihapuskan, karena ia hanya bahagia semu saja” (Komunisme, Kapitalisme dan Injil Kristus, BPK 1951, hal 26). Pandangan sinis Karl Marx lebih dikarenakan agama dan para pejabat gereja kerap membela kepentingan-kepentingan orang kaya yaitu kaum kapitalis dan berdiam diri terhadap ketimpangan sosial di dalam struktur kelas. Agama dan para pejabat gereja hanya berbicara mengenai surga yang jauh di sana dan tidak memberikan jawaban terhadap berbagai penderitaan orang-orang miskin akibat penindasan orang-orang kaya dan hanya mengajak orang-orang menghibur diri mereka tentang upah bagi orang-orang yang teraniaya di sorga kelak. 

Di sinilah letak penting dan bertemunya Teologi dan Sosiologi sebagaimana dikatakan Robert Bellah dalam bukunya, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World  sbb: "The absolute separation of social science and theology is imposible. Every theology implies a sociology and a psychology and so on. And every sociology implies a theology, or, at least any definite theological position limits the variety of sociological positions compatible with it and vice versa"(1970:206). Para rohaniawan Kristen serta aktifis gereja tidak akan bisa melakukan transformasi sosial tanpa memahami apa itu masyarakat dan hukum-hukum yang bekerja dalam kemasyarakatan. Teologi membutuhkan Sosiologi karena teologi bukan hanya berbicara perihal Tuhan melainkan masyarakat dan kehidupan sosial serta persoalan-persoalan sosial. 

Baik kekristenan arus utama maupun kekristenan “back to Hebraic root” – sekalipun memiliki pemahaman yang berbeda perihal kapan dan bagaimana peristiwa kristologis dirayakan - memiliki panggilan yang sama, yaitu berkontribusi bagi kehidupan sosial karena agama dan tafsir serta pemahaman kita terhadap kebenaran dalam agama harus bermuara pada persoalan-persoalan kongkrit di masyarakat. Saya teringat perkataan Bung Karno pada 23 Oktober 1946, “Orang tidak bisa mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam digubuknya orang miskin”. Bukankah Tuhan Yahweh dalam Torah-Nya telah bersabda, “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am 5:24). Demikian pula Yesus Sang Mesias sudah bersabda pula, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). 

Selamat merayakan Jum’at Agung (25 Maret) dan menyongsong Paskah (27 Maret) bagi teman-teman Kristen yang sedang merayakannya dan selamat menyambut perayaan Pesakh (14 Nisan – 23 April), ha Mastah (roti tidak beragi) serta Bikurim (buah sulung) bagi teman-teman komunitas kristen “back to Hebraic root” dimanapun.

0 komentar:

Posting Komentar